Cerpen M. Arie Hidayat: Batas Suci
Sampai saat ini bapak itu terus saja memandangiku. Mungkin sudah sekitar tiga detik berlangsung semenjak aku duduk di kursi tamu yang terbuat dari ukiran jati ini. Sungguh sebuah suasana yang canggung, untungnya beliau tidak sambil mengepulkan asap di sini.
Kali ini dia tersenyum, kuharap akan keluar beberapa kalimat dari mulutnya. “Jadi… Pak Ardian bersedia ya menjadi marbot di mushala kita ini?”
“Iya. Insya Allah dengan ini saya bisa memberi makan istri saya, dan menjadi pemberat amal saya juga di akhirat. Sebab yang saya jaga dan pelihara ini adalah rumah Allah.”
“Yah, syukurlah kalau begitu, Pak. Sebab sudah lama kami mencari orang yang mau merawat mushala ini dengan upah seadanya. Mushala kita ini tidak memiliki banyak uang, selain dari hasil kotak infak yang ada di halaman mushala itu. Meskipun rumah saya berseberangan dengan mushala, saya tidak bisa merawatnya sambil kerja. Mungkin kepindahan bapak ke kampung kami, merupakan jawaban dari Allah atas doa kami selama ini,” tutur Pak Rayhan panjang lebar, seorang PNS pegawai puskesmas yang ditunjuk kepala desa sebagai kepala bagian kerohanian di kampung ini.
“Aamiin, insya Allah, Pak. Semoga saya termasuk orang yang amanah dan istiqomah,” jawabku pendek sambil mengangguk kecil.
“Sambil diicip Pak kuenya. Maaf ini, hanya sedikit. Saya ambilkan kunci mushalanya dulu ya, Pak.”
Pak Rayhan kemudian beranjak, masuk ke salah satu kamar. Tidak berapa lama, dia keluar dengan satu renceng kunci.
“Nah, ini kunci mushalanya, Pak. Boleh kalau Pak Ardian mau mulai bekerja sore ini, terserah Bapak saja,” kata Pak Rayhan seraya meletakkan kunci tersebut di meja.
Aku mengambil kunci itu. “Insya Allah, Pak. Akan saya lakukan yang terbaik.
***
“Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam. Eh, Cinta sudah datang,” jawab istriku. “Bagaimana tadi aktivitas di rumah Allah-nya?”
Segelas air putih diberikannya padaku.
“Yah… gitu lah. Setiap hari teras dan area wudhunya kotor terus. Enggak tau kenapa. Setelah salat subuh banyak pasir, setelah zuhur banyak pasir, setelah ashar pasir lagi. Setiap hari begitu, ini setelah magrib pasti kotor lagi nih,” sungguh aku tak bisa lagi menyembunyikannya dari istriku. Semenjak tiga hari yang lain aku mulai aktif mengurus mushala, sebenarnya aku tidak mau membuatnya khawatir. Terleblh ini dapat mengurangi pahalaku.
“Alhamdulillah, Cinta…”
Dia menghiburku, kali ini sambil memijit pundakku yang saat ini benar-benar terasa pegal.
“Alhamdulillah hanya di bagian luar yang gitu, lantai bagian dalam tidak. Alhamdulillah hanya kotor, bukan atap mushala yang tiba-tiba ambruk. Hihihi… coba nanti Aa usulkan ke Pak Rayhan, untuk pengadaan tanda batas suci. Semoga dengan adanya tanda itu. Jamaah bisa lebih menjaga kebersihan mushala.”
“Ah, uang mushala gak banyak, Cinta. Pemasukannya hanya dari satu kotak infak di halaman mushala itu aja. Kayaknya untuk gaji Aa, bayar PDAM, dan bayar listrik aja belum tentu cukup.”
“Ya coba aja dulu minta, A.”
Senyum termanisnya diberikan sebagai penyemangat padaku.
***
“Baik Pak Ardian, insya Allah besok saya pesankan. Jadi perlunya sekilar lima stiker ya.”
Sungguh tak kusangka, ternyata Pak Rayhan bersedia memesankan stiker batas suci menggunakan uang pribadinya.
Keesokan harinya, Pak Rayhan menelponku, meminta datang ke mushala. Ya, aku marbot yang tidak tinggal di rumah marbot mushala, sebab mushalanya belum punya rumah khusus untuk marbot.
Sesampainya di halaman mushala, hanya dengan melihat benda tergulung di tangannya, aku sudah tahu apa maksud beliau memanggilku.
“Alhamdulillah, sudah selesai ya stikemya, Pak? Cepat amat.”
“Iya nih, alhamdulillah. Yuk saya bantu pasang, mau ditempel di mana aja?”
***
Hujan turun lumayan deras siang ini. Karena kanopi mushala yang tidak terlalu panjang, membuat beberapa air hujan masuk ke area teras. Seorang bapak-bapak yang baru saja keluar dari mushala, mengambil sepatunya di rak. Kemudian dia meletakkannya di teras untuk kemudian dipasangya. Ya, dia melanggar batasnya. Baru saja mulutku terbuka hendak menegurnya, seorang anak sekolahan melakukan hal yang sama.
Aku mengurungkan niatku. Sepertinya sebab hujan inilah mereka enggan memasang sepatu di luar area batas suci, sebab mereka tidak bisa duduk di teras seperti biasanya. Mau tidak mau, aku harus mengepel becek itu lagi, meskipun sebelum salat ashar tadi aku juga sudah mengepelnya. Hampir semua jamaah sore ini melakukan hal yang sama. Semoga Pak Ardian bisa memperbesar ukuran kanopinya, sehingga ini tidak berkelanjutan.
***
Lagi. Sepagian ini hujan membasahi kampung kami. Meskipun tidak begitu deras, teras mushala kami cukup basah dibuatnya. Permohonanku ke Pak Ardian ditolak, meskipun beliau menjawabnya dengan kalimat, “Segera kita perbaiki,” aku sudah tahu betul bahwa itu artinya tidak bisa.
Saat adzan zuhur, hujannya benar-benar reda. Sepertinya siang ini akan ada aktivitas mengepel cek-becek lagi.
“Ah, biar sajalah setelah zuhur mengepelnya. Toh kalau kupel sekarang, nanti bakal kotor lagi.”
Salat zuhur usai, rasanya tak tahan melihat tragedi yang akan terjadi beberapa detik yang akan datang. Seorang berpakaian putih abu-abu keluar. Oke, sepertinya dia tersangka pertama yang akan melakukan itu.
TIDAK! Sungguh mengejutkan, dia mengambil sepatunya di rak, kemudian ditaruhnya di luar area batas suci. Kakinya basah menginjak teras yang belum kering, ketika dia mengenakan kaos kakinya, sudah pasti kaos kakinya akan ikutan basah. Dia beranjak…
“Dek, dek…!” Panggilku, dan aku setengah tidak sadar memanggilnya. Sudah terlanjur.
“Ya?” jawabnya.
“Tadi saya liat kamu tidak sungkan untuk menginjakkan kakimu di lantai yang basah itu. Padahal kan itu akan membuat kaos kakimu basah, kotor, dan bau. Tuh, liat saja jamaah yang lain, mending kan gitu.”
Aku menunjuk ke jamaah yang melakukan seperti biasanya.
“Hahaha… tidak papa, pak. Yang namanya pakaian kan pasti kotor juga setelah dipakai, nanti kan dicuci bisa. Lagi pula, saya khawatir zhalim pada mereka yang tugas membersihkan mushala. Meskipun itu memang tugas mereka, saya tidak ingin menambah berat pekerjaan mereka. Meskipun banyak orang yang menginjak teras dengan alas kakinya. saya tidak mau termasuk orang-orang seperli itu, apapun alasannya. Sudah terbaca jelas kok tulisannya.”
Dia tersenyum.
“Sudah ya, Pak, saya ditunggu teman. Assalamu alaikum.”[]
Sumber:
Banjarmasin Post, 02 Desember 2018
https://lakonhidup.com/2018/12/02/batas-suci/
0 komentar: