Cerpen Hatmiati Masy’ud: Alaska

11.24 Zian 0 Comments

Alaska melompat cepat, bangkit dari tidur panjang yang untungnya tidak membuatnya menjadi lebih tua. Alaska masih secantik ketika berusia 18 tahun. Ah, ini tahun ke-50 kehidupannya. Tetapi dia masih cantik. Ah....
Tidur panjang dalam keranda selalu membuatnya merinding. Ih...
Alaska melenggang ke rumah mama dan abahnya. Rumah itu masih berdiri utuh. Pohon sawo masih rindang di halamannya, sekejap Alaska memalingkan wajahnya melihat orang-orang yang terbirit-birit lari melihatnya, biarlah, mungkin saja wajahnya penuh tanah dan bau. Tak apalah, nanti dia akan bersihkan dirinya di rumah.
Sesampai di depan rumah, tak ada satu pun yang terlihat membukakan pintu, Alaska melompat masuk melalui jendela yang terbuka dihempas angin. Rumah penuh tahi kelelawar dan kotor, di mana-mana bau busuk menyengat hidung. Alaska bergidik. Secepatnya menuju kamar mandi, menimba air dan langsung mandi, masih ada sabun tersisa yang bau wanginya juga sudah lenyap di makan waktu.

Mandi membuatnya segar, menuju kamar dan melihat ranjang besi masih pakai kelambu yang bagian atasnya juga penuh tahi kelelawar dan sarang laba-laba. Alaska membuka lemari yang bau apeknya tercium beberapa meter. Alaska mengambil daster yang juga bau apek, memakainya dan mematut diri di depan cermin yang sudah buram. Dia masih secantik dulu, kembang desa Kembang Kuning.
Alaska menghela nafas, berarti pekerjaan rumahnya hari ini akan sangat berat. Tak apalah, ini hanya hadiah kehidupan keduanya. Dimulailah dari kamar pekerjaan rumahnya, dengan sapu lidi, pel, dan air yang ditimba dari sumur, Alaska bekerja keras. Menjelang senja, rumahnya mulai kelihatan lumayan bersih, Alaska menjatuhkan tubuhnya di teras rumah, wajahnya bercahaya kemerahan, kerja keras seharian telah membuat mukanya berdarah lagi. Cantik bagai mawar yang baru mekar, tetapi setiap yang lewat depan rumahnya terbirit-birit lari. Ah...tak apalah, mereka hanya tak tahu tentang kehidupan keduanya.
Alaska merasakan perutnya berkerinyut, perih, lapar, di mana dia harus mengisi perutnya. Ke warung, Alaska tidak punya uang, lagipula warung ada di mana?
Memberanikan diri, Alaska ke warung, kurang lebih 200 meter dari rumahnya. Penjual di warung itu, ternganga, wajahnya memucat, Alaska berkerenyit, takut ada yang salah pada dirinya. Nanar dilihatnya penjual warung, lho, bukankah itu Dania, temannya mainnya dulu. Tapi kini Dania tua ya? Alaska tersenyum dalam hati.
“Dania, aku Alaska, masih ingat?”
“A,aa....aaauuuuu, tolong, tolong, tolong!” teriakan Dania membahana, mengagetkan setiap orang yang lalu lalang.
Alaska melompat, mendekap erat mulut Dania.
“Dania, jangan teriak, ini aku Alaska, temanmu dulu.”
Dania terbelalak, setelah itu pingsan. Alaska berdiri, dan bergegas mengambil keperluannya, mie, telor, minyak goreng, beras 2 kg, setelah itu secepatnya kembali ke rumahnya. Dania tetap pingsan di warung. Setelah Alaska pergi, barulah orang-orang bergerak menghampiri Dania, ibu dua anak dan satu cucu, yang masih tergeletak di warung.
Terbata-bata, Dania bercerita, bahwa itu tadi Alaska, temannya dulu yang meninggal tepat ketika berusia 18 tahun, tepat ketika di hari pernikahanya, tepat ketika pengantin lelakinya juga meninggal tabrakan di depan rumah ketika arak-arakan pengantin menuju rumahnya, tepat ketika para geng sepeda motor melaju kencang dan menabrak rombongan pengantin lelakinya, dan sejak itu Alaska menghilang, hingga ditemukan beberapa hari kemudian di muara sungai Amandit, sudah agak membusuk dan berbau.
Tetapi tadi, itu Alaska, masih secantik ketika usia 18 tahun, harusnya umurnya sudah 50 tahun, mengapa dia kembali? Dan, bagaimana bisa dia kembali?
Pertanyaan itu menggaung dari ujung kampung ke kampung lainnya. Tentang seorang gadis yang hidup kembali setelah tiga puluh dua tahun meninggal, tak jelas ceritanya, ada yang mengatakan dia menghilang saja, bukan meninggal, dan kini kembali setelah kedua orang tuanya meninggal sepuluh tahun yang lalu, dan dia ingin mengurus rumahnya. Tetapi, mengapa dia tetap secantik dulu, gadis yang baru mekar-mekarnya. Dengan kulit putih kuning, rambut ikal berombak, tinggi semampai, dan hidung mungil dengan alis bulan sabit.
Alaska, menjadi buah bibir dari ujung ke ujung, tetapi yang dibicarakan tak pernah muncul lagi keluar rumah. Hanya sesekali terlihat ketika dia memotongi dahan-dahan pohon sawo yang menjuntai merimbuni rumahnya. Sesekali Alaska juga terlihat ketika mengepel teras rumahnya, atau sesekali terlihat dari balik jendela yang terbuka.
Setiap orang sekarang ingin melihat Alaska, sekarang bukan takutnya lagi, tapi kecantikannya yang katanya kian bersinar. Bukan hanya remaja lelaki, lelaki separuh baya, bahkan juga para para pemuka agama, juga para perempuan, ibu-ibu, bahkan janda-janda pinang ingin melihat Alaska. Ada beragam alasan, para pemuda ingin tahu kecantikannya, para pemuka agama ingin tahu bagaimana keadaan kematian di alam akhiratnya, para gadis, ibu-ibu, bahkan janda-janda juga ingin tahu kecantikannya dan juga ingin membandingkan dengan kecantikan tercantik di kampung itu. Setiap orang ingin tahu.
Alaska menjadi perbincangan dari ujung ke ujung. Namun, Alaska tak tersentuh. Dia juga tak tahu bahwa di kampungnya, kehadirannya telah mengalihkan pembicaraan tentang demo BBM yang tak henti-hentinya, antrean BBM yang mengular sepanjang-panjangnya, harga-harga makanan yang naik hampir tak terjangkau, kisruh pilples, tahanan KPK yang cantik jelita diduga bersaksi palsu, juga kasus korupsi yang tak tuntas-tuntas, berurat berakat dan menggurita. Ah...tema-tema berat itu telah memabukkan masyarakat sehingga mereka lelah terhadap segala penawar yang kunjung tercapai apalagi tuntas. Kini, membicarakan Alaska, gadis cantik yang bangkit dari kubur jauh lebih menarik.
Suatu malam, Alaska berjalan dalam kegelapan, dia harus berpikir bagaimana caranya mencari uang. Kampungnya sudah banyak berubah, tak seperti tiga puluh dua tahun yang lalu, sekarang sudah ada penerangan listrik, antena-antena parabola mencungking di setiap rumah penduduk, tak terlihat lagi gerombolan-gerombolan orang yang asyik menonton televisi di rumah-rumah tertentu yang memang mampu membeli televisi. Sekarang orang-orang lebih memilih tinggal di rumah masing-masing, menonton televisi, atau justru bergelung di tempat tidur, memeluk suami atau istri tercinta, atau juga asyik bercengkrema dengan anak-anak tersayang.
Alaska berjalan semakin cepat menuju ke arah kegelapan dan kesunyian, hingga dia mendengar suara-suara cekikikan di beberapa warung pinggir jalan di tengah kegelapan dan kesunyian. Cekikikan yang diseling dengan suara berat laki-laki, tawar-menawar harga, tak jarang bunyi pukulan pelan dan cubitan mesra.
Dan, di tengah suara kegaduhan, Alaska muncul. Tanpa suara dan detak langkah. Seketika warung-warung itu diamuk kesenyapan, sepi, sesepi sepinya. Sebagian mulut laki-laki ternganga, dan para perempuan tersentak tak mampu bersuara, angin pun turut berhenti sejenak. Alaska bersinar dalam gelap, kecantikannya telah membuat malu rembulan, yang pelan-pelan menyelinap di balik awan.
“Bolehkah saya duduk di sini?” Bagai disihir para pemuda yang sedang asyik masyuk dengan para penjaga warung menggeser tempat duduk, serentak berdiri dan menyilakan Alaska duduk.
Alaska duduk dengan tenang, baju putih pucat dan celana panjang yang dikenakannya telah membuat lekuk tubuhnya membayang. Alaska menebar senyum, menatap sekeliling.
“Bolehkah saya ikut bekerja di sini?” Suara mendayu seperti datang dari negeri seberang, menyapu gendang telinga bagai buluh perindu.
Tak terdengar sahutan, hanya desah nafas tertahan, para pemuda terperangah, para gadis penjaga warung ternganga.
“Boleh saja.” Suara sahutan tiba-tiba terdengar. Pemilik warung mengambil alih keadaan. Angin kembali berhembus, nafas tertahan kembali normal. Alaska tersenyum menjabat tangan pemilik warung.
“Mulai kapan saya boleh bekerja di sini?” Suara kemayu Alaska kembali terdengar.
“Mulai malam ini, kalau kamu mau.” Sahutan pemilik warung. Alaska segera bergeser duduk di dekat para gadis penjaga warung. Sedangkan para gadis beringsut ketakutan. Mereka pelan-pelan mengendus tubuh Alaska, namun tak tercium bau apa-apa dari tubuh alaska, hanya wangi melati menyapu lamat-lamat hidung mereka. Alaska secantik bidadari, seputih bulu angsa, selembut angin yang berhembus sepoi-sepoi. Tak ada yang menakutkan dari Alaska. Hanya kecantikan bersinar dan suara mendayu bagai buluh perindu.
Sejak itu, sepanjang malam Alaska bekerja di warung, remang-remang cahayanya, tawa cekikikan penjaganya, dan selalu para lelaki yang mengumpul di warung. Warung itu berubah nama menjadi warung Alaska, gadis Kembang Kuning secantik bidadari yang bangkit dari kubur.
Warung Alaska, yang selalu pas bayarnya, yang harganya setara dengan hotel bintang lima. Ah....hanya untuk secangkir kopi dan sebungkus kacang goreng, pembeli harus merogoh kocek lebih dari 25 ribu, apalagi kalau ditambah dengan mie goreng dan telur rebus, berkali-kali lipat lagi harganya. Apalagi kalau bayar pakai uang bergambar Soekarno-Hatta, wah..itu pas tak ada kembaliannya, meskipun hanya segelas kopi susu dan pisang goreng.
Pemilik warung senang bukan kepalang, pundi-pundinya semakin tebal dan bertambah-tambah, Alaska menjadi keberuntungan bagi pemilik warung. Menjadi bintang dan magnet di warungnya. Pelanggan makin bertambah-tambah, semua berawal karena penasaran dengan Alaska, bidadari warung Pas. Tak ada lagi kesan kalau Alaska baru saja bangkit dari kubur...hihihi.
Senja semakin tebal waktu itu, Alaska sudah menebar senyuman, sampai suatu ketika truk itu berhenti, dua orang lelaki paruh baya turun dari truk, Alaska terkesima, ini kali pertama Alaska terkejut, ini dia orang yang ditunggu-tunggunya. Dua lelaki yang bertahun-tahun lalu menyebabkan kemalangan berkepanjangan sepanjang hidup.
Alaska menyambut pelanggannya dengan kerling genit dan senyum dikulum, lelaki itu terperangah, wajah ini pernah akrab di matanya, tetapi entah di mana.
“Silakan duduk, Ka,” suara Alaska mendayu-dayu menyapu gendang telinga meresap langsung ke dalam sukma. Dua lelaki itu meneguk air liur, jakunnya naik turun. Suara itu mampu menghipnotis dan membawanya langsung duduk tanpa sempat berkata-kata.
“Minum atau makan atau dua-duanya, Ka?” Suara Alaska kembali membuat degup jantung berkelinjangan.
“Du, dua, duanya.” Suara gemetar itu terdengar dari salah satu lelaki paruh baya. Alaska menatapnya lekat, selekat-lekatnya. Mata mereka bertemu dan lelaki paruh baya itu sampai pada satu ingatan 32 tahun yang lalu. Ketika seorang gadis cantik akan menikah dengan seorang pemuda, dan karena kebrutalan sebuah geng motor pemuda itu tewas mengenaskan. Tak ada yang tahu kemudian kalau dialah yang menabrak lelaki itu, tabrakan disengaja bukan karena geng motor, itu hanya akal-akalannya saja, karena tak mau gadis pujaan hatinya menikah dengan orang lain. Meskipun gadis itu tak pernah tahu dia menyukainya.
Alaska menyajikan makanan dan minuman di hadapan dua lelaki paruh baya. Sambil tetap tersenyum manis. Lelaki paruh baya itu tak pernah habis pikir, mengapa gadis ini ada di depannya, apakah ini kembarannya, anaknya, atau anak saudaranya, bukankah Alaska sudah meninggal beberapa hari kemudian setelah penikahan berdarah itu. Pertanyaan itu tak pernah terjawab, Alaska juga tak pernah menjawab ketika lelaki paruh baya itu bertanya padanya. Hanya senyum dikulum dan kerling genit diberikan Alaska dan itu telah mampu membuat lelaki paruh baya itu takluk sehingga pertanyaan itu menggantung dan tak lagi perlu dijawab.
Hati seorang lelaki paruh baya itu tertambat pada gadis 18 tahun bernama Alaska, penjaga warung pas yang kecantikannya bersinar. Malam itu menjadi magnet kecintaan yang nantinya dia tak tahu berujung ke mana.
Lelaki paruh baya sudah menikah, dari empat orang anaknya hanya tersisa si bungsu, putra dambaan yang kini berusia dua puluh tahun tiga bulan. Selebihnya meninggal sebelum usia sepuluh tahun.

***

Sebulan berlalu, yang musimnya berganti berkali-kali, kadang hujan, kadang panas, kadang hujan dan panas bersamaan. Lelaki paruh baya berkeras menikahi Alaska gadis Kembang Kuning yang bangkit dari kubur. Alaska menolaknya, meskipun lelaki itu menjanjikan istana, menjanjikan sangkar emas, sekantong berlian, dan hidup bergelimangan kemewahan. Alaska lebih memilih anaknya, lelaki berusia dua puluh tahun tiga bulan yang sedang menulis skripsi di kampusnya.
Alaska memikat lelaki muda itu dengan wajah lugu, dan senyum merayu. Mereka berkenalan ketika hujan tak sengaja membuat pemuda itu berteduh di warung Alaska. Berbagi kata dan senyum sepotong-sepotong. Berbagi senja hari dan angin yang mereka simpan di tas masing-masing sebagai kenangan. Berbagi hari-hari berikutnya meskipun hujan tak kunjung datang, tetapi justru panas membara. Alaska satu hati dengan pemuda berusia dua puluh tahun tiga bulan, anak lelaki paruh baya berusia lima puluh empat tahun.
Alaska mengalihkan dunia lelaki muda dan lelaki paruh baya itu.
Alaska membuat dunia lelaki muda berwarna kuning jingga, dan kini skripsi dan kuliah tak menjadi tujuan utama. Lelaki muda menjadi pelanggan tetap warung Pas, di mana Alaska menjadi bintangnya.
Waktu berlalu, berbulan-bulan setelahlah, warung pas bermunculan semakin banyak, muncul di kegelapan-kegelapan semak di pinggir-pinggir jalan yang jauh dari rumah-rumah penduduk, remang-remang cahayanya, cekikikan tertawa penjaganya, ditingkah suara-suara berat para lelaki muda dan paruh baya.
Berbulan-bulan pula setelah itu, Alaska tetap menjadi penjaga warung Pas, dan tetap saja lelaki muda yang kini berusia dua puluh empat tahun, lima bulan menjadi pelanggannya, menunggu Alaska menjawab “Ya” terhadap lamarannya. Pemuda yang kini droup out dari kampusnya karena selalu mengejar Alaska sedangkan Alaska tetap tak terjangkau oleh siapapun. Pemuda itu tetap menunggu seperti bungur yang selalu setia pada kembang, meskipun selalu luruh tak pernah menjadi buah. Pemuda itu kini terlunta-lunta, tak pernah lagi pulang ke rumahnya, hanya berkeliaran sepanjang warung Pas, menunggu Alaska. Tak pernah pemuda itu menghiraukan ayah ibunya yang semakin menua, bangkrut, sakit-sakitan. Semuanya menguap demi Alaska.
Alaska tetap hidup bertahun-tahun setelahnya, setelah para lelaki pemujanya hilang satu demi satu ditelan keniscayaan. Alaska abadi di setiap hati manusia yang tak pernah henti memikirkan dunia. []

Sumber:
https://web.facebook.com/hatmiati/posts/769632033078908

0 komentar: