Cerpen Hatmiati Masy’ud: Wajah Perempuan
Hujan menguyur kota dengan sepenuh daya, tanpa henti, terus menerus semenjak dua jam terakhir. Kota muram dalam udara yang lembab, hanya ayam yang gigih mencari makan meskipun basah kuyup. Sementara, tukang ojek, pengendara motor, dan tukang becak memilih berteduh. Hanya satu dua orang yang nekat membelah hujan dengan jas hujan yang tak banyak membantu karena tetap basah kuyup.Diah mengusap kaca jendela yang mengembun, sudah sejak hujan masih berupa gerimis dia telah memaku diri di depan kaca jendela, menatap jalanan yang basah, mencoba menghitung jarum-jarum hujan dengan bilangan sekehendak hati.
Kali ini, Diah mengusap matanya yang basah. Hujan selalu mengingatkannya pada Salman, lelaki yang telah menikahinya lima tahun yang lalu. Lelaki yang sangat dicintainya, tetapi mulai pelan-pelan dibencinya, “ah, semua memang salahnya, bukan Salman.” Suaminya hanya menuntaskan keinginan yang bersumber dari kekerasan hatinya.
Biasanya hujan-hujan begini, ada Salman di sampingnya. Bercengkrama, sambil menikmati susu jahe kegemaran mereka berdua ditemani pisang goreng keju yang dibuatnya. Lezat, plus membahagiakan. Hal ini terus berlangsung selama bertahun-tahun kemudian. Sesekali, mereka juga berbincang tentang buah hati yang tak kunjung hadir di antara mereka, meskipun sudah ke dokter, dukun beranak, tukang pijat, minum obat-obatan herbal atau apa saja supaya momongan itu cepat hadir, tetapi apa hendak dikata harapan mereka itu tak kunjung datang. Sebenarnya Salman tak pernah mempersoalkan hal tersebut. Tetapi, Diah tak pernah nyaman dengan omongan mertuanya yang mengatakan dia mandul karena dari pihak keluarga Salman tak ada yang mandul. Bahkan, sering sekali mertuanya meminta agar Salman mencari istri lagi, karena menurut mertuanya perempuan yang tidak bisa hamil adalah perempuan yang tidak sehat.
***
Dan, enam bulan yang lalu, dengan persetujuannya Salman menikah dengan keponakan mertuanya, gadis yang dipilihkan orang tua salman. Gadis itu sangat cantik, santun, berjilbab, dan jebolan sebuah pesantren ternama. Dan, gadis yang bernama Aura itu kini sedang hamil tiga bulan, itulah sebabnya mengapa kini Salman lebih sering meninggalkan Diah, seperti juga hari ini.
Hujan mulai menjadi gerimis, tetapi udara dingin membungkus kota dengan ketat. Diah tergigil dengan sunyi, pelan diah meninggalkan tepi jendela, menuju ruang keluarga yang justru membuatnya semakin terbakar sepi. Sepi yang membuatnya membangun bukit-bukit penyesalan. Mengapa diizinkannya Salman menikah, mengapa pula dia harus mendengarkan kata-kata mertuanya. Tetapi, semua itu tak berguna, yang jelas sekarang salman telah menikah dengan Aura.
***
Diah menuju dapur, dia ingin menyeduh segelas teh hangat. Sudah dari tadi pagi perutnya terasa mual, meskipun sudah minum obat maag seperti kebiasaannya selama ini, tetapi tetap saja terasa mual. Teh hangat terasa nyaman sekali melewati tenggorokkannya, tetapi mual diperutnya semakin menjadi, Diah muntah. Tak lama terdengar suara mobil suaminya datang, dengan langkah lunglai Diah berusaha membukakan pintu. Dan begitu pintu terbuka, Diah langsung pingsan. Salman terkejut. Dengan sigap dirangkulnya tubuh istrinya. Salman merasa bersalah karena telah sering meninggalkan Diah hanya karena istrinya, Aura, telah hamil. Secepatnya Salman membawa Diah ke dokter. Sesampainya di sana, Diah langsung diperiksa. Satu jam kemudian Salman dipanggil ke ruang dokter.
“Pak, kondisi fisik Ibu Diah sangat kritis kalau keadaan ini tetap dibiarkan kemungkinan dapat membahayakan kandungan Ibu Diah.” Ucapan dokter membuat Salman terperangah, dia terkejut luar biasa, Diah istrinya hamil? Lidahnya kelu, sulit sekali menerima pernyataan dokter.
“Hamil, dok? Berapa bulan?” Tanya Salman tergagap-gagap.
“Lho, Anda tidak tahu kalau istri Anda hamil? Ini sudah memasuki bulan kedua, Pak. Oleh karena itu, dari sekarang tolong kesehatan Ibu Diah lebih diperhatikan.”
Salman hanya bisa mengangguk, dia tersenyum kecut ketika dokter menyalaminya dan mengucapkan selamat atas kehamilan istrinya.
Salman berjalan gontai menuju kamar perawatan istrinya, dilihatnya Diah telah sadar dan sedang makan bubur dibantu oleh perawat yang sedang memeriksanya.
“Bagaimana keadaanmu, Dik?”
Diah tersenyum, ditatapnya suami yang sangat dicintainya.
“Lumayan Kak, memang beberapa hari ini kurang sehat dan sering muntah-muntah. Tapi ini sudah cukup sehat.”
Perawat permisi, Salman menggantikannya untuk menyuapi istrinya. sekelebat rasa penyesalan mampir di hatinya. Selama ini mereka begitu damai, meskipun tanpa kehadiran seorang anak di antara mereka, dan kini ketika kabar bahagia itu datang, Salman malah terasa seperti tersayat sembilu. Dia merasa bersalah dan telah berprasangka buruk bahwa istrinya telah mandul, ternyata dia tidak sabar menanti pemberian Yang Mahakuasa.
“Dik, dari sekarang tolong jaga kesehatan baik-baik, saat ini Adik sedang mengandung.” Dengan lirih Salman memberitahu istrinya. Diah ternganga, kaget bukan kepalang, ternyata firasatnya benar, dia sedang mengandung. Perlahan airmata jatuh membasahi pipinya, kebahagian ini hanya bisa dimaknai dengan tangis. Tangis bahagia karena Allah SWT telah mendengar pintanya, sekaligus tatapan sendu kepada suaminya. Salman tercekat, di matanya terbayang Aura yang juga sedang mengandung tiga bulan.[]
(Amuntai, 14 Desember 2010)
*buat sahabatku, segalanya akan ada masanya*
Sumber:
https://web.facebook.com/hatmiati/posts/815255838516527
0 komentar: