Cerpen Hatmiati Masy’ud: Menjaring Angin

11.34 Zian 0 Comments

Perkampungan Nelayan, Pagi Hari
“Halimah mati! Halimah mati! Halimah mati! Mayatnya hanyut terseret ombak.” Teriakan silih berganti. Kampung Nelayan geger. Halimah, janda kembang, istri mendiang Rahman yang baik hati itu telah mati. Mati tergerus ombak. Ombak yang juga menelan suaminya, ayahnya, mamanya, dan menenggelamkan rumahnya.

***


Halimah termangu, langit senja ini merah sekali. Angin pantai berhembus terlampau kencang, mengibarkan rambutnya yang hanya menjejak pundak. Ombak pun masih setia menuju pantai kemudian kembali seperti sebuah siklus yang tak berkesudahan. Ombak yang membuat gerimis kemudian mampir di tubuhnya, hingga gigil terasa sampai ke sum-sum. Tetapi, masih Halimah tak mau beranjak dari bibir pantai. Dinikmatinya segala keindahan alam sepuasnya, meskipun hatinya terasa ngilu sekali. Sesekali Halimah mengais pasir kecoklatan ini dengan kakinya, melukis tanda amor yang kemudian hilang tersapu ombak. Tetap pula Halimah tak jera, kali ini dengan sebilah kayu diukir nama Rahman, suaminya, sedalam-dalamnya, tetapi tetap jua ombak datang dan menghapusnya. Ah...
Halimah melangkah, mengambili beberapa kerang yang turut terseret ombak, sampai suara mamanya, sayup-sayup terdengar memanggil namanya. Iya, Halimah harus pulang. Sementara itu, semburat matahari hanya menyisakan rona jingga di kaki langit. Gelap mulai melebarkan aromanya.
Di rumah yang hanya terdiri dari dua ruangan itu, mama telah menyalakan lampu teplok, temaramnya cukup lumayan menerangi rumah. Sementara angin pantai, menerobos melalui dinding pelupuh yang mulai lapuk dimakan usia membuat lampu teplok dengan genit bergoyang ke kiri ke kanan. Halimah tersenyum sepintas.
“Halimah!” suara Mama memecah kesunyian.
“Kapan suamimu datang melaut? Ini sudah seminggu lebih?”
“Entahlah, Ma. Mungkin sebentar lagi.”
“Yang lain sudah datang, Halimah. Cuma rombongan suamimu yang belum. Mama takut kalau terjadi sesuatu.”
Halimah terdiam. Itu pula yang dipikirkannya sejak tadi sore. Perasaan yang agak lain. Apalagi, dulu ayahnya juga meninggal karena pergi melaut. Tenggelam bersama ombak. Berbulan-bulan setelah itu, Ia menyaksikan kepedihan hati mamanya, yang sepanjang sore selalu menyisiri pantai, termangu, seakan menunggu ayah kembali. Sehingga suatu ketika ia pun hampir tenggelam ditelan ombak ketika mengikuti mama di pantai. Itulah yang kemudian menyadarkan mama bahwa dia masih punya Halimah, anak yang sangat dicintainya.
Gelap semakin menua, sunyi terasa sangat senyap, hanya gemuruh ombak yang meningkahi malam. Pelan Halimah membaringkan tubuhnya yang ringkih ini di atas selembar tikar tua yang usang, sehelai tapih bahalai turut menutupi tubuhnya. Sesekali, Halimah menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya. Sulit sekali memejamkan mata, hati dan pikirannya hanya pada Rahman, suaminya tersayang. Setulus hati Halimah berdoa, agar suaminya dilindungi oleh Allah Swt.
Sesayup sampai, kokok ayam mulai terdengar, rupanya sudah menjelang subuh. Matanya berat sekali, akhirnya Halimah tertidur juga dan baru terbangun ketika matahari telah menebarkan sinarnya. Halimah mendengar mamanya asyik berbicara dengan seorang lelaki. Halimah menajamkan pendengarannya, sepertinya suara itu dikenalnya. Iya, itu suara Rahman, suaminya. Alhamdulillah, Allah mengabulkan doanya.
Berjingkat Halimah berjalan, di belakang ternyata Rahman menunggui mamanya yang sedang membersihkan ikan. Halimah menuju sumur di belakang rumah, menggosok gigi dan membersihkan muka, malu rasanya bertemu suami dalam keadaan acak-acakkan. Rahmah hanya tersenyum melihatnya.
“Kapan Kak Rahman datang?”
“Subuh tadi. Kulihat kau tidur lelap sekali, tak tega rasanya membangunkanmu. Makanya mama yang membersihkan ikan. Yang lainnya tadi sudah dijual. Uangnya kuletakkan di atas lemari.”
Halimah mengangguk.
“Ma, biar ulun aja yang menggoreng ikannya.” Mama menyerahkan ikan yang sudah bersih. Halimah menuju dapur. Halimah melihat nasi telah matang, segera bara api yang masih tersisa ditiupnya kembali, kemudian mengambil wajan untuk menggoreng ikan.
Enak sekali sarapan pagi dengan nasi hangat, ikan goreng, dan cacapan mangga muda. Rahman sampai tiga kali menambah nasi. Halimah tersenyum, lapar sekali rupanya suaminya ini.
Selesai makan, di depan rumah, mereka duduk bersama, menikmati suasana pantai yang hanya 200 meter dari rumah. Sambil bercengkrama melepas kangen.
“Ding, sebentar lagi kan bulan Juli. Saat itu Angin Tenggara, biasanya angin besar dan banjir akan menerjang perkampungan kita. Bagaimana kalau kita pindah dari kampung nelayan ini. Teman-teman kita banyak pula yang sudah pindah. Ada yang ke Pelaihari, ada pula yang ke Serongga.
Halimah terdiam. Ia tahu perkataan Rahman benar. Di kampung nelayan ini hanya tersisa sekitar dua puluh rumah, itu pun agak berjauhan. Sedangkan yang lainnya telah pindah. Mereka yang bertahan karena tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau mereka harus siap setiap musim yang terkadang membahayakan jiwa dan raganya.
Namun, Halimah ragu kalau mama bersedia pindah dari rumah yang mereka tempati selama ini. Kenangan pada ayahnya akan membuat mamanya bertahan di rumah ini.
“Bagaimana?”
“Nantilah Ka, ulun tanya mama dulu. Kalau mama pindah, ulun juga mau, tetapi kalau mama tidak mau, tak mungkin kita meninggalkan mama sendirian.”
Percakapan terhenti. Rahman masuk ke dalam rumah. Dia mau tidur, sedangkan Halimah menuju pasar menyusul mama yang sedang bekerja pada juragan ikan.

***

Bulan Juli menjelang. Bulan yang menebar Angin Tenggara penuh dengan gelombang besar dan terkadang badai, tak jarang, banjir melanda perkampungan, dan menyapu rumah tinggal mereka. Halimah dan mamanya telah bersiap-siap di rumah, mengantisipasi kalau banjir melanda rumah mereka. Mereka tak jadi pindah karena mamanya berkeras untuk tetap tinggal di rumah itu, meskipun sendirian.
“Ding, esok mungkin aku akan pergi melaut, teman-teman juga telah sepakat.”
“Jangan Ka, ini sudah masuk bulan Juli, badai bisa sewaktu-waktu datang.”
“Kada papa Ding ae, ini baru awal bulan Juli, biasanya menjelang pertengahan gelombang besar dan badai datang. Lagipula kalau aku tidak melaut bagaimana? Persediaan makanan kita makin sedikit, paling cukup seminggu lagi. Uang simpanan juga mulai menipis.”
“Boleh, ya?” kata Rahman. Dia paham dengan perasaan istrinya, mereka juga masih pengantin baru, dia juga suka kangen dengan istrinya apabila sedang di lautan. Halimah terdiam, sepi memagut tanpa kompromi.
Subuh itu, Rahman telah menyiapkan perlengkapannya untuk melaut, teman-temannya juga sudah siap, akhirnya mereka pergi juga. Hari sangat cerah, meskipun matahari belum sepenuhnya menampakkan diri.

***

Halimah menyusuri pantai siang itu, sudah seminggu Rahman suaminya pergi melaut. Kecemasan melanda hatinya, kecemasan yang juga dirasakan oleh keluarga teman-teman suaminya. Hari ini, ombak lebih tinggi dari biasanya, gemuruh di lautan pun terasa sangat jelas. Angin juga bertiup semakin kencang. Halimah tetap di pantai, tetapi sejauh mata memandang hanya lautan yang tampak. Tak ada satu perahu nelayan pun yang terlihat karena sebagian besar, nelayan lebih memilih istirahat.
Tiba-tiba, angin berhembus begitu kencang, Halimah terjajar beberapa langkah ke belakang, ombak datang bergulung-gulung sangat tinggi.
“Halimah! Halimah! Halimah!” Teriakan mamanya mengejutkan dirinya. Mamanya meraih tangan Halimah dan membawanya berlari menjauhi bibir pantai. Ombak menerjang dengan kencang.
Teriakan minta tolong terdengar di mana-mana, suara tangisan juga terdengar di riuh rendah, kepanikan melanda Kampung Nelayan. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri, ombak besar telah menyapu perkampunan mereka. Halimah terlepas dari tangan mamanya. Sekuat tenaga Halimah berenang menuju tepi, sampai sebuah batang pohon kelapa yang roboh hanyut menuju dirinya, Halimah meraih batang pohon kelapa itu dan mengapung di atasnya.
“Mama! Mama! Mama!” Halimah berteriak sekencangnya. Halimah melepaskan batang kelapa dan berusaha menemukan mamanya, di tengah terjangan ombak yang kian surut ke pantai.
Halimah, tersedu. Mamanya hilang.
“Mama, Mama di mana?” Halimah terus berteriak sambil menangis. “ Mama, Mama,” suara itu semakin parau dan akhirnya hilang. Halimah pingsan.

***

Halimah kini sendiri karena suaminya juga tidak kembali.

***

Perkampungan nelayan itu kini semakin sunyi, dari dua puluh rumah, lima hilang terseret ombak, sisanya rusak parah. Termasuk rumah Halimah. Namun, berkat pertolongan tetangganya, rumah Halimah masih bisa ditempati.
Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Halimah semakin terlihat kurus dan ceking. Kulitnya kini semakin pucat. Hari-harinya lebih banyak dilalui di sepanjang bibir pantai. pagi, siang, dan sore hari, menjelang magrib barulah Halimah kembali ke rumahnya.
Bibir pantai menjadi teman yang menyenangkan, ombak juga semakin akrab dengan dirinya. Pada merekalah Halimah sering bercerita tentang lara hatinya. Lara yang telah membuatnya mati ketika hidup masih bersamanya. Ombak dan bibir pantailah yang sering menemaninya menghabiskan waktu. Tak pernah mereka protes dengan keadaan dirinya. Semakin sering dia mengungkapkan perasaaannya, semakin jelas bahwa ombak dan bibir pantai memahaminya.

***

Masyarakat di perkampungan Nelayan semakin tidak peduli dengan keadaan Halimah. Mereka prihatin, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Mereka juga harus menghadapi persoalan masing-masing. Apalagi kini musim semakin tak menentu. Hujan dan badai dapat terjadi kapan saja, sementara untuk pindah dari perkampungan Nelayan mereka juga tidak punya biaya.

***

Setahun hampir berlalu, Halimah tetap dengan kondisi seadanya. Tubuh kurus dan ceking, rambut panjang terurai, baju yang sudah sobek-sobek di mana-mana, dan selalu setia berada di bibir pantai. Terkadang, ketika ia termangu memandang lautan luas, air matanya mengalir membasahi pipinya. Tangisan yang diam tanpa isakan dan sedu-sedan. Halimah meratap dalam bahasa purba anak manusia. Bahasa yang semua orang tahu, bertutur tentang hatinya yang lara, tentang sepinya ditinggal pergi, tentang suaminya yang juga tak kembali.

***

Dan, hujan dan badai malam itu mengagetkan warga, tetapi beruntunglah banjir tak sampai menyapu perkampungan. Sehingga pagi itu, perkampungan nelayan geger, Halimah telah membujur kaku terseret ombak. Rupanya hujan dan badai malam itu telah membuat ombak menyeret tubuh ringkihnya. Halimah pergi. Pergi yang tak mungkin kembali lagi ke perkampungan Nelayan di bibir pantai.

***

Seperti itulah, ombak tetap setia menuju pantai, angin masih berhembus sekencang dulu, dan sesekali banjir tetap menyerbu perkambungan Nelayan. Namun, masyarakat Kampung Nelayan tetap setia mencari penghidupan di laut, karena kematian hanya tinggal menunggu giliran, entah siapa yang lebih cepat dan entah karena sebab apa. Tak ada seorang pun yang dapat menduganya.[]


Sumber:
Masy'ud, Hatmiati. Turun Ranjang Menjaring Angin. Banjarbaru: Scripta Cendekita, 2013
https://web.facebook.com/hatmiati/posts/771694522872659

0 komentar: