Cerpen M. Irwan Aprialdy: Perangkap
Aku tersungkur lelah di atas meja peraduanku; maksudku meja belajarku. Tiga jam pelajaran kimia yang tadi berjejalan masuk ke otak tak ada satu pun yang berhasil menjebol pintu pertahan pikiranku. Dan mungkin, selama aku menduduki bangku kelas XI IPA di SMA ini, tak ada sedikit pun pelajaran semacam kimia, fisika, matematika dan pelajaran hitung-menghitung lainnya yang pernah menyangkut dan menggandakan dirinya di otakku. Terlalu sulit. Kadang itulah yang menjadi alibiku pada suatu saat yang sia-sia aku bermonolog pada diriku sendiri. Ya bagaimana lagi? Beginilah keadaanku. Aku terperangkap di kelas ini, di kelas XI IPA ini, dan kurasa itu memang kesalahanku juga menempatkan diriku pada labirin yang sebenarnya dapat kutolak.Kira-kira setahun yang lalu, ketika seluruh siswa-siswi kelas X sekolahku beranjak menuju kelas XI, aku mendatangi guru pembimbing yang memang ditugaskan untuk menempatkan murid-muridnya pada kelas-kelas jurusan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Dan aku sendiri mendatangi guru yang bersangkutan dengan label ‘ketidaksanggupan’ telah tertempel telak di jidat. Namun, dengan percaya dirinya aku menyatakan bahwa aku sanggup mengeyam bangku IPA dengan alasan-alasan dan perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya selalu kudustakan.
Bu Ratih namanya. Beliau menanyakan beragam pertanyaan atas pilihan beresiko ini.
“Kenapa ingin berada di kelas IPA? Dipaksa oleh orangtuamu atau memang keinginanmu sendiri? ” tanya guru yang setahuku juga mengajar fisika ini.
“Pilihan saya sendiri, bu. Saya merasa sangat ingin mengeyam pelajaran eksak secara lebih mendalam dan lebih baik lagi.” Ujarku sambil berakting semeyakinkan mungkin.
“Hmm,” Ujar Bu Ratih bergumam, tampak jelas beliau meragukan kesungguhanku yang memang dibuat-buat. “Tapi nilai fisika, kimia dan matematika kamu pas-pasan dan dari pengamatan ibu sendiri, kamu sangat sering tidak tuntas saat ulangan dan jarang masuk sekolah. Kamu yakin ingin masuk kelas IPA, Baya?”
“Seratus persen yakin, bu! Saya merasa masih merasa sangat bodoh dan saya sangat ingin memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan di kelas IPA, bu.“ Lagi-lagi argumen kali ini kubuat semeyakinkan mungkin.
“Dan pengamatan ibu, kamu juga sangat aktif dalam berbagai kegiatan seperti mengikuti lomba ini dan itu. Dan lagi, karena kesibukan-kesibukanmu itulah nilaimu anjlok! Kamu mau berjanji akan mengurangi kegiatan-kegiatan itu bila kau berada di kelas IPA? “
“Saya janji, bu!”
Dan lantas Bu Ratih segera mengeluarkan surat perjanjian, memintaku menandatangi surat ini dan itu.Dan akhirnya terdamparlah aku di tempat ini.
Yah, percakapan antara aku dan bu Ratih itu sekarang hanyalah sepenggal penyesalan yang harus kuenyam sakitnya sekarang ini. Andai kata kubiarkan saja Bu Ratih menempatkanku pada kelas yang sesuai kemampuanku, tentunya otak, pikiran dan hatiku tak akan lebam dihantam pelajaran-pelajaran yang berbau hitung, hitung dan menghitung lagi! Mataku sakit harus menulis dan mengkalkulasikan angka dengan desimal per sekian dan rumus-rumus ilmiah yang selalu beranak pinak.
Bel pergantian pelajaran berbunyi nyaring empat kali. Seperti biasa, Pak Anggoro, guru matematika masuk mengisi jam pelajaran keempat. Menatap beliau yang memasuki kelas bagiku seperti menatap seorang algojo, dengan buku-bukunya yang dalam pandanganku seperti cambuk berduri tajam, siap menyarungkan kain hitam di kepalaku, kemudian menyiksa dan membunuhhku!
Aku hanya bisa beringsut dengan mata setengah tertidur. Mendengarkan penjelasan tentang teorema yang persis seperti dongeng nenekku ketika ingin tidur dulu.
***
Hujan selesai menikahi bumi sore ini. Dari balik jendela yang terbuka kucium mewangi tanah yang khas sehabis dideru airmata langit. Suasana seperti ini amat kusukai; ketenangan, kemurnian dan dingin yang menyengat, ya aku amat menyukainya! Kuseruput teh hangat di cangkir dan terus memandang keluar. Kutatap sungai kecil yang dirambati rumput liar dan tak sedang berbau comberan itu dengan tatapan kosong menerawang. Sesekali aku juga menatap langit yang bermendung tipis.
Di atas meja belajarku ada setumpuk buku pelajaran yang bila dibuka akan membanjir keluar tugas-tugas sekolah yang kian hari kian menggunung, dan kian kuabaikan. Namun, bukan tumpukan buku itu yang jadi perhatianku, namun sebuah selebaran brosur yang teronggok di atasnya. Brosur yang kudapat dari mading sekolah itu mengabarkan tentang sebuah kompetisi menyanyi.
Menyanyi adalah obsesiku selain masa-masa stres bersekolah. Selama bertahun-tahun aku selalu menjuarai beragam kompetisi menyanyi, dan kali ini aku sangat yakin akan kembali keluar sebagai jawara. Apalagi, pemenang lomba kali ini akan mendapatkan kesempatan emas untuk menjadi penyanyi terkenal dan berduet dengan rocker idolaku yang posternya tertempel rekat di atas dinding kamarku; Joaquin Karim.
Namun, bila aku menyingkirkan brosur itu untuk meluangkan waktu sejenak melihat hasil-hasil ulangan yang kuselipkan di sela-sela halaman buku fisika, akan nampak angka-angka yang pasti membuatku ciut untuk melakukan beragam hal termasuk bernyanyi dan mengikuti lomba itu. 25 untuk ulangan matematika, 30untuk ulangan kimia, dan 0,7 untuk ulangan fisika! Helaan nafasku sangat panjang dan berat kala menyadari aku akan mengulang untuk mendapat nilai ketuntasan 70 pada esok hari. Itu artinya aku harus berkutat dengan matematika, fisika dan kimia seharian ini, memenjarakan diriku dari dunia luar untuk mendapatkan nilai ketuntasan 70 dan tentunya hal ini akan sangat menyiksa batin.
Kuhabiskan teh di cangkir. Kutatap angka demi angka dan rumus demi rumus di berpuluh halaman matematika. Kembali helaan nafasku panjang dan berat. Mataku berpaling untuk menatap pemandangan hujan gerimis di luar jendela. Di dekat sudut jendela ada sebuah majalah remaja yang baru kubeli dua hari lalu dengan sampul penyanyi Joaquin Karim.
Aku tertarik.
***
Mataku seakan digantungi dua batu biru legam sehabis begadang malam tadi. Kuhabiskan waktu semalam suntuk untuk membaca kisah hidup Joaquin Karim yang inspirasional.
Joaquin Karim memilih keluar dari bangku sekolah dan meninggalkan keluarganya untuk kemudian hidup menggelandang sebagai pengamen. Sebelum akhirnya seorang produser musik handal menemukan dirinya menyanyi di lampu merah Jakarta.
Begitulah petikan artikel di majalah itu. Kubaca artikel itu sepuluh kali dan membaca materi untuk persiapan ulangan ketuntasan setengah kali. Dan setelah puas membaca secuil kisah tentang penyanyi rockmuda asal ibukota itu aku menyanyi sejadi-jadinya di kamar mandi hingga jam 4 subuh lalu tersungkur di bathtub kering untuk beristirahat, bermimpi dengan mata terbuka kemudian terlelap.
Bunyi bel tanda jam pelajaran pertama dimulai bertalu-talu, menumbuk nyaliku hingga tersungkur tak bernyali membayangkan kertas ulangan ketuntasan untuk kesekian kalinya. Pak Anggoro, sang guru algojo itu memasuki kelas. Tak ada bayangan kertas ulanganku akan diberi label nilai minimal 70. Perasaan yang sama mungkin ikut mengaduk perasaan teman-teman sekelasku yang lain. Nilai nol koma sekian menari-nari di atas ketidaksiapan kami. Ah!
Ada seseorang yang mencolek bahuku. Nanang.
“Bay, kamu belajar kemarin?” Tanya Nanang.
“Boro-boro. Yang kubaca malah majalah! Hahaha...” Jawabku sambil tertawa lesu.
“Ini!” Nanang menyerahkan secarik kertas yang berisi jejeran lima abjad latin awal tak beraturan.
Kertas kerpean.
Senyum simpul mengaitkan beberapa rasa geli dan lega di wajahku. Kutatap Nanang dan dia hanya mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum bersahabat. Entah dari mana dia mendapatkan kertas ajaib ini, yang jelas aku dapat santai menghadapi ulangan kali ini.
Kuselipkan kertas kecil itu di dalam kotak pensilku sampai yakin bahwa Pak Anggoro tak sadar aku akan mengerpe. Lelaki setengah baya itu memang selalu menjadi ancaman bila memberi soal-soal ulangan. Ia dapat membuat seisi kelas keseleo otak dengan perhitung-perhitungan rumitnya yang panjang dan berliku. Namun, dengan kertas ajaib ini aku akan menaklukan ulangan dari ‘guru kesayanganku’ itu.
“Beri jarak antara satu meja dengan meja lainnya, seperti yang telah disepakati!” Titah beliau dengantegas tanpa basa-basi.
Sesaat kelas sibuk dengan penataan ruang untuk ulangan. Kemudian hening. Dan dari depan ke belakang kertas ulangan dibagi. Murid-murid yang berhasil memperoleh nilai 70 ke atas pada ulangan sebelumnya dipersilakan untuk keluar kelas dan beristirahat. Memang enak menjadi orang cerdas.
Aku diam untuk berkonsentrasi palsu menatap kertas ulangan. Soal yang sama dengan kebingungan serta ketololan yang sama. Kupandangi Pak Anggoro yang sedang membaca koran dengan kacamata yang turun ke ujung hidungnya. Aman! Pelan tapi pasti kutarik kertas kerpean dari dalam kotak pensil. Sangat pelan dan halus, hingga mungkin teman di sebelah mejaku pun tak sadar aku sedang bergerak. Lalu dengan cepat kutulis segala abjad tak beraturan itu di atas kertas jawaban. Sangat cepat! Dalam waktu 30 detik aku telah menyelesaikan segala kebuntuanku. Sesaat kelegaan dan relaksasi. Bila masalah matematika dan segala perhitungan dunia lainnya dapat diselesaikan dengan mengerpe lalu untuk apa kita sekolah? Batinku mengetuk-ngetuk kelegaan ini dengan kalimat yang amat nyeletuk.
Kutaruh kembali kertas kerpean itu ke dalam kotak pensil. Kembali dengan sangat hati-hati. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Resleting kotak pensilku sangat sulit ditutup. Kutarik paksa benda itu dengan sekuat tenaga. Tarikan reseletingnya terlepas dan kotak pensil itu jatuh di lantai. Seluruh isinya menghambur keluar disertai bunyi yang terdengar gaduh dan mengganggu. Bunyi itu petaka! Pak Anggoro menutup korannya. Dalam langkah cepat beliau mendeteksi ketidakberesan. Aku hanya dapat mematung dengan keringat dingin bercucuran. Di tangan Pak Anggoro telah terlampir kertas yang berisi lima abjad awal tak beraturan. Beliau menggeleng kepala sambil menatap tajam ke mataku. Begitu tajamnya hingga aku tahu dari dalam diriku ada sesuatu yang tergores dan tersayat, entah apa itu.
“Baya Satrio...” Ujar beliau menyebutkan namaku. “Setelah ulangan ini berakhir ikuti bapak!”
Pertanda buruk!
***
Langkahku berat untuk mencapai ruang konseling di ujung koridor. Badanku pun seakan tak bertulang belakang lagi saking lunglainya. Beberapa teman memberi pesan untuk “pasrah dan sabar” dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di ruang itu. Keringat dingin dan detak jantung yang menumbuk pikiranku makin menjadi-jadi. Semakin kudekati pintu ruangan itu, semakin ketakutan menjadi raja di diriku. Terdengar percakapan antara Pak Anggoro dan Bu Sahna; guru pembimbing yang paling disegani di seantero sekolah ini. beberapa canda tawa mereka yang terdengar persis seperti gurauan setan bagiku.
“Baya, silakan duduk!” Ujar Bu Sahna saat melihatku di bibir pintu. Percakapn mereka langsung terputus seketika.
Aku duduk dengan kaku. Pak Anggoro menatapku sejenak untuk kemudian mengeluarkan secarik kertas. Kertas ajaibku.
“Dari mana kamu mendapatkan jawaban ini, Bay?” Tanya Pak Anggoro.
Aku terenyuh. Bila kujawab bahwa aku mendapatkannya dari Nanang tentu hal itu akan menyulitkantemanku itu. Dan aku pun tak punya stok alasan untuk berkata dari siapakah semua jawaban itu berasal. Aku buntu dan seakan berada di tepi jurang.
“Saya,” Kata-kataku menggantung. “Saya,” Kali ini aku hanya tertunduk sambil menatap celana abu-abuku. Hening menjadi raja disaat pertanyaan tak terjawabkan.
“Baya Satrio,” Suara Bu Sahna memecah suasana. “Melihat dari track record-mu di sekolah ini, kamutergolong anak yang berprestasi dan sangat sering mengharumkan nama sekolah di berbagai ajang menyanyi. Betulkan?”
“Betul, bu.”
“Dan mendengar penjelasan dari Pak Anggoro, tadi kamu membuat contekan di sebuah kertas. Betulkah itu, Baya?”
“Betul, bu.”
“Kenapa kamu melakukannya, Bay? Kamu tidak belajar atau tidak paham sama sekali tentang pelajaran yang diberikan Pak Anggoro.” Kali ini suara Bu Sahna sedikit meninggi.
“Dua-duanya, bu.” Saat mengatakan itu aku sedikit menatap Pak Anggoro. Beliau menggelengkan kepalanya dengan dramatis.
“Apa yang membuat kamu tak memahami matematika? Apa penjelasan Pak Anggoro terlalu rumit?” Tanya Bu Sahna lagi. Nada suara beliau makin mencekik.
“Bukan itu, bu.” Jawabku dengan suara yang datar dan cenderung pelan.
“Lalu apa yang menyebabkanmu tak memahaminya, Baya? Kamu ini murid berprestasi, seharusnya prestasimu itu menjadi acuanmu untuk belajar lebih giat lagi!” Bu Sahna seakan menghujamkan pisau rasa malu yang langsung menghujam pikiranku.
“Atau apakah kamu terlalu banyak berlatih menyanyi hingga lupa belajar?” Pertanyaan dari Pak Anggoro mengejutkanku. Ingin sekali kujawab dengan “Betul, pak.”. Tapi aku tak bernyali.
Aku diam membatu. Tiga detik keheningan. Kemudian Bu Sahna dan Pak Anggoro bergantian menggilirku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab serta nasihat-nasihat yang lebih tepatnya seperti caci maki. Dapat kulihat saat mereka menyemprotkan kata-kata, tersembur sedikit liur yang membasahi wajahku.Dan hal itu berlangsung selama tiga puluh menit lebih.
Joaquin Karim, ini semua perjuangan untukmu.
***
Kuputar dengan nyaring lagu ‘Langit Membunuhmu’ dari Joaquin Karim di iPod-ku. Sejadi-jadinya aku mengikuti hentakan musik rock itu dengan segala masalah yang membuncah di kepala. Kepalaku berputar, suara kuperkeras dan hatiku begitu nyaman dan tenang seakan tak ada hambatan sewaktu menjalani hari ini. Begitulah zat adiktif musik mempengaruhiku sedemikian rupa. Di tengah beragam problematika yang baru saja menindih hari-hariku, mimpi-mimpi kembali bermunculan di antara lantunan balada bercita rasa cadas itu.
Aku membayangkan diriku di panggung, menyanyikan lagu ‘Langit Membunuhmu’ dengan begitu impresif bersama panutanku, satu-satunya Joaquin Karim. Kupandangi poster lelaki muda yang selalu tersenyum abadi dengan kharisma dan aura superstar yang tak terbantahkan itu di atas ranjangku.
“Sebentar lagi, tunggulah kedatanganku di kompetisi itu!” Ujarku meracau sinting sambil terus menyanyikan lagu itu pada bagian reff-nya.
Langit membunuhmu
Jutaan galaksi mengutukmu jadi debu
Telah kau khianati hati yang tulus mencinta ini
Milyaran bintang jatuh ‘kan menghujammu
Kau ‘kan terbunuh sebab aku mengutukmu
“Baya!” Sebuah gertakan membuyarkanku seluruhnya. Ibu.
Ibu memasuki kamarku dengan gerakan tegas dan langsung berdiri di sebelah ranjangku. Segera kulepaskan headphone–ku. Entah kenapa ibu kelihatan lain sekali. Matanya memancarkan amarah yang nampaknya akan segala tertumpah padaku. Aku bergidik.
“Ada apa, bu?” Tanyaku gelagapan. Ibu hanya diam kemudian duduk di sebelahku.
“Ibu mendapat telepon dari sekolah.” Aku bagai tersengat listrik saat mendengarnya. Hening kembali menjadi raja di fragmen hari ini.
“Sangat memalukan, Bay! Kenapa kamu membuat contekan saat ulangan?! Apa yang kamu pikirkan, hah?!” Bentakan ibu itu menjelaskan semuanya.
“Jawab, Bay! Kamu itu anak laki-laki, jangan jadi pengecut, menjawab pertanyaan seperti itu saja kamu tidak bisa!”
Aku mengeluarkan sebuah brosur dari meja di sebelah ranjang dan memperlihatkan dengan tegas pada ibu. “Karena ini, bu.”
Ibu sedikit tercengang. “Karena menyanyi?” Tanya ibu dengan suara melengking.
“Bukan hanya itu, tapi karena Joaquin Karim! Dua hari lagi kompetisi ini akan diadakan dan aku harus memenangkannya! Aku harus berduet dengan Joaquin Karim, bu! Harus!” Jawabku dengan amat ambisius dan sedikit egois.
“Tapi pikirkan juga sekolahmu, Bay! Bila hanya menyanyi yang ada di pikiranmu untuk apa orangtuamu ini menyekolahkanmu selama ini?!” Wajah ibu merah menyala. Aku bergidik.
“Tapi, bu,”
“Sekolah menskorsingmu selama dua hari! Selama itu mereka meminta ibu untuk mengawasimu dalam belajar! Saat kamu kembali bersekolah nanti, kamu harus kembali mengikuti ulangan ketuntasan, dengan cara jujur! Bila pada kesempatan kali ini kamu masih belum berhasil meraih nilai 70, kamu terancam tidak naik kelas!” Seruan ibu mendenging di telinga dan langsung tertancap di otak serta hatiku. Tak pernah kutahu bahwa masalah tadi pagi berdampak pada kenaikan kelasku.
“Tapi bagaimana dengan kompetisi itu, bu? Kompetisi itu tepat diadakan saat hari aku harus mengikuti ulangan ketuntasan.? Tetesan hati hampir membulir di pipi dan suaraku tercekat. Sebagai seorang lelaki aku memang melankolis, terutama bila itu bersinggungan tentang mimpiku.
“Pikirkan sekolahmu!” Ibu menutup perbincangan dengan menjauh. Meninggalkan aku dengan sejuta rasa dongkol.
Aku terenyuh.
Berjam-jam berlalu dan aku hanya terenyuh.
***
Hari pertama dalam masa skorsingku begitu menyiksa. Ibu membangunkanku satu jam lebih awal dan langsung menyodorkanku buku-buku pelajaran. Seharian kepalaku diputari rumus-rumus fisika, kimia dan matematika, namun, pikiranku selalu meluncur pada Joaquin Karim dan menyanyi.
Pengawasan ibu yang ketat bagaikan macan yang mengawasi mangsanya untuk diterkam. Pintu kamarku diperintahkan untuk tidak tertutup. Dan dari jarak tiga meter dapat kurasakan ibu tak henti-henti menatapku dari ruang tengah sejak pagi tadi. Aku sangat lelah. Tidakkah ibuku itu lelah?
Kini sudah jam satu siang. Artinya aku telah belajar di bawah tekanan ibu selama tujuh jam! Tak dapatkubayangkan apa yang akan terjadi padaku besok. Menjalani hari ini saja sudah nampak seperti siksaan psikologis! Aku seperti terperangkap dalam jeruji pendidikan yang menuntutku untuk mendapatkan nilai minimal 70 dalam ulangan ketuntasan! Tatapanku kosong pada buku kimia yang tiap materinya berusaha kuendapkan di kepala, namun selalu gagal. Pikiranku terbang melayang bersama Joaquin Karim.
***
Kusematkan seragam sekolah dengan semangat yang macet teralir ke persendian hidupku hari ini. Entah mengapa aku sangat ingin bangun sepagi ini untuk bersekolah. Satu yang pasti, aku akan mengikuti ulangan ketuntasan pada hari ini dan aku harus berhasil. Dua hari masa skorsing yang menyiksa ternyata berhasil membuat otakku bekerja seoptimal yang guru dan ibuku inginkan.
Kesuntukan yang mendera jiwaku selama dua hari penuh ini membuatku menginginkan ketenangan. Kedamaian. Hujan. Kebetulan dini hari tadi gerimis sempat menyampir di sungai kecil di belakang rumahku. Kubuka jendela kamar dan seketika udara pagi yang bersih dan berbau hujan tercium. Baunya sangat khas; bau ketenangan. Aku duduk di depan jendela dengan tatapan penuh arti pada gelayut mendung di langit.
Sebuah majalah bersampul rocker muda Joaquin Karim teronggok lesu di dekat sudut jendela itu. Aku ingat kompetisi menyanyi itu diadakan hari ini. Kuhembuskan nafas yang penuh kegundahan. Aku sangat ingin mengikuti kompetisi itu, tapi...
“Ssssttt!” Ada seseorang yang berbisik kepadaku. Suaranya terdengar sangat dekat.
“Siapa?” Tanyaku.
“Disini!”
“Dimana?”
“Di sudut jendela!”
Astaga! Sampul majalah itu berbicara! Joaquin Karim tersenyum nyata kepadaku!
“Apa baju yang barusan kau pakai itu, bro?” Tanyanya dengan gaya slengean yang khas.
“Ini? Tentu saja seragam sekolahku.” Jawabku kaku.
“Harusnya kau memakai sesuatu yang lebih menarik untuk dipakai di kompetisiku!”
“Tapi aku harus bersekolah hari ini dan mendapatkan nilai minimal 70 agar aku tidak terancam tak naik kelas. Ibu dan sekolah menuntutku untuk tidak mengikuti kompetisi itu.”
“Oh, come on! Aku bahkan hengkang dari bangku sekolah di usia 15 tahun untuk mengejar karir sebagai penyanyi. Kau tak perlu sekolah bila kau merasa punya bakat! Lepas seragam lusuhmu dan carilah baju terbaikmu, kemudian bernyanyilah! Kita akan membuat sejarah bersama!” Bujuk rayu sampul majalah itu membuat khayalanku meneteskan air liur.
“Tapi aku sudah belajar keras saat masa-masa skorsing. Ibuku berjuang keras membujuk dan mengawasiku dalam belajar. Aku tak ingin beliau kecewa.”
Joaquin hening. Lalu sesaat kemudian ia angkat bicara. “Berbaliklah ke belakang!”
Kuturuti hal itu dan poster besar yang memajang sosok agung Joaquin Karim di dinding atas ranjang kamarku diisi oleh potret dua lelaki muda; aku dan Joaquin. Kami berdua bersama berada di atas panggung dengan fans yang berusaha menggapai tangan kami. Aku terperangah.
“Bagaimana?” Tanya sampul Joaquin. “Masih tertarik untuk bersekolah dan terperangkap buku-buku serta ulangan pada hari ini?”
Tak pikir panjang, segera kulepas seragam sekolahku. Dengan gelap mata kubongkar isi lemari demi mencari pakaian terbaikku. Dalam waktu 3 menit aku telah berdiri sempurna dengan tampilan seorang rockeryang serba hitam dan jaket kulit yang mengkilat. Kupatutkan diriku di depan cermin untuk kesekian kalinya, memastikan bahwa penampilanku memang sempurna. Jendela yang biasa kupakai untuk melamun bersama hujan kubuka lebar-lebar. Jendela itu akan membantuku melarikan diri dari perangkap yang mengurung selama ini. Jendela ini akan membawaku pada mimpi-mimpi.
“Joaquin, aku datang!”
Sumber:
http://seemynewsmallworld.blogspot.co.id/2013/06/short-story.html
0 komentar: