Cerpen Ni'matul Abadiah: Maafkan Ulun Ma...!

06.10 Zian 0 Comments

Aku membencinya, sangat. Seandainya kutau dia datang ke tempatku dengan memberitau sebelumnya, aku pasti tidak akan mengijinkannya. Dia sudah membuat aku malu di hadapan teman-temanku.
Huh, melihat penampilannya saja yang kampungan, sudah ingin aku usir. Apalagi ini cerita yang macam-macam tentang di kampung, juga tentang warung dan pahumaan(1), membuat aku jadi gregetan.
”Nak, alhamdulillah bulan ini penghasilan dari warung mama meningkat. Rasanya bulan ini bulan berkah bagi kita. Sehingga mama bisa bawakan ikam(2) oleh-oleh dari kampung. Ini jua(3) ada buah-buahan wan(4) sayur dari pahumaan kita tuh, nang(5) mama tanami di galang(6). Hanyar imbah diputik isukan tadi sebelum mama tulak ke sini(7). Mama ada jua bawakan duit gasan(8) ikam.
Belum lagi ucapan-ucapannya yang lain.
Umai(9) nak lah. Bagus-bagus benar gedung di sini, ganal-ganal ha pulang(10). Mama rasanya bangga ikam bisa kuliah di kota ini. Mama bersyukur sekali wan Tuhan memudahkan rejeki kita hingga mama bisa terus mengirimimu duit agar terus bisa kuliah biar jadi sarjana.”

Teman-teman di kost semua menertawaiku, melihat keudikkan(11) Wanita tua yang sedang berbicara denganku ini.
”Aya, kok ibunya gak disuruh masuk. Panas-panasan gitu duduk di pelatar, kasian kan. Bawakan minum atau apa kek sana.”
”Iya nih, kasian tau. Eh Aya, kata kamu ibumu seorang pengusaha dan pemilik restoran ternama di Kal-Tim, apa iya ? Terus ibu itu ?”
”Ya iya dong masa ya iya lah. Tadinya sih pemilik restoran tapi sekarang berubah status jadi pemilik warung.”
Nia dan Fani saling menimpali. Aku takut kebohonganku terbongkar.
“Eh, jangan-jangan bapak kamu bukan seorang pembisnis yang super sibuk sering keluar daerah lagi, tapi super sibuk bajakin sawah orang”.
Tawa mereka pecah lagi.
“Nak, apa maksud teman-temanmu ? Abah(12) ikam sudah meninggal. Apa ikam badusta(13) dengan keadaan kita sekarang kepada teman-temanmu. Kita ini emang asalnya dari kampung, orang miskin, jangan mengaku-ngaku jadi orang kota atau jadi orang sugih(14). Itu kaina maulah ikam supan saurangan(15).
Wanita tua itu kembali mengoceh. Sabarku pun usai dari diam menahan geram.
“Eh, Bu maaf aja ya. Aku gak punya ibu seperti kamu. Ibuku memang seorang pengusaha. Dia orang kaya. Bapakku juga masih ada, dia belum mati. Siapa kamu berani-beraninya nganggap aku anak kamu. Ibuku itu cantik, gak udik dan gak bermata satu kayak kamu. Pergi sana ! Cepat pergi !”
”Astaghfirullah Nak. Istighfar. Apa ikam supan(16) mengaku mama sebagai ibumu ?Nak, mama jauh-jauh datang kemari handak(17) melihat keadaanmu di sini. Meski kata pamanmu Umar nang rancak ngantarkan duit gasan ikam(18) melihat secara langsung keadaanmu nang baik-baik haja(19), mama tetap khawatir sama ikam. Mama kaganangan handak batamuan langsung wan ikam(20), karena ikam sudah lima bulan kada bulik(21) ke kampung.
”Sudah, cukup Mak Lampir. Ibu sudah mengganggu istirahat siang kami di sini. Mungkin ibu salah alamat. Anak ibu gak ada di sini. Aku mohon ibu pergi !”
”Tapi nak ...........”
”Cepat pergi !” Bentakku lagi sambil menarik tangannya menyuruh beranjak dari duduknya.
”Nak jangan usir mama. Jangan nak ........!” Wanita tua itu meronta-ronta. Tangisannya pun tak kupedulikan.
Akhirnya lega bisa membuat dia pergi dari tempat ini. Kuyakinkan lagi teman-teman di kost dengan keadaanku bahwa aku memang anak orang kaya.

***

”Nur”.
”Jangan panggil aku dengan panggilan itu. Panggil aku Aya”.
”Kenapa? Agak kampungan ya? Sejak kecil kan kamu emang dipanggil dengan sebutan itu, ya kan ?”
”Sudah ah May. Pokoknya sekarang ini panggil aku Aya, bukan nama Nur yang kampungan itu. Aku sudah jadi orang kota dan tidak akan balik ke kampung lagi.”
”Jadi, lebaran kali ini kamu juga tidak mau pulang kampung lagi ?”
”Ya.” Jawabku singkat.
”Nur, kamu sekarang banyak berubah setelah kuliah di sini. Bahkan sosok Nurhayati yang dulu kukenal tidak ada sama sekali dalam dirimu”.
”Terus ?”
”Nur, aku ingin kamu seperti dulu lagi. Kita sudah bersahabat dari sejak kecil. Berteman akrab. Tapi sekarang, aku merasa kamu mulai menjauh dariku. Sepertinya lingkungan dan teman-teman barmu telah mempengaruhi dan membuat kamu berubah hingga demikian”.
”Cukup May. Aku sudah muak dengan ucapanmu. Kalau kamu mau juga, sana cari teman-teman baru seperti teman-temanku sekarang yang mereka adalah anak-anak orang kaya”.
”O...jadi begitu. Dengan bergaul dengan anak-anak orang kaya, kamu juga akan kecipratan disebut anak orang kaya ? Nur, Nur. Apa kamu malu dengan menjadi anak pemilik warung yang tinggal di kampung ? Kamu jangan sok ikut-ikutan jadi anak orang kaya. Kasihan mamamu. Harus kerja sendirian banting tulang demi kuliahmu. Tapi kamu tidak mengakui beliau sebagai ibumu di hadapan teman-teman kostmu kemarin itu.”
”Kok kamu tau”.
”Iya. Mamamu kemarin datang ke kostku untuk nginap barang sehari karena kamu telah mengusirnya. Kamu tega, Nur. Hati mamamu sakit, sangat sakit saat kamu hina, kamu caci dan kamu usir. Padahal beliau susah-susah nyari alamat kost barumu itu sendirian. Cuma berpetakan sebuah catatan alamat di secarik kertas yang dikasih paman Umar. Untung saja setelah kamu usir beliau masih ingat jalan menuju kostku, yang dulu juga pernah kamu tinggali itu”.
”Siapa juga yang nyuruh dia datang ke tempatku”. Ucapku sewot.
”Pagi tadi beliau sudah kuantar ke terminal.”
“Baguslah kalau dia sudah meninggalkan kota ini. Sudah cukup kan kamu ngomongnya? Aku mau pergi. Berlama-lama di sini denganmu membuat aku boring dengan semua ucapanmu”. Aku berlalu begitu saja dari hadapan Maya, teman satu kampungku itu, meninggalkannya sendiri yang duduk di bangku taman kampus. Kulihat mukanya tampak kesal dengan sikapku. Bodoh amat.

***

Duh keuanganku sekarat. Seandainya kemarin itu uang dikirimkan lewat paman Umar oleh wanita tua itu, aku tidak akan kebingungan seperti ini. Tentu saja aku masih mau nerima kedatangan paman Umar karena penampilannya cukup terlihat seperti orang kaya dan dia pun datang pakai mobil. Ya...meski pekerjaannya sebagai seorang sopir di tempat Pak Lukman – orang terkaya di kampungku – toh, teman-teman di kostku tidak akan tau. Karena dia datang ke tempat kosku cuma sendiri setelah mengantar majikannya ke suatu tempat terkait ada urusan bisnis. Biasanya Pak Lukman ke kota Banjarmasin ini sekali sebulan. Oleh karena itu, uang pesangon kerap dititipkan lewat paman Umar yang mana tempat urusan bisnis yang dituju majikannya itu berada tidak jauh dari lokasi tempat kosku. Syukur saja paman Umar dibolehkan membawa mobil majikannya itu untuk sebentar mengantarkan uang ke tempatku.
Tapi apes kali ini karena wanita tua itu sendiri yang datang ke kostku. Oleh karena malu dengan penampilannya yang kampungan, dia aku usir. Jadinya uang yang ingin dia berikan waktu itu dibawanya lagi.

***

”Aya, tadi ada amplop titipan dari pamanmu Umar”. Sambar Fani dengan perkataan yang agak mengherankanku, ketika aku baru sampai di kost setelah pulang dari kuliah.
”Apa? amplop titipan ?”
”Iya, kok kamu seperti orang bingung gitu? Kan emang setiap bulan pamanmu itu datang tuk ngantarkan uang titipan dari orang tuamu yang super sibuk itu”.
”Oh, e...i...iya. Thanks.”
Masa iya sih si Mak Lampir masih mau ngirimi aku uang. Padahal aku sudah nyakitin hatinya dia. Ah, tapi sudahlah. Yang penting aku punya uang lagi.
“Eh, Aya. Kenapa sih ortumu itu harus nitipin uang lewat pamanmu terus. Kan bisa cepat sampe lewat transfer ke rekening aja.”
“Iya sih Fan. Tapi rekeningku sudah diblokir, belum sempat kuurus. Aku juga malas ke banknya. Lagian kata ortuku, kedatangan paman Umar sekalian mengetahui keadaanku di sini, karena mereka berdua tidak bisa menjengukku saking sibuknya. “Jawabku asal. Gimana mau lewat transfer coba, orang di kampungku mana ada yang ngerti. Boro-boro punya rekening.
Uang kiriman dari kampung sih emang tidak seberapa. Ya iyalah. Mana ada sih tukang warung penghasilannya gede. Cuma cukup buat makan sebulan aja. Untung saja aku bisa mendapatkan beasiswa prestasi di kampus untuk biaya uang kuliah. Untuk harus membayar uang kost elit yang ku tempati sekarang ini, aku kerja freelance di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris dengan mengajar di sana. Syukur saja semua terpenuhi segala pengeluaranku atas biaya-biaya studiku di tanah Lambung Mangkurat ini tanpa meninggalkan kecurigaan dari teman-teman karena kebohongan akan statusku kecuali pada waktu kedatangan si Mak lampir seminggu yang lalu itu.

***

Masa-masa pusingku sudah berakhir. Skripsiku kelar ku rampungkan dan hari ini tadi sudah dipresentasikan. Seperti di sidang mati-matian pembahasanku dalam skripsi itu oleh dosen-dosen killer. Tapi syukur saja aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, Bt.
Satu bulan lagi aku di yudisium dan seminggu sesudahnya wisuda di gelar. Siapa nanti yang menghadiri acara itu, Mak Lampir ? Enggak deh. Pokoknya dia gak boleh datang.

***

Sebuah mobil Avanza berhenti di depan kost ku. Pastilah itu mobil yang di bawa paman Umar. Benar sekali, paman Umar yang keluar dari dalam mobil itu. Apa dia bawa titipan ya ? Aku bergegas menemui dia keluar.
”Eh, paman Umar. Bawa titipan buatku ya ?”
”Iya. Dari mamamu.” Paman Umar menyerahkan sebuah amplop tebal berisi sejumlah uang yang cukup banyak dari biasanya.
”Kata beliau mungkin ini uang terakhir yang bisa mama kamu kirimkan. Jumlahnya ada dua juta”. Lanjutnya lagi.
“sebanyak ini? Tumben. Rejeki dari mana nih. Biasanya Mak Lampir ngasih cuma ratusan ribu. Ini dua juta dapat dari mana?” Sungguh aku tak percaya.
”Siapa yang kamu maksud dengan Mak Lampir, mamamu? Jaga ucapan kamu Nur. Mamamu sendiri dibilang Mak Lampir, anak macam apa kamu. Nur jangan kualat sama orang tua.” Adik satu-satunya Mak Lampir itu mulai ngoceh.
”Iya deh, iya paman. Sudah, jangan teriak-teriak. Ntar ketahuan teman-teman di dalam lagi.”
”Nur, Nur. Kamu jangan durhaka sama mamamu. Beliau uyuh-uyuh bagawi(22) dikampung sendirian buat ongkosin kamu kuliah. Biar jadi orang. Jangan sampai kamu nyakitin perasaannya dengan sebutan-sebutan seperti itu atau perkataan-perkataan yang lain.”
Aku hanya diam mendengarkan paman Umar menasihatiku. Meski sebenarnya aku malas melihat mulutnya komat-kamit seperti itu.
”kata mamau, kamu sebentar lagi mau di yudisium dan wisuda. Makanya dia mengirimimu uang sebanyak itu untuk keperluanmu. Sisanya kalau ada kamu simpan untuk keperluan yang lain. Kapan kamu Nur di yudisium?
”dari mana mama dan paman tau kalau aku mau yudisium dan wisuda?” Aku balik bertanya karena rasanya aku belum memberi tahu mereka.
”Dari Maya. Dengar-dengar dia juga sama seperti kamu lulus di semester delapan ini. Berarti tapaimbai(23) yudisium dan wisudanya.
”Iya deh nanti dikabari. Sementara ini belum pasti lagi kapan tanggalnya.”
”Ya sudah kalau gitu. Nanti beritau paman dan mamamu biar kami berdua yang menghadiri acaramu itu. Paman, mau pergi dulu. Assalamu’alaikum...”
”wa’alaikum salam.”

***

Terserah Maya mau ngomong apa tentang aku. Dia bilang aku jahat karena tidak memberitahu paman Umar dan mama tentang yudisiumku hari kemarin. Entah aku termasuk kategori anak durhaka sama orang tua, aku tak peduli. Yang penting aku telah melewati acara yudisiumku tanpa kehadiran mereka yang pastinya penampilan mereka bisa merusak kebahagiaanku bila datang.
Enam hari lagi, aku di wisuda. Status sebagai mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat akan kutanggalkan. Ketika sedang asyik-asyiknya aku mengkhayalkan masa depan hidupku. Tiba-tiba HP ku berdering. Paman Umar calling......tertera dilayarnya.
Ternyata dugaanku benar paman Umar mempermasalahkan kenapa aku tidak memberitahu orang dikampung, kalau kemarin Sabtu aku di yudisium. Katanya, aku telah menyinggung perasaan si wanita tua itu. Rupanya mereka tahu dari Maya, teman satu kampungku itu. Paman Umar juga bilang kalau wanita tua itu sekarang sakit panas gara-gara hal itu. Beliau menyuruhku pulang menemui beliau langsung untuk meminta maaf. Tapi tak akan kuhiraukan.

***

Detik-detik menjelang di Wisuda.........
Hari ini aku bangun pagi-pagi sekali, mempersiapkan diri untuk hari yang bersejarah. Tak lupa aku menghias diri dengan pergi ke Salon. Aku tampak fresh dan cantik hari ini. Senangnya.
Sama dengan hari dimana aku yudisium, aku juga tidak menyerahkan undangan wisuda untuk para orang tua kepada orang di kampung. Memberi tau mereka pun juga tidak. Tapi, kurasa mereka sudah tau dari Maya.
Kemarin-kemarin, paman Umar masih menghubungiku untuk menyuruh pulang lagi karena sakitnya si wanita tua itu makin menjadi-jadi. Aku merasa tak punya waktu untuk pulang kampung menengoknya karena aku sibuk mengurusi wisudaku.
Setelah acara pemindahan toga, Maya datang terburu-buru menghampiri tempat dudukku.
”Nur. Kali ini kamu harus pulang, Mamamu Nur...”
Ku perhatikan mata Maya yang berkaca-kaca membuatku tanda tanya
”Emang ada apa dengan dia.” Kataku datar.
”Mamamu baru saja meninggal.”
Aku terkejut dan terdiam. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyerang batinku. Aku juga tidak tau kenapa air mata ini keluar begitu saja. Apakah ini artinya aku masih punya hati? Masih mengakui dan menganggap dia sebagai mamaku sendiri.
”Tadi paman Umar menghubungiku memberitahukan hal ini. Beliau berusaha menghubungimu tapi HP mu tidak aktif.” Lanjut Maya.
”Ma...ma...” Ucapku getir.
”Iya Nur. Ayo kita pulang sekarang.”
Segera kubangkit. Bersama Maya dan kedua orangtuanya, kami langsung menuju terminal mencari mobil angkut penumpang.
Empat jam berlalu di perjalanan membuatku tidak sabar untuk menemui mama. Aku terus menangis, membayangkan wajahnya.

***

Setelah hengkang kakiku selama hampir tujuh bulan di Kota Itik ini, terasa sekali aku kembali menjadi Nurhayati yang dulu ketika menginjakkan kaki lagi di kampung Belukar Panjang ini. Dunia asalku yang tenang. Mengapa sewaktu aku kuliah di kota itu, lingkungan terlalu banyak mengubah gaya hidupku menjadi seorang sosok yang aku sendiri ternyata membencinya setelah ku terjaga dari mimpi yang panjang.
Sesampai di muka rumah, kulihat bendera hijau menancap di tanah depan rumah yang sudah tua itu. Kuberlari menemui wanita yang selama ini hatinya kusakiti, menghambur tangis dan memeluk tubuhnya yang sudah kaku terbaring.
Orang-orang melihatku dengan tatapan benci sekaligus iba. Benci karena mereka semua tau akan perilakuku selama ini terhadap mama. Iba karena aku akan menjadi sebatang kara di dunia ini.

***

”Sudahlah, jangan menangis lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Meski kamu belum sempat meminta maaf pada beliau. Kamu sudah dimaafkannya terlebih dahulu . Itu yang almarhumah mamamu bilang sebelum menghembuskan napas terakhirnya.”
”Apa paman Umar hanya mencoba menghiburku saja? Sungguh paman, aku terlanjur berbuat dosa sama mama. Aku sangat menyesal dengan perbuatanku selama ini yang sudah banyak nyakitin perasaannya. Aku belum sempat meminta maaf padanya. ” Ucapku lirih.
“Paman Umar tidak bohong, benar mamamu yang bilang seperti itu. Beliau juga menitipkan sepucuk surat ini untukmu.” Paman Umar menyerahkan sebuah amplop surat putih kepadaku.
“ Surat itu beliau tulis sekitar tiga jam sebelum beliau meninggal.” Terangnya padaku.
Rasa tak sanggup aku untuk membukanya. Tapi aku coba.
Buat Nurhayati, anak mama tersayang...
Harapan dan penyemangat hidup mama selama ini.
Selamat ya Nak! Ikam sudah di Wisuda, sekarang ikam sudah jadi sarjana. Alhamdulillah,ikam kuliahnya sungguh-sungguh, tidak membuat mama kecewa dengan pengorbanan yang selama ini mama berikan.
Meski pada hari itu, ketika mama datang ke tempat kosmu, hati mama ini sakit sekali mendengar perkataanmu itu melebihi sakit yang sering mama rasakan ketika terluka karena arit sewaktu menyiangi kumpai di pahumaan(24). Bermalam-malam mama kada tapi kawa guring(25), mengadu wan Allah apakah selama ini mama salah mendidikmu. Menangis mama memikirkanmu.
Nak, seseorang itu tidak akan sempurna meski bungas(26), pintar dan sugih tanpa diiringi dengan akhlak yang baik. Orang lain akan memandangmu hina.
Nak, mama tidak mau ikam jadi anak yang durhaka. Oleh karena itu, mama sudah memaafkan segala kesalahan dan perbuatanmu yang pernah menyakiti mama itu. Begitu juga mama minta maaf bila selama ini mama belum bisa memberikan kebahagiaan yangikam inginkan.
Waktu ikam yudisium, mama handak banar(27) rmenghadirinya. Begitu juga hari ini, saat wisudamu. Tapi sudahlah, ikam tidak mengharapkan mama dan pamanmu Umar datang. Itu juga yang membuat mama hingga sakit parah seperti ini. Mama berharap ikammengabulkan permintaan mama untuk bertemu denganmu sebelum mama tiada. Tapiikam tidak datang saat diminta pamanmu untuk pulang.
Nak, mungkin ikam juga supan mempunyai mama yang bermata sebelah ini. Tapi sekarang saatnya ikam perlu mengetahuinya. Ikam terlahir dengan mata buta sebelah. Mama tidak tega jika ikam harus menyaksikan dunia ini dengan ketidaksempurnaan dalam penglihatan. Mama juga tidak mau jika ikam sudah besar, teman-temanmu akan mengejek dan menghinamu. Itu tentu akan menyakiti hatimu, sedang mama ingin terus melihatmu tumbuh bahagia. Mama korbankan penglihatan mama sebelahnya. Biaya operasinya pun dari menjual sapi milik abahmu. Tentu ikam tidak ingat, karena ikam waktu itu masih kecil.
Ketika abahmu meninggal, mama sangat terpukul. Tapi ikam yang membuat mama harus bertahan hidup. Berjuang sendiri menghidupi keluarga kita ini. Dari hasil pahumaan dan warung, alhamdulillah mama bisa membiayai pendidikanmu sampai sekarang. Tapi, mama minta maaf karena harus menjual sebagian tanah pahumaan peninggalan abahmu itu demi kelancaran kelulusan kuliahmu. Mama terpaksa melakukan itu, karena mama tidak ada uang dan juga mama tidak bisa bekerja lagi. Kaki mama terkena sabetan arit sewaktu menyiangi kumpai di pahumaan. Uang dua juta yang mama kirimkan itulah hasil dari penjualannya dan sebagian juga mama simpan sedikit buat biaya pemakaman mama bila mama telah meninggal.
Nak, ikhlaskan kepergian mama, mama yakin setelah ini ikam pasti mau berubah demi mama. Berusahalah untuk kembali menjadi sosok Nurhayati yang dulu. Nurhayati yang disenangi banyak orang.
Belukar Panjang, 10 Oktober 2008
Mamamu,
Lamsiyah
”Ma....ma.... Maafkan Nur. Nur menyesal. Nur sayang sama mama. Nur akan berubah menjadi Nur yang mama harapkan. Nur janji.“ Teriakku pada alam sore di tanah pekuburan.
“Sudahlah Nur. Ayo kita pulang. Sudah setengah harian kita ada di sini. Paman janji, paman yang akan menjagamu nanti.”
Kemarin, memang hari paling bersejarah. Mama tiada saat aku diwisuda.* * *

Banjarmasin, 19 Januari 2009

Keterangan:
1. Sawah
2. Kamu
3. Juga
4. dan, dengan
5. Yang
6. Tanah perhelatan di antara bidak sawah
7. Baru saja dipetik pagi tadi sebelum mama pergi ke sini
8. Untuk,buat
9. Seruan untuk memuji sesuatu
10. Besar-besar lagi
11. Kampungan
12. Bapak (orang tua laki-laki)
13. Berbohong
14. Kaya
15. Nanti bisa membuat kamu malu sendiri
16. Malu
17. Ingin
18. Yang sering mengantarkan uang buat kamu
19. Saja
20. Rindu ingin bertemu langsung denganmu
21. Tidak pulang
22. Capek-capek kerja
23. Berbarengan
24. Rumput di sawah
25. Tidak bisa tidur nyenyak
26. Cantik
27. Ingin sekali

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/114412668156/

0 komentar: