Cerpen Kayla Untara: Obrolan di Atas Jok

17.38 Zian 0 Comments

Matahari Banjarmasin siang itu menyapu bersih semua yang bisa disentuhnya. Teriknya sudah menampar keras wajahku semenjak aku turun dari taksi yang kutumpangi hari itu. Terminal pal 6 yang sesak dengan calon penumpang yang punya tujuan masing-masing seakan menambah suasana di terminal itu semakin panas. Belum lagi para calo yang menawarkan tiket pada para penumpang yang baru datang dengan memaksa, kalau boleh dibilang begitu. Para penjaja minuman dingin dengan bermacam merk, tukang Koran, pengamen, dan para tukang ojek membuat hari itu betul-betul panas, sangat panas. Pulang dari kampung memang selalu melelahkan karena akan mengahadapi berbagai kebisingan kota.
Deru mobil bus yang mau bertolak, serta beberapa mobil angkutan kota yang meraung menunggu penumpangnya masing-masing menjadi semacam irama khas tersendiri. Asap hitam tebal yang dimuntahkan knalpot mobil-mobil itu menambah semaraknya aktivitas harian di terminal. Dari sisi-sisi terminal terdengar sayup suara sumbang para pengamen yang berusaha mengais rezki dari para calon penumpang. Tadi pagi aku berangkat dari Kandangan menuju kota ini, setelah memanfaatkan waktu liburan untuk sekadar berkumpul keluarga di kampung. Dan sekarang aku terjebak ditengah kebisingan dan hiruk pikuk ini. Belum lagi dahaga yang sejak di mobil tadi menyerang tenggorokanku plus rasa pusing karena mabok kendaraan yang belum hilang juga. Huh! Ingin rasanya aku pergi secepatnya dari sini.

Kususuri jalan aspal panas ke arah luar terminal. Beberapa calo menawarkan tiket padaku. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala tanpa suara. Rasa lelah dan pusing yang kurasakan, membuatku mengambil keputusan untuk berehat sebentar di depan sebuah pos polisi yang tak jauh dari gerbang masuk ke terminal. Kureguk minuman yang tadi sempat kubeli di kios kecil sedikit demi sedikit.
“Dari mana, dik?”
Aku terkejut mendengar sapaan itu. Ketika kupalingkan wajahku untuk mencari tahu sumber suara ternyata seorang polisi tua yang sedang tugas jaga.
“Dari Hulu Sungai, pak” jawabku ringan. Polisi itu manggut-manggut.
“Masih kuliah?”
“Iya.”
“Dimana?”
“Politeknik Kayutangi, pak”. Jawabku lagi. Astaga! Kulihat jam yang menempel dipergelangan lengan kiriku. Sudah jam satu lewat, tepatnya jam satu empat puluh. Hari ini aku masuk kuliah jam dua. Aduh bagaimana ini? Bisa telat lagi.
“Kenapa Dik?” Tanya pak polisi itu lagi.
Bapak polisi itu bisa merasakan kecemasanku rupanya. “Nggak, pak. Nggak papa…” jawabku gugup. Polisi itu kembali menghadiahkan senyum merekah.
Tiin! Tiin! Tiin!
Suara klakson angkot menegurku. “Pasar hanyar?!” Kata si sopir.
Ragu aku untuk memberi jawaban. Otak teknik sipilku mulai bereaksi melakukan analisa. Kalau naik angkot perlu dua kali naik taksi dan pasti makan waktu yang lama untuk antri. Dari sini ke pasar hanyar butuh waktu sepuluh sampai lima belas menit, antri sepuluh menit, dari pasar hanyar ke Kayutangi lima belas menit, jadi tiga puluh menit lebih perjalanan yang kutempuh. Ongkos taksi tiga ribu rupiah. Nunggu taksi jurusan Kayutangi juga tidak jauh beda. Atau aku ambil alternatif yang lain? Huh! Siapa juga yang nyuruh pulang hari senin, tepat di hari perkuliahan awal.
“Nggak deh, pak!” Putusku. Angkot itu pun berlalu.
Bagaimana ini? Kecemasanku semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Kepalaku yang sedari tadi belum juga sembuh peningnya makin pening aja. Peluh mulai membasahi ketiakku. Mataku liar memperhatikan sekitar.
“Ojek, Dik?”
Aku terkesima sejenak oleh tawaran itu. Dan seperti yang sempat mampir dipikiranku tadi. Ojek! Ya, naik ojek kan lebih cepat sampainya. Heh! Biarlah agak mahalan dikit. Daripada harus ikut ngantri dulu kalau naik angkot. Lebih murah sih, tapi waktunya gak efisien!
Kupalingkan pandanganku ke arah orang yang menawarkan jasanya tadi. Dan, Subhanallah!
“Ojek, Dik? Ke mana?” tawarnya lagi.
Aku masih terdiam tak menjawab untuk sesaat. “Ke Kayutangi be…berapa” kataku balik bertanya, tapi agak gugup karena agak kaget sedikit.
“Sepuluh ribu…, gimana?” Jawabnya.
“Tujuh setengah aja…” tawarku.
Orang itu pun diam sebentar seperti berfikir sebelum menerima tawaranku. “Ya sudah, mana barang-barang adik?”
Kesepakatan tercapai. Aku pun langsung duduk di belakangnya setelah meyerahkan barang bawaanku, tas ransel berisi buku dan sedikit sembako. Ditaruhnya ranselku itu di belakang setang motor, terjepit di antara kakinya. Deru mesin motor empat tak itu pun membelah debu Banjarmasin menuju arah Kayutangi.
“Adik masih kuliah, ya?” Tanya orang di depanku saat itu memecah kebisuan yang sempat tercipta.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Udah semester berapa?” Tanyanya lagi.
“Enam. Baru masuk semester enam…”
“Dari mana asalnya, dik?”
“Kandangan…”. Jawabku lagi. Aku tersenyum sedikit. Senyum karena baru kali ini aku ngobrol dengan seseorang yang baru aku kenal terasa ringan.
“Jauh, ya!?” komentarnya.
“Lumayanlah…, perjalanan yang cukup melelahkan. Sudah lama ngojek?” Kali ini aku yang bertanya.
Orang yang didepanku itu terdiam. Mungkin tidak mendengar suaraku karena kabisingan lalu lalang kendaraan bermotor. Lagi pula aku tak terlalu menunggu jawaban darinya.
“Adik tadi ngomong apa? Saya kurang jelas.” Ucapnya ketika kami berhenti di lampu merah pertigaan jalan Gatot Subroto.
“Tadi saya nanya, sudah lama pian kerja ngojek kaya gini?” Kataku lagi mengulang pertanyaan yang sebenarnya tadi aku hampir melupakannya.
“Yah…, lumayanlah Dik. Hampir tiga tahun. Tepatnya mulai kapan saya sudah lupa…”
Motor kami kembali membelah terik matahari siang Banjarmasin setelah lampu hijau mempersilakan untuk jalan. Obrolan kami terhenti lagi beberapa saat karena raungan bunyi berbagai macam motor dan mobil yang saling mendahului.
“Dulu kerjanya apa? Maksud saya sebelum narik ojek kaya sekarang?” Aku memulai kembali obrolan.
“Saya? Yah…, macam-macam lah. Sejak saya hidup cuman bersama dua orang anak saya, saya pernah kerja ikut orang, jualan kue keliling, kreditin baju, jualan ini itu, macam-macam lah sudah…! Dan semuanya kagak ada yang cocok atau gimana gitu. Ampir rugi terus saya. Dan akhirnya kerja seperti ini. Ngojek! Kerja inilah yang rasanya paling lama bisa bertahan. Hasilnya tiap hari sih tidak menentu, kadang banyak, kadang sedikit. Pas-pasan lah. Tapi mencukupi saja buat keperluan sehari-hari. Karena saya juga nyambi kreditin alat rumah tangga. Pernah sih nyoba nyari kerja kantoran, tapi gak dapet-dapet. Belum ada kesempatan mungkin…”
Sayup kudengar orang di depanku ini menarik nafas dan menghembuskannya dengan suara desahan seakan ingin mengatakan; kerja seperti ini bukan aku yang memilih.
“Apa tidak risih kerja seperti ini?” Tanyaku kembali.
“Risih?! Selama pekerjaan itu halal, saya tak pernah merasa risih atau malu. Pertama-tama sih ada juga perasaan ragu, tapi semua perasaan itu saya tepiskan ketika ingat sama anak saya. Walau tetangga saya rata-rata orang yang berduit, yah paling tidak mereka punya penghasilan tetap, saya sih enjoy aja…” jawabnya mencoba berkelakar.
Aku tersenyum. “Apa mereka tak pernah nanggepin…?” kucoba mengorek lebih jauh lagi.
“Awal-awal dulu sih ada juga. Saya dibilang macam-macam…”
“Macam-macam gimana?” tanyaku lebih penasaran.
“Ya, macam-macam. Yang gak baik semua pokoknya. Gak usah ngomongin itu deh. Ntar saya jadi ingat sama orang yang ngomong…, saya gak pengen timbul dendam. Jadi saya diemin aja… jadi kita ngomong yang lain aja ya, dik .” Pintanya.
“Saya minta maaf…” sesalku.
“Gak papa. Tapi saya kadang jengkel juga sama mereka lho, dik. Sakit hati saya…”
“Terus, terus?” Keingintahuanku bertambah
“Terus saya tetap aja ngojek seperti ini. Toh semua yang mereka tuduhkan tak pernah terbukti, Alhamdulillah sampai sekarang! Saya heran lho, Dik. Kok masyarakat kita ya seperti itu? Suka ngomongin orang, ngegosip yang tidak-tidak, padahal mereka tak pernah tahu atau mencari tahu kebenarannya kaya apa…,“ Dia menghela nafas lagi sebelum melanjutkan, “saya kadang sedih juga kalau ingat hal semacam itu, dik. Anak-anak saya yang jadi korban, Amir sama Mirna…”
“Kenapa dengan mereka?”
“Kasian aja jadi bulanan temen-temennya di sekolah. Padahal kerja ngojek itu kan sesuatu yang dihalalkan toh!?” Aku mengangguk membenarkan. “Tapi syukurlah mereka bisa mengerti sama orangtuanya. Saat ini mereka baru SD, mungkin belum begitu mengerti dengan yang namanya gengsi. Saya juga gak mungkin kerja seperti ini terus. Kalau nanti ada tabungan yang bisa buat modal usaha yang lain, mungkin saya akan ganti profesi lagi. Kerja ginian melelahkan memang, tersengat terik matahari, kulit jadi item, belum lagi kalau penumpangnya yang gak ada. Heeh…, apalagi dulu, sebelum saya punya motor sendiri, saya masih nyewa ama orang buat ngojek. Syukurlah saya sekarang bisa punya motor sendiri walau kreditannya belum lunas…, tapi semua keluhan-keluhan itu lenyap begitu saja kala ingat anak-anak saya…”
“Anak itu memang suatu anugerah yang tak ternilai…” kataku sok berkomentar.
“Iya. Saya merasakan hal yang seperti itu…” tanggapnya menyetujui komentarku.
Perjalanan kami terus berlanjut dan sudah memasuki daerah jalan arah Sultan Adam yang terkadang sambil gedubrak-gedubruk karena jalan yang rusak banyak lubang. Dan terkadang terpaksa aku memeluk erat pinggang orang di depanku itu, takut jatuh. Perjalanan terus berlanjut memasuki daerah Cemara Raya dimana kebisingan mulai berkurang. Kami membisu agak lama.
“Apa tidak takut dengan beberapa kejadian-kejadian seperti yang diberitakan Koran?” Tanyaku lagi mencoba melanjutkan pembicaraan.
“Maksud adik, perampasan sepeda motor oleh penumpangnya?”
“Ya! Bahkan ada yang di bunuh!”
“Alhamdulillah, sampai sekarang gak ada kejadian seperti itu. Lagian saya juga pilih-pilih penumpang, tidak asal comot. Saya cuman narik penumpang cewek saja. He…he…he…”. Tawa renyahnya sayup terdengar. “Kalau yang cowok juga paling-paling anak sekolahan.” Katanya lagi ringan.
Sungguh suatu perjalanan yang begitu berkesan bagiku. Obrolan-obrolan yang hangat dan menyenangkan itu untuk sesaat menghilangkan teriknya pancaran mentari siang yang hampir berada di ubun-ubunku.
Tak lama setelah obrolan itu, deru kendaraan empat tak yang kutumpangi itu pun berhenti di depan kampusku. Kulihat jam sudah bertengger di angka dua lewat tujuh atau sepuluh menitan. Agak telat juga sih, tapi kalau masih di bawah lima belas menit masih bisa di tolerir keterlambatanku.
Kubetulkan terlebih dahulu kerudung abu-abuku yang kusut bekas pakai helm dan akibat terpaan angin tadi sewaktu berkendaraan. Setelah itu kusodorkan uang lembaran sepuluh ribu padanya. Dia pun memberikan kembalian dua ribu lima ratus perak padaku.
“Gak usah. Buat beli permen Amir sama Mirna saja..” Tolakku melangar kesepakatan harga awal. Dia tetap memaksa untuk memberikan kembalian itu. Tapi aku juga tetap bersikeras untuk menolaknya. Hingga akhirnya dia yang mengalah.
Setelah dia mengucapkan terimakasih dan menutup perjumpaan kami yang hangat itu dengan ucapan salam, motor itu pun kembali menderu menyerbu debu Banjarmasin kembali. Mencari penumpang lagi, mencari sesuap nasi lagi. Tiba-tiba aku teringat sesuatu hal yang belum sempat kutanyakan padanya sejak tadi. Namun niat itu sudah terlambat, motor itu telah hilang dari pandanganku. Aku cuman ingin bertanya; nama Ibu itu siapa?!.[]


“kupersembahkan buat wanita perkasa yang telah mengandung dan melahirkanku…”

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-obrolan-di-atas-jok/333007427740

0 komentar: