Cerpen Kayla Untara: Merajut Benang-Benang Siti
“Sudah kujual, Ran…”“Astaghfirullah…! Tapi…,” Suara Rani tercandak tiba-tiba.
Butiran bening seketika merebak membasahi pipi Siti. Setelah malam tadi dia hampir menghabiskan air matanya. Rani ikut menitikkan air mata tak bisa menahan kesedihan yang sama seperti yang dirasakan Siti. Mereka pun akhirnya berpelukan erat, tanpa berkata apa-apa lagi. Hanya isak tangis mereka berdua yang membelah syahdu sentuhan lembut angin sore itu.
Lama mereka saling menumpahkan air mata dengan kebisuan sebelum Rani memecah kebisuan itu. “Tapi kenapa, Ti?! Kenapa?!” Ucapnya sambil mengguncang-guncang tubuh Siti. Seakan Rani ingin marah dan tak percaya dengan pernyataan sahabatnya itu.
Siti menjawabnya dengan isak tangis yang lebih kencang dari sebelumnya.
***
Wajah tirus itu masih memancarkan amarah yang sama seperti tadi. Siti yang tersungkur di samping meja karena tamparan keras yang baru saja diterimanya, berusaha menahan perih. Wanita tua yang saat itu juga berada di sana yang tak lain adalah Mak-nya sendiri tak bisa melakukan apa-apa, karena sebelumnya dia juga menerima hal yang sama, mungkin lebih keras daripada yang dirasakan Siti.
“Anak tak tahu diuntung! Ikut campur urusan orang tua saja!” Bentak laki-laki itu sembari meremas kuat lengan Siti dan mendorong ke arah Mak-nya yang terebah lemah. Aroma minuman keras menyengat menyebar menusuk hidung Siti.
“Kau jangan ngikutin Mak-mu sialan itu! Manusia cacat tak berguna! Sekarang mana duit hasil jualan tadi?! Cepat berikan!” Bentaknya lagi sambil mengacak-acak lemari pakaian usang tempat biasa Mak-nya menaruh tabungan hasil penjualan pisang goreng. Siti dan Mak-nya hanya bisa menangis melihat kejadian itu.
Setelah semua isinya terburai tak karuan lagi dan berserakan dilantai, laki-laki itu akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya, beberapa lembar uang kertas.
“Pak, jangan diambil semuanya…,” cicit Siti sembari menahan isak tangisnya, “itu uang buat makan hari ini, pak. Juga buat beli obat Mak…! Siti mohon, pak. Uang kita cuman segitu…, Mak lagi sakit, pak!” Siti berusaha memohon pada laki-laki berwajah tirus yang tak lain adalah bapaknya sendiri.
Lelaki itu tak peduli dengan ucapan Siti. Walau Siti berusaha merengkuh kaki bapaknya sembari terus memohon. Namun tempelengan lagi yang diterima wajah lembut itu. Lelaki itu kemudian berlalu pergi begitu saja.
“Bapak!!!” Teriak Siti tertahan.
“Sudahlah, Ti. Nanti juga kita dapat uang lagi…” Mak-nya menghibur sambil berusaha bangkit.
“Tapi, bu…?!” Uang darimana?
Mak-nya memaksakan diri menyunggingkan senyum pada anak sulungnya. “Siti jangan nangis lagi ya. Mending bersihin diri sana, cuci muka, ambil wudhu terus sholat. Nanti Ashar-nya lewat lagi…, soal bapak jangan terlalu dipikirkan, biar Mak saja yang memikirkannya…”
“Siti tak bisa berdiam diri saja, bu. Bapak sudah teramat keterlaluan sama kita. Ini sudah yang kesekian kali bapak menghina mak! Apalagi Mak lagi sakit begini…,” air mata Siti tumpah lagi. “Bapak sudah jadi syetan, mak!” Geramnya.
“Hus! Jangan ngomong begitu. Biar bagaimanapun, dia tetap bapakmu, ndok. Sudah sana, cuci mukamu. Kalau sudah sholat, cari adikmu. Nanti dia keluyuran sampai malam lagi…” tegur mak-nya lembut. Walau dia juga ingin berontak atas penghinaan-penghinaan yang acapkali dilontarkan suaminya. Memang kalimat-kalimat hinaan itu terasa amat menyakitkan, dan ucapan Siti benar, laki-laki itu memang sudah kelewatan. Ingin dia berkata, “Aku memang cacat, tapi kenapa dulu kau bilang bisa menerima semua keadaan yang ada padaku? Karena cinta? Sekarang dimana cintamu itu? Dimana?!”. Namun pertanyaan-pertanyaan itu hanya melintas begitu saja dalam hatinya.
Dengan berat hati dan kegeraman yang sama, Siti melangkahkan kaki ke sumur di belakang rumah. “Mak istirahat aja, ya. Siti sholat dulu…”
***
Geliat malam yang teramat pekat dirasakan Siti. Rembulan retak dikelambui awan hitam memvisualkan kepedihan hati Siti. Hawa dingin menyelusup lewat jendela yang menempel di dinding ruangan sempit berukuran 2 x 3 yang disebutnya sebagai kamar itu. Hawa dingin tak terasa, namun tamparan bapaknya sore tadi tetap menyisakan perih di wajahnya, di hatinya. Setelah dia menidurkan adiknya, Hasan, dia selalu senang termenung di dekat jendela sambil memandang langit. Mencoba merajut benang kehidupan yang dirasakannya.
Jarum jam sudah menunjukan hampir pukul sebelas malam. Berarti hampir dua jam lebih dia termenung. Mak-nya mungkin sudah terlelap, pikirnya. Bapak? Ah!, paling lagi asyik mabok dan main judi lagi! Diliriknya si Hasan yang tertidur nyenyak, dia tersenyum dan kemudian buliran-buliran bening kembali membasahi pipinya. Setelah itu aroma kebencian yang menghinggapi pikirannya. Benci teringat bapaknya sendiri, dan benci kenapa harus dia yang menghadapi semua ini. Ingin menyalahkan takdir, yang berarti menyalahkan penciptanya?! Astaghfirullah! Dia segera tersadar oleh hitam pikirannya.
Dipalingkannya kembali pandangan ke arah luar. Pikirannya menerawang kembali pada pagi tadi di sekolah.
“Nak Siti. Bapak tahu bagaimana kondisi ekonomi keluarga Siti, namun hal ini harus kembali bapak ingatkan pada Siti. Karena ini sudah bulan yang ketiga…” ucap lembut lelaki tua beruban dari balik meja.
Entah ini yang kesekian berapa kali dia dipanggil kepala sekolah karena persoalan yang sama. Memang selama ini pak Darto sudah memberikan beberapa kebijakan padanya, bahkan mungkin dialah yang paling diistimewakan daripada yang lain, apalagi masalah SPP yang selalu tertunggak. Terkadang pak Darto memberi uang saku kalau mau pulang. Kebaikan yang mungkin timbul dari rasa iba beliau, tapi bagaimanapun, pak Darto adalah orang yang baik baginya.
Siti tertunduk diam sejenak. “Siti mengerti, pak. Tapi Siti mohon kebijaksanaan bapak lagi. Siti minta waktu seminggu lagi, pak…” kata Siti berusaha menahan kucuran air matanya.
“Nak Siti…,” pak Darto menyodorkan badannya ke depan, “cuman seminggu kan? Kalau seminggu, mungkin bapak masih bisa mengusahakan nanti dalam rapat dewan guru. Karena ini sudah akan memasuki ujian semester, terpaksa bapak mengatakan hal ini…”
“Terimakasih, pak. Siti permisi dulu” kata Siti sedikit lesu.
Siti menghela nafas mengingat hal tersebut sambil bola mata indahnya tetap tertuju ke arah awan pekat. Dicobanya lagi merangkai benang-benang kenyataan hidupnya. Tak lama lagi adiknya harus masuk sekolah dasar, dia mesti melunasi SPP yang tertunggak tiga bulan, Mak-nya harus segera mendapatkan obat untuk penyakitnya, melunasi kontrakan rumah bulan ini dan yang pasti besok mesti makan! Sedang uang satu-satunya yang tersisa sudah dirampas oleh bapaknya sendiri.
Ingin Siti berteriak meluapkan perasaannya. Kenapa dia mesti punya bapak yang tidak memiliki tanggungjawab sedikitpun pada mereka. Dan dia pun mempertanyakan kenapa bapaknya bisa berubah drastis setelah dipecat dari perusahaannya tiga tahun yang lalu. Dan tiga tahun pula neraka itu sudah tercipta! Mabok, judi, dan main perempuan jadi kerjaannya setiap hari. Sedang Mak yang sejak peristiwa itu menggantikan posisi bapak dengan ikut naruh pisang goreng di warung mamanya Rani dan jadi tukang cuci upahan sedang lemah terbaring sakit. Mengingat semua itu membuat semakin perih hati Siti, air matanya pun tumpah lebih deras. Siapa lagi yang jadi pilar menopang keluarga ini? kenapa aku tak bisa menjalani kehidupan normal seperti yang lain? Merasakan hangatnya suasana keluarga seperti dulu? Kenapa?
Sekarung pertanyaan dan kesedihan di hati Siti tersebut, membuatnya terpulas. Nyanyian mahluk malam kadang diselingi desiran angin membawa Siti ke peraduan mimpi. Namun air mata itu tak akan pernah kering sebelum neraka di rumah ini berakhir.
Malam kembali dan tetap menggeliat.
***
GEDUBRAAKK!!!
Suara hempasan pintu yang begitu keras memecah kesunyian dini hari. Beberapa laki-laki dengan wajah menyeramkan menerobos masuk dengan mendobrak pintu yang hanya terganjal sebatang balok kayu kecil. Siti terbangun dari nyenyak tidurnya, juga Hasan. Sang Mak yang terbaring lemah pun terkejut. Siti langsung keluar kamar menuju arah keributan.
“Astaghfirullah!!! Bapak!!!” Hampir roboh Siti melihat kondisi bapaknya. Dua laki-laki tinggi besar menyeret bapaknya dan satu orang lagi yang bertubuh agak kecil menyeringai sinis memandang Siti.
“Ada apa, Siti? Siapa yang datang? Bapakmu mabok lagi ya?” Mak-nya tertatih-tatih melangkah keluar karena salah satu kakinya mengalami kepincangan akibat tabrakan sewaktu kecil dulu. Begitu melihat apa yang terjadi Mak-nya kembali kaget dan juga hampir tak bisa berdiri lagi.
“Ka Siti. Bapak Kenapa?” Hasan yang sudah ikut terbagun menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang sedikit terbuka ikut bertanya.
“Mak….! Siti….!” Rintih bapak menahan memar di wajah dan luka-luka tubuhnya yang sedikit mengering.
Siti langsung menyuruh Hasan masuk ke kamar menyuruhnya tidur dan menutup pintunya. Dia tak ingin Hasan menyaksikan hal-hal seperti ini. Anak itu terlalu dini untuk melihatnya. Setelah itu dia merangkul Mak-nya yang hampir tak sadarkan diri. Walau dia sendiri hampir tak mampu menguasai dirinya sendiri.
“Manusia bangsat ini punya hutang sama saya dan tidak mau membayar!” Kata laki-laki pendek yang mungkin sang Bos dalam komplotan itu memecah kebisuan sesaat yang terjadi. Wajah angkuh yang berdiri sembari menyalakan rokoknya itu tersenyum sinis kembali.
“Apa hubungannya dengan kami?” Siti memberanikan bertanya.
“Ha…ha…ha…, manusia brengsek ini kan bapakmu toh? Kau tanya apa hubungannya?! Ha…ha…ha…” kelakarnya yang disambut derai tawa dua lelaki yang ada disampingnya. Kemudian laki-laki itu mendekati Siti dan Mak-nya.
“Kau tau? Bapakmu ini punya hutang yang besar padaku! Dan kalian harus membayarnya sekarang! Mengerti!” Tegas laki-laki pendek itu lagi sembari menyodorkan selembar kertas daftar hutang bapaknya.
Siti mulai ketakutan, tapi dia berusaha tegar bertahan. “Nanti kami bayar!” Katanya tak kalah lantang walau dia sekilas melihat kalau nilai nominal dari jumlah uang tersebut terlalu mustahil dengan kondisi ekonominya sekarang.
Mendengar kata-kata Siti, gerombolan itu kembali tertawa gelak. Dan dengan tiba-tiba raut mukanya berubah. “Nanti?! Nanti?! Bapakmu sudah beratus kali bilang nanti padaku!”
“Tapi kami belum punya uang saat ini…” Mak-nya berusaha melawan.
“Aah!! Aku tak peduli! Pokonya harus bayar malam ini juga!”
Siti mulai kembali menitikkan air mata yang sejak tadi malam sebenarnya belum reda. Mak-nya juga tak mampu membendung perasaannya. Suara kokok ayam bersahutan mulai terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Dengan sisa keberanian dan kekuatan yang ada, Mak Siti kembali berucap, “Kami saat ini benar-benar tak punya uang serupiah pun! Dengan apa kami akan membayar, sedang rumah ini juga rumah kontrakan!”
Laki-laki itu kemudian mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan ke wajah bapak. “Sepertinya kau punya anak yang manis juga, ya…” ucapnya sembari melirik ke arah Siti.
“Bangsat kau! Cuah!”
“Hah! Beraninya kau meludahiku!”.
Dug! Dug! Plak!
Bapaknya pun terkulai lemas tak sadarkan diri.
“Bapak!!!”
“Bagaimana? Apa kau mau menebus hutang-hutang bapakmu? Maksudku, kau yang jadi penebusnya. Atau ini adalah malam terakhir bagi kalian bisa melihat indahnya malam?! Mau heh!”. Laki-laki itu berusaha memegang dagu Siti, namun Siti menepisnya. Walau Siti tahu kalau sikapnya akan menambah amarah laki-laki itu semakin memuncak, tapi perkiraan Siti meleset. Laki-laki itu malah tertawa diikuti temannya yang lain. “aku suka gadis yang liar!” Bisiknya ke telinga Siti sebelum menyambung tawanya.
Mata siti memerah. “Kami akan bayar!” Siti berdiri.
“Jangan, Ti! Demi Allah jangan kamu lakukan!” Sanggah Mak-nya.
“Bagus! Dimana kita melakukannya? Di sini, di hotel, atau di mana? Terserah kau saja! Ha…ha…ha…!!!”
“Kami akan membayar hutang itu. Berikan alamat bapak, atau bapak yang datang lagi kemari besok malam. Saya akan membayarnya…, dengan uang!” Tegas Siti yang mengejutkan laki-laki itu. Tawanya pun terhenti sesaat.
“Bangsat!” Umpatnya. Lalu sambungnya, “Heh! Sayang sekali, padahal kau akan menemukan dunia yang belum pernah kau rasakan sebelumnya. Tapi…, baik! Aku akan datang lagi besok malam! Ingatlah! Besok malam, tak lebih!” Lalu tiga orang tersebut meninggalkan mereka.
Siti langsung berusaha mombopong bapaknya yang masih belum begitu sadar ke dipan lusuh dan membersihkan luka memar ditubuhnya.
Mak-nya terisak menahan kepiliuan hatinya. Keadaannya yang lumpuh sebelah memaksanya tak bisa berbuat lebih banyak apalagi demam yang saat ini dideritanya. Dia hanya bersyukur laki-laki itu telah gagal mengambil permata hatinya walau masih dengan pertanyaan bagaimana anaknya nanti mendapatakan uang untuk melunasi hutang suaminya. Sempat terlintas untuk bertanya hal itu, tapi melihat rona merah yang tergambar di mata Siti, anaknya, memaksanya untuk membatalkan niat itu. Apalagi dengan rasa pening dikepalanya yang semakin berat rasanya, membuat rasa lelah yang teramat sangat bertambah.
Indah bola mata Siti lenyap bersama tatapan kosong yang tercipta walau kala itu dia membersihkan luka-luka bapaknya, merah, semerah mata itu. Namun pikiran kosong atau entah apa yang ada di otak Siti tak bisa ditebak dengan tatapannya seperti itu. Untuk menebak pun terlalu sulit. Apakah dia memikirkan bagaimana cara memperoleh uang atau apakah bapaknya akan baik-baik saja, atau…., entahlah! Bola mata indah itu telah lenyap!
***
Jalannya agak sempoyongan. Dan tatapan yang sama masih nampak di matanya, namun ada sedikit perubahan. Air matanya tersisa sedikit membasahi di pelupuk setelah keharuan hati dicurahkan pada Rani, sahabatnya.. Jalan aspal berbatu yang dilewatinya membuatnya terkadang hampir jatuh. Dia memaksa langkah kakinya langsung menuju rumah dan berniat memeluk Mak dan adiknya yang mencemaskannya, karena pergi pagi-pagi sekali tanpa pamit. Dan pulang senja hari begini. Dia bermaksud mengabarkan kabar gembira, uang itu sudah di dapatkannya. Tapi niat itu tiba-tiba berubah, perasaan yang tak menentu, rasa benci, rasa bersalah dan entah sejuta rasa yang lain menyelimuti pikirannya. Ia ingin kenyataan ini hanyalah mimpi saja, ya, mimpi saja!
Sesampainya di rumah, dilihatnya Mak memandangnya dengan wajah pucat nan teduh sambil memeluk Hasan, adiknya. Bapaknya duduk di sebelah Mak-nya. Kebisuan tercipta diantara mereka. Mata tajam bapaknya, terarah padanya.
Dengan tatapan yang kosong dan geretak gigi tertahan dan air mata yang tak reda-reda, Siti melempar segepok uang kertas dihadapan bapaknya. “Bayarkan hutang bapak dengan uang ini! Uang hasil dari keringat dan darah anak gadis bapak!”
Kumandang adzan maghrib di kejauhan membelah siluet senja. Para burung pulang sarang. Sedang kelelawar bersileweran mencari mangsa. Di sebuah kamar hotel, di atas ranjang berseprai putih suci, yang baru saja ditinggalkan penyewanya, terlihat setitik noda merah darah. Semerah darah tubuh suci Siti.[]
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-merajut-benang-benang-siti/317167257740
0 komentar: