Cerpen Kayla Untara: Tentang Seorang Teman
“Tak mungkin!” Guntur dari dalam sebuah loket Bus begitu nyaring itu keluar dari mulut orang yang sangat kukenal. Aku pun melangkahkan kaki menuju ke arah suara tersebut, rupanya benar dugaanku, suara itu berasal dari mulut teman sekampungku yang kini bekerja di terminal pal 6, si Indra.Matahari Banjarmasin siang itu menyapu bersih semua yang bisa disentuhnya. Teriknya sudah kurasakan semenjak aku turun dari taksi yang kutumpangi hari itu. Terminal pal 6 yang sesak dengan calon penumpang yang punya tujuan masing-masing seakan menambah suasana di terminal itu semakin panas. Belum lagi para calo yang menawarkan tiket pada para penumpang yang baru datang dengan memaksa, kalau boleh dibilang begitu. Para penjaja minuman dingin dengan bermacam merk, tukang Koran, pengamen, dan para tukang ojek membuat hari itu betul-betul panas, sangat panas. Inilah untuk kesekian kali aku berziarah ke kota ini.
“Sampit, mas? Atau Palangka? Murah kok. Bisa diantar langsung ke tujuan”. Cecer seorang calo sambil mendekap bahuku. Aku Cuma menyunggingkan senyum mendengar tawarannya.
“Mas ini sebenarnya mau ke mana?”. Tanyanya lagi dengan nada yang berbeda. “Eh, mas! Saya nanya baik-baik nggak dijawab” seringainya dengan nada kesal.
“Maaf, mas. Saya nggak ke mana-mana, saya cuman mau ke rumah temen saya, dia tinggal dekat sini…” jawabku sinis.
“Begitu dong, berkicau juga. Saya kira mas ini bisu tadi…” balasnya dengan nada yang tak kalah denganku. Kemudian dia berlalu sambil mengomel dan kembali mengejar sebuah taksi colt yang baru saja tiba. Mungkin cari korban baru lagi, guramangku agak jahat.
Deru mobil bus yang mau bertolak, serta beberapa mobil angkutan kota yang meraung menunggu penumpangnya masing-masing menjadi semacam irama khas tersendiri. Asap hitam tebal yang dimuntahkan knalpot mobil-mobil itu menambah semaraknya aktivitas harian di terminal. Dari sisi-sisi terminal terdengar sayup suara sumbang para pengamen yang berusaha mengais rezki dari para calon penumpang. Tadi pagi aku berangkat dari Kandangan menuju kota ini, sekadar ingin cari suasana baru plus mencari temanku yang menurut khabar di kampung sudah sukses bekerja di terminal ini dan, bahkan, katanya lagi sudah menjadi tangan kanan Bosnya. Kebetulan aku tau alamat dan tempat biasa dia nongkrong, karena sebelumnya julak Ibas pernah bertemu dengannya dan beliau menceritakannya padaku.
Tak salah lagi, suara itu memang dari mulut temanku Indra. Mungkin dengan pakaian serta tas lusuh – teman setiap perjalananku – dia tak mengenaliku, pikirku. Aku pun berniat menegurnya lebih dulu, tapi niat itu buru-buru kuurungkan.
“Bagaimana sih kamu, Ran! Membuat laporan semacam ini saja tak becus, apalagi membuat yang lain. Kamu tau kan, kalau kaka Ibur tak akan senang melihat seperti ini terus setiap hari, kau tentu tak ingin melihat Ka Ibur marah toh…?! Mana mungkin laporan dengan duit yang ada bisa tidak sama jumlahnya, anak SD pun tau hal ini!”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi-tapi, pokoknya laporan ini harus kamu selesaikan sebelum jam 3 nanti. Ingat itu, Ran! Sebelum jam 3! Ini peringatan terakhirku…”
Orang yang habis-habisan dibentak Indra tadi pun berlalu dengan raut muka masam, seperti menyimpan kesal dengan sikap temanku tersebut. Aku masih berdiri terpaku tepat berseberangan dengan loket Bus tersebut. Hebat! Indra sekarang sudah mempunyai bawahan, dengan kata lain sudah jadi Bos, walupun bos kecil, tetap saja namanya bos. Orang yang baru saja dibentaknya tadi bukan seorang pemuda ingusan yang sebaya dengan umurnya atau lebih muda, tapi mungkin hampir seumur dengan julak Ibas. Dia berani memuntahkan kata-kata sekasar itu? Dengan pakaian yang sedikit parlente, pakai sepatu kulit, dan kacamata hitam, menunjukan bahwa dia bukan orang sembarangan di terminal ini.
Benar kata orang-orang, bahwa angin Banjarmasin memang bisa merubah segalanya, termasuk temanku yang satu ini. Indra Rollyanor, teman bermainku waktu kecil dulu sekarang telah menjadi orang yang berpengaruh. Wataknya yang dulu kalem, sekarang begitu kokoh laksana batu karang. Wibawanya begitu besar tadi kulihat. Walau badannya masih kurus seperti dulu, namun ada sesuatu di wajahnya yang membuat dia kelihatan sangar dan berpengaruh. Menjadi tangan kanan Bos, bukan sembarang orang. Paling tidak dia mempunyai kepercayaan dari orang yang memberinya kepercayaanya itu.
Sekarang dia duduk sambil membaca lembaran kertas yang tersusun dalam satu map berwarna merah. Lalu aku pun mencoba mendekatinya.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” sahut seorang penjaja Koran yang kebetulan sedang istirahat sambil menghitung laba dalam loket itu juga. Sedang Indra masih asyik dengan kesibukannya, tak menghiraukan salamku.
“Dra!” sapaku. Indra pun menoleh mendengar namanya dipanggil. “Hei, masih ingat sama teman sekampung? Atau sudah lupa?” ucapku sambil nyengir.
“Bah! Ikam kah, Dan. Umai, kada malihat aku. Kaya apa aku ada ingat lawan kakawalan. Pabila datang?” Selorohnya sambil menyalami tanganku. Rupanya logat Kandangan-nya masih kental, kukira sudah benar-benar terkontaminasi Banjarmasin. Kemudian Indra mengajak duduk.
“Terlalu lama untuk merasakan sengatan matahari siang. Kulihat kau begitu sibuk, jadi aku tak berani mengganggu tadi”. Kataku memulai pembicaraan.
“Oh, yang tadi. Tadi itu namanya amang Misran. Pegawai ka Ibur juga. Buat laporan nggak becus. Sudah berapa kali diberitahu, masih saja salah. Huh!,” lalu ia menyalakan rokoknya sebelum melanjutkan. “Beginilah, Dan, aku sekarang. Dibilang enak, nggak juga. Dibilang gak enak,…... Yah, paling tidak aku bisa hidup di sini.”
“Tapi masih mending, Dra. Kau dengar kan kabar si Bardan. Dia sekarang betul-betul terkontaminasi, Dra… Belum lagi si Ijum, kasian mereka…” ucapku prihatin.
“Iya, Dan. Kudengar si Bardan masuk penjara lagi. Mabuk-mabukan trus mukul orang sama teman mabuknya di depan gang Setuju, Kelayan A. Oh, iya. Kau tentu lelah habis jalan jauh. Kita ke rumah dulu, istirahat sambil makan. Kau belum makan toh?”
Kami pun pergi menuju rumah Indra yang rupanya tak jauh dengan Terminal. Nyatanya kami bisa jalan kaki ke sana. Sebelumnya kami singgah beli nasi bungkus di warung depan gang masuk ke rumah Indra. Kulihat beberapa pemuda yang duduk-duduk di sepanjang gang itu, begitu kami lewat, menyapa Indra dengan panggilan ‘kaka’. Umailah! Sepertinya si Indra sudah sangat terkenal di lingkungan ini, dan aku yakin bukan sekedar terkenal namun salah seorang yang cukup berpengaruh.
Akhirnya kami sampai di sebuah rumah, bukan! Lebih tepatnya bangunan bekas sebuah ruko yang konstruksinya masih dari kayu. Kemudian Indra menggiringku lewat samping rumah menuju sebuah tangga yang menuju ke tingkat dua bangunan itu. aku pun mengikutinya. Rupanya lingkungan ini salah satu dari sekian banyak tempat kumuh yang ada di Banjarmasin.
“Masuk, Dan” Ajaknya. “Inilah rumahku, rumah yang diberikan ka Ibur. Memang agak kumuh tapi aku tidak kepanasan dan kehujanan, iya kan? Ha…ha…ha…” katanya sembari tertawa lebar.
Ruangan yang baru saja kumasuki belum pantas untuk bisa di sebut rumah. Memang ada kasur, kompor, dan tempat air minum besar, serta meja kecil penuh dengan tumpukan-tumpukan kertas. Namun seperti tidak digunakan untuk waktu yang lama. Selain kasur, tak ada yang lain yang lebih rapi dari itu. Beberapa botol bekas minuman keras pun ikut mewarnai dan menambah ‘keindahan’ ruangan pengap itu. Apakah Indra juga sekarang menjadi seorang peminum, seperti si Bardan, si Jamil, Jamberi dan teman sekampungku yang lain yang dipaksa keadaan untuk hal itu atau memang ini menjadi ‘logo’ bahwa ‘saya anak kota’…, entahlah. Tapi Indra, apakah dia juga mengikuti langkah mereka? Huh!
Aku pun mengambil tempat duduk dekat jendela mencoba merasakan belaian lembut angin siang itu. rasa lelah mulai kurasakan, mungkin karena hawa panas ini.
“Eh, Dan”, panggil Indra. Aku menoleh. “Kita makan dulu baru kita bincang-bincang sepuasnya, aku juga lapar banget nih…”. Kami santap nasi bungkus yang kami beli tadi.
“Dra, bagaimana ceritanya kau jadi orang hebat begini?” tanyaku setelah selesai menghabiskan makanan kami. Indra menyalakan rokok untuk yang kesekian kalinya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Ceritanya panjang, Dan. Tapi boleh dibilang keberuntungan berpihak padaku mungkin. Setelah diterima bekerja, eh, langsung jadi tangan kanan Bos. Ha..ha…ha… apa gak namanya beruntung tuh…?!” katanya semangat sambil mengepulkan asap rokoknya.
Memang, pikirku. Yang kutahu dia tidak lama di sini, di Banjarmasin, paling lama enam bulan dan dia hanya lulusan SMA. Tapi apakah waktu yang sesingkat itu bisa merubah keadaan dan watak seseorang. Kata orang, waktu memang bisa menjawab segalanya. Bahkan waktu adalah teman yang paling baik bagi setap orang, karena waktulah yang mempertemukan seseorang dengan yang namanya maut. Indra boleh dikatakan lebih beruntung dari beberapa teman sekampungku yang juga mencoba mengadu nasib ke Banjarmasin.
Indra melanjutkan ceritanya bagaimana dia bisa memperoleh pekerjaannya sekarang ini. Hingga….,
“Jujur saja, Dan. Hatiku sanksi dengan pekerjaanku sekarang ini. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sendiri tak tau apakah uang yang kuperoleh ini halal atau tidak?! Aku tau, halal atau haram itu sudah ada garis merahnya, tapi situasinya saat ini berbeda. Ada yang memaksaku untuk tak melihat garis merah tersebut, Dan. Lagi pula resiko yang kuhadapi di lingkungan seperti ini jauh lebih besar ketimbang di lingkungan lain, maksudku di sini lingkungan preman toh?” katanya dengan tatapan mata kosong.
Pekerjan yang sekarang digeluti temanku ini memang penuh resiko, nyawa sekalipun jadi pertaruhan. Tapi kenapa, Dra? Apakah harus sebesar itu pengorbananmu? Huh! Kenapa… kenapa…?
“Dan”, lanjutnya. “Kumohon kau jangan ceritakan keadaanku sebenarnya di sini. Aku malu, Dan. aku sering kirim surat ke kampung dan bilang kalau aku di sini baik dan menikmati pekerjaanku, tapi pada kenyataannya tak seperti itu. Yang namanya hutang sini, hutang sana, nutup sini, nutup sana jadi lalapku tiap hari. Gajiku bulan tadi aja belum dibayar, sedang untuk hidup sehari di Banjarmasin tak cukup seribu atau dua ribu…,” Indra kembali mengepulkan asap rokoknya. Aku diam mendengarkan keresahan yang dirasakannya.
“Demi menjaga perasaan orangtuaku, Dan, aku rela mengirimkan gajiku ke kampung. Entahlah kalau kau mau bilang ini gengsi atau apalah namanya, yang pasti aku tak ingin mengecewakan mereka, megecewakan orangtua dan adik-adiku. Bulan pertama aku bekerja memang enak, tapi sekarang…..!? Aku sendiri kadang bingung dengan keadaanku ini, Dan.” keluhnya lagi. Kembali rokok dinyalakannya. Sambung puting jar nang tuha. “Dulu aku merasa terpaksa, sangat terpaksa, menemani bos mencari hiburan malam ke dikotik-diskotik, hah! Sekarang aku menikmatinya, ha…ha…ha…. Dan aku mulai menyukai tripping sambil on, ha…ha…ha…” Derai tawa lebar muntah dari mulutnya, tapi aku tau itu bukan tawa, aku yakin bukan, aku yakin…
Panjang lebar kami ngobrol, kadang-kadang diiringi tawa ketika Indra ataupun aku mengaitkan cerita ketika kami masih dikampung dulu, cerita masa kecil di hunjuran Meratus. Teriknya mentari siang itu berangsur luruh oleh keasyikan obrolan kami. Aku yang tadi agak lelah, mulai tak terasa. Dia juga menceritakan tentang berbagai fasilitas yang dia dapatkan dari bos Ibur, yang biasa di panggilnya Kaka Ibur. Tak ketinggalan tentang bosnya itu sendiri, yang ternyata juga orang Kandangan – yang sekarang entah punya ‘isteri’ berapa – namun lama merantau ke mana-mana. Ibur bukan nama asing lagi dikalangan para preman maupun manusia-manusia yang menghabiskan harinya di terminal. Nama itu popular seiring populer ke-jagauan-nya selama berkubang di terminal. Begitulah yang diceritakan Indra.
Tak terasa hampir dua jam kami ngobrol. Ditengah keasyikan kami tiba-tiba ada sesuatu yang berbunyi.
“Treet…….treet……treet…….”
“Ya Hallo. Iya, kamu tunggu di situ, jangan ke mana-mana. Aku sekarang juga ke sana…”. Indra menutup Handphonenya. Handphone itu juga pemberian dari Bosnya. Benar-benar Bos kecil nih orang!. “Dan…” lanjutnya, “maafkan aku. Aku permisi dulu, kau di sini saja, istirahat. Paling lama satu jam aku pergi, bos mencariku. Itu tadi amang Misran yang menelpon. Kalau kau mau tidur, tutup pintunya. Aku pergi dulu. Oke!” candanya sambil melangkahkan kaki turun dari tangga.
Tak lama setelah Indra beranjak pergi, rasa kantuk yang tadi sempat mampir dimataku mulai bercanda lagi. Kucoba rebahkan diri, mataku menerawang ke langit-langit kamar. Mataku liar ke sana-sini. Kulihat arloji butut yang menempel di pergelangan tanganku, jam dua seperempat. Otakku asyik melayang entah ke mana, dan tiba-tiba aku teringat khayalan tentang betapa enaknya hidup di Banjarmasin yang selalu di gembar-gemborkan kawan-kawanku dulu. Tentang mudahnya mendapat pekerjaan dan sebagainya. Aku tersenyum sendiri, mimpi-mimpi yang harus dibeli dengan harga mahal. Sekarang Indra, besok siapa lagi yang di telan kota ini. Kejujuran sudah menjadi pajangan dan dusta berdiri kokoh di singgasana, kepalsuan sudah menjadi berhala, uang di-Tuhan-kan oleh para manusia-manusia serakah, sedang suap sudah dianggap sedekah! Inilah yang dinamakan “Membeli mimpi, menjual harga diri…!”
Udara panas siang itu makin membius, aku pun seperti hanyut bersama belaian lembut angin yang mengalir. Gelitik kantuk semakin menggodaku. Pengapnya ruangan tak kurasakan lagi. Mataku mulai terpejam, sebuah suara menerawang di otakku. “Segala sesuatu itu butuh pengorbanan, bahkan kalau perlu, iman pun dikesampingkan. Itulah kota, Dan!. Penuh dengan ambisi, gengsi dan manipulasi”.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-tentang-seorang-teman/349012062740
0 komentar: