Cerpen Kayla Untara: Meimei
Semilir angin berhembus lembut mencumbu pelepah pohon kelapa yang sedari tadi dipandanginya. Pelepah itu seakan melambai padanya dan mengajaknya untuk bercanda. Hampir seharian dia duduk di sebatang pohon yang rebah akibat peristiwa itu. Menyendiri baginya adalah hal yang biasa bahkan dia menyenanginya, tapi kalau untuk sendiri dia tahu, siapapun tak menginginkan hal itu. Barak yang menampungnya bersama dengan warga yang lain membuat dirinya tak betah berlama-lama di sana. Pengap oleh campuran bau keringat berpadu dengan aroma lainnya menyatu dan semakin membuat dia ingin pergi jauh, tapi kemana?Terlalu lama dia memandangi sekelilingnya, memandangi serakan sisa puing-puing dari runtuhan bangunan yang dihanyutkan oleh air yang belum sempat dibersihkan oleh para sukarelawan. Ia pun teringat bapak, mak, ka Meutia, Edra, serta hari-hari dimana dia menemukan tawa dan canda. Kini dia menemukan sesuatu yang dinamakan sepi. Hidup di pengungsian, di barak, bukanlah suatu pilihan hidupnya. Perasaan takut dan cemas selalu menggurumuti pikirannya. Kemarin ditemukan lagi mayat seorang anak lima tahun dengan kondisi yang sangat tidak pantas untuk diterima oleh seorang manusia yang baru saja melihat dunia, paling tidak itulah yang tergambar di hati Meimei. Melihat kondisi itu semua semakin membesarkan niatnya untuk pulang. Setiap dihadapkan dengan perasaan seperti itu diapun selalu menjawabnya dengan pertanyaan; pulang ke mana?
Detak sang waktu dirasakannya semakin hari semakin lama. Rasa bosan dengan keadaannya sekarang tinggal menunggu puncaknya. Mana bisa dia bertahan di sini, pikirnya, sedang gempa susulan dan ancaman tsunami selalu dimuntahkan oleh mulut orang yang tidak bertanggung jawab seiring dengan beberapa kali gempa susulan, dan dia pun harus kembali berlari-lari bersama yang lain menuju ke arah yang tak tentu. Berusaha mencapai dataran yang lebih tinggi, begitu jawaban dari setiap orang apabila ada yang bertanya. Memang beberapa kali aparat pemerintah selalu mengumumkan dengan lantang lewat pengeras suara bahwa tak ada tsunami lagi dan meminta untuk tenang, bahkan setiap anggotanya, di manapun di setiap sudut kota diperintahkan untuk selalu mengingatkan warga akan hal ini, tapi yang namanya trauma dengan kejadian yang hampir sebulan lalu meluluhlantakkan tanah rencong ini tak bisa begitu saja disembuhkan. Meimei pun tahu bahwa perkiraan para ahli itu juga bisa dibilang dapat dipercaya, tapi apakah Tuhan bisa ditebak? Mau tidak mau dia juga ikut berlari kalau ada sedikit saja getaran.
Bencana itu menorehkan luka yang teramat dalam buatnya, teman-temannya dan seluruh rakyat Indonesia. Tanah yang diberi gelar Serambi Mekkah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan ini seakan tak pernah lepas dari berbagai luka. Pemberontakan yang telah menimbulkan krisis hak asasi kemanusiaan seolah tak ada ujung penghentian. Dan sekarang gelombang ganas yang menyapu bersih kotanya Nangroe Aceh Darussalam, Meulaboh, Lok Ngah, Sumatra Utara, dan kota serta desa yang lainnya menambah penderitaan baru bagi rakyat tanah ini. Karena menurut kabar, kotanya adalah salah satu yang paling parah mengalami kehancuran. Gelombang itu pulalah yang telah merapas secara paksa bapak, ka’ Meutia, Edra, sentuhan lembut mak, rumahnya, teman-temannya, baju putih kesayangan pemberian ka’ Meutia, kakaknya yang perawat di sebuah rumahsakit, dan juga yang telah merampas pergelangan tangannya yang kini tak seperti dulu lagi.
“Gimana kamu bisa jadi perawat, kalau keadaan kamu seperti itu…!”
Kalimat yang seharusnya tidak diharapkannya itu diucapkan oleh seorang anak gadis sebaya dengannya yang tinggal di barak yang sama. Dia menceritakan tentang kakaknya, ka’ Meutia, yang perawat dan keinginannya untuk mengikuti jejak kakaknya itu karena atas dasar kekaguman, namun kata-kata itu malah menambah kesedihannya dan membuat darahnya naik ke kepala. Tapi dia lebih marah kepada gelombang yang telah menghanyutkan dan mencabik-cabik hari-hari indah di tengah kehangatan sebuah keluarga. Walau mak-nya yang saat kejadian berada di pasar sampai saat ini belum ditemukan dan tidak diketahui nasibnya entah bagaimana, terbersit harapan maknya masih hidup, tapi harapan itu sudah dikuburnya dalam-dalam. Pemandangan yang dia lihat setiap hari, orang-orang membawa mayat-mayat berjumlah puluhan bahkan ratusan yang tak dapat dikenali lagi, membuatnya mengubur harapan itu. Ada perasaan ingin menuduh Tuhan tak adil, tapi dia tahu hal itu suatu kesalahan. Setiap dia mengingat hal-hal seperti itu dia akan berteriak sekeras-kerasnya. Dia tak peduli dengan perkataan orang-orang bahwa dia telah gila, mungkin. Yang dia inginkan hanyalah berusaha untuk melupakan semuanya, melupakan pikiran-pikiran yang selalu menggurumuti otaknya.
Usia lima belas tahun bagi seorang Meimei bukanlah seorang yang dapat dikatakan dewasa walau dia dituntut untuk menjadi seperti itu, paling tidak karena alasan kondisi yang memaksanya harus bersikap seperti itu. Namun seorang gadis tetaplah tak mampu membendung air mata yang menetes. Dia sudah berusaha untuk menahan hal itu, tapi tak bisa.
Seorang perempuan yang biasa dipanggilnya mbak Nur datang menghampirinya dan memeluknya. Rupanya dari tadi mbak Nur memperhatikan apa yang dikerjakan oleh Meimei.
“Meimei, gadis manis-manis begini kok nangis? Nanti bapak marah sama Meimei. Kan di rumah Meimei dilarang nangis karena hal yang sepele, karena Allah suka dengan hambaNya yang kuat menghadapi segala cobaan. Nanti kalau bapak disana tahu, Meimei bisa marahi..” Sepele?
Ia berusaha untuk membujuk Meimei. Meimei pun berusaha untuk menahan tangisnya. Selalu saja ia merasa lebih hangat ketika melihat wajah mbak Nur yang dibalut kerudung rapi dan memancarkan kesejukan seorang ibu. Mbak Nur adalah perawat yang bertugas di baraknya. Mugkin lebih tua sedikit dari kakaknya Meutia. Bertugas selama duapuluh empat jam nonstop membuat mata mbak Nur menghitam. Gelap seperti malam-malam yang dilaluinya selama di barak. Gelap seperti ketidak mengertiannya pada situasi dan kondisi yang telah memaksanya untuk kehilangan bapak, mak, ka’ Meutia dan Edra. Dan gelap seperti kebingungannya kenapa dia dan orang-orang mesti terkurung di barak yang pengap. Setelah sebelumnya berlarian menghindari amukan gelombang, berusaha menyelamatkan adiknya, Edra, yang menyebabkan legannya tertimpa runtuhan bangunan hingga terpaksa diamputasi. Tertusuk dingin beberapa hari karena tak ada pakaian ganti dan selimut, kelaparan, dan kengerian melihat begitu banyak mayat bergelimpangan di hadapannya yang bagi gadis seusianya merupakan suatu hal yang sangat mengerikan.
Pada kenyataan yang dihadapinya sekarang, di barak tidak ada bapak, mak, ka Meutia, dan kenakalan Edra. Setiap melihat lambaian daun kelapa mengingatkannya akan kebun di belakang rumah, tempat dia dan mak-nya menikmati buah kelapa petikan bapak. Bapak biasanya melambai kalau sudah nangkring di atas pohon kelapa, dan Meimei pun membalas lambaian itu. Biasanya Edra selalu tertawa kalau buah kelapa itu dijatuhkan bapak, tapi sekarang tawa itu tak ada lagi dan lambaian itu tak dia temukan lagi.
Hari menjelang senja. Bau amis mayat masih tetap tercium yang menandakan masih banyak mayat yang belum ditemukan di balik puing-puing reruntuhan dan tak sempat dimakamkan. Mbak Nur mengajak dan menuntunnya kembali ke barak. Dengan mata yang masih basah dan pikiran tak tentu dan kadang merasakan nyeri di pergelangan tangannya yang belum sembuh benar, Meimei berusaha menyeret kakinya mengikuti ajakan mbak Nur.
“Meimei jangan nangis lagi ya. Kalau Meimei ada yang ingin diceritakan sama mbak, ceritakan saja,” kata mbak Nur sambil mengelus kepala Meimei yang dililit kerudung kusam ditelan sang waktu.
“Meimei juga jangan suka menyendiri, terus teriak-teriak begitu lagi. Kan di barak banyak temen-teman Meimei. Meimei bisa main apa kek. Meimei kenal kan sama Yanti?! dia sering main tebak-tebakan sama mbak kalau ada waktu. Orangnya asyik lho, Mei…”
Meimei tetap membisu sambil sesekali sesenggukan berusaha menahan tangis.
“Meimei tidak lama kok di sini. Nanti kalau semua sudah beres Meimei akan bersama keluarga baru lagi. Tunggu saja ya… Meimei kepengen jadi perawat kaya kaka kan? Nanti Meimei bisa melanjutkan sekolah lagi. Insya Allah Meimei bisa, kalau Meimei punya keinginan yang kuat. Trus bisa menolong orang-orang yang sakit, seperti keinginan Meimei..!”
Meimei tetap membisu. Ia tak tahu harus bicara apa. Entah bagaimana perasaannya. Dan dia juga tak mengerti bagaimana menjelaskan semuanya. Mbak Nur tak tahu apa yang dia rasakan dan inginkan, pikirnya. Tidak seorang pun tahu!
“Mbak, bisa minta obat sakit perutnya? Anak saya mungkin kena gejala diare,” kata seorang ibu gemuk dengan balutan perban di kepala, tangan dan kakinya begitu mereka sudah sampai di barak.
Mbak Nur pun memberikan obat yang kebetulan selalu dikantongnya itu. Pasca bencana ini memang timbul juga kekhawatiran baru. Timbulnya penyakit akibat dari mayat-mayat yang membusuk dan belum sempat terkuburkan. Diare, penyakit yang sering dirasakan pleh beberapa anak balita karena kurangnya gizi dan akibat dari banyaknya mayat yang membusuk, yang membawa kuman penyakit, teronggok begitu saja di setiap sudut jalan serta mengapung di sungai sehingga menyebabkan sulitnya mendapatkan air bersih. Jangankan untuk minum, untuk keperluan mandi dan mencuci pun teramat sulit.
Barak yang ditempati Meimei merupakan barak yang disediakan oleh bantuan dari negara asing. Dan ini merupakan barak utama. Diisi oleh anak-anak seusianya yang kehilangan anggota keluarganya walaupun ada yang masih bersama, namun masih bisa dihitung dengan jari, ibu-ibu yang masih menyusui, dan anak balita, serta wanita yang kehilangan suaminya. Barak inipun seperti rumah sakit darurat. Satu orang dokter dan dua perawat, termasuk mbak Nur, dikerahkan untuk membantu warga yang tinggal di barak ini. Tak ketinggalan pula seorang psikiater dari Prancis yang membantu penanggulangan emosional dan rehabilitasi trauma bencana. Namun kurang begitu efektif akibat kendala bahasa. Di camp ini juga disediakan dapur umum yang dikelola bersama-sama dengan petugas masak yang bergiliran. Dua atau tiga orang laki-laki diberikan tugas untuk menjaga bergantian siang dan malam.
Kumandang adzan dari masjid jami Baiturrahman yang termasuk salah satu bangunan terdekat dengan garis pantai namun tak mengalami kerusakan berarti begitu lantang terdengar walau agak jauh dari barak mereka. Masjid ini pun satu minggu setelah bencana baru bisa dipakai untuk beribadah.
Pekat malam di kota serasa kota mati. Masyarakat pun enggan berjalan-jalan karena naluri manusia sebagai mahlukNya untuk memiliki rasa takut menjadi alasan. Belum lagi mayat-mayat yang membusuk dan menyebarkan aroma menusuk juga menjadikan kengganan itu bertambah. Mereka lebih suka menghabiskan waktu berkumpul dengan warga dan saling bercerita satu sama lain. Meimei pun takut dengan cerita-cerita orang tentang ngerinya suasana jalan-jalan di kota kalau malam hari. Entah hanya isu-isu atau yang lain. Entahlah, pikirnya.
“Mei, makan dulu. Nanti perutnya sakit,” kata mbak Nur sembari menyodorkan nasi dengan lauk pauk seadanya. Mbak Nur lah yang selama di barak ini menjadi orang yang paling perhatian padanya.
“Nanti dingin lho… telur dadar nggak enak kalau udah dingin” katanya lagi
Telur merupakan menu yang paling istimewa di barak ini. Bubur, mie, telur merupakan santapannya setiap hari di barak. Bantuan sering terhambat karena jalan dan alat transportasi yang belum bisa di fungsikan sepenuhnya. Rasa eneg dengan menu yang sama sebenarnya sudah dirasakannya beberapa hari ini, namun Meimei pun tetap melahapnya dengan perasaan seperti sore tadi.
“Nah, gitu dong. Nanti kalau kenyang Meimei pasti tambah cantik. Trus’ ntar jadi perawat tercantik dan idola para dokter di rumahsakit, wah… asyik dong..” canda mbak Nur.
Meimei tetap membisu dan hanya mengernyitkan kening.
“Meimei lagi belum mau bicara ama mbak Nur, ya?” cicit mbak Nur pada Meimei.
Meimei memandang lekat dengan mata bulatnya ke arah mbak Nur yang duduk disampingnya. “Mbak, memangnya dengan tangan Meimei yang seperti ini, Meimei bisa jadi perawat seperti mbak?”
Mbak Nur yang tadi berusaha menghibur Meimei dengan guyonannya terkejut. Lama dia terdiam, kemudian tidak dia sadari matanya mulai basah, namun dia berusaha untuk menahan dan menyembunyikan perasaannya kepada Meimei.
“Meimei, di dunia ini tak ada yang mustahil kalau kita berusaha untuk bersungguh sungguh dalam menggapai sesuatu. Kalau Meimei nanti sekolah, belajar dan berdo’a, Meimei pasti bisa menjadi perawat. Bahkan kalau Meimei ingin jadi Presiden sekalipun itu bukan hal yang mustahil…”
“Tapi, mbak…”
“Mei… Meimei mungkin telah kehilangan abah, mak, ka Meutia, Edra, dan lengan Meimei., tapi Meimei jangan sampai kehilangan semangat untuk meneruskan cita-cita. Mbak yakin, abah, mak, ka Meutia, dan Edra ingin Meimei bersemangat lagi seperti dulu. Meimei tidak ingin membuat mereka sedih kan dengan sikap Meimei seperti ini…?”
Meimei kembali menangis. Dan memeluk mbak Nur erat. Perasaan yang disimpan mbak Nur pun membuncah, matanya berkaca-kaca. Mereka saling berpelukan. Membisu dalam diam.
Pekat malam begitu terasa. Keramaian seakan lenyap, dan berubah menjadi sunyi yang mencekam. Bau anyir, menyebar dan menusuk hidung. Semilir angin menambah keadaan semakin memilukan. Raungan sirine polisi patroli yang berkeliling memecah keheningan malam. Namun sebentar kemudian lenyap kembali oleh kesenyapan. Malam semakin larut.
Di seluruh nusantara bahkan dunia internasional mengucapkan belasungkawa dan memberikan bantuan. Pemerintah pun berusaha untuk mengatasi serta memulihkan keadaaan walau bantuan yang diberikan sering terhambat dengan berbagai macam alasan. Relawan berdatangan silih berganti. Local maupun internasional.
Barak yang gelap dan pengap itu, tetap seperti itu. Siapapun tak menginkan untuk punya gelar baru sebagai pengungsi dan tinggal di barak. Begitu juga Meimei. Kebahagiaan dan cita-citanya serta kasih sayang di tengah keluarga yang dicintainya lenyap bersama arus gelombang dahsyat tsunami di pagi hari tanggal 26 Desember lalu.
“Semua bisa kita raih asal kita berusaha, Mei…” bisik mbak Nur.
Dalam pelukan mbak Nur, di antara tangisan Meimei, hatinya membisikkan sesuatu. Ya Allah, andai ada yang bisa mengembalikan bapak, mak, ka Meutia dan Edra padaku………
Geliat malam semakin lama semakin kelam terasa di barak itu. Roda sang waktu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Entah ini teguran atau cobaan. Kita tak pernah tahu apa maksud semua ini. Meimei mengantupkan mata berharapkan mimpi yang dapat menghibur hatinya. Impiannya hanya tinggal impian, rencana tinggal rencana. Allah yang menentukan apa yang terbaik bagi hambaNya.
Makin lama angin semakin dingin menusuk, bulan semakin redup, kabut luruh membalut.***
“buat temanku Edra di Aceh…”
Sumber:
Serambi Ummah, 2005
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-meimei/294374747740
0 komentar: