Cerpen Kayla Untara: Malaikat di Lampu Merah
Awan mendung menggayut di atas kota Banjarmasin. Namun segala kesibukan dan kepadatan jalan-jalan di Banjarmasin ini tak urung berkurang. Miris juga hati Zul menyaksikan sileweran kendaraan yang bersaing membunyikan klakson, memaksakan egonya sendiri. Tak peduli apakah orang yang di suruh minggir itu punya kepentingan yang sama atau bahkan lebih penting darinya, yang penting mengejar waktuku. Fuh! Suatu horizontalitas yang teramat menyedihkan. Belum lagi betapa kokoh dan angkuhnya hutan-hutan beton berbentuk ruko yang tak mengindahkan terhimpitnya rumah penduduk di antara bangunan mereka. Zul kembali mendecak, tapi bukan decak kagum, eneg! Hampir tiga tahun ia tak lagi melihat lebatnya pohon-pohon kesturi, tarian batang bambu, kericik kali Amandit, dan matahari yang luruh bersama puisi berkeretakan embun pagi nan syahdu. Ia tinggalkan sekeranjang penuh pesona kenangan hanya untuk memasuki sebuah dunia yang diwarnai ketergesaan dan kegosentrisan manusia, manusia yang bergerak mekanik dengan segala belitan birokratisasi, kebengisan dan sejuta tanda tanya.Siang tergayut mendung seperti saat ini, saat di mana orang-orang bersepatu kulit dan berdasi menyeret kaki keluar dari penjara bernama kantor, kesibukan kota Banjarmasin memang teramat padat. Angkutan umum, taksi kota, sepeda motor, becak, pejalan kaki dan mobil-mobil pribadi berseleweran menderu di tengah sibuknya kota. Apalagi di perempatan jalan seperti yang ada di hadapan Zul saat ini. Riuh kendaraan berusaha saling mendahului semakin membuat gaduh. Di tengah kebisingan itu, di warung perempatan jalan itu, Zul asyik menyimak sebuah pembicaraan serius antara dua orang lelaki penikmat kopi warung yang juga sejak tadi memperhatikan para bocah pengamen dan pengemis di bawah lampu merah yang mengais receh demi receh dari kantong para dermawan.
“Betapa beruntungnya kita dengan kehadiran mereka.” Kata lelaki paruh baya berpakaian koko lengkap dengan kopiah haji kepada lawan bicaranya yang berbaju dinas coklat. “Dengan kehadiran mereka kita bisa menambah pahala amal jariah… dan tentu saja memudahkan kita menuju gerbang keabadian, Syurga Allah…”
Agak terkejut lelaki berbaju dinas tersebut mendengar pernyataan seperti itu. Kening tebal dan bibir atas yang diselimuti sedikit rambut seperti rumput jangang itu bergetar. Sedang tatapan tajamnya mendelik ke arah suara. Kemudian di sulutnya rokok kretek dengan geretan importnya. Dan diisapnya dalam-dalam sebelum menanggapi. Dengan berusaha tenang ia bertanya, “Apa maksudmu bisa menambah pahala amaliah?”
“Bukankah dengan kita mengeluarkan receh berarti kita bersedekah? Dan sedekah itu termasuk ibadah toh?!”
“Tapi kita mesti melihat dulu dong siapa yang kita sedekahi!”
“Mereka itu orang miskin, dan siapa tahu mereka juga anak yatim… Bukankah Allah menganjurkan kita harus saling menyayangi sesama manusia, mewajibkan untuk memberi zakat pada golongan-golongan tertentu sebagaimana diberitahukan Allah di Al Qur’an, yang isinya mengatakan; ‘sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah…’(at Taubah: 60). Nah, mereka adalah salah satu dari golongan yang disebutkan ayat itu!”. Kata si lelaki berkopiah dengan perasaan menang.
“Kau yakin mereka miskin?” Tanya si lelaki berbaju dinas itu sedikit sinis.
“Ya. Mereka memang orang yang patut untuk disedekahi. Mereka orang miskin!” Jawab si lelaki berkopiah sedikit menekankan pada kata yang terakhir.
“Darimana kau tahu mereka itu orang miskin?”. Kata si lelaki berbaju dinas membantah.
Agak terkejut juga lelaki berkopiah itu mendengar pertanyaan demikian. Keheranannya muncul tiba-tiba. Apakah dia sudah buta, pikirnya. Atau pura-pura buta untuk mengujinya.
“Mereka meminta-minta, itukan pertanda mereka orang yang tidak mampu. Dengan kata lain mereka itu miskin!” jawabnya lagi menegaskan.
“Ya. Saya tahu mereka itu orang miskin…”
“Lho, kalau sudah tahu, kok tadi masih nanya.”
“Penilaian miskin itu kan dari kamu dan saya?!”
“Maksudmu?”
“Mereka jadi pengemis seperti itu apakah karena memang mereka tidak mampu sama sekali atau alasan yang lain? Itu kan juga jadi sebuah penilaian. Dan apakah memang mereka juga salah satu kunci pintu syurga seperti yang kau kemukakan? Hal itu masih juga perlu dipertanyakan…”
Keterkejutan yang kedua meyergap otak si lelaki berkopiah.
“Maksudmu mereka mengemis hanya karena malas?”.
Lelaki berbaju dinas yang ditanya mengangkat bahunya.
Lalu si lelaki berkopiah itu pun melanjutkan bicaranya, “Kukira, yang namanya sedekah itu tidak perlu melihat dari sisi yang itu. Kita hanya mempunyai kewajiban mengeluarkan sedekah atau zakat apabila kita mampu dan mempunyai kekayaan. Bukankah setiap muslim merindukan bertemu Rasulullah? Dan siapakah yang pertama bertemu dengan beliau di Syurga?! Yang paling panjang tangannya! Seperti Saudah isteri Rasul yang paling suka bersedekah.”
Lelaki berbaju dinas itu mengisap kembali rokok kreteknya dalam-dalam sebelum menanggapi.
“Sedekah memang sangat dianjurkan oleh agama. Apalagi sedekah terhadap fakir miskin, tapi bagaimanapun kita mesti melihat dan mengetahui juga apakah dia benar-benar miskin, menurut agama atau menurut pandangan kita. Kau mungkin lebih tahu miskin menurut agama itu bagaimana”
“Aku tahu. Aku ceritakan suatu hadist dari Abu Hurairah r.a. yang isinya kira-kira begini, katanya ; ada seorang laki-laki berkata saya akan bersedekah kepada seorang pencuri, seorang pelacur dan kepada seorang yang kaya raya. Setelah mengeluarkan sedekah, ternyata si fulan tersebut malah digunjingkan orang dan dikatakan yang tidak-tidak karena sedekahnya itu. Namun suatu malam dia bermimpi dijumpai malaikat yang mengatakan kepadanya; ’sedekah engkau kepada pencuri semoga menyebabkan ia berhenti mencuri. Sedekah engkau kepada pelacur semoga ia berhenti melacur. Sedekah engkau kepada si kaya semoga menyadarkan dan mendorongnya untuk menafkahkan apa yang diberikan Allah kepadanya’. Nah, ini kan sama saja. Andaikata si pengemis itu bukan orang miskin atau dengan kata lain dia hanya manusia yang malas, dengan kita bersedekah selain niat untuk beramal kita juga mengharapkan dia untuk berhenti mengemis dan juga bisa menyadarkannya akan kemalasannya!”. Si lelaki berkopiah itu menyedot kopinya sebentar, “Dan bagi saya mereka adalah malaikat bagi para budak pekerjaan yang waktunya hanya dihabiskan untuk menambah tebal kantong!”
“Tapi yang terjadi bukan seperti itu kan?! Fakta yang ada sekarang malah jauh dari penilaianmu. Mereka malah semakin banyak. Semakin diberi semakin rajin dia mengemis malah ada yang bawa teman segala. Lagi pula yang disebutkan dalam hadist itu sifatnya kita yang aktif memberi, bukan mereka yang meminta-minta. Karena saya juga pernah dengar bahwa tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Walau bukan berarti tangan yang di bawah lebih buruk daripada tangan yang di atas…”.
Sedikit merasa terpojok dengan pernyataan si lelaki berbaju dinas. Lalu dia membetulkan letak kopiah haji yang sebenarnya sudah benar letaknya. “Memberi memang lebih baik daripada yang menerima. Kau benar tentang itu. Tapi, walau bagaimanapun timbulnya komunitas seperti itu tak bisa kita salahkan sepenuhnya pada mereka. Kita Ambil contoh saja, kenapa orang masih saja meminta-minta – kalau tak ingin dikatakan mengemis – di pinggir jalan sekedar untuk membangun masjid? Padahal dalam realitas yang ada, tidak sedikit warga atau masyarakat muslim kita yang punya uang berlebih. Tapi, di mana mereka? Bukankah mereka sendiri yang menciptakan pemandangan-pemandangan ironis seperti itu? Bukankah seharusnya para orang muslim yang kaya itu bisa menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan mesjid tanpa harus meminta-minta di jalan.” Si lelaki berkopiah menghela nafas sebetar sebelum melanjutkan, “Tapi, yah itulah… Mungkin saja ada satu atau dua yang memang mereka meminta-minta karena malas, namun juga tak sedikit toh yang memang benar-benar tak mampu bekerja.”
“Tapi kita membicarakan anak-anak dan perempuan yang saat ini sedang berada di depan kita! Mereka kelihatannya sehat bugar, tak ada masalah dengan anggota tubuh mereka. Mereka kan bisa saja bekerja memotong rumput atau apa saja yang bisa mereka kerjakan untuk mendapatkan uang yang lebih baik. Coba lihat kalau begini, bukankah itu bisa membahayakan kesehatan, jiwa mereka sendiri dan orang lain? Apalagi tak sedikit dari mereka yang meminta uang dengan sedikit kasar kalau tak mau dikatakan memeras. Belum lagi rasa terganggunya pemakai jalan yang terkadang para pengemis itu harus rela menerima makian dan umpatan serta sumpah serapah pada mereka”
“Itu karena mereka tak tahu bahwa yang mereka caci dan maki itu adalah kunci syurga!” belanya pada diri sendiri.
“Tapi mereka itu meminta-minta!” si lelaki berpakaian dinas mengingatkan. “Kau ingatkan Hadist yang diceritakan Zubair bin Awwam r.a. Ketika itu Rasulullah mengatakan bahwa bekerja, walaupun mengeluarkan keringat, darah dan air mata, Allah akan memberi kecukupan bagi keinginannya, dan itulah yang lebih baik daripada meminta-minta kepada orang banyak, diberi ataupun tidak. Bahkan ada kalimat Rasulullah yang lebih tajam mengatakan, siapa yang senantiasa meminta-minta kepada orang banyak, ia akan dibangkitkan nanti di hari kiamat tanpa daging sepotong jua pun! Naudzubillah…!”
Hampir keselek si lelaki berkopiah mendengar kalimat itu.
“Kan sudah kubilang, mereka meminta-minta itu karena keadaan yang memaksa. Keadaan lahiriah yang kelihatannya sehat, bukan berarti itu dapat dijadikan suatu acuan kalau dia benar-benar sehat. Mungkin saja mereka itu memang benar-benar tak mampu. Dan kita tak perlu su’udzon melihat mereka. Apalagi para bocah pengamen itu, mereka bukan mengemis doang. Mereka menjual suara, walau tak layak untuk dijual. Yang penting, kita mau tidak sekedar memberikan seratus atau duaratus perak pada mereka dengan ikhlas tanpa ngedumel yang macam-macam. Dengan begitu keikhlasan niat kita untuk bersedekah terjamin. Yah…, anggaplah kita seperti dakwah bil hal, memberikan contoh bahwasanya menolong seseorang itu tak perlu melihat pribadinya …”
“Permisalan yang kau kemukakan tadi, tampaknya hanya menurut logikamu semata, tanpa didasari pemaparan yang jelas menurut Al Qur’an dan Hadist. Bukankah sebuah pola pikir yang ditilik dari kacamata pribadi atau pola pikir semata tanpa didukung ketentuan obyektif dari syari’at adalah nafsu semata. Yang malah akhirnya menghilangkan niat awal kita. Mengenyampingkan alasan mereka mengemis semisal karena malas, seperti yang kita bicarakan, kurasa itu bukanlah sikap yang bijaksana!”.
“Jadi menurutmu, sedekah yang kita berikan pada mereka, para pengemis dan bocah pengamen itu, sesuatu hal yang keliru?”
“Wallahu a’lam…”. Si lelaki bebaju dinas kembali mengangkat bahunya untuk yang kedua.
“Bagaimanapun, sedekah yang kita berikan pada mereka tetap mempunyai nilainya di hadapan Allah. Bukan begitu?”
“Sekali lagi saya katakan, Wallahu a’lam. Kita, manusia hanya tahu sedikit dari sekian pengetahuan-Nya.”
“Baiklah, kau mungkin akan mendapatkan sesuatu ketika kau menyedekahkan sebagian uangmu pada mereka!”
“Maksudmu?"
“Kamu bisa mencari penjelasannya sendiri.”
“Sendiri? Bagaimana?”
Tiba-tiba satu wanita ‘sehat bugar’ berpakaian kumal dan rambut yang acak-acakan menghampiri warung tempat mereka diskusi. Dia mengatakan sesuatu yang kurang jelas, tapi intinya minta belas kasihan dari orang yang ditemuinya.
Si lelaki berkopiah menatap si pengemis sejenak, sebelum mengalihkan pandangan dan menjawab pertanyaan lawan bicaranya tadi. “Mulailah memberikan uangmu padanya? Kau akan tahu…”
“Kenapa tidak kamu saja yang menjelaskan semuanya padaku?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa? Apakah kamu anggap aku terlalu bodoh?”
“Bukan begitu. Garis pemikiran dan perasaan setiap orang itu berbeda, tidak selalu sama. Kesimpulan saya berbeda dengan kesimpulan Anda. Dan rasa yang akan muncul dari dirimu akan berbeda dengan yang muncul dari diriku”
“Begitukah?”
Si lelaki berkopiah mengangguk pelan. Sedang gerimis mulai membasahi dan mengetuk atap warung yang terbuat dari seng butut. Dan si lelaki berbaju dinas serta temannya yang kelihatannya alim tersebut berlari meninggalkan warung setelah membayar pesanannya tadi. Mereka langsung mengggeber motornya dan berlalu, setelah sebelumnya saling memberikan uang receh pada si pengemis.
Zul ikut terhenyak di akhir pembicaraan dua orang pengunjung warung yang ditutup tanpa upacara itu. Pembicaraan bertemakan para malaikat penunggu lampu merah itu sungguh begitu menyita rasa penasarannya. Namun sangat disayangkan, sebelum sempat ia berkenalan lebih jauh dengan kedua orang itu, mereka sudah beranjak meninggalkan warung membelah gerimis.
Ketika wanita pengemis itu menghampirinya, Zul bertanya dalam hati: apakah sedekah yang akan ia berikan ini akan bernilai dihadapan Allah? Dan mungkinkah wanita ini malaikat yang menuntunnya kelak di akhirat menuju pintu syurga? []
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/malaikat-di-lampu-merah/255573957740
0 komentar: