Cerpen Kayla Untara: Wanita Pajangan

17.54 Zian 0 Comments

Terasa benar keriuhan dan kebisingan di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Terlebih kumpulan para ABG yang besileweran sambil liar melempar pandangan. Malam ini diadakan bazaar dan diskon sampai tujuh puluh persen. Kuperhatikan di salah satu sudut kiri tempatku berdiri, segerombol orang-orang yang mencoba mendapatkan sekedar secarik baju merk import – katanya – sambil berebutan. Rupanya kalimat ‘Diskon 70 %’ yang terpampang cukup menarik perhatian dari para pengunjung.
Kuamati orang-orang yang lalu lalang di Mall ini. Sebagian jelas terlihat dari luar kota, atau dari hulu sungai. Sebagian lagi bule, turis asing atau apalah namanya. Ada anak-anak dan – tak kalah banyak – yang sudah berumur! Semua numplek abis di sana!
Apa yang mereka cari di sini?
Sekedar window shopping?
Lihat konser puting susu? Nonton orkestra batang paha?
Atau memang betul-betul belanja buat oleh-oleh kekasih?

Walau bagaimanapun, setidaknya apa yang mereka rasakan tentu lebih baik dengan apa yang aku rasakan. Hidup mereka lebih ramai dariku. Sedang aku? Aku selamanya terjebak di sini! Terjebak di antara deretan baju-baju, terkurung dalam kungkungan rutinitas yang memaksaku harus memamerkan baju-baju baru setiap harinya.
Hari ini aku diharuskan memakai baju yang ini dan besoknya aku harus memakai baju yang itu, begitu seterusnya. Dan terkadang mereka memegang-megang tubuhku sa-enak’e dewe!. Semua itu kuikhlaskan saja. Mau tidak mau aku mesti demikian, karena tugas brengsek itu yang memaksaku. Kadang terbersit untuk meminta sebuah pilihan yang lain selain sebuah keharusan itu, tapi tak ada pilihan yang lain. Apa yang bisa kulakukan? Toh semuanya hanya sia-sia, karena takdirku memang mengharuskan aku seperti itu, mengharuskanku untuk memamerkan baju-baju baru kepada orang-orang yang mengunjungi Mall ini. Dari pagi buta hingga malam, aku tetap saja berdiri di sini. Di tempat di mana aku sekarang berdiri!
Malam semakin merangkak. Sedikit demi sedikit, waktu menelan kebisingan hingga semakin memudar. Orang-orang mulai beranjak pergi. Namun aku tetap di sini, sendiri.

***

Hidupku tetap – dan akan selalu – di sini. Mengalir begitu saja laksana sungai coklat Martapura, tanpa pretensi sama sekali. Aku sudah teramat bosan, malas, pokoknya bete! Tapi…, apalagi yang mesti kulakukan. Aku tak bisa apa-apa, aku tak mampu melakukan apapun. Karena ‘pemaksaan keharusan’ yang membuatku seperti ini. Walau bagaimanapun aku mesti menyenangi semua keharusan itu, kalau tidak aku akan tersingkir dan berakhir di bak sampah.
Andai saja aku bisa melakukan hal yang lain, punya kemampuan dan keahlian yang lain. Seperti mereka yang bisa berjalan-jalan, shopping, menari, menyanyi, menari, biarpun hanya sehari saja. Uh! Aku pasti akan memanfaatkan waktuku sesempurna mungkin. Aku akan memilih baju yang pas dan sesuai dengan postur tubuhku. Tidak seperti yang kualami setiap hari, dipaksa memakai baju yang kekecilan lah, kebesaran lah! Pokoknya aku akan cari yang paling bagus di antara yang terbagus. Aku pasti menikmati itu semua.
Kutatap lekat diriku. Ah, memang tak salah perasaanku. Posturku memang yang paling bagus daripada para pengunjung Mall ini. Ramping, tinggi semampai, putih, rambut yang tersisir rapi dan tak akan rusak, payudara yang pas dengan ukuran standart, wajah oval mulus tanpa bercak, hidung mancung yang sesuai dengan lekukan merah ranum bibir tipisku, serta kaki jenjang yang indah. Ferfect! Kata itu yang pantas kusandang. Artis di dunia manapun akan merasa iri dengan kesempurnaanku, miss universe sekalipun tak akan sanggup menandingi. Tapi…, dengan semua kesempurnaan itu aku hanya bisa berdiri di salah satu sudut etalase Mall ini. Bertugas memamerkan baju. Betapa sia-sia semua yang kumiliki, percuma saja perfection ini! Uh!
Seharian aku hanya menatapi orang-orang yang sibuk keluyuran dan belanja memilah baju dan celana yang mereka anggap sesuai. Beberapa di antara mereka ada yang menyentuh baju yang saat ini kupakai, kemudian membeli atau kembali menghambur lagi dan bergabung dengan keramaian. Huh! Boring tauk…! Membosankan! Tapi…, kalau tak ada mereka, barangkali hidupku ini akan lebih menyedihkan dan lebih datar lagi. Aku toh tetap harus berdiri sembari menyunggingkan senyum pada mereka. Yah, mereka adalah pembeli, dan pembeli adalah raja. Dan aku mesti melayani mereka, walau hanya dengan senyuman…

***

Hari ini aku menjadi saksi sebuah kenekadan seorang anak sekolahan, seorang gadis! Dari penampilan dan wajahnya, kulihat dia bukanlah anak orang kaya yang biasa keluyuran di Mall, namun juga bukanlah anak miskin apalagi seorang gelandangan yang kesasar. Matanya liar menatap sekelilingnya sambil mengambil sikap waspada. Tangannya menempel pada sebuah kutang dan celana dalam bermerk keluaran terbaru. Seketika dalam hitungan detik, kutang dan celana dalam itu sudah masuk ke dalam celananya yang memang panjang dan kendor.
Aku melihat jelas aksinya itu, sangat jelas. Dia memandangku dengan pandangan aneh, mata kami sempat berpapasan untuk sesaat, sebelum dia menghilang di tengah keramaian. Sebetulnya aku bisa saja berteriak dan memberitahu Satpam. Tapi aku malah diam saja, aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku kaget, hingga tak bisa mengatakan apa-apa, atau…aku memang tak bisa berkata apa-apa?!
Pikiran yang menyiletku itupun menimbulkan amarah tersendiri. Aku kembali menyesali keadaanku, menyesali ketidakberdayaanku, membangkitkan rasa cemburuku terhadap orang-orang yang setiap hari kulihat dengan bebasnya melakukan apapun, bahkan terhadapku! Ingin aku menangisi kenyataan ini, tapi aku tak punya airmata yang bisa kutumpahkan. Bangsat! Bahkan airmatapun aku tak punya!

***

Entah sudah tahun yang ke-berapa aku berada di sini. Aku tak bisa mengingatnya. Aku lupa, karena hariku selalu diisi rutinitas yang membosankan. Hingga akhirnya aku mengambil sikap tak peduli dengan pertanyaan itu. Semua tak berubah dan tak akan berubah. Mungkin hanya pakaian yang kukenakan selalu berganti-ganti sejak aku ditempatkan bos di sudut ini.
Tapi, hari ini ada sebuah nuansa baru dalam kesendirianku. Aku dipindah tempatkan ke sebuah etalase baju import yang baru yang terletak di tengah ruang pamer, tidak di sudut membosankan itu lagi, terkurung di antara bau apek baju yang digantung berjejer. Aku memamerkan baju model terbaru yang saat ini kupakai.
Perasaan bangga tiba-tiba menyelimuti hatiku. Mungkin akulah yang pertama merasakan memakai baju ini, pikirku. Dan aku merasa senang dengan pikiran itu, walau judul lagu dan iramanya masih sama. Memamerkan!
Beberapa anak gadis berumur dua puluhan menghampiriku dan berdecak kagum dengan pakaian yang kukenakan. Wajah mereka cantik, tapi tetap tak secantik aku!
“Ha…ha… kalian hanyalah cantik polesan dan baju yang kalian inginkan ini, akulah yang pertama memakainya!”. Bentakku dalam bahasa diam.
Aku tetap tersenyum. Sesekali mereka menatap mataku, aku juga membalas tatapan itu. Yes! Mereka iri padaku! Mereka iri akan kecantikan dan kesempurnaan tubuhku.
Setelah agak lama melihat, mereka akhirnya saling berbisik.
“Brengsek! Apa kalian sedang membicarakanku?”
Acara bisik-bisik itu semakin rame oleh derai tawa kecil mereka.
“Huh! Kalian pasti iri padaku!”
Kemudian salah satu dari gerombolan gadis itu menyentuh tubuhku.
“Heh! Najis! Ha…ha…ha… kalian iri! Iri…!!! Baju yang kupakai ini hanya sebagai tambahan saja. Tanpa baju inipun aku tetap cantik!”
Hingga akhirnya para gadis itu memesan baju yang sama persis seperti yang kupakai. Mereka berlalu meninggalkanku menuju kasir, tanpa permisi!
“Tak apa-apa! Pergilah babi-babi jalang! Aku tak perlu sopan santun kalian. Ha…ha…ha…”
Seiring umpatanku itu, bibirku (lagi-lagi) tetap saja menghadiahkan senyum yang sama seperti tadi, seperti semalam, seperti pertama kali aku bisa tersenyum.
“Kalian tak akan bisa secantik diriku! Baju itu tak akan menambah kecantikan kalian! Kalian hanya tai kucing! Daging penuh kantong lemak begitu tak akan bisa mengalahkan langsing tubuh sempurnaku! Ha…ha…ha…”
Hingar bingar Mall terasa lenyap oleh tawaku.
Waktu menyeret siang, hingga dingin beradu dengan kepekatan malam. Lampu sudah dipadamkan yang berarti geliat Mall ini terhenti, hingga besok.
Namun aku terus tertawa. Tertawa puas!

***

Selang beberapa hari, aku bertemu lagi dengan gerombolan gadis itu. Dan saat ini mereka menuju ke arahku. Pandangan yang sama ketika pertama kali mereka melihatku tercipta kembali. Mereka asyik mengobrol sembari memegang-megang baju terbaru yang kupakai. Mereka lagi-lagi ketawa-ketiwi sambil berbisik-bisik, tak memperdulikan orang-orang yang juga ingin menikmati keanggunanku dengan baju seksi you can see keluaran terbaru dari Amrik. Kadang tawa renyah mereka lepas begitu saja. Aku tetap tersenyum.
Ingin aku mentertawakan mereka lagi seperti kemaren. Dan menyebut mereka sebagai pelawak paling lucu di dunia karena mencoba memakai baju ketat sementara bundelan lemak yang ada di perut menyembul keluar. Pusar yang ngebujel kaya kutil. Ha! Mau seksi, malah kaya Betty. Mau molek, eh, jadi perek! Ngikut trend? Sadar gitu loh… Ha! Dasar… betet!!!
Pikiran-pikiran itu hanya melintas sesaat. Rasa sombongku pada mereka tak bisa kutunjukan lagi. Dan perasaan yang sering menghantuiku dulu sekarang hadir lagi, iri. Aku iri dengan mereka.
Aku cantik, lebih cantik dari mereka. Aku ramping semampai, tidak seperti ‘karung beras’ yang berada di hadapanku sekarang. Tapi mereka bebas melakukan apapun. Mereka bebas memakai baju yang mereka inginkan dan mereka bebas untuk tertawa seperti saat ini.
Aku?
Aku hanya bisa memamerkan, tapi tak bisa memiliki apa yang kupamerkan. Dan suatu saat aku pasti akan berakhir seperti yang lain, seperti patung pajangan yang lain. Kebahagiaanku tiba-tiba lenyap tadi malam kala bos berkata akan mengganti patung-patung yang ada dengan patung baru yang lebih bagus. Dan itu berarti aku tak akan berdiri di sini lagi.
Kenapa aku seperti ini. Seandainya airmata kumiliki, mungkin akan membasahi seluruh etalase ini. Tapi airmata itu tak akan pernah kumiliki.
Lagi-lagi tatapanku beradu dengan tatapan para gadis itu. Kecemburuanku membuncah. Namun bibirku tetap menyunggingkan senyum yang sama. Ingin aku mengadukan rasa iri itu, tapi kepada siapa? Siapa yang bisa mendengarku?
Rasa iri dan cemburu itu hanya bisa lenyap ketika aku dihadapkan pada kenyataan ketika manusia dipaksa oleh mahluk yang dinamakan mode untuk mengikuti kehendaknya, walaupun hal itu mengerdilkan kodrat serta identitas asli mereka. Dan tentu saja aku akan tersenyum. Karena mereka sama saja denganku. Paling tidak dalam hal ‘pemaksaan yang dinikmati’ mereka itu.
“Ha…ha…ha…!!!” Tawaku kembali pecah, namun tetap dalam bahasa diam.***

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-wanita-pajangan/264219927740

0 komentar: