Cerpen Aliman Syahrani: Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur!

18.54 Zian 0 Comments

KETIKA aku masih kuliah di Banjarmasin, aku tinggal di sebuah rumah kontrakan di bilangan Kayu Tangi. Tepat di seberang rumah yang kutinggali itu juga ada sebuah rumah besar yang dikontrakkan. Saking besarnya rumah itu, oleh pemiliknya sebagian besar kamarnya disewakan juga kepada beberapa mahasiswi dan karyawati serta pasangan-pasangan keluarga kecil.
Dari sekian banyak pengontrak yang tinggal di kamar-kamar rumah itu ada seorang wanita yang sangat menarik perhatianku. Orangnya cantik sekali, murah senyum dan berpenampilan feminim, beutiful. Tapi kecantikan wajahnya yang masya-Allah itu tidak pernah dipertontonkan secara terbuka kepada umum. Dia senantiasa mengenakan jilbab yang menutupi sebagian besar wajahnya yang berkulit putih kuning itu. Dia selalu sembahyang – berbeda dengan kebanyakan wanita-wanita lain yang menyewa kamar-kamar rumah itu – dia tidak pernah menerima tamu pria. Sesekali dia didatangi tamu wanita melulu dan semuanya memakai jilbab. Aku selalu berusaha untuk mengetahui obrolannya dengan teman-temannya. Ternyata mereka hanya berbicara soal agama, soal-soal hidup yang berdasarkan pada ajaran Islam yang murni.

Wanita berjilbab itu benar-benar menyita perhatianku. Wanita itu benar-benar ayu, dan namanya memang Ayu, Ayu Firdausi Rayuladaku. Pernah juga dia bertamu ke ruang depan rumah kontrakanku, berbincang-bincang dengan teman-teman mahasiswiku bila kebetulan mereka sedang berkumpul. Perbincangan mereka pun selalu mengenai soal-soal keagamaan, khususnya mengenai daya upaya wanita supaya menjadi Muslimat yang sejati.
Menurut Ayu Firdausi Rayuladaku dia bekerja sebagai resepsionis sebuah hotel di Banjarmasin, dan tugasnya sehari-hari ialah memberi informasi kepada para tamu mengenai hal-hal yang ditanyakan oleh mereka. Menurut Usi – panggilan akrab wanita berjilbab itu – , pun kepada tamu-tamu itu (yang sebagian tidak beragama Islam), dia selalu secara tersembunyi (tidak terang-terangan) menyampaikan dakwah Islamiyah.
Aku benar-benar mengagumi Ayu Firdausi Rayuladaku, karena pengetahuannya tentang Islam begitu luas dan dalam. Bahkan Usi pernah mengajarkan kepadaku cara yang harus kulakukan, supaya bisa benar-benar menjadi Muslim sejati dalam kehidupan sehari-hari. Muslim sebagai pemuda, Muslim sebagai suami, Muslim sebagai istri, Muslim sebagai orangtua, Muslim sebagai manusia bermasyarakat. Pendek kata, menjadi insan Muslim yang seutuh-utuhnya. Menurut Usi, cara itu sederhana sekali, yaitu dengan senantiasa melaksanakan shalat lima waktu, banyak melakukan sembahyang sunat dan banyak pula melakukan zikir, dan terakhir memperaktikkan semua amaliah-amaliah itu dalam kehidupan sehari-hari.
“Ketaqwaan seseorang itu tidak diukur melalui sikap lahir karena banyaknya sujud dan amaliah kepada Allah saja,” tandas Usi suatu kali, “tetapi sikap ritual peribadatannya itu diaktualisasikan juga ke dalam kehidupan bermasyarakat. Muslim sejati ialah Muslim, yang di dalam dadanya senantiasa bergelora ruh Allah. Apabila kita dapat memanfaatkan ruh Allah itu untuk kepentingan kita, maka kita tidak akan takut kepada siapa dan apa pun dalam kehidupan ini. Dan kita, insya-Allah, akan menerima ridha-Nya dalam segala usaha yang kita laksanakan,” demikian kata wanita Ayu Firdausi Rayuladaku. “Banyak manusia tidak menyadari adanya ruh Allah di dalam dirinya dan oleh karena itu selalu bertindak seperti hewan belaka. Tidak seperti Muslim yang utuh,” cetusnya lagi.
“Manusia itu diberikan tiga perangkat rohani dengan sifat-sifatnya yang khas. Pertama aql atau akal, yang mampu menangkap hal-hal yang tidak dapat ditangkap indera. Kedua qalb atau hati, yang mampu menangkap dan mempertimbangkan dengan sifat-sifat menonjol dalam diri berupa kasih, cinta, ridha, benci dan sebagainya. Dan ketiga adalah nafs atau nafsu, merupakan perangkat rohani yang mampu menimbulkan rangsangan-rangsangan melalui kebutuhan perut dan seksual. Dalam kehidupan sehari-hari, antara ketiga perangkat itu saling berusaha mempengaruhi dan menguasai antara satu terhadap yang lain. Karena sifat dasar dari akal adalah mencari dan mewujudkan keyakinan, hati mencari dan mewujudkan kemantapan dan keharmonisan, sedang nafsu berusaha mencari pengendalian, maka ketiga perangkat rohani itu selalu saling kerja sama dan hal itu harus diusahakan untuk diisi dengan iman dan diarahkan kepada bimbingan melalui kitab suci yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Dengan keimanan yang kuat, kesetiaan kepada bimbingan dan aturan serta menangguhkan peribadatan dan pengejawantahannya maka akan menjadi landasan kuat bagi orang yang meyakini akan adanya ruh Allah dalam dirinya.” Pemaparan Ayu Firdausi panjang lebar dan sangat mendalam.
Aku merasa amat senang bergaul dengan Ayu Firdausi, karena teorinya tentang agama Islam bukan saja luas dan dalam, tetapi benar-benar praktis. Dia bisa menunjukkan jalan yang kongkrit yang bisa ditempuh semua orang dalam melaksanakan bisnisnya sehari-sehari supaya bisa mencapai sukses maksimal. Jalan itu sederhana sekali, yaitu menghidupkan ruh Allah, yang terpendam dalam dada semua manusia. Dan cara menghidupkan ruh Allah itu pun sederhana sekali, yaitu berzikir menyebut nama Allah terus-menerus sampai berpuluh-puluh atau beratus-ratus kali sambil menyerah diri kepada-Nya.

***

PETANG di hari Minggu, terjadi keributan di rumah kontrakan besar itu. Ayu Firdausi terlibat perkelahian sengit dengan Tina, seorang wanita yang bekerja sebagai karyawati kantor POS.
Tina mengguntur keras sambil menuding: “Kamu munafik!” salaknya, “Kamu pura-pura saja sembahyang, pura-pura saja berzikir, pura-pura saja memakai jilbab. Kamu pelacur! Kamu telah merampas pacar saya! Dia mengaku telah menggauli kamu dengan pembayaran lima ratus ribu. Kamu munafik! Munafik…!”
Kulihat Firdausi tidak melawan. Dia tenang-tenang saja memandang Tina, yang makin lama makin gencar meludahkan penghinaan terhadap wanita berjilbab yang bila tersenyum berlesung pipit itu.
Karena melihat Firdausi tetap tenang dan diam saja, maka Tina, yang dibantu tiga wanita lain (teman-temannya karyawati kantor POS juga) mulai menyerang Firdausi dengan cakaran-cakaran tangan. Kulihat Firdausi, mula-mula, mengangkat tinggi kedua belah tangannya. Dia, rupa-rupanya, berdoa kepada Allah. Dan, kemudian, dia mengepalkan tinjunya dan melancarkan serangan balasan tepat menonjok ke mata kiri Tina. Tina pun jatuh terjengkang menimpa lantai dengan keras, dan pingsan. Wanita-wanita itu menjadi panik. Setelah tak bisa berbuat apa-apa karena dikuasai rasa kalut dan kaget, sesaat kemudian aku berhasil melerai mereka dan membawa Firdausi ke ruangan tempat tinggalnya. Sementara Tina yang masih pingsan dirawat oleh teman-temannya sehingga sadar kembali.
Dalam pembicaraan enam mata antara Firdausi, aku dan wanita pemilik rumah kontrakan itu, aku lebih mengagumi Firdausi lagi. Wanita yang selalu memakai jilbab itu, dengan tenang mengakui terus terang tuduhan Tina atas dirinya.
“Saya memang benar pelacur,” cicitnya pahit, “Saya melakukan profesi pelacur dengan suatu niat yang tegas. Saya membutuhkan banyak uang untuk membiayai hidup dan pendidikan anak-anak saya. Saya seorang janda miskin. Anak saya empat orang. Semua sudah bersekolah. Yang tertua SLTP, dua orang duduk di SD, dan seorang lagi masih TK.”
Wanita pemilik rumah dengan blak-blakan mengguntur: “Apa gunanya kamu sembahyang setiap hari, berdakwah, bahkan pakai jilbab segala, jika kamu pelacur? Apakah semua ibadat yang kamu lakukan akan diterima Tuhan, jika kamu saban hari melakukan perbuatan maksiat?”
Setelah menarik napas berat Firdausi menjawab dengan wajah menggerinyut: “Sebagai seorang Muslimat, yang di dadanya berkobar ruh Allah, saya menyadari dosa saya. Tetapi dosa itu saya lakukan dengan tujuan baik. Saya ingin menghidupi dan menyekolahkan anak-anak saya, sampai mereka kelak bisa berdikari dan bisa menjadi Muslim sejati. Untuk kebutuhan itulah saya dengan sadar – sesadar-sadarnya – menjadi pelacur… Setiap hari, setiap malam, saya memohon kepada Allah, agar saya diberi-Nya petunjuk, supaya bisa mencapai tujuan itu tanpa melakukan perbuatan maksiat…”
Pemilik rumah terus mengambil keputusan yang tegas: Firdausi harus segera angkat kaki dari rumah itu secepat mungkin! Firdausi dengan tenang menerima keputusan itu. Tapi aku, yang selalu ragu-ragu dan mudah tergugah dalam segala hal, berusaha mempengaruhi wanita pemilik rumah itu untuk meralat keputusan tersebut.
“Menurut hukum,” decapku takut-takut, “Belum ada bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Ayu Firdausi – maaf – pelacur. Dia dituduh (tanpa bukti) melakukan pelacuran. Dia mengakui terus terang. Tapi pengakuan yang begitu saja, menurut hukum, belum bisa dianggap sebagai bukti yang sah. Dan menurut Hukum Islam, maka untuk membuktikan…”
“Nak Aliman mau membela wanita pelacur itu, ya?” potong pemilik rumah sambil tertawa sinis, “Dia itu munafik. Dia sering sembahyang, berdakwah, selalu pakai jilbab. Tapi dia, menurut pengakuannya sendiri, berprofesi sebagai pelacur. Itu munafik! Bukankah orang-orang munafik, menurut Hukum Islam juga, lebih berat hukumannya ketimbang penjahat-penjahat biasa?”
Ayu Firdausi pun menyetel senyum, ayu. Pada saat itu juga dia mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan rumah itu untuk selamanya. Untuk selama-lamanya?

***

TAHUN kedua di akhir studiku, aku (dengan izin Allah, secara kebetulan sekali – padahal di dunia ini tidak ada kebetulan!) bertemu dengan Ayu Firdausi. Pertemuan itu terjadi di kolam renang sebuah hotel internasional di Surabaya. Dia mengenakan bikini sambil tidur-tiduran di sisi kolam renang itu. Cahaya matahari yang cerlang membasuh tubuhnya yang (maaf) hampir telanjang. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Kedatanganku ke kota Surabaya itu adalah untuk mengikuti sebuah seminar berkaitan dengan pengembangan media massa yang kebetulan dilaksanakan di hotel tersebut. Wanita itu menyapa sambil tersenyum: “Abang sudah lupa ya sama saya? Abang Aliman, bukan? Aliman Syahrani Godainkitadong! Saya adalah Purnama. Dewi Purnama…” cecapnya ceria.
“Dewi Purnama? Rasanya saya belum pernah kenal dengan Dewi Purnama…” akuku setelah mencoba mengingat-ingat namun tidak berhasil.
“O ya, saya lupa. Nama saya yang resmi adalah Ayu Firdausi Rayuladaku. Di tempat ini nama saya Dewi Purnama. Masih ingatkah Abang pada Ayu Firdausi?”
Tentu saja aku ingat. Namun tak urung aku juga terperenyak. “Ya, saya ingat Ayu Firdausi. Tapi dulu kamu selalu pakai jilbab, selalu menutupi wajah dan menutupi seluruh tubuh. Kini kamu berbeda sekali. Kini wajahmu terbuka dan hampir seluruh tubuhmu pun terbuka…”
Dewi Purnama (dia lebih suka dipanggil Dewi Purnama ketimbang Ayu Firdausi) tersenyum. Senyumnya bertambah manis karena lesung pipitnya, bak sekarung gula dalam segelas air! Secara naluriah aku melihat Dewi Purnama cantik sekali dalam bikini yang amat menggiurkan itu. Sebagai seorang laki-laki normal, sesaat timbul suatu getaran perasaan yang begitu kuat mendorong-dorong dari dalam tubuhku, entah pada bagian mana. Sesaat pula berkelebat gambaran-gambaran erotis dalam benakku. Tapi sudah barang tentu aku tidak akan mempunyai keberanian untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya – sekalipun dalam kesempatan seperti itu. Bukankah di sini, di tanah yang kita pijak ini, hanyalah sebagian kecil dari bumi milik Tuhan yang Mahaluas, di mana sopan-santun dan agama mengendalikan tingkah laku manusia. Tapi kenapa gerangan sekarang aku dipanggil “Abang”? Dulu, sewaktu masih sama-sama tinggal di rumah kontrakan di Banjarmasin, aku dianggapnya sebagai “Adik” dan selalu dipanggilnya dengan sebutan “Dik”. Mengapa sekarang “Adik” itu menjadi “Abang”? Akayaaah!!!
Rupanya Dewi Purnama bisa menebak pikiranku. “Saya masih tetap seperti dulu, Bang. Saya masih pelacur. Masih bisa dibeli oleh siapa saja…” mata wanita itu meletikkan kepasrahan.
Aku, entah kenapa, amat mengagumi wanita-wanita yang selalu blak-blakan.
”Berapa tarif kamu sekarang?”
“Dua ratus lima puluh ribu perjam! Jika dipakai selama dua puluh empat jam, tarif itu dipotong sepuluh persen,” kata Purnama sembari mengangkat anak rambutnya yang riap-riap di tepi kening. Dan aku mencium uar harum obat pencuci rambut dari rambut Dewi Purnama yang tergerai diterjang angin dan sesekali menepis ke lehernya yang jenjang.
“Dua ratus lima puluh ribu perjam?” aku terceragak, “Kalau begitu kamu tentu sudah kaya raya sekarang?”
Purnama pun dalam soal harta kekayaan selalu blak-blakan.
“Saya sudah punya rumah sendiri dan sudah punya mobil sendiri. Semua itu adalah hasil profesi saya selama lima tahun,” cucurnya tanpa malu-malu. Dan dia menambahkan, “Bang, saya masih berhutang budi terhadap Abang. Abang dulu membela saya, ketika Tina dan kawan-kawannya menuduh saya sebagai pelacur dan munafik segala. Saya ingin memberi ‘hadiah istemewa’ kepada Abang sebagai tanda terimakasih saya.”
Aku jadi salah tingkah. “Hadiah istemewa? Saya tidak mengerti maksud kamu. Apakah kamu sekarang masih munafik, masih selalu pakai jilbab, masih sembahyang dan berzikir?” pertanyaanku mencucur begitu saja.
“Jika Abang setuju, datanglah nanti sore ke rumah saya. Saya tinggal tidak jauh di pinggiran kota ini. Ini kartu nama saya.” Dewi Purnama bangkit dari rebahnya dan berjalan lebih dekat ke arahku. Kini aku lebih dapat pula menyaksikan keindahan tubuh semampai perempuan itu yang dibungkus baju renang teramat mini dan ketat tanpa bra berwarna pink dengan kaki belalang tanpa alas. Tubuhnya jangkung. Rambutnya lurus bekas direbounding, panjang tergerai hampir sepinggang. Wajahnya sedikit lugu dengan bibir merah jambu yang seolah selalu siap untuk mencumbu. Kulitnya kuning dengan mata sayu syahdu merayu. Umurnya pertengahan tigapuluhan. Perempuan itu berjalan mendekat dengan semua lekuk tubuhnya yang teraksentuasi secara sensual. Uar semerbak kian menusuk hidungku. “Saya telah kenal dengan banyak sekali pria,” kata Dewi Purnama membuyarkan pikiranku, “Tapi saya belum pernah mengundang seorang pun pria ke rumah. Abang, saya anggap sebagai pria yang istemewa bagi saya. Abang tidak boleh menolak undangan ini! Malam ini saya kosong, datang ya, Bang, please…?”

***

RUMAH itu mungil, manis dan amat artistik. Ada taman bunganya yang indah dan ruang tamunya dihiasi dengan perabot yang sangat maskulin. Pigura-pigura di dinding adalah pilihan pengenal seni yang berpengalaman.
Dewi Purnama (yang di rumah memakai nama Ayu Firdausi) memperkenalkan aku kepada semua anak-ananya. Semuanya memakai nama Arab. Safira Salsabila (16) siswi SLTA, Hafi As-Sidqi (14), Latifah Firdausi (13) siswi SLTP dan Dahyatul Qalbi (11) siswa SD.
Semua anak-anak itu simpatik, ramah-ramah dan lancar bergaul. Seolah-olah mereka sudah lama mengenalku. Aku mengucap syukur kepada Allah, anak-anak itu ternyata gemar membaca tulisan-tulisanku di sejumlah media massa yang bertemakan sosial ke-Islam-an, dan rajin mengikuti semua cerpenku dalam “Serial Ipung”.
Pada waktu magrib kami shalat berjamaah di sebuah surau kecil tak jauh dari situ. Tegasnya, aku berjamaah dengan dua anak lelaki. Sebelum berangkat shalat, aku lihat Firdausi dalam mukena putih bersama-sama dua puterinya (juga bermukena putih) menuju ruangan khusus di rumah itu. Mereka berjamaah di rumah secara tersendiri.
Seusai shalat Isya dan sesudah makan malam, Firdausi mengajakku berbincang-bincang di beranda rumah. Anak-anak Firdausi baru saja masuk ke kamar mereka masing-masing. Di luar angin malam berkelahi dengan dingin. Sementara bulan purnama tengah menghunuskan sinarnya yang jelita menyuluh warangka semesta. Sesaat, secarik kabut luruh menderas dari pebukitan pinggir kota mengeliminasi kelam, meniruskan gerimis yang renyai merincik dan mulai berdetas di daun bakung taman bunga.
“Bagaimana kuliahnya, Bang. Pasti sudah selesai bukan?” Ayu Firdausi membuka pembicaraan. “Sudah dapat pekerjaan?” tambahnya.
“Alhamdulilllah, studi saya sudah berakhir dua tahun ini, tapi masih belum dapat pekerjaan tetap. Zaman sekarang mencari pekerjaan tidak gampang. Yaah, seperti yang kamu lihat sekarang inilah kegiatan saya; pontang-panting dari satu kota ke kota lain. Saya masih sebagai penulis freelance seperti dulu. Rencananya sih mau diangkat jadi koresponden tetap di Banjarmasin untuk sebuah majalah dwi mingguan terbitan nasional,” paparku panjang lebar.
“Saya doakan semoga Abang cepat mendapat pekerjaan.” Firdausi berhenti sebentar sebelum melanjutkan kata-katanya, “Begini, Bang. Saya sudah mengambil keputusan,” Firdausi mengalihkan arah pembicaran. “Saya akan menghentikan profesi saya sebagai pelacur. Saya ingin bertobat. Saya benar-benar ingin mengabdikan diri saya seutuhnya kepada Allah Yang Mahakuasa. Tapi…”
“Kenapa masih ada tapinya?” cepat Ipung memburu.
Firdausi menarik nafas panjang dan dalam, matanya menatap nanar. “Saya… saya tidak sanggup melakukan tobat itu seorang diri. Saya membutuhkan seorang pembimbing. Saya membutuhkan suami. Saya membutuhkan seorang pria yang bisa memimpin saya sebagai istri dan bisa pula membimbing anak-anak saya. Mereka semua kebarat-baratan. Saya ingin mereka menjadi Muslim sejati. Saya membutuhkan suami yang bisa menjadi ayah yang baik bagi mereka. Ayah yang mau dan mampu melaksanakan tugasnya sebagi orangtua menurut ajaran Islam yang murni,” tekad Firdausi.
Aku mendesah. “Tidak mudah mencari tipe suami yang seperti itu. Mungkin banyak memang lelaki yang bersedia kawin dengan kamu. Tapi saya pikir sulit sekali menemukan pria yang mampu dan mau menganggap anak-anakmu sebagai anak kandungnya sendiri, bukan sebagai anak tirinya. Pendek kata, pria yang sanggup melaksanakan tugasnya menurut aturan-aturan Islam yang murni…”
“Itulah persoalan saya, Bang. Saya justru ingin meminta bantuan Abang untuk mencarikan suami bagi saya, yang mau menerima keberadaan dan latar belakang kehidupan saya, mau mengerti kepribadian saya, serta mampu bertindak sebagai orangtua seperti layaknya ayah kandung bagi anak-anak saya.”
Aku mengatakan terus terang, bahwa aku tidak sanggup memenuhi permintaannya.
Lama kami terdiam, sebelum Ayu Firdausi berkata, “Saya masih ingin memberikan ‘hadiah istemewa’ kepada Abang,” suara Ayu Firdausi yang sedikit serak memecah sepi malam. “Saya tidak pernah bisa melupakan Abang selama tiga tahun belakangan ini,” ungkap Ayu Firdausi lagi dengan suara perlahan dan sinar mata yang sesekali redup.
Ayu Firdausi dengan lembut mencekau pergelangan tanganku dan menariknya ke dalam rumah. Belum sempat menyadari sepenuhnya apa yang sedang dilalukan Ayu Firdausi pada diriku, aku kini sudah berada di depan pintu kamar pribadi janda cantik itu. Di luar udara malam kian mendirus dan berkelahi dengan sunyi, menampiaskan hawa dingin mencucuk-cucuk. Sementara gerimis terus berdetas di daun bakung.
“Abang adalah pria agung yang saya kagumi,” decap Ayu Firdausi sambil meraih gagang pintu. “Amat baik budi Abang terhadap saya. Abang selalu jujur. Akhlak Abang banar-benar mulia.” Pintu kamar membuka dengan bunyi berkeriut. “Abang adalah Muslim seutuhnya.” Ayu Firdausi makin erat meremas pergelangan tanganku. “Abang adalah lelaki yang saya kagumi.” Aku merasa berada di alam khayal. “Iman Abang begitu kuat.” Aku merasa ada satu bagian pada tubuhku yang mulai kehilangan iman. “Abang adalah lelaki sejati.” Aku merasa satu bagian pada tubuhku itu mulai menegang. “Abang adalah lelaki perkasa.” Nafasku mulai sesak. “Abang adalah…”
Berdua kami kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Tanpa membalikkan tubuh, Ayu Firdausi menutup pintu kamar dengan kaki belalangnya, menendangnya dengan amat perlahan sehingga gaun tidur-tipisnya sedikit tersingkap, memperlihatkan bagian pangkal pahanya sebelah dalam yang putih-mulus-cerlang. “Terimalah hadiah istemewa dari saya ini, Bang,” mohon Ayu Firdausi pasrah. Aku bagai tersihir dan menurut saja apa yang diinginkan Ayu Firdausi dariku. Oleh Ayu Firdausi aku diajak duduk berhadapan di atas ranjang besar dan empuk berseprai putih dalam kamar itu. Sementara itu, uar wangi semerbak memenuhi ruangan, menghadirkan suasana romantis yang menggelitik perasaan. “Terimalah, Bang!” suara Ayu Firdausi mendesah. “Tunggu apalagi, Bang Aliman…” Nafasku kian sesak. Aku serasa mau pingsan. “Ayolah…!”
Udara begitu dingin. Bulan bergeser, dan pucat. Malam pun makin larut, tertatih-tatih dan mengelupas dieliminasi fajar. Tiba-tiba sunyi menyergap bersama kabut. Aku duduk mencangkung di tubir gelap menanti kantuk menjenguk dan menjulurkan lidah untuk menangkap dan menelan kesadaran di dalam perut kelam.
Aku dan Ayu Firdausi untuk beberapa jenak hanya berpandangan diam. Pada kebersitatapan yang panjang itu, aku hanya bungkam dalam kebisuan yang terus merambat. Lewat kebersitatapan itu, aku merasa tubuh kami seolah menyatu dalam detik-detik penuh kehangan yang membara. Udara malam makin membius, kami pun seperti hanyut bersama gerimis dingin yang mengalir.
Sekali lagi tatapan kami bersambaran. Ada getaran yang dahsyat. Teramat dahsyat. Seakan-akan kami tengah berdialog dalam bahasa yang paling rahasia.
Di hadapanku, Ayu Firdausi memposisikan tubuh sintalnya setengah berbaring di atas ranjang, bersandar pada bantal-batal bersarung merah jambu bersulamkan benang-benang beludru berbentuk hati, lambang cinta. Dengan gerakan yang terlatih, Ayu Firdausi mengangkat sebelah kakinya hingga tertekuk. Sebelah lengannya yang lain turut beraksi, menjulur ke depan dan berhenti di atas lututnya. Jari-jari tangannya yang lentik dan runcing bergerak-gerak, memberikan isyarat mengudang. Aku terkesiap. Bagaimana tidak? Waktu Ayu Firdausi mengangkat sebelah kakinya hingga tertekuk tadi, (maaf) batang pahanya yang mulus putih manggadang pisang tersingkap. Jujur saja, aku tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sampai pada usiaku sekarang. Di Banjarmasin, meskipun kaum perempuan masih banyak yang mandi di sungai, namun mereka memakai bahalai, kain basahan yang menutup rapat dari betis hingga ke dada. Yang lebih membuat darahku tersirap adalah sikap Ayu Firdausi yang tidak bereaksi sedikitpun. Seolah-olah terbuka batang pahanya di hadapan lelaki adalah merupakan perkara biasa. Tapi kemudian aku sadar, bukankah profesi Ayu Firdausi selama ini adalah makelar cinta?
Betapa aku terpana menyaksikan kenyaatan dan keindahan yang terpampang di hadapanku malam itu. Bagai mesin kapal yang dihidupkan secara tiba-tiba, naluri kejantananku jadi terbakar, kena setrum yang bertegangan tinggi. Getar biologisku membara, mengaburkan pandanganku. Gelegak nafsu berperang dengan akal sehatku. Dan, di tengah tekanan libido yang membahana itu, tiba-tiba Ayu Firdausi mendesah:
“Cepetan, Bang. Apakah Abang Aliman ini banci?”
Ucapan Ayu Firdausi itu mendorongku untuk segera melakukan apa yang dimaksudkannya. Saat itu akal sehat tak lagi mengomandoi pikiranku. Adegan selanjutnya adalah, aku membuktikan kejantananku agar tidak disebut banci oleh Ayu Firdausi. Aku melakukan apa yang diinginkan oleh janda cantik Ayu Firdausi; menerima dan menikmati sepuas-puasnya “hadiah istemewa” yang dipasrahkan Ayu Firdausi! Akayaaah…
Di luar kamar, gerimis luruh mematuki malam bersama angin yang berdesau memukuli daun bakung. Dan dinding kamar yang bisu menjadi saksi dua hati berpadu dalam kelambu cinta yang bergemeletar menahan malu.
Hadiah istemewa itu adalah: sebuah potret besar berukuran lima puluh kali enam puluh centimeter. Potret diriku, yang dilukis sendiri oleh Ayu Firdausi!

***

BEGITULAH cerita tentang Ayu Firdausi Rayuladaku yang masih kukenang sampai saat ini. Seorang wanita pelacur yang begitu luas teori keislamannya, yang karena tekanan hidup dan berbagai keadaan begitu keras dan intens, terpaksa menggeluti profesi sebagai pelacur. Namun dalam di dalam lubuk hatinya, ia adalah seorang wanita yang bertekad menjadi seorang Muslimah sejati, yang di dadanya selalu bergelora ruh Allah.
Dan ketika aku kembali memperhatikan lukisan pemberian wanita Ayu Firdausi itu lagi di tahun-tahun berikutnya, ternyata ada yang luput dari penilaianku selama ini: Ayu Firdausi ternyata wanita luar biasa. Dia rupanya seniman juga, pelukis yang mengesankan, karena dia paham betul akan seluk-beluk jiwa manusia yang dilukisnya.
Ia bak rembulan yang dengan kejelitaannya membias di malam purnama. Tapi sayang, ia adalah rembulan yang terkulai…

(Bahwa lebih berharga untuk menjadi manusia yang manusiawi
daripada sekadar menjadi wanita
pun untuk sekadar menjadi seorang lelaki)

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/tuhan-izinkan-aku-jadi-pelacur/375666277751

0 komentar: