Cerpen Aliman Syahrani: Marabahan in Love

18.57 Zian 0 Comments

“YEAH!”
Sepagi itu entah sudah berapa kali aku mengumpat. Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI di Marabahan sudah memasuki hari kedua. Seperti sehari sebelumnya, acara kembali terlambat dari jadwal yang sudah ditentukan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit, namun acara belum juga dimulai. “Yeah!” Tanpa sadar mulutku kembali mendesis. Menunggu memang pekerjaan yang paling membosankan!
Sebelum aku memutuskan untuk ikut jadi peserta aruh sastra dari Hulu Sungai Selatan kali ini, sebenarnya banyak pekerjaan yang bisa kuselesaikan selama akhir pekan seperti ini. Malam hari, aku bisa membuat cerpen seperti yang kurindukan ketika sibuk menyelesaikan setumpuk pekerjaan yang selalu memenjaraku. Di waktu akhir pekan seperti inilah kesempatan untuk memupuk hobbyku sebagai penulis cerpen yang sudah kugeluti sejak di bangku SLTA dulu.

Dengan mengikuti kegiatan aruh sastra ini, aku berharap bisa makin membangkitkan motivasiku untuk menulis cerpen. Karena dalam acara yang sudah memasuki tahun ke enam ini akan hadir seluruh sastrawan, penyair, seniman dan budayawan Kalsel, bahkan juga dari sastrawan nasional. Tapi sudah beberapa bulan ini, belum satu cerpen pun yang dapat kurampungkan, apalagi untuk dikirimkan ke majalah atau koran.
Dari teras pendopo Selidah tempatku duduk, kulemparkan pandang ke tengah arus lalu lintas di jalan-jalan kota Marabahan. Di pagi menjelang siang itu suasana kota Marabahan cukup padat. Maklum, pada jam-jam seperti itu, seperti kota-kota kabupaten lainnya di Kalsel, buruh, kuli, pedagang, pegawai, copet, pengemis, pejabat yang ban mobilnya lagi kempes, direktur yang lagi dimarahi istrinya, dosen yang menyamar karena diisyukan “main mata” dengan mahasiswinya, berbaur jadi satu, dengan tujuan yang sama: demi menghidupi anak istrinya atau suami anaknya. Maaf kalau kukatakan ‘anak suaminya’, karena di antara para pengendara mobil dan sepeda motor serta taksi kota yang berseleweran di jalan-jalan kota Marabahan itu, juga banyak wanita yang tidak kalah semangatnya. Emansipasi! Memang kalau kita lihat sepintas lalu emansipasi sungguh mengagumkan. Tapi kalau ditelusuri dengan perasaan kemanusiaan… ah, ironis! Aku jadi heran mengapa kaum Hawa tidak marah kaumnya berbuat seenaknya merusak harkat dan citra emansipasi.
Aku sering mengeluh, “Emansipasi adalah hal yang paling buruk yang pernah dialami oleh wanita!” Setelah hak dan kewajiban mereka hampir sejajar dengan kaum pria, mereka takluk. Nyatalah di sini, bahwa Sunatullah di atas segala-galanya dan tidak bisa diganggu gugat. Kalau merah ya tetap merah, tak ada manusia yang mampu merubahnya. Celakanya mereka tidak sadar. Namun ini bukan emansipasi Kartini, tapi emansipasi kelewat dosis!
“Yeah…,” suaraku kembali memelas.
“Silakan daftar hadir pesertanya diisi dulu,” tiba-tiba sebuah suara lembut hingga di daun telingaku.
Aku menoleh ke arah datangnya suara itu, dan, terlihatlah seraut wajah yang – masya-Allah – membuat degup jantungku jadi kliper-kliper. Darahku menggelegak bagai disedot pompa air Sanyo di rumah kontrakanku di Kandangan, dan nadiku pun berdentum. Wajah itu, milik seorang cewek!
Untuk beberapa jenak aku hanya terceragak. Kulihat cewek itu bersama kawan-kawannya tengah sibuk melayani para peserta lain yang baru datang. Dan wajah itu, wajah yang betapa cantik itu, mengingatkanku kepada… ah!
“Sudah dapat makalahnya?” tanya cewek itu dari seberang meja, membuyarkan lamunanku. Dan tersenyum. Senyumnya bertambah manis karena lesung pipitnya! Oh! Di mataku senyum cewek itu laksana sekarung gula dalam segelas air!
“Be… belum…” rintihku tergagap.
Cewek itu segera mengambilkan sebuah makalah di meja lain dan segera menulurkan ke hadapanku. Saat cewek itu berjalan lebih dekat ke arahku, aku lebih dapat pula menyaksikan keindahan tubuh semampainya. Tubuhnya jangkung. Rambutnya lurus meski tak direbounding, panjang tergerai hampir sepinggang. Wajahnya sedikit lugu dengan bibir merah jambu yang seolah selalu siap untuk mencumbu. Kulitnya putih cerlang dengan mata sayu syahdu merayu. Umurnya pertengahan belasan tahun. Cewek itu berjalan mendekat dengan semua lekuk tubuhnya yang teraksentuasi secara sensual. Uar semerbak kini menusuk hidungku. “Ini makalahnya, kak,” desahnya membuyarkan khayalanku. Kemudian ia mendudukkan dirinya di barisan kursi di sampingku tanpa sikap risih atau sungkan. Kembali aku menyesap bau harum lembut yang menguar dari tubuh gadis itu. Entah kenapa, jantungku makin empot-empotan. Sikapnya itu! Bergitu bersahaja dan tidak tersirat keangkuhan di wajahnya yang…
Huh!
Cewek itu mengenakan blouse sedikit ketat model you can see warna oranye yang dipadukan dengan celana jean denim sebatas lutut warna krem, menampakkan kulit putih-mulus betis belalangnya dengan rambut-rambut halus yang samar. Blouse yang dikenakannya terbuat dari kain sutera lentur dengan coupe-coupe yang lembut, sehingga bagian-bagian tubuhnya yang semampai kelihatan sedikit transparan, membayang bagai silhuet di kala senja luruh menciumi bibir kota Marabahan. Meski bibirnya yang basah merona tidak diberi lipstik dan gerai rambut panjang hitamnya tidak direboanding, tapi mampu mengeksposkan pesona wajahnya yang ber-make-up secara samar-samar. Lebih tampak alami dan eksotik. Lebih cantik dan lebih menarik.
Tuhan, betapa indah ciptaanMu! Tanpa sadar bibirku berbisik. Sambil tersenyum, cewek itu menyerahkan makalah dan daftar hadir peserta kepadaku. Dan, uh! Lagi-lagi, jantungku terus kliper-kliper, memukul-mukul rongga dadaku. Kubujuk jantungku agar mau kompromi, tapi malah keringat menganak sungai. Tetang, tenang, nih ada cewek, kan malu. Setelah kurayu hatiku menjadi sedikit tenang. Kocoba menatap, dan tepat waktu itu dia juga menatap kepadaku, dan tersenyum, byuuurrr…. Mati aku!
“Sekolah atau kuliah?” tanyaku tergagap.
“Tidak, lagi jadi panitia aruh sastra,” jawabnya tanpa emosi.
“Eit, boleh juga nih!” Di samping cantik, pintar ngomong juga rupanya ini cewek. Kupandang sekali lagi wajahnya. “Ah!” Keluhku. Hatiku kembali empot-empotan, kurayu sekali lagi, tenang, tenang! Kuperhatikan mata, hidung, dagu, bibir… dan seluruh wajah cewek itu, aku jadi teringat seseorang.
“Mengapa kau memandangiku seperti itu, baru liat cewek, ya?” dia membentak. Aku tak mempedulikan, aku terus mempelototi wajahnya.
“Ayang!” aku setengah berteriak.
“Siapa dia? Pacarmu?”
Aku tak mau pacaran kecuali sama kamu, pikirku. “Oh, bukan. Keponakanku,” begitu yang terucapkan. “Maaf, tadi aku tidak sadar, soalnya kamu sangat mirip dengannya.”
“Ah, masak. Keponakan atau anak?” jawabnya setengah menggoda. Dan, di bibirnya yang ranum mengambang seualas senyum manis, malah kemanisan seperi iklan pasta gigi.
“Benar, kemenakan,” jawabku masih tergagap. “Lagian pula, mata, hidung, dagu, dan bibirmu, betul-betul serasi dan proporsinya tepat dengan prototif wajahmu,” aku menambahkan.
“Berbakat, berbakat! Tapi kenapa kamu malah jadi peserta aruh sastra? Kenapa tidak ikut jadi juri kontes kecantikan saja?”
“Ada lowongan nggak?” aku memancing.
Tidak ada respon. Cewek itu diam saja. Tapi kulihat wajahnya memerah, mungkin tidak menyangka kalau aku bertanya begitu. Dan menurut buku-buku psikologi yang pernah kubaca, diam berarti ya. Berdesir darahku, berbunga hatiku, copot jantungku. Tapi aku jadi malu sendiri. Coba bayangkan, yang tadinya marah, jengkel dan apriori sama emansipasi, eh, kok sekarang, byuuurrr…
Oh, Tuhan, betapa sempurnyanya Kau ciptakan makhlukMu yang satu ini, hatiku kembali berbisik.
“Ada, tapi syaratnya berat,” cewek itu akhirnya menjawab, meskipun terlambat.
“Kalau boleh aku tahu, apa syaratnya?” Tiba-tiba aku jadi sangat penasaran.
“Nih, dengarkan pakai kuping, ya?”
“Nggak, aku pakai mulut aja,” jawabku tertawa.
“Mau denger nggak?”
“Eh, maaf!”
“Pertama,” lanjut cewek itu serius, “Harus ada Surat Keterangan berkelakuan baik dari kepolisian; tidak pernah terlibat dalam G30S PKI dan Ormas terlarang; surat pernyataan setia setiap saat dan bertanggungjawab, surat keterangan sehat dan tidak buta warna dari dokter spesialis; peminat harus datang sendiri,” cewek itu menjelaskan sambil tersenyum.
“Ini mau jadi juri ratu kecantikan atau jadi TKI sih, kok pakai persyaratan gila begitu?”
“Ia dong! Laki-laki zaman sekarang kalau nggak digituin manja. Sudah saatnya wanita sekarang banting setir, apalagi seorang Muslimah,” cewek itu tersenyum.
“Eh, ah, siapa sih namanya?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Oh ya, lupa. Ani Misrianti. Panggil saja Ani.”
“Nama yang indah. Seindah….”
“Para peserta yang masih berada di luar diharap segera memasuki ruangan,” Taufik Arbain, dosen Fisip Unlam Banjarmasin yang menajdi moderator dialog aruh sastra hari itu memberitahukan bahwa acara segera dimulai.
“Kamu ikut dialog, kan?” tanya cewek itu.
“He-eh.”
“Silakan kamu masuk.”
“Okey,” aku bergegas membereskan berkas-berkas makalah dialog yang barusan diserahkan cewek itu dan bermaksud mohon diri.
“Tunggu! Aku belum kenal nama kamu,” pintanya dengan tersenyum.
“Oh, iya, hampir aku lupa.” Kusebutkan namaku sambil kuulurkan tangan.
“Lho, kalau begitu kamu ini ya yang sering nulis cerpen di koran-koran Kalsel itu?” Dengan sopan ditolaknya uluran tanganku.
“Ah, apa Ani melihat orang seperti aku ini ada potongan jadi penulis cerpen?” jawabku sambil mengangkat bahu.
“Itu lho, yang dalam ‘Serial Ipung’. Saya sering baca.”
“Oh itu, tapi yang ini adalah Ipung yang lagi mabuk kepayang.”
“Ah,” cewek itu tersenyum, maniiiisss.
“Eh, Ani, kamu punya gergaji nggak?” tanyaku dengan wajah serius.
“Hah? Nggak punya tuh.”
“Tapi kalau nomor hp punya kan?”
“Yee…” Cewek itu sebel campur malu.
“Boleh nggak minta nomor hp-nya,” pintaku. Nyaris kutambahkan, “Sudah punya pacar nggak?” Tapi tak terucapkan.
“Aku cuma punya satu, kalau kuberikan ntar habis dong.”
“Ah, yang benar aja, aku lagi serius nih.”
“Mau serius kek, mau dua rius kek, terserah!” cewek itu pura-pura marah.
“Ayo deh An,” pintaku memelas, dengan suara yang kubuat seperti nada putus asa.
“Alah, gitu aja marah. Nih nomonya.” Aku dikasihnya name card cantik. Kubaca kartu nama itu:

Ani Misrianti Cahyanurani Marabahani
Hp: 085651070256
FB: Aniea Missevha

“Thank’s ya! Selamat pa…” Belum sempat selesai aku meneruskan, cewek itu memotong:
“Assalamu’alaikum!”
“Wa… wa… wa’alikumussalam,” jawabku tergagap. Terkagum-kagum aku dibuatnya.

***

MALAM terakhir dari kegiatan Aruh Sastra, setelah Isya, bersama kawan-kawan dari Hulu Sungai Selatan aku berangkat ke panggung Glora untuk menyaksikan pagelaran dramatisasi puisi. Di tempat pagelaran, aku tidak bisa berkonsentrasi penuh menyaksikan pertunjukkan lantaran aku lebih asyik bercakap-cakap dengan Ani. Lebih tepatnya aku terus berusaha menggodanya. Pe-de-ka-te kata anak muda sekarang.
Karena baru saling mengenal sejak tadi siang, agaknya Ani masih risih berbicara banyak denganku. Duduknya pun masih agak jauh, terhalang dua buah kursi denganku. Barangkali pula cewek itu masih menjaga jarak.
“Maaf ya, An, kamu jangan terlalu lama duduk di kursi itu, pindah ke sini aja dekat aku,” aku berusaha mencairkan suasana.
“Lho, emang kenapa, kak?” tanya Ani yang tak ber-”kamu-kau” lagi.
“Takut nanti dikerubung semut, soalnya kamu manis sih.”
Di antara sorot cahaya lampu panggung Gelora yang remang-remang, masih bisa kulihat wajah Ani merah bersemu.
“An, orang tua kamu pengrajin bantal ya?”
“Hah!? Bukan. Emang kenapa, kak?”
“Kok dengan duduk deket sama kamu seperti ini, rasanya aku jadi nyaman deh.”
Meski kali ini tak ada sorot cahaya lampu, dapat kupastikan wajah Ani kembali merona.
Belum satu jam pagelaran di panggung Glora berlangsung, aku berhasil mengajak Ani untuk jalan-jalan menikmati malam kota Marabahan. Kami memilih tempat nongkrong di trotoar siring di tepi sungai Marabahan, memandangi langit malam yang bermandikan cahaya bintang.
Saat kami beridiri mencangkung di trotoar siring sambil berpagangan di pagar besi, angin malam luruh mendirus menerpa tubuh kami, meniruskan hawa dingin yang menggigit. Jemari Ani yang halus bergerak menepiskan anak rambutnya yang riap-riap menutupi keningnya.
“An, kamu jangan pegangan sama besi pagar itu ya,” kataku mengingatkan.
“Emang kenapa, kak?”
“Kayaknya besinya kotor tuh, pegangan sama aku aja!”
Cewek itu bermaksud memukulku, aku sudah siap menerima, tapi diurungkannya.
Kurang lebih setengah jam kami berdiri di trotoar siring. Selanjutnya aku berusaha membujuk Ani untuk makan malam bersama.
“Kulihat semalam ada rumah makan yang baru dibuka dekat jembatan Rumpiang,” kataku berpromosi. “Sepertinya makanannya enak-enak, aku yakin pasti cocok untuk selera kita. Aku bisa pesan semuanya untuk kita kalau kamu mau, An,” ajakkku lagi memberanikan diri.
“Apakah kakak selalu menghambur-hamburkan uang seperti itu?” tanya Ani dengan wajah yang kian sumringah.
“Hanya kalau sedang jatuh cinta,” tembakku.
Cewek itu menunduk. Wajahnya bersemu. Angin malam kota Marabahan kembali menggerus.
Kerena sudah agak larut malam, Ani hanya bersedia untuk makan di warung rombong di sekitar siring. Sambil makan aku terus menggodanya.
“An, kenapa malam ini gelap banget ya?”
“Mendung kali, kak.”
“Kayaknya nggak tuh.”
“Terus kenapa, kak?”
“Soalnya bulannya sedang menerangi dan menemaniku makan di sini!”
Cewek itu kulihat makin jengkel karena terus kugoda, tapi dia tak berdaya. Barangkali juga dia sebenarnya senang karena terus kugoda. Dan sungguh, dalam wajah yang sumringah itu, Ani malah tambah memesona!
“Kamu tau nggak, An, pada malam pertama aku di Marabahan ini, aku melihat ada 1000 bintang di langit.”
“Ah, yang bener?”
“Iya bener, tapi sekarang tinggal 998 bintang.”
“Lho, kok bisa hilang, yang duanya ke mana, kak?”
“Dua bintang yang hilang itu ternyata kini pindah ke dalam bola matamu!”
Pukul sebelas malam kami pulang. Aku kecewa malam itu mesti berakhir.

***

SEPULANG dari siring, aku terperenyak seorang diri di pembaringan. Oleh panitia kami diinapkan di rumah seorang warga di depan SMAN 1 Marabahan. Jam digital di pergelangan kiri tanganku menunjukkan angka satu lebih empat belas menit. Kucoba untuk mengantuk, tapi, ah, wajah itu selalu memburuku. Kupejamkan mata, eh, wajah itu malah tersenyum menantang. Kuhidupkan mp3 di hp, kupilih lagu yang agak keras, Papa Rock in Roll, lagu anyar dari The Dance Company. Mengalunlah lagu itu dengan hentakan-hentakan yang apik, menerjang-nerjang, eh, malah wajah itu berdisko di mataku! Huh!
“Hei, hei!” Dinding sebelah kamarku digedor-gedor. Itu pasti Bagan, teman serombongan kami dari Dewan Kesenian Hulu Sungai Selatan yang ikut dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI di Marabahan tahun ini. Aku segera mengecilkan volume hp.
“Ngapain kamu mukul-mukul dinding, Gan!” bentakku sengit.
“Gila kamu, Aliman!” teriak Bagan tidak kalah sengitnya. “Malam-malam begini nyetel mp3 keras-keras begitu, apalagi lagunya lagu gila!”
Padahal Bagan itu paling getol sama lagu-lagu begituan, tapi siapa yang tidak jengkel larut malam begitu ada orang nyetel mp3 dengan suara meledak-ledak kayak suara para pendemo kasus Bank Century. Di rumah orang lagi!
Aku tertawa hahahihi sebelum mematikan mp3 di hp dengan perasaan mendongkol.
Kembali aku terperenyak, kucoba berbaring sekali lagi. Bismillah tidur! Alhamdulillah aku tertidur dengan lelapnya. Dalam tidur, eh malah mimpi… Sudahlah! Pembaca nggak usah tahu tentang mimpiku itu. Nenek bilang nggak baik diceritakan!
Keesokan harinya kuceritakan tentang pertemuanku dengan cewek itu pada Bagan, dan kuakui terus terang kalau aku naksir berat sama dia.
“Muslim?” tanya Bagan. Maklum Bagan dan aku adalah sama-sama sebagai pengurus Remaja Masjid di lingkungan kami masing-masing di Kandangan.
“Ahai! Kalau yang ini bukan Muslim lagi, kawan, tulen, asli. Pokoknya 100% ditanggung halal!” jawabku sambil tergelak.
“Okey, aku tidak bisa menghalangi. Kamu cukup terdidik untuk memilih cewek mana yang memenuhi syarat. Hanya satu pesanku, jaga nama baik Remaja Masjid. Jangan sampai citranya luntur, karena gara-gara di antara pengurusnya ada yang pacaran,” Bagan mewanti-wanti dengan tenang, tapi kedengaran berwibawa.
“Maksudmu, aku harus pacaran secara islami, begitu?”
“Ya, benar,” jawab Bagan pendek.
Saat itu juga kuambil hp, kupencet tombol-tombol di kepet, kutuliskan pesan. Langsung saja, tidak usah pakai rayuan gombal atau rayuan pulau kelapa, dan kukirimkan ke nomor Ani. Terus terang, saat itu aku belum berani untuk menelepon secara langsung, aku belum siap mendengar suara cewek itu. Lebih-lebih, aku belum siap mendengar apa jawabannya. Kalau pembaca ingin tahu isi sms-ku itu, begini:
“Ani, tak ada yang lebih dirindukan malam selain rembulan. Dan tiba-tiba, aku merasa seperti sepotong malam yang begitu mendambakanmu sebagai rembulan. Relakah engkau, Ani, menerima salam perkenalanku yang aktif menanti harap demi harap akan balasan lewat baris-baris sms tulus dari dasar hatimu?”
Hatiku plong. Tubuhku terasa ringan. Belum pernah aku merasakan perasaan seperti itu. Sengaja pagi itu kulalui sendiri di kamarku, tanpa seekor nyamukpun berusaha mengganggu. Semua terasa begitu tentram dan damai. Setentram dan sedamai inikah hatimu, Ani?

***

SEHARI sepulang dari Marabahan, aku tengah istirahat di ruang kerjaku sambil membuat puisi cinta yang akan ku-tag di facebook Ani.
“Hei, gimana kamu ini, Aliman!” Bagan muncul mengagetkanku.
“Kau, Gan. Duduklah dulu.”
“Kau kalah sahabatku!” Bagan langsung memvonis. “Kamu pacaran kan?” katanya lagi lebih tenang. Kami memang pernah janjian tak akan pernah pacaran.
“Yah, masih dalam taraf permulaan,” aku menyerah.
“Masihkah kau ingat, kawan. Dulu kau berkoak-koak: berantas bid’ah, khurafat dan syirik; perangi kemiskinan, hapuskan kejumudan dan taqlid buta; tanggulangi krisis moral muda-mudi. Tetapi nyatanya kau sendiri, bagaimana?”
“Tapi,” aku berusaha membela diri.
“Kau baca Serambi Ummah?”
“Ya.”
“Kenal dengan Ustad Mahmud Jauhari Ali?”
“Oh, kenal. Bahkan tulisan-tulisan beliau jadi favoritku.”
“Bagus, bagus. Menurut Ustad Mahmud, pacaran bagi kaum Muslimin hukumnya HARAM! Kamu tahu?”
“Pacaran yang bagaimana?” aku mencoba membantah.
“Pandangan pertama halal bagimu. Tapi pandangan selanjutnya haram. Ingat, kalau sampai main mojok-mojokan, yang ketiganya adalah syaitan!” kata Bagan ketus, persis kayak Ustadz Mahmud Jauhari Ali lagi memberikan ceramah.
“Dan, ehm. Berapa kali kamu memandang cewek itu sebelum kamu jatuh cinta?” lanjut Bagan menohok.
Aku terperenyak, bungkam selaksa aksara. Argumentasi yang dikemukakan sahabatku itu memang cukup kuat dan berdasar.
“Lalu, aku harus bagaimana?” aku ditelikung perasaan bimbang. “Sebagai manusia biasa, aku berhak mencintai dan dicintai. Apakah aku mesti mencampakkan rasa cinta itu, sehingga menjadi beban jiwa yang tak tertanggungkan?” kataku memelas.
“Tidak, tidak, sahabatku. Cobalah berpuasa.” Rupanya kasihan juga sahabatku itu melikau aku yang demikian “sekarat”.
“Ya, ya, aku tahu itu. Tapi aku rasa puasa itu hanya untuk mengekang hawa nafsu, bukan untuk mengekang rasa cinta! Tolong ya, Gan, carikan suatu formula bagaima aku bisa pacaran secara islami.”
“Ahai, terus terang saja kawan, aku sendiri juga masih mencari bagaimana pacaran menurut resep Islam. Begini saja, kamu boleh saja pacaran, tapi jangan lupa rambu-rambunya. Tegasnya, berpacaranlah secara islami. Tapi, bagaimana prakteknya aku sungguh tidak tahu…”
Sesudah itu aku kembali terperenyak. Terbayang kembali wajah itu. Terbayang kembali wajah Ani yang selalu bersemu karena terus kugoda. Dan, ah… dalam bayangan itu melintas juga dalam mataku: bagaimana aku kadang-kadang terpaksa menangkap pergelangan tangan Ani karena dia takut terjatuh saat menaiki trotor siring; bagaimana aku terpaksa memegangi bahunya, terpaksa menyangga tubuhnya dengan dadaku, dan, ah… “terpaksa” menikmati wajahnya! Akayaaah…
Tapi kau benar-benar hebat Ani. Coba bayangkan, belum lagi aku mulai, sudah ada orang yang menuntut agar aku memperlakukanmu secara suci.

***

MALAM ini kubuat sebuah puisi yang menggambarkan suasana hatiku:

jika waktu bisa kutikam dengan puisi
mungkin luka ini tak begitu nyeri
karena sungguh berat mendulang mimpi
hanya dengan dua kaki dan satu hati

(siapa yang mesti kubenci
jika dari luka tersembul api)

Aku juga menuliskan sebuah puisi yang kuperuntukkan spesial buat Ani:

kucintai engkau apa adanya
seperti gelombang yang setia menyentuh dermaga
seperti ombak yang selalu berdesau memburu bianglala
laut kepada pantai yang membuatnya jelaga

kucintai engkau apa adanya
seperti siang yang setia mengantarkan senja
seperti malam yang selalu menantikan purnama
hilal kepada bulan yang membuatnya niscaya

Dan pada malam-malam berikutnya, di pembaringan sepi, saat sunyi datang menyergap, aku menjalin percakapan dengan Tuhan:

Tuhan,
Apa yang Kau inginkan dariku?
jika tak Kauijinkan aku memilikinya,
mengapa Kau biarkan aku mencintainya?
mengapa?
Kau dengar aku, Tuhan?![]


(Marabahan – Kandangan, 25 Desember 2009 – 9 Januari 2010)

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/marabahan-in-love/238686272751

0 komentar: