Cerpen Aliman Syahrani: Terlalu Banyak Sandiwara

18.41 Zian 0 Comments

DI sebuah komplek perumahan, seorang tukang kredit menjalankan motornya pelan-pelan sambil berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Ia meminggirkan motornya di depan pintu pagar sebuah rumah ketika melihat seorang ibu keluar dan langsung menanyakan harga barang yang dibawanya.
“Berapa harga ricecookernya, Bang?” tanya si ibu setelah membuka pintu pagar.
Tukang kredit mematikan mesin motornya. “Duaratus lima puluh ribu,” jawabnya tegas. “Bisa dicicil lima puluh ribu tiap bulan. Lima bulan lunas.”
“Alah, Bang,” si ibu mengomel, “di toko, barang kayak gini harganya cuman seratus lima puluh ribu!”
Yang benar, si ibu belum pernah datang ke toko, apalagi melihat dan mengetahui harga ricecooker itu.
“Siapa bilang?” protes tukang kredit agak tersinggung, “saya ngambilnya seharga duaratus ribu dari toko, jadi cuman dapat untung lima puluh ribu. Itu pun setelah dibayar lunas pembeli selama lima bulan.”

Dalam hati, tukang kredit itu berkata, “Di toko Babang Chang sebenarnya aku ambil dengan harga seratus ribu.”
Di kantor instansi sebuah dinas, seorang warga dari kecamatan datang berkunjung. Suasana kantor tampak sepi, hanya ada deretan meja berkursi empuk, tumpukan map, monitor komputer yang dibiarkan menyala dan seorang penjaga yang sedang mengantuk. “Saya mau bertemu dengan Bapak Kepala Dinas,” kata warga dari kecamatan itu memberitahukan maksud kedatangannya. “Apa beliau ada, ya?”
Si penjaga menguap sebelum menjawab. “Sedang dinas luar.”
Padahal, si penjaga tahu bahwa kepala dinasnya lagi mengurusi proyek pribadinya.
Warga kecamatan itu masih berharap. “Kalau pegawai yang lain?” katanya setengah menyelidik.
“Sama, dinas luar semua,” jawab si penjaga berusaha meyakinkan. Setelah itu ia kembali menguap sambil menyumpalkan tangan ke mulut. Sementara tangannya yang lain bergerak menggeser mouse di meja untuk mengklik sebuah icon di layar komputernya. Dalam hati si penjaga merasa kesal melayani warga kecamatan yang dinilainya rewel itu, apalagi kemunculannya di saat ia tengah kalah besar dalam permainan pokernya.
Sebenarnya, baik warga kecamatan maupun si penjaga itu sama-sama sudah tahu, bahwa pada hari-hari dan jam-jam begini semua pegawai di kantor sedang ngobyek. Tetapi, mereka juga sudah terbiasa dengan sama-sama menjadi aktor yang baik dalam melaksanakan perannya sebagai tokoh yang pura-pura tidak tahu. Dan urusan itu pun bereslah.
Tiga hari berselang, kantor seorang Kepala Daerah didemo masyarakat karena sengketa lahan perkebunan sawit. Ribuan masyarakat yang tidak setuju dengan proyek perkebunan sawit yang menggunakan lahan pertanian mereka itu menuntut agar Kepala Daerah beserta wakilnya mau menemui mereka untuk berdialog. Namun sayang, seperti diberitakan media masa, sehari sebelum aksi demo itu digelar, Kepala Daerah sudah bertolak ke Ibu Kota, dalam rangka tugas, kabarnya. Sementara Sang Wakil Kepala Daerah, yang berpenampilan sangat santun dan tampak religius, mendadak sakit perut dan ngeluyur entah ke mana sehingga tidak bisa menemui para pendemo.
Padahal, menurut desas-desus, Kepala Daerah malah sedang ngumpet di rumah salah seorang tokoh masyarakat sekaligus pemuka agama yang selama ini mati-matian memback-upnya. Demikian pula dengan Sang Wakil Kepala Daerah, sambil tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengibuli masyarakat yang medemonya, bersama beberapa orang pengawalnya, malah sedang asyik mengisi perutnya yang katanya sakit dengan makanan siap saji di sebuah rumah makan di pinggir kota.
Apa boleh buat. Para pendemo pulang dengan harapan kosong karena tak sempat menyampaikan aspirasi mereka. Tapi bibir mereka masih sempat tersenyum, karena untuk aksi demo mereka hari itu, mereka sudah mengantongi masing-masing uang sebesar seratus ribu rupiah dari seorang inisiator sekaligus donator demo.
Beberapa hari kemudian, terjadi lagi aksi unjuk rasa di halaman kantor Kepala Daerah. Tapi aksi kali ini merupakan demo tandingan yang dilakukan sekelompok masyarakat untuk mendukung proyek perkebunan sawit yang sedang dilaksanakan Kepala Daerah. Ada lagi perbedaannya, nasib para pendemo kali ini lebih beruntung, bahkan cukup dimanjakan. Mereka tidak hanya mendapatkan uang pembayaran yang lebih besar, tetapi juga disediakan makan siang berupa nasi bungkus oleh partai pendukung Kepala Daerah. Dan yang tak kalah lucunya, mereka yang ikut demo hari itu kebanyakan adalah orang yang sama dengan para pendemo beberapa hari sebelumnya!
“Dari tahun sekian sampai tahun sekian, di daerah ini pasti akan saya bangun pabrik ini dan pabrik itu.” Begitulah angin surga yang selalu dihembuskan Kepala Dearah dalam banyak kesempatan. “Bila sampai pada waktu tersebut tidak terbukti, kencingi kuburan saya!” Itulah janji bernada tantangan dari Kepala Daerah yang selalu diingat-ingat seluruh warga hingga hari ini. Yang pada kenyataannya, angin surga itu memang tak pernah berhembus meskipun sepoi-sepoi. Janji Kepala Daerah itu tak terbukti hingga batas waktu yang telah dijanjikan oleh Kepala Daerah sendiri. Jadi, saat ini warga tinggal menunggu waktu untuk mengencingi kuburan sang Kepala Daerah bila meninggal kelak.
Tidak seperti pada hari-hari biasanya, siang itu seorang suami pulang terlambat dari kantor. Istrinya bertanya dengan nada curiga, “Dari mana, Mas? Kok jam segini baru pulang?”
Sambil melonggarkan ikatan dasi di leher dan melepaskan jas, si suami menjawab, “Ada transaksi di luar kota. Bapak capek sekali nih, Bu.”
Kasihan sekali istrinya, padahal suaminya baru pulang dari café sambil steambath dengan sekretarisnya.
Istrinya membantu melepaskan jas. “Oh, gitu ya, Mas,” kata istrinya berusaha memaklumi. “Ayo, kita makan sama-sama. Sejak pagi sampai menunggu Mas, perut saya belum kemasukan apa-apa.”
Andaikan penjual bakso mendengar, ia akan berteriak, “Sudah makan bakso!” Penjual lontong juga begitu. “Lima biji lontong ditambah sepuluh tusuk sate sudah dilahapnya!” “Satu mangkok mie ayam sudah dibantasnya!” Itu suara penjual mie ayam. Penjual gado-gado, penjual cendol, penjual pentol, penjual empek-empek, penjual batagor, penjual pencok, semuanya akan antri dengan memberikan keterangan yang sama. Pantas saja uang belanja yang diberikan suaminya pas melulu.
Rupanya anak perempuan mereka yang masih kelas satu SMA juga pulang terlambat. Sebelum si anak mematikan mesin motor maticnya, terdengar suara bapaknya bertanya dengan garang, “Darimamna saja kamu? Jam segini baru pulang? Keluyuran, ya?”
Anak itu menjawab manja, “Yeee… ngaco ah Bapak ini,” katanya seraya menyalami tangan ayah dan ibunya dan menciumnya. “Kiky kan anak Papah yang baik. Tadi di sekolah ada ulangan, sukar banget deh, soal-soalnya.”
Lalu bapak dan ibunya tidak peduli, meskipun kalau diteliti rambut anaknya yang direbonding dan dicat dengan warna kuning kemerahan itu tampak awut-awutan, dan ada bau anak lak-laki di bibirnya. Juga, ada setengah lusin bekas cupang di lehernya. Pacaran sambil mengkonsumsi obat-obatan, mojok, boncengan sambil kencan bebas hingga making love dari sekolah adalah trend kebanyakan anak-anak pelajar di kota ini. Kalau bapak dan ibu Kiky tidak percaya, datanglah sekali-sekali ke taman-taman yang rimbun, atau pergokilah di box-bok warnet yang tersekat aman dan buka hingga jauh malam.
Di sebuah pondok pesantren, seorang kiai sedang berbicara dengan seorang utusan dari sebuah majelis pengajian. “Tolonglah, Pak Kiai,” ujar utusan dari pengajian itu setelah mencium bolak-balik tangan Sang Kiai. “Jamaah pengajian kami sudah lama dan sangat berharap agar Pak Kiai bersedia menjadi penceramah.”
Sang Kiai tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Coba saya liat jadwal dulu, ya,” katanya seraya bangkit dan menjumput surat undangan berikut amplop uang pembayaran ceramah yang baru diserahkan si utusan majelis pengajian. “Mudahan-mudahan waktunya tidak tabrakan di tempat lain,” kata Sang Kiai lagi sambil menuju kamar untuk melihat jadwal ceramahnya.
Di dalam kamar, yang pertama-tama dilakukan Sang Kiai bukannya melihat jadwal ceramahnya yang memang cukup padat, tetapi menghitung jumlah uang pembayaran ceramah dalam amplop di tangannya.
“Alhamdulillah,” kata Sang Kiai kepada si utusan setelah keluar dari kamar. “Rupanya pihak panitia masjid yang juga mengundang saya tempo hari itu sudah mendapatkan pengganti saya. Sehingga jadwal saya yang memang berbarengan dengan waktu yang saudara tetapkan bisa dibatalkan.”
Yang benar, Sang Kiai membatalkan kehadirannya di masjid yang mengundangnya itu secara sepihak. Alasannya bukan apa-apa, karena uang pembayarannya lebih sedikit daripada yang diserahkan oleh si utusan majelis pengajian di hadapannya, meskipun undangan di masjid itu sudah lebih dulu ia terima sejak berhari-hari yang lalu.
Dalam perjalanan pulang, si utusan juga tak henti-hentinya mengucap ‘alhamdulilah’ atas kesedian Sang Kiai untuk mengisi ceramah di majelis pengajian mereka. Rasa syukur itu lebih-lebih ia rasakan karena dirinya juga bisa menikmati uang pembayaran ceramah untuk Sang Kiai. Uang dalam amplop itu sudah ia “sunat” hingga ratusan ribu rupiah dari yang seharusnya diterima Sang Kiai.
Jika saja Sang Kiai dan si utusan majelis pengajian mendengar, betapa marahnya Tuhan dan murkanya setan saat itu. Betapa tidak, sudah mengingkari janji dan memakan hak orang lain, tapi masih bisa bilang ‘alhamdulillah!’
“Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudari sekalian. Sebagai warga negara yang baik, kita harus patuh dan tunduk kepada hukum. Salah satunya adalah jujur dan adil dalam mengemban amanah rakyat,” itu adalah pidato seorang bapak pejabat yang disampaikan dengan berapi-api. Semua hadirin mendengarkan dengan saksama sambil mengangguk-anggukan kepala. Setuju. Setuju.
Si bapak pejabat itu kembali berorasi, “Kondisi perekonomian banua kita saat ini sedang terpuruk. Kita harus hidup prihatin. Kita harus memberi contoh hidup sederhana kepada rakyat sebagai bentuk empati.” Para hadirin yang semuanya adalah orang-orang berjas dan berdasi itu bertepuk tangan dengan meriah. Mantap. Mantap.
Maka selesailah ceramah rutin yang dilaksanakan seminggu sekali di gedung mewah bertingkat itu, ditutup dengan hidangan opor ayam, sop buntut, sate kambing, mas goreng, nila bakar, capcai, salad, coca-cola dan dan jus alpukat. Di halaman, terparkir berjejer Fiat, Mercedez, BMW, Volvo, Camry, Land Cruiser, CRV; mobil-mobil mewah keluran terakhir.
Para penjaja rokok ketengan dan pedangan rombong di ujung jalan manggarunum, tetapi ketika orang-orang berjas dan berdasi itu lewat sambil menyapa, mereka membalas dengan menunduk-unduk, dan kalau didatangi berebut mencium tangan sambil membungkuk-bungkuk.
“Dulu, sewaktu jalan masih macet dan rusak, banyak telepon dan sms yang masuk ke handphone saya,” itu adalah orasi seorang calon kepala daerah yang tengah berkampanye. “Tapi sekarang, setelah angkutan batu bara tidak lagi diijinkan lewat dan jalan sudah baik, kok tidak ada lagi yang menelepon atau meng-sms saya?” kata calon kepala daerah itu lagi dengan nada bercanda.
Ketika melanjutkan orasinya kembali, suara calon kepala daerah itu terdengar sangat yakin, “Tapi saya percaya kalau bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian masih ingat dengan saya. Jadi, kalau ingin pembangunan dilanjutkan, bila mau jalan tetap lancar, dukung dan pilihlah saya. Coblos nomor !”
Yang benar, si calon kepala daerah tersebut tidak pernah memberikan nomor handphonenya secara bebas kepada masyarakat, hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki nomor handphonenya. Dan di antara orang-orang itu adalah para pengusaha batu bara di daerah ini, yang sudah diajaknya berkongkalingkong untuk menghentikan sementara angkutan batu bara menggunakan jalan negara selama pencalonannya.
Kenapa sementara? Karena ia juga sudah membuat kesepekatan dengan para pengusaha itu, jika ia terpilih lagi maka persoalan itu akan mereka bicarakan kembali. Tentu, dengan sejumlah konvensasi berupa pemberian setumpuk fulus.
Malamnya ada musyawarah di masjid. Para jamaah dan warga sekitar sedang membicarakan rencana renovasi masjid supaya diperlebar dan tentu saja dipermegah. Akhirnya diputuskan untuk membentuk satu panitia pembangunan yang secara khusus bertugas melaksanakan renovasi masjid. Secara halus dan tersirat banyak para anggota musyawarah yang mengajukan diri bersedia menjadi ketua dan anggota panitia renovasi masjid. Akhirnya terpilihlah seorang ketua dan beberapa orang anggota. Si ketua adalah orang yang paling kaya dan sangat terpandang di lingkungan itu. Selain itu ia juga adalah seorang pejabat yang sangat dihormati. Bubarlah musyawarah malam itu dengan hasil-hasil yang kongkret dan menggembirakan.
Giliran ada tarikan sumbangan buat renovasi masjid, alangkah bakhilnya ketua dan anggota-anggota panitia pembangunan masjid itu. Jamaah dan warga kurang mampu di lingkungan itu berduyun-duyun datang menyumbang, sementara para anggota panitai pembangunan, terutama si ketua, hanya sibuk berkoar-koar, berceramah dari mimbar ke mimbar untuk memproklamirkan betapa besarnya pahala yang akan diterima para penyumbang itu dari Tuhan, tanpa ia sendiri pernah memberikan sumbangan.
Tak berapa lama, renovasi masjid selesai. Kini berdirilah masjid itu dengan begitu megahnya. Ketua panita pembangunan masjid bediri di mimbar dengan bangga dalam acara peresmian yang dihadiri oleh para pejabat dan warga kota. “Wahai saudara-saudara sekalian, berkat keikhlasan dan kerja keras kita semua, maka terwujudlah cita-cita kita bersama memiliki masjid yang besar dan megah ini.”
Jamaah dan hadirin mengangguk-angguk sambil mengucapkan “alhamdulillah”.
“Semoga masjid ini dapat menjadi sarana untuk makin berkambangnya syiar agama di lingkungan kita. Dan semoga Tuhan memberikan balasan yang berlipat ganda atas amal baik dan pengorbanan ikhlas kita semua.”
“Amien…” ucap para jamaah dan hadirin secara serentak. Besoknya, di koran-koran terbitan provinsi, foto Bapak Pejabat Ketua Pembangunan Masjid itu dimuat dengan gagahnya di halaman depan. Sementara para jamaah hanya tampak kepalanya samar-samar dan kecil-kecil.
Alangkah meratanya sandiwara di antara kita selama ini. Pelakunya pun dari berbagai kalangan dan status, termasuk yang membaca dan yang membuat cerita ini. []

Kandangan, 30 April – 27 Mei 2010

Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 26 Juni 2010
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/terlalu-banyak-sandiwara/405751277751

0 komentar: