Cerpen Aliman Syahrani: Bekas Pacar

18.48 Zian 0 Comments

IA mengenakan kerudung warna biru malam dan baju jubah panjang hampir menyapu tanah, juga berkaos kaki. Perempuan itu kelihatan cantik sekali dalam padanan busana yang rapat menutup seluruh tubuhnya yang semampai dan tampak berisi, meskipun wajahnya tanpa olesan kosmetik sedikitpun.
“Lagi menjemput ya?” tanyaku sesopan mungkin.
“Nggak, lagi duduk di bangku!” jawab perempuan itu tanpa ekspresi.
Eit, boleh juga nih! Pikirku. Di samping cantik, pintar ngomong juga ini cewek.
Siang itu aku sedang menjemput kemenakanku Ayang Firdausi Kandangani, anak saudara ibuku yang masih duduk di TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal 1 Kandangan. Karena masih beberapa puluh menit lagi sebelum pukul setengah sebelas, aku menunggu sambil duduk santai di bangku kayu yang ada di pojok halaman TK tersebut. Di saat duduk menunggu Ayang itulah perempuan berjilbab dan mengenakan jubah itu datang dan langsung duduk di ujung bangku yang sama yang kududuki.
“Ah, saya serius nih,” kataku agak kecut.
“Mau serius kek, dua rius kek, terserah!” ledek perempuan itu lagi masih tanpa ekspresi.
“Lho, cewek kerudungan kok judes gitu sih?” balasku menyindir.

Sindiranku agaknya mengena. “Iya dong! Laki-laki zaman sekarang kalau nggak digituin manja!” kata perempuan itu sedikit ketus. “Sudah saatnya perempuan sekarang banting setir, apalagi seorang Muslimah.”
Setelah berkata begitu, perempuan itu malah tersenyum. Betapa menarik senyum itu, pikirku. Laksana sekarung gula dalam segelas air!
“Saya tahu tadi kamu berpura-pura judes,” tebakku yakin.
“Ya, benar. Dan saya tadi juga yakin kalau kamu tidak akan tersinggung.”
Beberapa saat kemudian, pembicaraan kami berubah seperti layaknya dua orang sahabat lama yang beberapa waktu tidak bersua, begitu akrab dan ceria.
“Sebenarnya saya orangnya pemalu,” sahut perempuan itu polos. “Saya bukan asli orang Kandangan ini. Saya dari Bandung. Tepatnya di Lembang, tepatnya lagi di Parongpong. Dan saya belum lama ke kota ini, jadinya saya tidak punya banyak teman. Sebenarnya saya tidak punya teman.” Perempuan itu bercerita panjang lebar. Saat ia bercerita, aku tak lepas menatap wajahnya.
“Bagaimana rasanya suasana di kota ini?” Lagi-lagi kutatap wajahnya.
“Sangat terasa.”
“Kamu ke kota ini bersama keluargamu?”
Mendadak seperti ada pancaran kesedihan yang menyembur di mata perempuan itu. “Saya ke Kandangan ini karena bekerja,” katanya agak giris. “Meninggalkan keluarga sebenarnya berat buat saya. Ayah meminta agar saya tetap tinggal bersamanya. Kami kebetulan punya bisnis keluarga yang cukup sukses. Ayah merasa memerlukan saya di sana.”
“Mengapa kamu pergi, kalau begitu?” kataku bersimpati. Dan terus menatap wajahnya.
“Mungkin kamu pikir saya ini bodoh. Tapi, saya lebih suka mencari uang dengan cara saya sendiri. Menerima pemberian dari siapa pun sulit buat saya. Bisnis keluarga itu tak lain dari suatu pemberian dari kakek kepada ayah. Tidak, saya tidak ingin mendapat apa pun dari ayah. Biar saja adik-adik saya yang mewarisi semua itu.”
Aku sangat kagum pada perempuan yang baru kukenal di depanku.
“Selain itu,” tambah perempuan itu lembut, “kalau saya tetap di Parongpong, saya tidak akan bakal ketemu sama kamu.”
Dor! Wajahku memerah. Hatiku pyur-pyuran. Jantungku empot-empotan. “Jangan berkata begitu, aku takut kalau tiba-tiba ada yang mengaku sebagai pacar kamu,” elakku sekenanya.
“Ah, apa ada laki-laki yang mau pacaran dengan saya?”
“Menurut kamu sendiri bagaimana?”
“Saya rasa tidak banyak laki-laki yang tertarik denganku. Sebenarnya tidak ada laki-laki yang tertarik dengan saya. Yah, kondisi saya memang harus begini. Saya sendiri sibuk saban harinya, pagi ngurus rumah kemudian mengantar Fauzan, siang begini menjemputnya. Selain untuk sport, jarang terpikir untuk…”
“Nggak suka pacaran?” potongku.
“Gimana ya, tapi mungkin hanya belum ketemu orang yang tepat saja untuk itu?”
“Pacaran kan bisa sama siapa saja?”
“Apa kamu pikir begitu?”
“Menurut kamu gimana?”
“Rasanya sih cuma sama yang kita memang suka. Kalau sama siapa saja, kan pelacuran namanya…”
“Memang kalau pacaran itu berarti melacur?”
“Ya, bergantung apa isi pacarannya. Jika sampai melakukan kegiatan macam-macam, apalagi sampai melanggar rambu-rambu aturan main agama, dan akhirnya cuma iseng dan main-main, kan sama saja dengan melacurkan diri…”
“Lantas kamu anti pacaran?”
“Saya harus bilang apa, ya? Tapi masalah pacaran adalah sesuatu yang sangat prinsip bagi saya. Saya melihat praktik pacaran itu lebih banyak mudharatnya ketimbang maslahatnya. Atas dasar itulah sampai saat ini soal pacaran saya masih menabukannya. Mungkin kamu sulit mempercayai kata-kata saya ini.”
“Mungkin kamu punya komitmen untuk hidup berkeluarga tanpa harus melalui proses pacaran?”
“Hm… Bagaimana, ya?” gumam perempuan itu. “Jujur saja, saya pernah tertarik terhadap seorang laki-laki, katakanlah begitu, tapi ketika hubungan kami mulai mengarah kepada praktik pacaran, kami putus. Maksud saya, saya yang memutuskan.”
“Kamu sanggup membayar cintamu semahal itu?”
“Saya tak mau pacaran karena saya merasa tidak akan bisa menjadi pacar yang setia, tapi kalau menjadi istri yang baik insya-Allah saya mampu – setidaknya berusaha. Dan dari pengalaman, saya mendapat pelajaran berharga, sebelumnya mohon maaf, bahwa kebanyakan laki-laki itu mata keranjang bahkan penghianat.”
“Saya sependapat denganmu,” kataku bersimpati. “Meski saya bukan contoh yang baik dalam hal ini, tapi kalau boleh memberikan nasehat, kamu memang harus tahu, bahwa kebanyakan laki-laki itu memang benar mata keranjang dan penghianat, bahkan pendusta. Makanya saya juga tidak pernah dan tidak akan mau pacaran sama laki-laki!”
Huh! Perempuan itu hampir saja menimpuk pundakku dengan tas kecil di tangannya, tapi tentu saja ia tidak berani. Karena, aku adalah seorang lelaki!
“Mungkin kau berpendapat saya ini kolot,” kata perempuan itu kembali serius, “tapi, buat saya perkawinan itu mengikat seumur hidup. Bagi saya berlaku hukum: ‘satu kali hidup, satu kali kawin, satu kali mati’. Seorang laki-laki sudah cukup buat saya. Yang penting, laki-laki itu laki-laki yang tepat.”
Aku makin mengagumi perempuan itu. Dari sekian kenalan perempuan yang kutemui selama ini, sangat jarang yang punya kepribadian dan prinsip hidup seperti yang dimiliki perempuan di hadapanku itu. “Menurutku, itu pandangan yang bagus sekali,” pujiku jujur.
“Saya tidak suka menerima pujian,” kata perempuan itu acuh. “Tapi tidak untuk kali ini. Terima kasih.”
“Sekarang saya boleh tahu nggak?”
“Ya?”
“Apa sih sesungguhnya cinta itu?”
“Saya rasa,” kata perempuan setelah terdiam beberapa jenak, “kita perlu lebih giat mengenal dan memperkenalkan atau mengingatkan adanya rasa cinta yang sebenarnya. Yaitu cinta kepada yang mengaruniai rasa cinta. Cinta kepada Yang Maha Pengasih. Cinta kepada Yang Maha Perkasa. Cinta kepada yang sangat indah dan elok, selalu menepati janji dan tak pernah menghianati kita. Cinta yang membuat kita mencintai orang yang mencintaiNya. Cinta kepada Tuhan! Mungkin sulit memang untuk melukiskan cinta seorang hamba kepada Tuhan, tetapi tentunya bisa dirasakan. Seorang yang mencintai tidak suka berbuat sesuatu yang membuat marah yang dicintainya. Pendeknya, seorang yang mencintai tentu akan selalu berusaha, agar yang dicintainya tetap cinta kepadanya. Kalau boleh disebut, rasa cinta kepada Tuhan harus menjadi rasa cinta tiada tandingan, mengatasi rasa cinta kita terhadap siapa pun, terhadap apa pun.”
“Karena itu,” kata perempuan itu lebih lanjut, “pemahaman dasar-dasar keagamaan harus dilakukan sedini mungkin oleh setiap orang. Kedengarannya klise, memang. Tapi hal itu harus senantiasa ditekankan.”
“Wah, rupanya kamu punya pemahaman yang sangat mendalam dalam masalah ini?”
Belum pernah aku merasa begitu nyaman berdekatan dengan perempuan lain (karena aku seorang lelaki). Tiba-tiba aku merasa ada suatu perasaan asing yang menyelinap ke dalam hatiku. Perempuan itu seperti telah mengetemudapatkan sebentuk wadah tersediri dalam hatiku. Bersisian dengannya, aku merasa ada sesuatu yang mampu melengkapi satu sisi kosong dalam diriku (sekali lagi, karena aku seorang lelaki). Tanpa sadar, aku menceritakan kepada perempuan itu tentang masa kecilku, cita-citaku, tentang kehidupanku serta segala pengalaman yang sangat berharga buatku.
“Sewaktu kecil, saya pernah diajak orangtua saya ke daerah Loksado,” ceritaku. “Apakah kamu pernah mendengar cerita tentang ramalan seorang balian*) yang ada di pedalaman Loksado? Ia mampu membaca jauh ke depan, dan...”
“Sejak kapan kau menyerahkan masa depanmu dalam genggaman ramalan seorang balian?” potong perempuan itu lugas. “Kalau saja orangtuamu tahu, aku yakin kau pasti akan dijodohkan dengan gadis Dayak,” kata perempuan itu lagi bergurau. “Tapi baiklah, coba ceritakan apa yang diramalkan balian pedalaman Loksado itu?”
Aku makin bersemangat. Kutarik napas, panjang dan dalam. “Ia mengatakan begini, sekali saja orang telah meminum air dari kali Amandit, maka dia pasti akan kembali lagi ke sana. Atau...”
“Atau apa?” kata perempuan itu sedikit memburu.
“Atau dia akan kehilangan seseorang dan membiarkannya menunggu di bumi di mana dia telah meminum airnya.”
Kerling sudut mata perempuan itu kurasakan menyambarku sebelum berkata dengan suara perlahan, “Di daerah kami di Parongpong juga ada orang-orang yang suka meramal,” perempuan itu berkata. “Tetapi tentu saja itu hanya mainan iseng orang-orang tua.”
“Pernahkan kau diramal akan bersuamikan seorang lelaki yang pernah meminum air dari kali Amandit?” tembakku memancing.
Perempuan itu tidak menjawab, hanya kerling sudut matanya yang kurasakan kembali menyambarku.
Wajah perempuan itu tiba-tiba sedikit terkejut. Katanya dengan risih, “Eh, sejauh ini kok kamu belum memperkenalkan diri. Siapa sih namanya?”
“Oh, maaf. Kamu sih tidak nanya.” Kusebutkan namaku sambil kutulurkan tangan untuk menjabat perempuan itu.
“Lho, kalau begitu kamu ini ya yang sering nulis cerpen di koran-koran terbitan Kalsel itu?” Dengan sopan ditolaknya uluran tanganku.
“Ah, apa kamu melihat orang seperti aku ini ada potongan jadi penulis cerpen?” jawabku sambil pura-pura acuh. Padahal, jantungku kembali empot-empotan.
“Itu lho, yang atas nama Aliman Syahrani. Saya sering baca kok.”
“Oh itu, tapi yang ini adalah Aliman yang lagi mabuk kepayang,” godaku.
“Ah,” perempuan itu hanya tersenyum, maniiiisss.
Begitulah. Kami, dua insan berlainan jenis, terus terlibat pembicaraan berbagai hal. Kami menjadi begitu cepat akrab, terbuka dan polos satu sama lain. Sesekali kami saling curi-curi pandang, terutama sih aku yang terus mencari wajah perempuan berkerudung itu dengan mataku. Mataku adala mata seorang lelaki yang begitu peka dengan keindahan dan kecantikan.
Angin kemarau luruh menggerus.
“Berapa lama lagi kamu akan pulang dari menjemput hari ini?” tanyaku.
“Lima menit lagi,” jawab perempuan itu lirih.
“Bisakah kita buat lima puluh menit?” aku mulai nakal.
Untuk yang kesekian kali perempuan itu hanya diam. Barangkali juga mulai jengkel dengan kenakalanku.
“Saya mohon maaf kalau ini dianggap lancang,” kataku memberanikan diri. “Tapi saya berharap kamu tidak keberatan untuk menemani saya makan nanti malam.” Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri.
Perempuan itu lagi-lagi hanya diam, tapi kini wajahnya tampak sumringah.
“Ada rumah makan yang baru dibuka di daerah Hamalau, tidak jauh di pinggiran kota Kandangan ini,” kataku lagi berpromosi. “Makanannya enak-enak, aku yakin pasti cocok untuk selera kita. Aku bisa pesan semuanya untuk kita kalau kamu mau,” ajakku lagi makin berani.
“Apakah kamu selalu menghambur-hamburkan uang seperti itu?” tanya perempuan itu dengan wajah yang kian sumringah.
“Hanya kalau sedang jatuh cinta,” tembakku.
Perempuan itu menunduk. Wajahnya bersemu. Angin kemarau kembali menggerus.
“Kamu bersedia menemaniku kan?” ajakku lagi sambil mencari mata perempuan itu.
Perempuan itu ragu sejenak sebelum menjawab. Katanya dengan wajah terkejut, “Bukan maksud saya untuk menolak ajakan kamu. Tapi saya takut tidak diijinkan.”
“Tidak diijinkan siapa?” potongku cepat.
“Saya takut dimarahi.”
“Dimarahi oleh siapa?” potongku lagi tak mengerti.
“Bekas pacar saya!”
Aku terkejut campur heran. “Aku melihat itu bukan sebuah alasan.”
“Tapi saya sungguh tidak bisa,” kata perempuan itu menegaskan. “Saya pasti tidak diijinkan dan dimarahi bekas pacar saya kalau saya memenuhi ajakan kamu.”
“Alasan kamu membingungkan!”
“Saya harap kamu mengerti,” kata perempuan itu setengah memohon.
“Tapi saya sungguh tak mengerti,” kataku pula serius.
Aku sungguh tidak mengerti dengan perubahan tiba-tiba dari sikap dan raut wajah perempuan itu. Aku seperti melihat perempuan itu dalam sosok yang lain, sebentuk pribadi yang siap menjelaskan segalanya. Sementara perempuan itu juga diam. Hanya semilir angin kemarau yang terus berembus menampiaskan sepi dan berkelahi dengan sunyi.
“Mama, mama…,” tiba-tiba dari pintu salah sebuah ruang TK seorang anak berteriak memanggil perempuan itu. Anak lelaki itu setengah berlari melewati halaman TK bersama sejumlah anak lainnya, di antaranya juga ada Ayang, dan segera menghambur ke dalam pelukan perempuan itu.
Mama?! Pekikku tercekak dalam hati. Jadi, bekas pacar itu…. Ah! Aku menangkupkan kedua tapak tangan ke wajah dan menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Saya pulang duluan, ya, Mas Aliman,” kata perempuan itu mohon diri. “Assalamu’alaikum!”
Aku menjawab salam perempuan itu dengan suara yang tidak bisa kudengar dengan telingaku sendiri. Sekali lagi aku menangkupkan kedua tapak tangan ke wajah dan menggaruk-garuk kepalaku. Aku jadi malu sendiri. Benar-benar malu! Sangat-sangat malu!
Kenapa?
Kalau seorang lelaki seperti Anda tidak tahu jawabnya, kebangetan sekali! []

Keterangan:
*) penghulu adat bagi Suku Dayak atau urang Bukit di pedalaman Loksado, Kalsel.

Kandangan, Juni 2010

buat mata yang menikam jantungku
buat bibir yang senantiasa mengalirkan bisikan rindu 
ke dalam hatiku
buat senyum yang menyingkapkan 
rahasia-rahasia ke dalam jubah cintaku

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/bekas-pacar/405071327751

0 komentar: