Cerpen Aliman Syahrani: Jilbabgate
“PERGI!!!”Mata Ipung terbelalak menjeling persis bawel (itu lho, nama ikan, “dom”-nya buntel, he-he…) seperti tak percaya pada apa yang dilihat dan didengarnya. Ayang, sohib kentalnya sejak tempoe doloe, sejak zaman bahuela tahun 1000 SM (Sesudah Majapahit), mencak-mencak, ngamuk seperti nenek-nenek kehilangan susur. Matanya meletikkan api (mercon kali?). Cewek imuts-imuts itu berkacak pinggang menghempang langkah di hadapan Ipung yang seolah pasrah bila palang pintu yang tergeletak di samping Ayang itu berpindah ke jidatnya.
“Gua salah apa, Yang? Masa gua ajakin ke sekolah, kamu seperti gua ajakin ke neraka?” tanya Ipung tak mengerti sambil menyetel senyum semesra mungkin. Mata Ayang ‘mlotot persis telor mata sapi.
“Pergi,” guntur Ayang lagi.
“Ah kamu, Yang. Gua tambah kaga ngerti aja, apa sih sengketa sebenarnya?” cicit Ipung bernada ratapan, persis Malin Kundang yang menyesal karena telah mengutuk ibunya jadi batu ginjal! Hihi…, keliru ya?
“Ah, Lu sama aja dengan mereka. Sirik, dengki dan nggak senang sama apa pun yang gua lakukan!” salak Ayang sengit. Ia menggerinyutkan dahinya. “Pergi!” bentaknya lagi.
“Pergi? Pergi ke mana?” ratap Ipung sambil membetulkan kancing bajunya (eh, apa hubungannya?).
“Pergi kau ke dalam hatiku!!!” bisik Ayang sambil kedua tangannya menggapai ke udara (!?#%$*).
“Ah, apa hubungannya dengan ajakan gua ke sekolah?” sahut Ipung renyah serenyah kue aphphatckmts…. (lho, kue apaan tuh?). Ayang mencibir, kini wajahnya semakin mirip dengan tetangga Ipung yang cantiknya 50 tahun silam!
“Dan lagi apa yang gua sirikin dari Elu? Gua anak laki, Lu anak perawan? Lagian ke sekolah bareng ama gua kan bukan baru sekali ini, saban hari!” sambung Ipung seperti tidak memberikan kesempatan si Imuts-imuts meledak-ledak (bom kali?).
“Pokoknya gua nggak mau lagi nginjak itu halaman sekolah, najis!” Ayang meludahkan serapah. Ipung masih berdiri di depan pintu rumah.
“Babnya apa sih, Yang? Pasal berapa, ayat berapa dan halaman berapa?” cecar Ipung sambil nyengir. “Gua nggak bakalan rela Lu musuhin kalau gua nggak tahu apa yang Lu jadiin alasan. Gua kayak saudara aja masa sih Lu begituin!” rujuk Ipung. Mukanya berekspresi biar mirip Dora Emon.
Ayang terdiam. Air mata menggerabak dalam matanya. Ipung sama sekali tidak tahu apa yang membuat resah dan gelisah sahabat yang senantiasa dibelanya apabila mendapat kesulitan itu. Ipung menyerahkan sebuah ember untuk menampung air mata Ayang yang terus bercucuran sepeti banjir tsunami (dasar!).
“Gua boleh masuk, Yang?” mohon Ipung seraya menyetel senyum manis semanis-manisnya, malah kemanisan seperti iklan pasti gigi. Ayang menepi memberi jalan. Daun pintu dibukanya lebar-lebar dengan bunyi berkeriyut.
“Lu nggak ke sekolah?” tanya Ayang setelah Ipung duduk di ruang tamu meskipun belum dipersilakan.
Ipung menggeleng lemah. “Gua rasanya nggak habis pikir ama tingkah Lu. Dan itu yang membuat gua enggan ke sekolah kalau Lu belon jelasin mengapa Lu-nya juga nggak mau sekolah begini?”
Ayang melirik jam dinding. Pukul 7.00 tepat.
“Anak-anak kelas gua pada kompak ngejekin gua!” rintih Ayang pelan.
“Tapi persoalannya apa dulu dong, Ayang sayang...?” tanya Ipung mencecap rada-rada blo’on. Ayang menatap mata sobatnya dengan tajam, seolah ingin mencongkel kedalaman kejujuran Ipung.
“Bener Lu belon tau?” cicit Ayang bimbang. “Kamu tau nggak kenapa aku ogah pergi ke sekolah?”
“Belon.”
“Kamu tau nggak?” desak Ayang.
“Enggak!”
“Kaamu – tau – nggak?” Ayang makin mendesak.
“Enggaaak!”
“Aku juga nggak!!!”
“Ah, Lu Yang. Tuluskah hatimu mencintai aku? Bila aku pernah menyakiti hatimu, maafkan aku. Lupakanlah aku, bila itu maumu…” ledek Ipung setengah kesal dengan menyanyikan ucapannya seperti lirik lagunya Raja. Terusin dong... terusin dong…
“Bener Lu belon tau?”
“Swear, berani sambar geledek!” sentak Ipung sambil mengacungkan jari telunjuknya, kayak anak Te-Ka minta jatah kue. Ayang tidak tertawa, maklum lawakan kuno.
Ayang menarik napas panjang dan dalam. Di pelupuknya masih bergayut setumpuk mendung, seperti awan memeram badai. Badai yang akan ia tumpahkan di hadapan Ipung.
“Pakaian gua dijadiin bahan olokan anak-anak!” jelas Ayang getir. Ipung terceragak, kesadarannya bangkit, kini Ipung sendiri yang hendak tertawa, tapi niatan itu pasti tidak akan ia lakukan jika ingin selamat!
“Ada apa dengan pakaian kamu itu, Yang?” tanya Ipung, kini ia berpura-pura tidak tau.
Pakaian Ayang yang dulunya seperti layaknya seragam anak-anak sekolah es-em-a, kini digantikan dengan pakaian serba panjang mencapai mata kaki dan ujung pergelangan tangan, lengkap dengan kerudung menutup dada. Hingga yang terlihat kini hanya wajah dan dua tapak tangannya. Beda sekali dengan pakaian Ayang dalam kesehariannya selama ini yang tidak mau ketinggalan trend dan gaya sebagai anak muda Kandangan yang keren, modis, gaul, dan funky abis. Sekarang penampilan Ayang lebih mirip dengan Zaskia Adya Mecca, artis idola Ipung yang ngetop lewat sinetron “Kiamat Sudah Dekat” dan film “Ayat-Ayat Cinta”, yang dalam kesehariannya senantiasa mengenakan jilbab. (Eh, pembaca yang terhormat tau nggak? Menurut pengakuan Ipung, Zaskia itu pernah setengah mampus lho kepincut ama dia. Huuu…, ke ge-er-an deh tu anak).
“Gua dikatain terbawa aruslah, berani tampil beda, bahkan dituduh mau bikin sensasi. Dan yang paling menyakitkan, si Novi sama Mega menjuluki gua Ninja!” cicit Ayang sembari menyusut bulir-bulir air mata yang kian luruh menggerabak dari kedua palung bola matanya yang memancarkan bening telaga. Ipung tidak tega. Nama Novi dan Mega membuatnya ingin muntah. Betapa cewek kerempeng dan gendut itu berani mengata-ngatain Ayang sepedas itu. Huh! Kepingin sekali ia merajang cewek tak tau diri itu.
“Padahal gua mengenakan busana seperti ini kan ada alasannya. Gua sekarang udah menstruasi, udah mencapai masa pubertas. Dan bukankah seorang Muslimah jika telah mencapai usia tersebut memang diwajibkan untuk menutup ‘aurat-nya,” lanjut Ayang penuh nelangsa.
Ipung melirik jam tangannya. Pukul 7.15.
“Yang, mustinya kamu pake dong semboyan sohibmu ini: Biarpun bumi bergoncang, kau tetap Indonesiaku!” (Eh, apa hubungannya?).
Ayang makin memberengut. Matanya menjeling seolah mau mencelat keluar dari ceruknya. Ipung jadi ketakutan setengah hidup dan buru-buru meralat semboyannya.
“Maksud gua begini, Yang. Kamu musti megang prinsip yang kamu yakini. Apa yang kamu lakukan adalah apa yang menurut kamu paling baik dan benar. Dan yang kamu lakukan itu memang benar, dalam artian menurut kacamata obyektif dari sudut pandang perspektif dien Islam. Pertahankan itu. Sebodo amat ama tuh bocah-bocah. Emang mereka yang ngasih makan kamu? Berani-beraninya ngasih komentar, pedas begitu lagi! Pokoknya gini aja, ‘ntar kamu demo aja tuh bocah-bocah, ‘trus kasih aja pidato ama itu kunyuk-kunyuk. Gini nih pidatonya: ‘Saudara-saudari dan teman-temin sekalian sebangsa dan setanah air, sekelurahan, se er-te, se gang dan tetangga-tetanggi semua yang berbahaya, eh, berbahagia. Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama Ayang Firdausi Kandangani menyatakan dengan sebenarnya bahwa saya tidak akan merobah keyakinan saya. Saya akan tetap tegar dan pantang surut ke belakang. Pokoknya maju tak gentar! Maju terus biar pun gemetar!’” salak Ipung berapi-api, saking semangatnya kepalanya sampai keluar asap. Wah, dukun kali!
“Tapi telinga gua rasanya seperti digoreng, Pung!” geretap Ayang.
“Wah, ada produk baru lagi dong. Kuping goreng rasa kari Ayang, eh rasa ayam. He-he…” seloroh Ipung yang lagi-lagi norak.
“Tuh kan, Lu sama aja dengan mereka. Nggak punya perasaan. Oh, tega nian dikau akan daku!” sergah Ayang murka.
“Sorry, Yang. Gua nggak ada nawaitu sejahat itu. Makanya gua nggak mau kamu larut dalam duka nestapa begini. Biarin dah Datuk Maringgih kawin lagi ama Siti Nurbaya, kan masih ada yang lain.” Ipung masih terus bercanda. Kian lama membuat Ayang pengen merajang anak sableng itu.
“Udah deh, Yang. Sebelum nasi keburu menjadi lontong, mari kita ke sekolah. (Ayo sekolah…!) Masih ada waktu setengah jam lagi. Gua ini kan kayak abang Lu. Artinya, siapa berani ngegangguin kamu, berarti harus menghadapi kesaktian gua, dan itu berarti benjol!” sesumbar Ipung seperti sudah menjadi penguasa dunia persilatan. Padahal, ketika si Belang, kucing kesayangan Ayang mengejarnya, anak kerempeng itu lari tunggang-langgang dengan nafas deg-deg plung! (Tau artinya? Deg-deg-an terus nyemplung! He-he…).
“Kalau gua dijelekin lagi gimana? Lu pasti nggak mau tau!” Ayang masih ngambek.
“Lu cuekin aja, lagi pula dengan begini Lu kelihatan lebih rapi dan cantiiiiiik sekalli, pe-de aja lagi. Itu yang barangkali membuat teman-teman Lu jadi pada sirik. Itu biasa, klise dan nggak bermutu. Lu mustinya nggak usah peduli ama sikap mereka!”
“Tapi Lu janji bakal ngebelain gua kan?” tuntut Ayang seolah tak yakin. Ipung menganggukkan kepala kuat-kuat. Saking kuatnya ia merasa kepalanya jadi pusing. Pusiiiing…..!!!
“Eh, Yang. Ngomong-ngomong di rumah kamu ini lagi musim kemarau, ya?” cerocos Ipung rada tengil.
“Nggak, kok. Semalam aja turun ujan, sampai banjir malah. Emang kenapa?”
“Ah, nggak kenapa-napa. Cuma heran azha, sebab dari tadi kok nggak setetes air pun yang sampai di meja tamu ini!”
“Ugh…, bilang dari tadi! Nggak usah belagu kayak gitu. Dasar maunya makan mulu!” sanggah Ayang pura-pura marah sambil berjalan ke belakang untuk mengambilkan minuman.
Menunggu Ipung menyeruput minumannya, Ayang bergegas masuk kamar. Dan ketika keluar ia sudah mengenakan model pakaiannya yang “baru” dan tampak kelihatan rapi.
“Yang, Lu udah mandi nggak?” tanya Ipung. Ayang ‘mlotot dan itu cukup untuk mengenyahkan hama tikus seganas apa pun. Dan Ipung takut, dan mana pernah sih dia berani.
“Ayo cepetan, ‘ntar keburu telat lagi,” ajak Ayang sambil mengayun langkah.
“Nggak nunggu dulu, Yang?” tanya Ipung menggerundel.
“Nungguin apa?”
“Nunggu dikemplang!”
Dan nyaris saja palang pintu itu hinggap di batok kepala Ipung!
***
GEGER! Benar-benar geger. Sekolah SMA “X” dibuat geger. Ayang masuk ke sekolah tersebut dengan mengenakan seragam serba panjang namun rapi, menutup hampir semua tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Banyak teman-temannya yang dulunya demikian akrab kini berbalik 180 derajat; mengejek dan menganggap Ayang sok suci, sok alim, bau surga dan lain-lain. Guru-guru juga dibuat berang dan marah.
Akhirnya pihak sekolah membuat “Pansus” untuk mengadakan “Sidang Paripurna” sehubungan dengan kasus Jilbabgate tersebut. “Pansus” dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah. Singkatnya, Ayang diberi “Memorandum I” agar tidak memakai pakaian seperti itu. Namun Ayang tetap bersikukuh. Pokoknya tak ada kompromi dalam masalah-masalah akidah.
Beberapa waktu sebelumnya, seperti galibnya sementara remaja masa kini – yang diasumsikan banyak orang sebagai abad modern; era globalisasi, gombalisasi, bomBalisasi, Inulisasi, Luna Maya dan Cut Tarisasi, yang bakal menghumbalangkan keimanan – Ayang dulunya juga sempat (meski tak setuntas yang lainnya) terseret dalam kancah pergaulan serba bebas dan menjurus ke arah penghancuran moral dan etika. Hal itu membuat Ayang jadi turut hanyut terbawa arus. Mejeng, bonceng-boncengan, pacaran dan kencan saban malam Minggu merupakan kegiatan “rutin” baginya. Sehabis kursus komputer di sebuah Lembaga Kursus di Kandangan saja ia sempat-sempatnya “apel” ke rumah pacarnya. Apalagi di hari-hari lain, plus malam Minggu yang merupakan waktu wajib untuk berkencanria bagi orang-orang yang tengah diamuk cinta dan terlena dalam kehidupan dunia remaja yang lepas bebas seperti kehidupannya saat itu.
Kebiasaan semacam itu saban hari ia lakoni. Namun kesepian dan kebosanan selalu menghantuinya. Tiap malam ia pun merenung seorang diri. Maka pada suatu malam, matanya tertumbuk pada sebuah benda yang tergeletak di atas lemarinya, diambilnya benda itu yang tak lain adalah sebuah kitab tua. Sebuah Al-Qur’an tua yang bertuah, tersimpan utuh dalam almari teduh, agar tak cepat lusuh, tanpa pernah disentuh, yang dulunya hanya dijadikan sebagai pajangan agar dianggap sebagai keluarga Islam.
Pada malam itulah dibukanya Al-Qur’an tersebut. Matanya terpicing pada tulisan dalam surah An-Nur ayat 31 yang intinya menyatakan bahwa seorang wanita mukminat yang telah mencapai usia pubertas atau sudah mengalami menstruasi agar menutup ‘auratnya secara keseluruhan, kecuali muka dan dua tapak tangan.
***
Malam itu udara dingin luruh menderas meniruskan hawa malam yang pengap dan berkelahi dengan sunyi. Gerimis kecil renyai merincik memukuli daun kalangkala. Lamat-lamat terdengar alunan suara yang mengkuduskan asma Ilahi di antara senyap malam yang mengeleminisasi sepi dari salah satu rumah di sudut kota Kandangan. Suara itu adalah suara seorang wanita yang mendaraskan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu mendayu dan penuh kekhusukan. Yang dibaca wanita itu adalah ayat dalam surah An-Nur ayat 31 yang memberitahukan kewajiban seorang wanita mukminat untuk menutup ‘auratnya dan menahan pandangan serta memelihara kehormatannya.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka (para wanita) menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan (menghentakkan) kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang sungguh-sungguh percaya (beriman), supaya kamu beruntung’.” (QS An-Nur ayat 31).
Ayat-ayat inilah yang telah menggugah dan menggetarkan hati serta kesadaran wanita itu sekaligus mengubah sifatnya yang dulu sempat larut dalam arus pergaulan remaja yang lepas bebas tanpa batas menjadi wanita shalihah. Tanpa ia rasakan, air mata wanita itu luruh menggerabak membanjiri kedua helai pipinya yang ranum bak paras putih bunga bakung. Dengan kekhusukan hatinya itulah, ayat-ayat suci itu meresap dan menulang-sumsum ke dalam diri dan sanubarinya yang terdalam.
Wanita itu bernama Ayang Firdausi Kandangani.
Berulang kali dibacanya ayat-ayat tersebut, diresapi dan dihayatinya dengan penuh kesungguhan. Tak dirasa air mata makin menggerabak membanjiri wajahnya yang jelita.
“Alangkah indahnya ayat-ayat ini,” cicit Ayang lirih. “Alangkah cantiknya seandainya aku mengenakan pakaian seperti yang dimaksud ayat ini. Betapa Nabi saw. akan tersenyum melihat aku mengikuti ajaran AlLah dan sunnahnya yang suci,” batin Ayang terus bergerucau. “Ya AlLah! Berilah hamba kekuatan untuk melaksanakan perintahMu!”
Pada malam berikutnya Ayang membuka sebuah buku yang berjudul Fiqhunnisa, buku pemberian Ipung. Kawannya yang walaupun sewaktu-waktu rada tengil itu memberikan buku tersebut sebagai kado ulang tahunnya yang ke enam belas sebulan yang lalu. Waktu itu Ipung mengatakan kepadanya, “Yang, buku ini berisi tentang tata nilai wanita shalehah. Di antaranya tentang kewajiban seorang wanita Muslimah untuk menutup ‘aurat. Eh Yang, bukankah kamu sekarang sudah menstruasi, udah mencapai masa pubertas? Dan bukankah seorang Muslimah jika telah mencapai usia tersebut memang diwajibkan untuk menutup ‘aurat-nya?”
Saat itu Ayang tidak menjawab, karena entah kenapa ia merasa sedikit tersudut oleh kata-kata sahabatnya yang berisi kebenaran mutlak dan tak dapat ia bantah tersebut. Dan malam ini, matanya terpacak pada sebuah hadits yang menceritakan saat The Prophet Muhammad saw. menegur Zainab yang lewat di depannya dengan pakaian tembus pandang. The Prophet menyuruh Zainab agar menutup bagian dadanya yang transparan itu. The Prophet juga menasehati Asma’ binti Abu Bakar: “Wahai Asma’ binti Abu Bakar, sesungguhnya seorang wanita itu bila sudah sampai pada masa pubertas (dewasa/baligh – ditandai dengan mengalami menstruasi), tidak boleh terlihat dari tubuhnya kecuali hadja wa hadja (The Prophet mengisyaratkan muka dan dua tapak tangannya)”. (HR. Abu Daud).
Pada halaman berikutnya Ayang juga meresapi beberapa hadits: “Sesungguhnya termasuk ahli neraka, yaitu wanita-wanita yang berpakaian akan tetapi telanjang (transparan atau tembus pandang karena sangat tipis dan ketat bin mini), yang condong kepada maksiat dan mendorong orang lain untuk berbuat maksiat, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan pernah mencium bau surga, padahal surga itu tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.” (HR Muslim).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrany dan Bazaar dari ‘Aisyah yang dibaca Ayang malam itu juga menjelaskan: “Seorang perempuan yang melepaskan pakaian jilbabnya kecuali di rumahnya, maka Allah pasti merobek kehormatan daripadanya!” Selanjutnya Ayang juga membaca: “Perempuan manapun yang menggunakan parfum (wewangian) kemudian melewati suatu kaum agar mereka (kaum itu) mencium wanginya, maka dia (si wanita) adalah seorang PENJINA!” (HR. Ahmad; Shahihul Jami’ 105).
Ayang menggigil setelah membaca dan meresapi beberapa peringatan dan tuntunan dari The Prophet yang suci itu. Tentu saja ia tidak mau dikategorikan sebagai wanita yang tidak punya kehormatan di mata AlLah, Tuhannya dan Tuhan semesta alam, hanya lantaran karena ia membuka aurat di depan umum. Meskipun dengan berpakaian seperti yang ia kenakan sekarang (tidak menutup ‘aurat sesuai syari’at), ia mendapatkan pujian dan sanjungan dari teman-teman dan orang-orang di sekitarnya, karena memang ia dilahirkan dengan bentuk tubuh tanpa cela; body aduhai dan karunia kecantikan wajah yang nyaris sempurna.
“Tapi apa gunanya aku memiliki kecantikan lahiriah yang tidak kekal ini kalau mesti tanpa kehormatan di mata AlLah hanya karena mempertontonkan ‘aurat?” renung Ayang sambil bercucur air mata. “Boleh saja aku berbangga karena segenap pujian dari penduduk bumi. Tapi apa artinya jika semua penduduk langit membenciku? Apa gunanya pakaian semewah dan semodis apapun, sebagus dan semahal apapun yang kukenakan, jika dalam penilain AlLah aku justru telanjang?”
Dengan mengharap kekuatan dan pertolongan kepada AlLah, Ayang melaksanakan shalat malam dalam simbahan banjir air mata berkarat. Dalam kekhusukkan hati yang ikhlas dan tawadhu’ Ayang memacak niat untuk mengubah prilakunya secara total. Malam itulah Ayang menyulam kesadaran dirinya dengan benang air mata kepasrahan.
***
Akhirnya Ayang dipanggil menghadap kepala sekolah. Di situlah terjadi dialog:
“Ayang!” guntur Kepala Sekolah. “Apakah kamu tidak mau melepaskan pakaian astronot itu!? Bukankah di sini sudah ditetapkan jenis pakaian seragam sekolah!? Hei, Ayang! Apakah kamu sedang terjangkit penyakit frustrasi!”
Sesaat ruangan jadi gaduh bercampur tegang. Terdengar suara dan gerutuan bernada mengejek dari para siswa dan teman-teman Ayang yang lain.
“Bapak Kepala Sekolah yang terhormat, guru-guru, teman-teman serta para pembaca sekalian yang terhormat! Atau siapapun yang merasa belum terhormat! Kalian bisa mengatakan apa saja terhadap diri saya. Entah itu dibilang frustrasi, pakaian astronot atau dengan segala sebutan tetek-bengek lainya. Tapi saya tidak akan merubah pendirian saya. Ini merupakan konsekuensi saya untuk mengenakan pakaian yang diperintahkan agama saya. Saya tidak ingin diri saya menjadi santapan api neraka di Yaumil Hisab kelak. Saya bukan ingin dianggap sok suci, sok alim. Ini merupakan kesucian yang berasal dari Tuhan saya, Tuhan kalian semua, AlLah azza wa zalla! Bagi saya jilbab adalah sebagai identitas wanita Islam, dengan kata lain, wanita yang tidak mengenakan jilbab berarti tidak ada identitas ke-Islaman-nya. Berjilbab belum tentu takwa, tetapi tidak berjilbab sudah jelas TIDAK TAKWA!” Ayang meludahkan jawaban.
“Kalau kamu memang tidak mau melepaskan pakaian ninja itu, okey!” salak Kepala Sekolah dengan wajah menggerinyut murka, “mulai hari ini, detik ini dan seterusnya kamu tidak boleh masuk sekolah ini sampai kamu bersedia mencopot pakaian itu!” Kepala Sekolah memuntahkan ultimatum. Keputusan sepihak yang jelas-jelas merugikan Ayang itu layaknya keluar dari seorang yang buta sama sekali akan pengetahuan agama. Padahal pada KTP Kepala Sekolah itu dengan jelas dituliskan bahwa agamanya adalah Islam!
Masalah yang berkaitan dengan persoalan ini memang masih sering muncul ke permukaan. Hal ini terjadi tidak hanya di “sekolah umum”, tetapi juga pada sekolah yang berorientasi pada “ilmu-ilmu agama” (Islam). Lihat saja misalnya pada saat pembuatan pas photo bagi para siswi calon peserta EBTA atau UAN, mereka “dipaksa” melepas kerudungnya dengan alasan ini-itu dan segala tetek bengek lainnya. Tidak cukup hanya sampai di situ, biasanya, kaum puteri yang mencoba mempertahankan prinsip dan keyakinan semacam itu malah diperlakukan secara diskriminatif, bahkan “dibumbui” dengan beragam intimidasi. Misalnya, dikatakan akan mendapatkan kesulitan di bangku kuliah kelak; sulit mendapatan lapangan pekerjaan atau tidak bisa ikut ujian akhir; tidak mendapatkan ijazah, dan lain-lain.
Ironisnya, keberatan (pelarangan?) itu malah datang dari oknum pendidik di lembaga pendidikan itu sendiri. Padahal Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengeluarkan izinnya untuk para siswi (mahasiswi) berjilbab. Bahkan Depdiknas juga telah mengeluarkan Surat Edaran terbarunya melalui Dirjen No.1928/D/C/2002 tanggal 12 September 2002 tentang pembolehan photo berjilbab baik untuk kelengkapan administrasi raport, ijazah dan penerimaan siswa (mahasiswa) baru. Kenyataan ini benar-benar menyedihkan sekaligus mengecewakan. Di samping pelarangan itu sendiri tanpa dasar, lantas, mau ke mana anak didik mereka dituntun, kalau pendidiknya saja sudah tergelincir dari plot toleransi yang sering diajarkannya?
Ipung yang turut menyaksikan “pelecehan” terhadap Ayang, sahabat tercintanya itu, segera datang menemuinya untuk memberikan dukungan. “Tabahkanlah hati dan kukuhkanlah imanmu, Yang,” katanya membesarkan. “Karena sesungguhnya kamu tidaklah sendirian dan bahwa perjuangan ini masih panjang. Agama dan keimanan yang kita peluk dengan sepenuh keyakinan adalah mustika hidup tak ternilai. Tidak sesuatu pun di dunia ini yang cukup berharga untuk ditukarkan dengan agama dan keimanan: kedudukan, persahabatan, keluarga, harta, cinta, bahkan nyawa sekali pun. Apalagi hanya secarik ijazah!”
Inilah pergulatan batin Ayang dalam mempertahankan keyakinan akidahnya. Orang yang katanya beriman ternyata menghambat wanita-wanita yang menjalankan tuntunan syari’at agamanya secara tegas dan murni. Wanita-wanita seperti itu mereka beri cap kolot, subversib dan menghambat pembangunan. Sedangkan wanita-wanita yang menjual harga diri dan agamanya demi kepentingan fulus dengan harga murah mereka sanjung-sanjung setinggi langit tanpa mempunyai rasa malu. Betapa banyak “Ayang-Ayang” seperti itu yang dipersulit dan dikekang hak-hak hidupnya.
“Hai sekalian orang yang sungguh-sungguh percaya (beriman)! Siapa saja di antara kalian berlepas diri (murtad) dari agamaNya, maka AlLah akan mengadakan satu kaum yang dicintaiNya dan mereka pun mencintaiNya; yang berwelas-asih dengan sesama mereka yang benar-benar berserah diri (mukmin) dan bersikap tegas terhadap mereka yang menutup diri dari kebenaran Allah (kafir). Mereka bersungguh-sungguh di jalan AlLah dan mereka tidak takut atas orang-orang yang suka mencela. Yang demikian ialah ganjaran (nikmat) AlLah, yang diberikanNya kepada siapa yang Ia kehendaki, karena AlLah itu Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui!” (QS. Al-Maidah: 54).
“Itulah ketetapan-ketetapan (hukum-hukum) AlLah, maka janganlah kamu melanggarnya. Siapa pun yang mengingkari hukum-hukum AlLah, mereka itulah orang-orang yang lalim.” (QS. 2:229). []
(Kepada Kerudung yang menyelinap ke dalam mimpi-mimpi gaibku)
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/jilbabgate/412192997751
0 komentar: