Cerpen Hatmiati Masy’ud: Mari, Kita Jalan Bersama

17.11 Zian 0 Comments

Ramli bergegas membereskan dagangannya. Di timur laut, mendung telah menyapu rata permukaan langit, angin dingin membawa gerimis.
“ Ayo, Ramli, kita harus cepat, sebentar lagi hujan turun.” Pansyah rekan  seperjuangan sesama pedagang baju ‘mengejar pasar’ membantunya merapikan pakaian ke dalam karung-karung yang sudah disiapkan. Tepat ketika seluruh baju itu sudah masuk ke dalam karung, hujan turun dengan deras, mereka berteduh di teras rumah tempat mereka menumpang berjualan.
Di pojok-pojok teras, para pedagang asyik berbincang menunggu hujan reda, adapula yang melamun sendiri sembil memeluk lutut mengurangi dingin, teras yang sempit sedang hujan begitu deras, pakaian mereka sudah lama menjadi lembab.

“Ramli, bagaimana kabar mama ikam, jar samalam sidin garing bangat?” 
“Iya am, tuhuk jua manyuruh sidin ka duktur, jaka kada lunyut banar sidin, hanyar hakun di bawa baubat, pas diupnama, ni basigar sudah.
“Menurutku, ini gara-gara ikam belum menikah, makanya jangan terlalu pemilih. Sudah bertemu yang cantik seperti Rosita, dilepas juga. Sekarang bagaimana dengan Risna, kabarnya dia sudah berkali-kali datang ke rumahmu?” Pansyah menggoda Ramli.
“Ah, kamu Pan, seperti tidak kenal denganku. Kapan Risna datang ke rumahku, lagian aku juga tidak tertarik dengannya, terlalu cantik Pan, berat diongkos.”
“Lho, keluargamu kaya Ram, abah dan mamamu pasti tidak keberatan manjujurakan demi anak laki-laki satu-satunya.”
“Bukan begitu, yang kaya kan orang tuaku, kalau nanti aku berumah tangga, istriku harus mau diajak hidup dari nol. Kita berdua sudah lama di pesantren, sudah merasakan bagaimana hidup prihatin, dan bagaimana nikmatnya sekarang ketika kita bisa mencari uang sendiri. Kamu enak, istrimu Mariyam benar-benar sholehah, dia mau kamu ajak hidup terpisah dari orang tua meskipun kalian harus menyewa rumah.”
Pansyah mengangguk, Mariyam istrinya itu memang benar-benar luar biasa, mau-maunya diajak hidup susah, padahal keluarga Mariyam tergolong orang berada. Tetapi, begitu menikah dengannya dia dengan suka rela keluar dari rumah orang tuanya dan hidup sederhana dengannya.
“Kalau kamu masih belum menikah juga, mengapa harus berdagang seperti ini, bukankah lebih nyaman kalau kuliah, ke manapun kamu mau, orang tuamu pasti mau membiayaimu. Beda denganku, kalau tidak bekerja, bagaimana bisa hidup dan menafkahi istri.”
“Iya, sehabis di pesantren kemarin, rasanya ingin membantu usaha abah saja berdagang, tetapi aku ingin mencoba dulu berdagang sendiri dengan modal seadanya. Sedangkan untuk kuliah, mungkin di kabupaten kita saja, tidak ke Banjarmasin, apalagi ke pulau Jawa. Mama sudah sakit-sakitan, abah juga tidak terlalu sehat, siapa lagi yang mereka harap selain aku.” Ramli menyudahi kalimatnya. Hujan mulai reda, tetapi langit semakin menggelap karena hari sudah beranjak senja.Sebagian pedangan sudah pulang, ada yang naik sepeda motor, gerobak, juga sepeda ontel. Pansyah dan Ramli memasukan barang ke pick up, menutup dengan terpal warna biru kusam, kemudian mereka berdua duduk di samping supir berdesak-desakan.

***

Ramadhan 1435 H menjelang, Pasar penuh sesak. Ramli sudah mandi peluh, semenjak mengelar dagangannya.  Tak sedikitpun dia sempat istirahat, pembeli seakan tak berhenti-henti. Dari jauh, Pansyah yang juga melayani pembeli tersenyum melihat Ramli. Pansyah dibantu istrinya jadi lebih santai.
Barapa baju gamis ni, Man?” Suara merdu seorang perempuan menyita perhatian Ramli yang sedang asyik melayani seorang ibu.
“Yang mana?”
“Itu yang digantung, berwarna hijau kembang-kembang putih.”
Ramli mengambil baju gamis dari gantungan, sesekali matanya mencuri pandang kepada perempuan itu yang ditaksirnya berusia sekitar 18 tahunan.
“Nak, kayapa, hakunlah baju ni tadi?” Suara seorang ibu memecahkan perhatian Ramli.
Paling kawa kurang sepuluh ribu, ulun kada banyak Bu ai maambil hujung.
Ayu ai dah tu, bungkusakan ja.” Ramli menyerahkan baju yang sudah dibungkus rapi.
Jual Bu lah.”
Tukar.” Ibu itu kemudian berlalu, silih berganti pembeli, perempuan muda itu masih asyik memilih beberapa gamis lagi.
“Berapa harganya, Ka?” mendadak panggilan ‘Man’ menjadi ‘Ka’, mungkin perempuan itu baru menyadari bahwa Ramli masih muda. Iya, memang usia Ramli baru 22 tahun, baru setahun yang lalu lulus dari pesantren Darussalam Martapura.
Ramli menjadi gugup, jarang-jarang ada pembeli memanggilnya ‘Ka’, biasanya ‘Paman’, kadang-kadang ‘Nak’ kalau pembelinya sudah separuh baya.
“Yang mana?” tanya Ramli, kali ini tanpa berani menatap perempuan muda itu, dia pura-pura sibuk memberekan baju-baju yang berhamburan.
“Ini yang hijau, kuning babayun, juga yang pink, dan ungu muda.”
Ramli melihat pilihan perempuan itu, “Pintar juga dia memilih, modelnya sederhana tetapi terlihat elegan, dan yang jelas harganya cukup murah dibanding koleksinya yang lain.”
“Oh, empat baju gamis itu, harganya 800 ribu.”
“Bisa kurang, Ka?” Perempuan itu bertanya, dia sebenarnya terkejut, baju-baju serupa yang dipilihnya di tempat lain harganya sangat mahal, ternyata ini jauh lebih murah.
“Bisa, tapi paling sedikit kurangnya, harganya kada jauh jua maandak.”
Barapa kawanya?”
“Lima puluh ribu ngurangiakan.”
Kada kawa saratuskah?”
“Maaf, kada kawa, ulun sadikit haja jua, kada larang, ulun mancari pelanggan jua.”
“Inggih, ayuja bungkusakan . Kaina ulun bisa ai mandatangi pian bila handak baju lagi, asal jangan dilarangi ja.
Perempuan muda itu berlalu, Ramli serasa terbawa, sampai suara-suara pembeli menyeruak memecah keheningan pikirannya.

***

Magrib menjelang, Ramli baru tiba di rumah, setelah dia mandi dan berganti pakaian, sirine buka puasa terdengar. Di meja makan hanya mereka bertiga, Ramli, mama, dan abahnya, sedangkan kakak perempuannya sudah lama tinggal terpisah dengan mereka, dia mengikuti suaminya yang dinas di Sulawesi sebagai hakim di pengadilan  agama. Entah liburan kali ini, apakah mereka mudik ke kampung halaman.
“Bagaimana Ramli, daganganmu?” Abahnya bertanya.
“Lumayan Bah, peningkatannya sampai 300 % dari hari-hari biasa.”
Ditabung nak lah duit tu sapapalih, nyaman kaina manajak toko di pinggir jalan tu nah” Mamanya turut bicara.
Ramli mengangguk. Buka puasa berlangsung santai, setelah itu mereka shalat magrib berjamaah, Ramli kemudian pergi ke langgar untuk shalat isya dan tarawih. Malam beranjak larut, Ramli terkantuk-kantuk ketika tadarus Alquran, tetapi matanya menjadi segar ketika sudah di pembaringan. Perempuan muda yang tadi membeli gamis empat potong hadir diingatannya. Sayang dia lupa menanyakan namanya dan tempat tinggalnya.

***

Lebaran dua minggu lagi, stok dagangan Ramli sudah mulai habis, sedangkan pesanannya dari pulau Jawa tak mungkin datang lagi, biasanya pengiriman setelah lebaran saja lagi. Ramli menyusun baju-bajunya dengan rapi. Pucuk dicinta ulam tiba, perempuan muda yang seminggu lalu membeli baju di tempatnya datang lagi, kali ini mereka berempat.
“Assalamualaikum Ka. Ulun membawa kawan-kawan ulun untuk belanja di sini.”
“Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.” Lirih sahutan Ramli.
“ Ayo, silakan dipilih-pilih.” Perempuan muda itu menyemangati teman-temannya.
“Rah, kamu aja yang pilihkan. Biasanya pilihanmu selalu bagus dan enak dipakai.”
“Kalian pilih sendiri aja, biar aku melayani.” Perempuan muda itu bersikap seolah-olah dia pemilih jualan itu. Ramli hanya memandangnya dengan tersenyum, dibiarkannya mereka mengobok-obok baju-baju yang sudah terhampar. “Siapa ya namanya, temannya memanggih ‘Rah’, bisa Rahmah, Rahimah, Zahrah, atau siapa ya?” Ramli memikirkan nama perempuan itu, tetapi malu bertanya.
“Rah, ngomong-ngomong nama penjualnya siapa?” Tiba-tiba teman ‘Rah’ itu bertanya. “Dia cakep banget, udah nikah belum ya?” Bisikan teman ‘Rah’ di telinga perempuan itu sampai sayup-sayup di telinga Ramli.
“Oh, a, aku juga tidak tahu.” Gelagapan ‘Rah’ itu menjawab.
“Siapa ngaran pian, Ka?” Teman ‘Rah’ itu bertanya pada Ramli.
Ngaran ulun Ramli.” Dengan santun Ramli menjawab. “Kalau adik-adik ini namanya siapa? Maaf, soalnya kalian pasti lebih muda dari saya.” Ramli melanjutkan kalimatnya.
“Ini yang jilbab biru namanya Santi, itu yang pakai jilbab hitam namanya Reni, ulun Rizka, dan ini pelanggan setia pian ngarannya Humairah.” Cubitan Humairah langsung mendarat di pinggang Rizka, disambut cekikikan teman-temannya. Pipi Humairah merah.

***

Ramadhan menjelang akhir, Ramli terlihat semakin sumringah, hari ini dia berjanji menjemput Humairah. Dia mau mengajak Humairah ke rumah orang tuanya untuk buka puasa bersama. Tak lama SMS Humairah, “Kapan menjemput, ulun udah siap.” Ramli pamit dengan abah dan mamanya. Kali ini, Ramli membawa mobil orang tuanya ditemani keponakan sepupunya yang berumur lima tahun untuk menjemput Humairah.
Di teras rumah minimalis, bercat abu-abu Humairah sudah menunggu Ramli. Sekejap terlihat Humairah kaget, dia tidak mengira Ramli datang menjemputnya dengan mobil. Ramli turun dari mobil, dengan baju koko warna putih dan kopiah hitam, penampian Ramli sangat jauh berbeda dibandingkan ketika dia berjualan di pasar. Bersih, rapi, dan tampan sekali. Abah Humairah yang melihat dari ruang tamu tersenyum senang melihat teman anaknya.
“Sebentar, Humairah pamit dulu ya.” Humairah beranjak mau masuk tetapi abahnya sudah berada di pintu rumah.
“Abah, ini Ka Ramli yang ulun ceritakan.” Ramli berjalan menghampiri abah Humairah, menyalaminya dan mencium tangannya dengan takzim.
“Mohon izin, mengajak Humairah untuk buka puasa di rumah ulun, sekalian bersilaturahmi dengan keluarga ulun.”
“Silakan, tetapi setelah buka puasa tolong cepat diantarkan.”
“Inggih, Bah.”
Ramli dan Humairah berlalu, Hadijah, keponakan sepupunya sangat senang dengan Humairah, dia bercanda sepanjang jalan dengan Humairah yang dipanggilnya ‘Acil’.
“Dik, tolong belikan penganan untuk buka puasa, sekalian buah segar untuk mama, soalnya beliau lagi kurang sehat di rumah.” Ramli menyerahkan sejumlah uang kepada Humairah dan dia berhenti di muka pasar ramadhan.
Humairah dengan ditemani keponakan sepupu Ramli turun dari mobil, dia membeli bingka kentang, amparan tatak sepotong, buah semangka dan melon. Untuk Hadijah dia belikan es krim yang disambutnya dengan suka cita.
Ramli tiba ditemani Humairah yang malu-malu berjalan di belakang Ramli, bahkan gamisnya ditarik-tarik oleh Hadijah supaya cepat.
“Assalamualaikum....”
“Waalaikum salam...,” sahut Abah dan Mamanya, “Silakan masuk, ini yang namanya Humairah, cantik sekali orangnya.” Mamanya tanpa sungkan mengeluarkan pujian untuk Humairah. Langsung pipi Humairah bersemu merah, Ramli hanya tersenyum.
“Ayo, kita langsung ke meja makan saja, sebentar lagi waktu buka puasa akan tiba.” Abahnya mengambil alih percakapan.
Buka puasa kali ini berlangsung lebih meriah, ditambah lagi dengan Hadijah yang selalu berceloteh. Abah dan mama Ramli terlihat senang dengan kehadiran Humairah.
Sehabis shalat berjamaah, Ramli mengantar Humairah pulang. Senyap menyelimuti mereka berdua karena Hadijah sudah dijemput orang tuanya. Menjelang sampai, Ramli menoleh kepada Humairah, “Ka, ini duit sisa belanja tadi.” Humairah  membuka tas yang ada dipangkuannya, diambilnya uang beberapa puluh ribu yang menggumpal tak beraturan, dikembalikan kepada Ramli. Ramli menerima uang itu dan memasukan ke kantong celana.
Sesampainya di depan pintu, Abah Humairah sudah berangkat ke mesjid untuk tarawih, hanya mamanya yang membukakan pintu. Humairah langsung masuk, tak didengarnya lagi percakapan Ramli dengan mamanya. Hatinya bergemuruh, sedikit rasa suka yang dipeliharanya untuk Ramli telah tercerabut karena sikap Ramli tadi.

***

Sahur di rumah Humairah, mereka hanya bertiga, sepiring tumis kangkung, dengan nila goreng ditambah sayur bening dengan sambal terasi sungguh menggugah selera. Humairah makan dengan diam, abahnya melirik anak gadis satu-satunya.
“Kenapa Galuh, mamikirakan Ramlikah?  Abah katuju lawan kawan ikam tu, kalau memang inya serius, suruh ha ja badatang, insyaallah Abah terima dengan persetujuanmu.”
Kada Bah ai, ulun kada katuju.”
Kanapa tadi, mama katuju, urangnya baik, santun, bungas pulang.” Mama Humairah ikut menimpali.
“Kada Ma ai, ingkin banar urangnya, angsulan duit nukar pabukaan haja diambil”
“ikam kalu maunjuk.”
“Bujur ai pang, ulun salajur handak tahu kayapa inya, ruyalkah kadakah wan ulun.”
Abah dan mama Humairah saling pandang, mereka tidak lagi berbicara.

***

Ramli baru saja selesai makan sahur. Abah dan mamanya masih berbincang-bincang tentang keingian Ramli untuk untuk melamar Humairah.
“Ramli, pernikahan ini adalah sesuatu yang harus benar-benar kau pikirkan. Sudah mantapkan kamu memilih Humairah. Dan, sudahkan kamu bertanya apakah Humairah setuju atau tidak menikah denganmu. Apalagi dia masih kuliah, baru masuk semester dua.”
“Sudah Bah, ulun sudah  mantap. Dia sesuai dengan keinginan ulun. Agamanya bagus, tidak materialistis, dan orangnya baik juga sangat santun.”
“Tapi, sudahkah kamu sampaikan dengan Humairah.?”
Ramli menunduk, dia memang belum menyampaikan isi hatinya dengan Humairah, teringat ketika dia mengantar setelah buka puasa, Humairah langsung masuk rumah tanpa menoleh padanya. Dia tidak tahu apakah Humairah marah dengannya. Tetapi, mamanya Humairah sangat baik, beliau menemaninya berbicang-bincang meskipun hanya sebentar karena dia buru-buru mau pulang.

***

Dua hari sebelum lebaran, Ramli ditemani kedua orang tuanya datang ke rumah orang tua Humairah. Kedatangan orang tua  Ramli setelah selesai shalat tarawih itu disambut dengan baik oleh orang tua Humairah. Setelah berbasa basi dan saling berkenalan, Abah Ramli langsung menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka.
Orang tua Humairah terdiam, semenjak perbincangan mereka dengan Humairah di waktu makan sahur itu, tak sekalipun mereka menyinggung Ramli lagi.
“Baiklah, sebelum kami memutuskan, bolehkah kami langsung bertanya dengan Ramli.” Abah Humairah menatap wajah Ramli yang duduk sambil menunduk.
“Silakan Pak, insyaallah Ramli akan menjawab dengan jujur.”
“Pertama, mengapa Ramli memilih Humairah untuk menjadi istri? Kedua, kalau lamaran ini diterima dan kalian jadi menikah, maukah Ramli berjanji untuk membiayai kuliah Humairah?” abah Humairah menatap Ramli lekat-lekat.
Ramli mengambil nafas sebelum menjawab. “Bah, ulun jawab dulu pertanyaan pian yang kedua. Insyaallah dengan izin Allah SWT ulun bersedia membiayai kuliah humairah sampai selesai asalkan dia mau hidup sederhana dengan ulun karena ulun hanya pedagang di pasar. Sedangkan yang pertama, Humariah sudah memikat hati ulun sejak pertama bertemu, orangnya baik dan santun. Dan, satu lagi, menurut ulun Humairah bukan perempuan materialistis.” Jawaban Ramli itu menerbitkan senyum di bibir Abah Humairah.
“Dari mana kamu tahu Humairah bukan materialistis, dia anak manja lho, selamanya ini apa saja keinginannya kami penuhi. Apalagi dia anak gadis kamu satu-satunya.” Abah Humairah kembali bertanya, dia harus tahu bagaimana isi hati calon menantunya.
“Dia beberapa kali berbelanja ke toko ulun, pertama dia membeli gamis untuk 4 potong, yang kedua dia datang bersama teman-temannya. Dia juga membeli satu potong gamis lagi, ulun kira dia minta diskon atau minta gratiskan saja, ternyata dia membayar gamis itu. Dan, terakhir waktu diajak berbuka puasa di rumah, uang sisa belanja dikembalikannya.”
“Baiklah kalau begitu, keputusan menerima atau tidak nanti setelah lebaran. Kami harus menanyakan dulu dengan Humairah.”
Ramli dan kedua orang tuanya pamit. Humairah yang berada di kamar dipanggil orang tuanya. “Humairah, mungkin tadi kamu sudah mendengar tentang maksud  kedatangan keluarga Ramli, segalah keputusan kami serahkan kepadamu. Abah dan mama akan mengikuti apapun keputusanmu.” Humairah terdiam. Dia tadi memang sempat menguping jawaban Ramli ketika abahnya bertanya. Dan sejujurnya dia senang ketika tebakannya tentang Ramli yang ingkin tidak terbukti.
“Bagaimana?” Abahnya kembali bertanya. Humairah menunduk. Abahnya tak banyak komentar lagi, beliau sudah tahu apa jawaban yang diberikan kepada keluarga Ramli.

***

Sebulan setelah lebaran, kemeriahan di rumah Humairah luar biasa, di kamar yang beraroma melati, Humairah menjelma menjadi galuh Banjar dengan baju bernuansa kuning gading, wajahnya berbinar dikelilingi teman-temannya.
Tak lama, keluarga Humairah mengabarkan kalau pengantin lelaki sudah datang dan upacara penikahan yang dilangsungkan di mesjid sudah selesai. Humairaih diminta keluar, dengan langkah pelan Humairah berjalan, Ramli sudah menunggu dengan pakaian serupa Raja Banjar. Tampan sekali.
“Mari, Ding kita jalan bersama,” Ramli menggandeng tangan Humairah. ***

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu,   - -   2014

0 komentar: