Cerpen Retno Sulesetiyani: Kata Hati
Braakkk...Sekali lagi ia menabrakku. Kali ini, sekilas kudengar desisan dari mulutnya. Entah penyesalan atau mungkin gerutuan. Aku kadang kesal dan ingin meneriakinya. Tapi, apa daya lah aku. Takkan bergeming ia diteriaki dan dicaci. Mungkin cuma cengiran wajah tanpa dosa yang bakal menghantuiku setelahnya.
Gadis. Demikian aku menyebutnya. Bukan karena aku tidak tahu namanya. Aku hanya suka mengenalinya sebagai Gadis. Itu saja. Terlebih dia tak pernah protes untuk itu. Dia sebenarnya Gadis periang. Aku sangat suka mengamatinya dari jauh. Sering Ia kulihat mencandai Meli dan Pipit – rekan kerjanya – dengan kelakar yang lucu. Meski tidak jarang pula aku lihat wajahnya yang bertopeng egois. Entah apa yang Ia cari hingga kerap lebih terlihat sangat sibuk dibanding rekan-rekannya itu. Padahal hidup Gadis bisa dibilang cukup mengingat Ia hidup sendiri di kota ini. Hanya menyibukkan diri, pikirku.
Gadis menjadi teman diskusi yang cukup menyenangkan bagiku. Bahkan ketika obrolannya kutanggapi hanya dengan diam, dia tetap asyik berceloteh. Seolah banyak hal dikepalanya yang tak cukup diutarakan sekali waktu. Ah, kenapa engkau begitu manisnya. Batinku. Meski dia tak mempersoalkan hubungan kami, aku memilih untuk tidak mengakrabinya. Tak pantas rasaku.
Yah, sekali lagi. Hanya dengan memahaminya sebagai pribadi yang keras-lah, aku selalu diam dengan semua hal yang dilakukannya. Termasuk ketika hampir setiap hari ban depan motor bebeknya mengenaiku. Seperti pagi ini, tepat pukul sembilan.
***
Sore itu terlihat merah. Rupanya matahari yang bersinar cerah seharian ini menyisakan warna yang pekat. Angin yang bertiup cukup kencang pun tak mampu menghalau gerah. Mungkin itulah sebabnya Gadis memilih duduk di bawah jejeran pohon bambu tak jauh dari tempatku. Gadis duduk dengan melipat kaki dan memeluknya. Daun bambu kering ditangannya diremas-remas. Matanya nampak buncah. Ah, Gadis. Demi melihatmu begitu, ingin ku mendekat dan duduk disampingmu, menyiapkan sandaran, dan membiarkan bebanmu migrasi padaku.
Ah, entah kemana keberanianku. Aku hanya bisa mematung memandangnya. Hingga satu jam kemudian, tepat pukul enam sore, Gadis beranjak ke dalam ruangan. Kulihat dari jendela, Ia sudah sibuk di depan laptop. Ada yang sedang ditulisnya. Sesuatu yang pasti sangat penting. Terlihat dari wajahnya yang mengeras. Wajah yang tak biasa. Entahlah, aku berharap itu hanya pikiranku saja.
***
“Gila!!!”
Suaranya meninggi dari dalam ruangan itu. Beberapa detik yang lalu Ia baru saja dari lantai dua. Sepertinya Ia baru bertemu bos. Aku ingat tangannya mengepal saat masuk ruangan. Entah apa yang telah Ia bahas di atas, namun aku yakin itu telah membuatnya marah.
“Sabar Bu...” kudengar suara lain. Lembut dan agak parau. Ini pasti suara Meli, asistennya. Meli yang sudah bekerja bersamanya selama dua tahun pasti memahami tingkah polah Gadis. Seperti biasa, Meli akan berkata seperti itu dengan tidak perlu repot-repot menatap Gadis.
“Sabar sih sabar, tapi aku nggak bisa bohongi hati Mel!” semburnya masih nyaring. Aku yakin saat ini nafasnya saling memburu. Emosinya sedang berada di puncak.
“Emang kakak bisa apa?” suara cempreng kali ini pasti Pipit, anak yang baru direkrut Gadis enam bulan yang lalu. Karakter Pipit yang cuek ternyata mampu menjadi penyeimbang buatnya. Meski Pipit adalah anak buahnya, mereka mampu menjadi partner yang kompak. Lebih tepatnya, Pipit lah yang mampu menjadi lawan bicara bagi Gadis. Termasuk saat ini.
Senyap. Tak ada suara lagi. Oh, sepertinya Gadis sedang berada di titik balik emosinya. Ia memilih diam. Aku yakin saat ini pikirannya sedang berkecamuk.
Kekerasan hati Gadis sering dipandang teman-temannya sebagai watak idealis. Sebuah pandangan yang identik dengan jalan buntu. Meneruskan jati diri keakuan dengan resiko terasing, atau melebur dalam sistem dan tak akan mengenal dirinya sendiri selamanya. Serba sulit.
Namun, sepertinya wilayah terlarang dalam dirinya telah diusik. Saat itulah Ia benar-benar marah. Dan pada akhirnya, ia mengendus kecurangan. Sebuah permainan yang begitu sering diperankan di dunia panggung sandiwara. Demi sebuah ambisi fatamorgana berirama harta dan kuasa. Aku tahu pasti Ia sangat kecewa. Kantor yang Ia geluti dua setengah tahun terakhir ini, yang Ia besarkan melalui pencitraan-pencitraan positif, ternyata telah ditunggangi oleh kepentingan kapital dari penggila dunia. Mereka yang kenyang membuncitkan perut dengan kebohongan-kebohongan publik.
***
“Sabar dulu ya, kita coba upayakan jalan yang terbaik.” Ini suara Pak Cah yang saat itu sedang berdiri di depan pintu berhadapan dengan Gadis. Pak Cah adalah atasannya. Rupanya ada sesuatu yang sedang terjadi. Kulihat Gadis mendesah. Terbaca olehku matanya teramat lelah. Oh Gadis, ada apa gerangan?
“Keputusan ini sudah saya tunda sejak satu bulan yang lalu Pak, rasanya saya sudah dipuncak kesabaran” Mimik mukanya semakin mengeruh. Ada gurat gelisah yang tak terjemahkan indra penglihatanku. Pak Cah menyender ke dinding dekat jendela. Tangannya saling bertaut di depan dada. Mata kebapakan itu menatap lekat pada Gadis.
“Kamu tahu kan aku juga tidak diam. Ada proses yang sedang ku lobi. Jadi, kumohon kamu sabar dulu,” suara Pak Cah terdengar berat. Kegelisahan di wajah Gadis berubah kecanggungan sekarang. Mungkin Ia merasa tak enak demi mendengar suara Pak Cah yang sudah seperti bapaknya sendiri. Cukup lama Ia menunduk, memainkan gagang pintu didekatnya. Gadis sedang berfikir. Lalu Ia menarik nafas berat dan di tarikan nafas keduakalinya, yang dihembuskan lebih kuat, Ia akhirnya mengulas sedikit senyum ke Pak Cah, “Baik Pak, saya coba bertahan dulu.”
Pak Cah pun tersenyum lega. Ditepuknya pundak Gadis.
“Terima kasih, ya” ucap Pak Cah sembari berlalu. Kurasa Pak Cah akan kembali ke ruangannya di lantai dua. Gadis menatap sayu punggung Pak Cah yang masih tegak di usia 52 tahun itu. Hingga punggung Pak Cah menghilang, Gadis masih terpaku di depan pintu. Ah! Ada yang berair di wajahnya.
***
Sore kembali memerah hari itu. Gadis duduk mematung disampingku. Ya, persis disampingku. Kali ini ditangannya terselip kertas. Sebuah surat kurasa. Aku tak berani menanyakannya. Aku memang tak sanggup berkata-kata demi melihatnya begini. Gadis yang berwajah pilu.
“Aku hanya mengikuti kata hati,” lirih suaranya. Aku diam. Kupikir dia masih ingin melanjutkan.
“Mengapa begitu sulit?” bibirnya mulai gemetar. Aku diam.
“Mampukah aku bertahan?” seiring kepalanya yang menunduk, Gadispun terisak. Tangannya meremas-remas kertas itu, lalu menyerahkan padaku. Sepersekian detik kemudian Gadis sudah memacu motor bebeknya meninggalkan parkiran. Aku masih diam.
***
“Brengsek! Aku tak tahan lagi!” suara Gadis menggelegar di siang yang terik. Emosinya membara. Aku bisa merasakan hawa panas dari ruangan ber-AC itu.
“Dipikir-pikir dulu... Karirmu sudah sangat bagus di sini, ingat perjuangan mu dari nol!” Meli kembali membujuk dengan tenang.
“Persetan dengan karir!!” kudengar suara Gadis mulai serak. Nafasnya memburu.
“Lah, kakak mo kerja dimana? Tau kan konsekuensi keluar kayak gini? Kakak bakal di black list,” Pipit mulai berargumen. Sebelum Gadis menyahut, Pipit buru-buru berkata lagi. “Kantor ini banyak rekanan, Kakak bakal susah nyari kerja di kota ini.”
Hening sesaat.
“Ah, hidup ku bukan buat perut saja Pit, banyak jalan jika kita percaya.” Kini Ia melunak, namun tetap saja jawaban itu membuat Meli dan Pipit tersentak.
Beberapa detik lewat dengan senyap. Kemudian aku mendengar suara-suara gemeresak. Ah, Gadis berbenah. Kukira, keputusannya sudah bulat. Ia memilih pergi. Benar saja, begitu pintu ruangan 4x6 itu terbuka, Ia sudah menyandang ransel dan sebuah kotak. Di belakangnya, Meli dan Pipit mengikuti. Tak ada lagi yang bisa menghalanginya.
Sesaat kulihat Meli menepuk pundaknya, “Kamu masih punya kita berdua kok.” Mereka saling pandang dan saling tersenyum. Aku sangat tau, dengan senyum itu Gadis mampu menata langkahnya.
Gadis pun bergegas menuju parkir. Baru beberapa langkah, Ia berbalik lagi, “Tolong sampaikan maaf ku ke Pak Cah, mungkin nanti malam aku akan menghubungi beliau”
Meli dan Pipit mengangguk. Bersamaan.
Gadis kembali berjalan dan dengan langkah besar-besar menuju ke arahku. Apakah Ia juga akan pamit kepadaku? Ah, tak mungkin. Siapa lah aku. Ia mencapai motor bebeknya yang terparkir didekatku. Kembali Ia menghembuskan nafas. Teramat berat rupanya beban itu. Dalam jarak dekat seperti ini, begitu nampak kelopak matanya yang menghitam. Tubuhnya yang semakin ringkih. Bahkan balutan kerudung berlapis yang Ia kenakan hari ini tak mampu menutupi rahangnya yang begitu tirus.
Aku sangat tahu, Ia begitu mencintai pekerjaannya. Begitu banyak pengalaman yang Ia geluti. Begitu banyak proses belajar yang Ia lalui. Semua itu harta baginya. Namun, ternyata Ia harus membayar mahal untuk sebuah prinsip.
Perlahan motorbebeknya meninggalkan pelatar kantor. Wajah Gadis yang telah menemaniku dua setengah tahun terakhir telah pergi. Bahkan Ia tadi hanya menatap lurus padaku. Tanpa warna. Tak ada sapa. Tak ada maaf atas tabrakan tempo hari. Dan aku? Lagi-lagi hanya diam. Yang kulakukan hanyalah memandangi punggungnya yang kian mengecil dan kemudian menghilang di pintu gerbang. Ah, aku pasti akan sangat merindukannya.
Cukuplah hanya aku yang tahu. Bahwa masih ada yang begitu setia memperhatikannya selama ini. Menjadi saksi kegigihannya melawan keegoisan penguasa. Ialah aku yang telah setia teronggok manis di salah satu sudut tempat parkir yang bersebelahan dengan ruangan si Gadis. Sebuah tong sampah warna biru. []
Kampung Palam, Agustus 2013
Bahwa konon katanya tak ada tempat bagi sang idealis
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 2014
0 komentar: