Cerpen Maya Mahrita: Rona Cinta dan Drama

17.23 Zian 0 Comments

Tubuhku gemetar, rasanya kakiku tak mampu menopang tubuhku yang melemas. Entah dunia berada sangat jauh dariku atau aku yang menjauhi duniaku. Rasanya mataku tak mampu menahan air mata yang akan bergulir jatuh perlahan darinya. Hawa panas mulai merasuk ke tubuhku hingga aku merasakan dadaku yang teramat sesak seperti tak dapat bernafas. Tak sanggup akal sehatku menerima semua ini.
Seseorang yang kini berada tepat di depanku adalah orang yang dulunya sangat aku cintai, bahkan sampai sekarang. Aku tak bisa percaya akan kejadian ini, tak mungkin dia berani menampakkan wajahnya di depan ku saat ini.
“Ka Ari... Kamu...?”

Aku bahkan tak sanggup berkata apapun saat itu. Dia hanya tersenyum, itulah dirinya selalu tersenyum untukku apapun masalah yang ia hadapi. Dia kemudian mengajakku duduk.
“Kenapa kamu menghilang? Apakah kau tidak tau bahwa aku sangat mencintaimu?” Ungkapku seraya meneteskan bulir-bulir air melalui mataku.
“Iya sayang, aku sangat mencintaimu. Permasalahan kita waktu itulah yang membawa aku untuk jauh darimu” Jawabnya penuh cinta.
Aku bahkan tak dapat berkata apapun, dia selalu menatap ku penuh cinta yang tulus dan tak pernah ku dapatkan dari siapapun.
“Apakah kau tahu jika aku telah menikah?” Tanyaku.
Dia hanya tersenyum seraya berkata “Aku tahu ini pasti akan terjadi. Tapi, walaupun begitu aku tak akan menikah ataupun mencari wanita lain. Bagiku kamu yang terakhir. Setelah pernikahan ku yang berujung pada perceraian, selain denganmu aku tak akan menikah serta mengenal wanita lain.”
Dia memang seorang duda. Setelah menikah selama 10 tahun bersama Ima, tak pernah ia dihormati layaknya seorang suami. Bahkan ia hampir tak memiliki kebahagiaan dalam rumah tangganya. Setelah mengenalku, barulah ia mengenal arti sebuah kebahagiaan. Lalu, mengenalku selama empat bulan, dia menceraikan istrinya. Tragis, sejak saat itu orang-orang disekolah ku mencibirku, mereka menganggap aku sebagai perebut suami orang. Aku mulai menutup diri, dan berusaha menjauhi nya walaupun itu tak bisa ku lakukan karna aku sangat mencintainya.
“Bawalah aku bersama mu!” Desakku penuh harap.
“Tidak, bukankah kau berjanji akan berbakti pada suamimu kelak ketika kau telah menikah?”
“Tapi dia bukan dirimu. Aku bahkan tak bisa mencintainya, walaupun ia suamiku dan ibuku yang menjodohkan kami. Sungguh, aku menutup diriku atas cinta yang lain selain kamu”
“Jangan nodai cinta kita, jika kita memang tidak berjodoh, kamu pasti akan sanggup melupakan aku. Tapi percayalah kamu yang terakhir dalam hidup dan hatiku” Ungkapnya.
Sungguh menyedihkan, padahal dulu kami memiliki komitmen untuk membina keutuhan rumah tangga yang kokoh dan dihuni oleh insan yang sholeh dan sholehah.
“Bagaimana kabar suami mu?” Pertanyaan nya yang membuatku semakin terpuruk.
“Dia baik, mungkin ia sekarang sedang mencari ku”
“Pasti ia orang yang sangat baik?” “Iya…”
“Dia seorang sarjana?”
“Ia lulusan Orta Dogu teknik universites di Turki”
“Pasti,,”
“Sudahlah! Aku ingin pergi bersama mu” sergah ku.
Dia tersenyum, ku lihat senyum nya yang sangat terlihat menutupi sesuatu kepahitan dalam batinnya. Guratan kesedihan itu terlihat nyata dari raut wajahnya. Aku sangat mengetahui perasaan nya terhadapku, semua itu terpancar dari perhatiannya yang sangat tulus, ia bahkan tak meminta apapun padaku terkecuali menjadi wanita yang sholehah. Tidak begitu dengan aku, apapun yang aku minta ia selalu berusaha untuk memberikan. Dia bahkan tak pernah marah padaku. Bukan aku yang selalu menyalahkannya.
Ini tidak adil bagiku, satu bulan aku menikah dengan Adit. Kakak kelas ku semasa SMP, yang hanya terpaut satu tahun itu, kenapa baru sekarang aku dipertemukan dengan ka Ari? Selama pertemuan ini, aku hanya menangis dan selalu menangis. Dapatku rasakan hatiku sangat menginginkannya. Bahkan aku tak pernah merasakan cinta yang sama pada suamiku.
“Hei, jangan menangis. Bukankah cinta itu tak harus memiliki?” Ungkapnya.
“Bagiku cinta itu harus memiliki, hanya orang munafik yang berkata demikian”
Entah mengapa saat itu ia berani menggenggam tangan ku, dan mencium jemariku dengan sangat mesra. Tangis ku semakin menjadi-jadi, dia bangkit dari kursinya dan membisikkan sesuatu padaku “Abie sayang Umie” ungkapnya. Dia mulai pergi meninggalkan aku yang masih duduk terpaku di tempatku. Karena air mata, aku tak dapat menangkap bayangannya dengan jelas. Ia menghilang ditengah kerumunan mall sore itu. Beberapa menit aku masih tertahan oleh isak tangisku, hingga seseorang menghampiri ku.
“Sayang, kamu kemana saja? Aku sangat khawatir, ku pikir kamu pulang sendiri. Ku coba menelpon tapi nomormu gak aktif? Kenapa kamu menangis?”
Aditya, dia sangat menyayangi ku. Dia juga sangat memperhatikan ku, tapi entahlah. Aku tak bisa mencintainya. Aku bahkan tak mampu mebuka hatiku untuknya. Aku hanya mampu bersandiwara di kehidupan ini.
Semua pertanyaan darinya hanya ku jawab dengan air mata, hingga ia berpikir aku menangis karena takut tersesat. Kemudian ia membawa aku tuk pulang. Semenjak saat itu aku tak pernah lagi melihat ka Ari, bahkan tak pernah terdengar kabarnya. Dia kembali menghilang, entah kembali ataupun tidak. Sepertinya aku takkan melihatnya lagi, meskipun demikian bagiku dia bagai pohon yang telah menancapkan akar cintanya pada hatiku, hingga tak ada lagi yang dapat mencabutnya. Sejak saat itu pula setelah selesai sholat isya aku selalu menyempatkan diri untuk melihat langit malam.
“Jika malam hari, tataplah langit malam. Disana berjejer tiga bintang yang paling bersinar daripada yang lain, tiga bintang itu seperti deretan tiga tahi lalat yang ada di wajah manismu”.***

Sumber:
SKH Mata Banua,  2014

0 komentar: