Cerpen Hajriansyah: Telimpuh

09.07 Zian 0 Comments

Pulang dari pasar Ramin mendapati rumahnya sepi. Padahal sering, ucapan salam atau bunyi derit pintu saja sudah membuat kedua anaknya yang masih kecil itu berlarian menyongsongnya. O, barangkali isterinya sedang di rumah tetangga bersama anak-anak.
Ia mengucap salam di hadapan pintu yang terbuka separuh itu. Ratih, istri Duan, keluar menyongsong, dan tahu maksud Ramin sebagaimana biasanya mencari istrinya, langsung mengatakan Isah dan anak-anak tidak sedang di sana.
Kembali lagi ke rumah dan langsung menuju dapurnya, Ramin mengambil gelas dan sebotol air putih di samping kompor gas. Biarlah, pikirnya, mungkin Isah sedang ke pasar sejumput di pinggir sungai membawa anak-anak. Isi dapurnya kosong, kecuali nasi setengah isi panci. Dan sepotong ikan peda, yang bagian ditelungkupkannya tinggal tulang, sementara bagian atasnya masih utuh.
Setelah meneguk tandas segelas air putih, Ramin kembali ke kamarnya. Lalu, dengan sarung sepusat dan handuk menggelantung di pundaknya, ia membuka pintu belakang, menuju pintu WC barisan rumah bedakan yang setengah terbuka itu. Sehabis mandi terasa badan kembali segar. Setiap tetes air dari rambut yang tak kering jatuh ke pundak, terasa seperti ingatan Ramin meloncat-loncat kembali, tentang peristiwa setengah harian di pasar tadi.

***


Haji Abduh menyindir dengan nyinyir. "Kau sudah tamat sembahyang, leh, Min?"
Ramin hanya diam, enggan menanggapi orang bodoh-—pikimya.
Lalu, ia menyambung lagi, "Ujar Amat, kau sudah tak perlu sembahyang lagi. Tapi, sudah dijamin masuk surga. Ah, bagaimana bisa itu?" kali ini suara juragan si Amat, yang pandir, itu terasa tajam betul. Tapi Ramin cukup sadar diri, ia teramat mulia bercakap masalah akhirat dengan Pak Haji pandir yang setiap tahun menghamburkan uangnya untuk umrah, dan abai pada karyawan-karyawannya yang gaji setelah berpuluh tahun ikut kerja tak dapat membeli rumah sangat sederhana sekalipun.
Ketika mereka berpapasan dengan jarak yang sangat dekat, Ramin hanya tersenyum ke Haji Abduh. la menuju truk yang yang memuat karung-karung beras dan gula jualan Pak Haji. Awi yang menurunkan karung disambutnya dengan menyodorkan punggung, ia berjalan ke arah toko Haji Abduh setengah terbungkuk, melintasinya lagi, dan tersenyum lagi.
Haji Abduh mengisap rokoknya, sembari mengawasi barang-barangnya. Terutama ia juga mengamati Ramin. Ia penasaran dengan celoteh si Amat, anak buahnya, yang mengatakan Ramin, buruh angkut lepas itu, sudah tidak sembahyang lagi sebagaimana biasanya orang Islam lainnya yang cukup taat. Dan seingatnya, Ramin dulunya termasuk yang taat itu. Ia sudah mengenal anak itu sejak ia belum beristri, hingga kini sudah memiliki dua anak. Sudah hampir sepuluh tahun Ramin bekerja sebagai buruh angkut untuk toko-toko orang Nagara di Pasar Lima itu.
"Kalau kau tak sembahyang, lalu apa amalanmu supaya masuk surga, Min?"
Dari sisi Haji Abduh pertanyaan ini buah rasa penasarannya yang teramat sangat, meski dari sisi Ramin itu tak lebih kecongkakan orang kaya yang tak mau orang kecil lebih hebat dari dirinya saja. Dan, nada suaranya terasa betul sebagai hujatan, atau malah pelecehan atas ketidakmampuan orang kecil menempuh jalan hidupnya sendiri sampai ke peluk tangan sang pencipta. Ana 'inda zanni 'abdi bi, kata Tuhan di dalam hadits qudsinya. Lalu, tak bolehkah seseorang punya pengharapannya sendiri pada Tuhan, punya caranya sendiri, punya gurunya sendiri—-begitu pikir Ramin.
Ramin yang sudah menyelesaikan angkutan terakhirnya duduk menyandar di tumpukan karung. Ia mengambil plastik teh es manis yang dikaitkannya di tonjolan paku di dinding toko. Sambil menyeruput minumannya, matanya melirik ke Haji Abduh yang memegang kalkulator menghadapinya.
"Berbuat baik kepada sesama, itu amalan orang yang berharap ridha Tuhannya, Pak Haji." Terlontar juga ucapan itu dari mulutnya yang masih basah.
"Apakah menurutmu, aku yang sembahyang ini, tidak berbuat baik kepada sesama?"
"Suka-suka sendiri,lah, Pak Haji. Pian pakai cara pian, ulun dengan cara ulun sendiri." Kali ini sudah habis kata-kata dari mulut Ramin, dari kesabarannya yang tipis. Ia pergi begitu saja meninggalkan sisa minumannya dan hitungan upahnya yangvbelum diselesaikan Haji Abduh kepadanya.
"Hei, Min... Hei! Aku belum habis bicara denganmu!" Haji Abduh yang dikenal tempramental itu merah air mukanya. Ia cukup tersinggung diperlakukan Ramin seperti itu. Ia sempat ingin mengejar Ramin, kalau tidak Amat dan anak buahnya yang lain, juga anak perempuannya menyabarinya. Orang-orang yang lalu lalang dan berjualan di sekitar toko itu terkesima dengan keributan di depan toko Haji Abduh. Beberapa pedagang yang paham sifat juragan sembako itu segera kembali ke aktivitasnya masing-masing, sebagian yang lain menyuruh orang-orang supaya terus berjalan dan tidak berhenti menghalangi pelintas yang lain di jalur toko-toko mereka.

***

Ramin duduk telimpuh di kamarya. Di atas pangkuannya ia membuka Alquran. Air matanya menetes tepat di atas huruf ghain pada kata "maghdhu bi...", surah Alfatihah, memencar pada titiknya. Ramin menangisi dirinya yang tak sabar. Sudah berulang-ulang, tanpa bosan, ia mengkaji surah pembuka itu, dan selalu ada pemaknaan baru bagi dirinya.
Ia ingat pesan Kai Amut kepadanya. "Urusan dengan Allah biarlah menjadi urusan kita sendiri, dan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Urusan dengan manusia, berjemaah, terpulang kepada kesanggupan kita, jika tak sanggup mendengar pembicaraan orang ikutilah mereka. Tapi sungguh, balasan Allah tiada terkira."
Maka, Ramin pun menjaga dirinya dari ujub dan riya. Kadang, ia merasa harus sembunyi-sembunyi beribadah. Kadang, ia harus bilang sudah tak salat lagi, sekadar untuk menjaga diri, kalau-kalau ada pengharapan dipuji manusia. Kadang, ia merasa hidup ini hanya sebatas jalan kecil di mana orang-orang malas melintasinya. Seakan, baginya, hanya ada dirinya dan Tuhannya. Bahkan, kadang seakan, tidak ada tempat untuk istrinya.
Ya, istrinya. Ramin baru sadar ia terlalu lama tafakur. Senja telah lewat. Hari sudah gelap. Suara-suara di corong langgar sudah kembali sunyi. Ramin baru teringat istrinya. Beberapa hari ini istrinya mengeluhkan sikapnya yang kelewat diam dan terkesan aneh. Terkesan, bagi istrinya, ia kurang perhatian kepadanya dan anak-anak mereka. Begitu juga kepada tetangga mereka. Dan, gunjingan mereka sudah mulai terasa sakit di telinga. Ramin bergeming, ia tahu keras hati istrinya. Ia sadar kekurangmampuannya menjelaskan sikapnya, dan kekeliruan dalam penyampaian hanya akan membuat sesat pikiran orang yang tak bisa menerima. Ia tak menggubris keluhan istrinya.
Ramin merapikan sajadahnya, sarung dan pakaian salatnya. Ia membuka tabir kain penyekat kamarnya. Ia akan keluar mencari istrinya, ketika dilihatnya kelap-kelip lampu di hape yang teronggok di atas kasurnya. Sebuah SMS, dari nomor mertuanya.
"Jangan cari ulun. Kami di rumah mama. Pian pikirkan dulu sungguh-sungguh, kalau pian tidak mau terbuka tentang masalah pian ke ulun, tidak usah menjemput kami."
Ramin terpana, masalah sekecil itu bisa membuat istrinya meninggalkannya. Ia terjatuh, duduk telimpuh di samping kasurnya. "Betapa berat menutupi hubungan denganMu, Ya Tuhan...."

Sumber:
Banjarmasin Post, 10 Agustus 2014
Hajriansyah. 2016. Kisah-kisah yang Menyelamatkan. Banjarmasin: Tahura Media

0 komentar: