Cerpen Hajriansyah: Ada Buaya di Keluasan Sana!
Tulis saja! Tulis saja, katanya, sehingga aku kelimpungan juga mengadapi tuntutan yang semena-mena ini. Aku ingin berhenti sebentar saja, sekiranya aku dapat mengirup udara, menenangkan batinku atas hujatan pikiran yang terus berlari. Aku ingin sebentar saja mengungsi ke ruang yang lebih luas. Tapi waktu terus berlari, dan ruang memang sempit, kata pikiranku lagi. Lalu bagaimana aku dapat menulis, jika semuanya menjadi klise, terus diulang-ulang, sehingga aku tak lagi dapat menemukan kata yang tepat untuk diriku; untuk tempat yang lebih tinggi, yang lebih luas bagi diriku.Lalu aku pergi ke teluk sunyi, entah di mana dan apa namanya. Di sana, di pinggir sungai yang luas aku memandang sunyi. Suasana yang damai. Di sampingku sebuah pohon besar. Akar-akar juntainya melambai menyentuh sungai. Aku berdiri memandang entah ke mana, akupun tak tahu. Di seberangku sebuah pulau. Keluasannya tampak hijau. Di atasnya payung awan tebal. Tampak damai di sana. Silir angin menyentuh tengkukku. Aku merinding. Aku dan kesunyian, dan di kepalaku tumbuh bayang-bayang. Ada buaya sebesar kuda, ia merangkak dari tebing menuju sungai. Sejenak ia berhenti, tampaknya ia menyadari keberadaanku, lalu berpaling ke arahku. Matanya ganas menatapku, seakan aku mangsa bagi rasa laparnya yang menahun. Tiba-tiba ia berlari ke arahku. Aku yang gugup tak dapat mengendalikan tubuhku, setiba-tiba saja aku meloncat ke sungai. Ah, tololnya aku!
Aku berenang kesetanan dikejar buaya, si raja sungai. Aku tak bisa berpikir lagi, kukerahkan segenap tenaga untuk berenang lebih cepat dari buaya itu, dan tujuku adalah pulau di seberang sana. Aku megap-megap di tengah sungai, tapi aku tak boleh berhenti, pikirku, dan terus saja kudayung tubuhku agar cepat sampai, agar lebih dari buaya yang seperti mesin tempur perenang yang handal. Oh, oh, tolong, aku menyeru ke langit yang kosong, selamatkan aku dan aku bersumpah akan mengunjungi kubur ayahku, akan bersedekah ke seribu anak yatim, akan berpuasa sebulan penuh, akan mengunjungi orang-orang yang telah lama tak kukunjungi, dan menyantuni mereka jika perlu. Oh, tolong aku Tuhan! Aku bersumpah!
Tiba-tiba aku terbangun dari mimpiku. Keringat dingin membasahi tubuhku, sekujur badanku. Di sampingku istriku tengah menyusui anakku yang paling kecil, yang berusia dua bulan, dengan terkantuk-kantuk. Ah, kasihannya ia. Bagaimana aku meringankan bebannya, setidaknya membuat ia dapat tidur nyenyak sebulan saja. Tiba-tiba ia tersadar, “Ayah sudah makan?” tanyanya. Ah, begitu perhatiannya ia, sementara aku sibuk menulis saja, padahal tulisanku tak dapat membahagiakan ia lebih dari ia membahagiakan aku. Tapi tak apa, aku bersumpah jika aku menjadi penulis terkenal, dan royaltiku dapat kubelikan sebentuk gelang emas dengan mata berlian di tengahnya, akan kubelikan untuknya. Aku bersumpah!
“Kau tidur sajalah, aku masih kenyang. Jika lapar nanti kuambil sendiri makanku.”
“Tapi jangan lupa makan, ya! Nanti sakit lagi seperti kemarin. Nanti tak bisa kerja. Nanti tak bisa beli susu untuk anak kita.”
“Ya, ya..” aku tersenyum saja, dan itu dapat membuatnya tidur, setidaknya sampai anakku bangun lagi menuntut susunya.
Tulis lagi! Tulis lagi! Kembali pikiran itu datang membawa pening yang tak sudah-sudah. Aku keluar membuka pintu rumahku. Kuhisap sebatang rokok dan memandang langit. Dari sungai mengalir angin segar. Di beranda belakang rumahku, menghadap sungai, di antara jamban-jamban yang terapung diombang-ambingkan air yang pasang, aku menangkap seekor biawak yang meloncat dari tebing bawah rumahan dengan mataku. Kupikir ia berenang mencari ikan. Di langit bintang hanya sedikit. Tak gelap, tak juga terang benar. Terpikir di kepalaku untuk membuat kopi, aku akan menikmati malam ini di beranda belakang rumah, dan menghayati sungai yang menuju muara. Aku berpaling ke dapur, mencari bungkus kopi dan gelas gula. Di sudut atang kutemui keduanya. Takaranku, dua bagian gula dan satu bagian serbuk kopi. Ah, nikmatnya!
Kuletakkan segelas kopi di bangku kayu panjang yang kududuki, tepat di sebelahku, dan kujumpat batang rokok yang masih menyala yang kutinggalkan sebentar tadi. Kuhisap dalam dan kuhempaskan asap dengan pelan. Dengan pelan, dan kuangkat gelas kopi untuk setegukan yang menghangatkan badan. Ah, nikmatnya!
Di seberang sungai, di antara bayang-bayang rumah, ada orang berlari. Mengejutkan aku. Dan suara-suara di belakangnya. “Maling! Maling!” Beberapa orang berlari mengejar sosok sebarusan. Aku bingung, bagaimana membantu mereka, aku tak mungkin terjun ke sungai yang dingin malam-malam begini. Ah, aku teriak saja.
“Hoi, malingnya mencebur ke sungai. Di sungai!” Orang-orang terperanjat melihat ke arahku, dan seseorang yang membawa senter mengarahkan sorotnya ke sungai.
Si maling yang tak kalah terkejutnya, menyadari keberadaanku. Ia mengalihkan tujunya ke arahku. Matanya nanar menatapku, ganas menghujam ke mataku. Aku salah tingkah, lekas kubuang puntung rokokku, dan berlari ke arah pintu, ke dalam rumahku. Cepat aku bersembunyi ke balik selimut istriku. Ia terbangun, “ada apa, Yah? Mengapa ketakutan begitu?” Aku gemetar, menutup mataku. “Ada maling. Ia menuju ke arahku, ke rumah kita.”
“Maling bagaimana, dan di mana. Dari tadi ayah tertidur melingkur dan mendengkur, setiba-tiba saja mengigau seperti itu.”
“Apa! Aku mimpi, ya?” aku bangun dan menatap ke luar, ke pintu kamarku.
“Tahajud sana! Dari tadi ayah mengigau terus. Kemarin juga, kemarin lusanya juga. Paling tidak, wudhulah!”
Aku bangun dari ranjangku. Aku menuju kamar mandi. Sejenak mengeluarkan yang kutahan sejak tadi—air kencingku, ah, segarnya. Aku tidak langsung kembali ke ranjangku, tapi berbelok ke ruang tamu. Aku duduk di bangku panjang, melonjorkan kakiku. Aku memejam mata, tidak untuk tidur, hanya untuk mengalihkan bayang-bayang di kepalaku, untuk menemu ruang yang lebih gelap untuk tidak melihat apa-apa.
Di kejauhan kudengar kokok ayam. Aku mencari jam di dinding rumahku, dan kunyalakan lampu. Ah, sudah pukul tiga lewat rupanya. Dan kuingat cerita Daus tadi siang di kantorku, katanya ia tak dapat tidur nyenyak beberapa malam ini. Ia selalu terbangun tengah malam, dan setelahnya tak dapat tidur lagi sampai pagi menjelang. Kemudian ia harus pergi kerja dengan kantuk di kepala, dan untuk itu agar tak terlihat bodoh di kelas kuliahnya, ia harus menghabiskan sebotol kratingdaeng plus kopi sesudahnya. “Ah, tidak berbahayakah itu,” tanyaku. “Aku sudah terbiasa dengan resep begitu,” tuturnya, dan kubalas, “itu berbahaya bagiku.” Ia hanya terkekeh saja kemudian.
“Ya, susah jika kita tak dapat tidur nyenyak di malam hari. Semuanya menjadi kacau. Siang menjadi kacau. Waktu menjadi sangat terbatas. Bagaiamana tidak, kantuk mengganggu konsentrasi kita..” kataku panjang kepada Daus.
“Iya, tapi ya memang waktu sangat terbatas. Bayangkan keinginan kita yang banyak..” katanya padaku. Daus tahu betul keinginanku begitu banyak, kurang lebih-sama seperti dia, yang terus punya ide—dan hampir tak kesampaian terus. “Dan siang rasanya sangat pendek, lalu malam. Bayangkan itu, sementara pikiran kita terus menerawang, jika menemu celah atau jalan langsung saja berlari, bagaimana waktu tak terasa pendek kemudian” katanya tak kalah panjang. “Apalagi aku ngajar, harus kerja untuk menghidupi keluarga. Meski seminggu cuma tiga hari untuk lima kali pertemuan, itu cukup menyita waktuku, kurasa. Tapi, bagaimana lagi, ya..”
“He, he, waktu memang pendek, ya” tambahku lagi.
“Ya. He, he, atau kita aja yang terlalu ngoyo, ya” katanya lagi.
“Tapi beberapa malam ini aku selalu mimpi, Us! Mimpinya aneh, dan membuatku susah tidur lagi kalau sampai terbangun. Aku selalu seperti digiring untuk menemu ruang yang lebih luas untuk diriku..”
“Ruang luas bagaimana,” ia memotongku.
“Ya, ruang luas. Bentuknya bisa apa saja, bisa padang ilalang dengan cakrawala langit yang lebar, lebar sekali. Bisa juga sebuah bangunan, atau tepatnya gudang yang tak bersekat, yang benar-benar luas. Atau bisa juga sebuah bukit dengan hamparan sungai di tebingnya, sungai yang lebar dan panjang, panjang sekali. Dan selalu di tengah keluasan itu aku terganggu, atau tepatnya diganggu kemudian dengan bayang-bayang yang menakutkan, entah itu lewat bentuk seekor buaya yang kemudian mengejarku, atau seseorang yang mengancam, dalam bentuk apa saja—yang menggangguku di tengah kelapangan hatiku. Bagaimana menurutmu, Us?”
Daus bicara panjang lebar kemudian, dan kata-katanya sama sekali tak memberiku pemahaman, atau setidaknya penghiburan, atau solusi. Tapi aku mendengarkan saja, sampai kami lelah sendiri berbincang-bincang. Sampai malam ini kemudian, akupun tak dapat tidur nyenyak lagi. Entahlah, sepertinya setiap orang punya mimpi-mimpi yang selalu membangunkannya di tengah tidur yang nyaman.***
10 Nopember 2008
Sumber:
Hajriansyah. 2009. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami. Bantul: Frame Publishing
https://hajriansyah.wordpress.com/2009/02/02/ada-buaya-di-keluasan-sana/
0 komentar: