Cerpen Leni Wulan Dari: Cokelat Mappanretasi

08.34 Zian 0 Comments

Ya, aku tahu tak ada seorang pun di sini yang tak menyukainya. Jelas, karena ini memang gedung yang didesain untuk pecinta es krim dan cokelat. Ada yang begitu cintanya hingga tas, baju, sepatu, dan aksesoris seorang remaja berusia enam belasan tahun bergambar es krim dan kerupuk yang berbentuk kerucutnya itu mendominasi ke semua bagian yang dikenakan . Monoton sekali.
Kami berjalan menuju ruang berikutnya. Aku melempar pandangan ke sebuah poster tentang perayaan mappanretasi, sebelum mataku mendapati miniatur lemari buku dengan penjaganya si Hello Kitty yang terbuat dari cokelat aneka warna. Indah sekali. Sayang, tak ada izin untuk menyentuhnya apalagi untuk mencicipi seujung kuku, pun dipastikan akan berurusan dengan security. Bila begitu, aku menjadi ragu dengan rasanya. Papan larangan 2 x 6 m eter itu mengurangi rasa kekaguman ku saja.
Aku melangkah lagi, menikmati keindahan tiap sudut istana cokelat ini. Beruntung, rasa senang ini dapatku bagi dengan Nafhizah. Walau awalnya dia keberatan. Karena si kelinci berkerudung ini selalu disibukkan dengan kegiatan organisasi dakwah sekolah. Aku suka dengan gigi kelinci yang dimilikinya, sehingga sering ku panggil dia dengan sebutan itu.
“Gak nyesel kan ke sini, gilaaa bagus-bagus banget Naf! Tapi gak boleh dicicipi, huh!” ku buka pembicaraan setelah tadi kami cukup lama terdiam mengagumi tiap jengkal gedung ini.
“Lagian Ros, kalaupun dibolehin untuk nyicipi setiap pajangan cokelat itu, aku yakin kita gak akan bisa lagi nikmatin keindahannya. Hahaha nanti dihabisin sama Rosa Melani lagi..” Nafhizah berbicara lebih dewasa diatasku dan mengimbanginya dengan gurauan kecil. Aku tak menjawab, membiarkan tawa manis itu mekar di wajahnya. Lalu kutarik lengan kirinya. Aku ingin mengajaknya ke meseum es krim. Hanya namanya saja yang terkesan tua, namun itu adalah tempat pengolahan es krim dari bahan, alat, sampai pengolahan es krim yang siap untuk ku makan seperti hari-hari terik biasanya. Ku rasa penamaan untuk ruangannya kurang tepat, mengapa harus museum, ya?
Nafh’ sangat menyukai cokelat, karena itulah aku meminta janji jauh-jauh hari untuk pergi ke gedung cokelat  bersamanya tepat di hari ulang tahunnya ini.

***

Dua hari setelah kami mengunjungi gedung es krim dan cokelat itu, nyaris tak ada komunikasi antara aku dan Nafhizah. Aku pun lelah melihatnya dengan segala organisasi yang menurutku semakin menggila di dunianya itu. Maklum, dia anak salah seorang ulama di kota kelahiranku ini, Batulicin, Kalimantan Selatan. Setiap harinya dia tentu tak lepas dari tatakrama dan ajaran ilmu agama yang baik. Aku sempat iri padanya, diumurnya yang sama denganku, dia dapat berkomunikasi dengan baik dan beralur satu arah dalam pembicaraan  dengan guru pengajar agama islam di sekolahku.
Selain Nafh aku sering berjalan-jalan dan istirahat di sekolah bersama Elza. Berbeda dengan Nafh, dia menikmati kesenangan dunianya yang tak mau ambil pusing. Ia sering bicara padaku kalau hidup hanya sekali buat apa susah-susah memikirkan ‘kematian’. Aku bingung ingin memeberi respon apa atas perkataannya itu. Sekedarnya, aku mengulum senyum yang aku sendiri tak mengerti arti senyumanku itu.
Istirahat kali ini sangat pedas. Faktanya Elza menantangku.. makan sambal.
“Berani gak?” katanya sambil memasang wajah macam pemain tinju menantang lawannya.
“Siapa takut!” jawabku yang juga sedang berkonflik dengan hati nuraniku sendiri. Aku sudah yakin, sepulang ini, dipastikan aku, akan, diare..
Tantangan itu dimenangkan Elza. Huh! Yang penting aku menerima tantangannya, meskipun konyol.
Elza tak langsung mengakhiri hari pedas ini setelah penjual di kantin membereskan mangkok-mangkoknya. Dia terus tertawa melihat bibirku memerah dan keringat yang mengalir di wajahku.
“Iya iya aku kalah makan sambalnya. Tapi jangan ketawa terus dong, terasa semakin menindas tahu...” gerutuku.
“Haaaa yang menindas siapa, aku hanya tertawa. Seharusnya diawal tantangan tadi ada pemberian sesuatu dari yang kalah..” membela diri.
“Benar Za. Seharusnya ada pemberiannya, nah ini keringatku, mau kulunturkan bedakmu itu dengan ini?” Sahutku yang masih kepedasan. Tawa Elza semakin menjadi-jadi.
Di tengah pertikaian sambal kami, tiba-tiba Nafh memberi sebuah lembaran buletin kepada kami, tentu dengan teman-teman organisasi dakwah Sekolah-nya  itu. Ku suruh saja Elza yang membaca, karena aku masih kepedasan.
“Assalamu’alaikum teman-teman! Waah maaf nih, ganggu acara makannya, sekedar mengingatkan, bahwa niat adalah hal terpenting untuk mengawali semua pekerjaan kita. begitupun dengan kesenangan kita nanti, jangan sampai memebri kerugian bagi diri kita sendiri. Nah! Mappanretasi sebentar lagi, kan teman-teman? Maka dari itu kita turut waspada! Kejahatan dan kesalahan pribadi bisa datang kapan saja, bukan? Kami dari Organisasi Dakwah Sekolah ingin mengingatkan nih! jaga diri kita baik-baik ya? Di manapun kalian berada....  Wassalam. Sudah Ros. Sudah kubacain. Dan lebay! Aku lihat Nafhidzah semakin sok alim deh! Sok sibuk juga!” katanya sambil menghina setelah tadi membaca tanpa titik koma yang sesuai.
“Hey! Kok gitu Za, itu namanya penghinaan tahu... aku rasa dia bukannya sok alim. Tapi ya, memang alim duluan Za, kamu gak tahu ya kalau dia itu anaknya ulama.” Kataku ingin membenarkan dugaan Elza.
“Aku gak peduli, Ros. Dia memang teman kita tapi tetap saja aku tidak sejalan dengannya. Aku menyukai kebisaanku, dan dia dengan kebiasaanya.” Tutup Elza tak mau tahu.
Bel masuk sudah  berbunyi. Kami pun bersama menuju kelas. Elza menceritakan bahwa mappanretasi memang acara yang sangat ramai dan dia menggemarinya, rutin untuk mengikuti acara itu barang menonton dengan keluarga atau teman-temannya. Tapi bodohnya aku, tidak sempat bertanya apa itu mappanretasi.

***

Hari libur ini cukup berbeda dari biasanya, aku pergi bersama keluarga ke pantai pagatan. Aku melihat sebagian orang sedang ramai-ramai bergotong-royoang mebuat perahu besar.
“Itu nantinya akan dijadikan tempat sajian di mappanretasi, Ros.” Ayah mengagetkanku saat aku masih memandangi detail demi detail tumpukan kayu yang sangat rapat itu.
Aku melirik ke arah adikku, menganga dengan mulut dibukanya seperempat. Maklum, dia baru pertama kali melihat pantai. Rasa penggangguku kambuh, ku kagetkan dia, dan se-isi mobil mengutukku dengan berbagai kalimat marahnya masing-masing. Aku tertawa, sama sekali tak merasa bersalah.
“Mappanretasi? Apa itu Yah?” aku memang sering mendengarnya, tapi aku tak tahu pasti arti perkataan itu.
Ayah mengajakku turun. Sambil berjalan, menuju warung es degan. Dengan sabar ia menjelaskannya padaku. “Disetiap tiga minggu di bulan April orang suku adat Bugis memperingati rasa syukurnya dengan istilah ‘memberi makan laut’.” Ayah memandangku, yang melongo menatapnya. Lalu ia sambung lagi “Nah! Memberi makan laut itulah asal kata dari mappanretasi yang sedang kamu tanyakan ini. Sebenarnya mappanretasi itu bukan satu kata, Ros.” Potong Ayah yang ingin tahu apa responku.
“Bukan satu kata? Lalu?” tanyaku dengan ringannya, tak berpikir apakah tenggorokan Ayah kering.
“Pertama, mappanre yang artinya memberi makan. Dan yang kedua, tasi yang artinya laut.” Lanjut Ayah sambil duduk di kursi panjang sederhana milik penjual es degan. Aku memikirkan perkataan Ayah yang terakhir ini, memberi makan laut? Teringat dengan status agamaku, Islam, bagaimana pandangannya, sedangkan acara itu kian mengeksotis di kelahiranku ini? Bagaimana dengan Indonesia dengan seribu satu macam adat dan islam di dalamnya? Duh, pikiranku semakin melayang-layang, macam permainan layangan adikku yang putus begitu pun dengan pikiranku tadi,  saat Ibu menegurku.
“Rosa! Melongo aja, mau minum ndak?” kata Ibuku di depan seorang ibu-ibu penjual yang sudah siap memegang gelas ukuran besar kosong tempat menaruh es degannya.

***

Usai dari pantai pagatan mengenai mappanretasi, aku semakin ingin tahu apa kira-kira komentar Nafh tentang ini.
“Akhirnya bulan April datang juga, yesss! Sebentar lagi! Dan Ros, tau nggak aku terpilih lho menjadi salah satu dari ke-enam puluh dayang di acara yang kutunggu-tunggu itu.” Merona wajahnya penuh semangat. Aku membenak, bertanya-tanya acara apa yang dimaksud Elza. Apa iya, mappanretasi?
“Hah? Dayang?” pertanyaan yang meminta penjelasan.
“Iya, dayang, di sana aku akan menjalani ritual sesuai pelatihan-pelatihanku dua minggu kemarin Ros, huh! Badanku jadi hitam tahu. Kamu lihat aja pasti acaranya seru, aku jamin!” Elza
Aku memang ingin melihat langsung acara itu, berhubung pada tanggal itu aku libur sekolah. Setelah perbincanganku dengan Elza selesai, akhirnya aku dapat menemui Nafh. Aku membicarakan semua yang ku tahu dan semua pertanyaanku yang membenak tentang mappanretasi kepadanya.
“Iya, Ros. Aku sering mendengarnya, dan aku juga tahu acara macam apa itu. Sebuah keyakinanan erat yang sangat sulit dipisahkan dari masyarakat kita. Meski di dalamnya bagiku itu terdapat ke-mubaziran, ke-yakinan yang sesuguhnya tak ada dalam perintah islam. Sebagai anggota Dakwah Sekolah aku ingin sekali memberitahukan ini kepada Elza, tapi setelah aku tahu dari kamu dia sangat bersemangat.....” Nafh tiba-tiba menghentikan obrolannya, alu mentapku sayup dengan sedikit mengerutkan keningnya.
“Kamu nggak mau dia kecewa?” tebakku.
“Bukan hanya kecewa Ros, aku tidak mau nantinya organisasiku ini akan disangkut-pautkan karena kelancanganku mengurangi kesenangan orang lain, Elza.” Aduh semakin rumit aku memikirkan antara pertanyaan-pertanyaanku,  Nafh dan Elza.
Belum dapat kusimpulkan mappanretasi itu. Aku duduk di bawah pohon tak berbuah, entahlah apa namanya, menatap kosong. Setelah tadi perbincanganku harus usai karena ada rapat organisasi Nafh. Aku memutuskan untuk mendatangi guru agama islamku. Beliau sedang duduk di depan kelas. Salam pendekku mengawali.
“Wa’alaikumussalam. Nafhizah, ya?” tebaknya kepadaku mungkin karena sering bersama Nafh namaku jadi tertukar, dan itu disadari beliau lewat tanyanya tadi.
“Bukan pak, saya Rosa Melani.” Jelasku kepada beliau, setelah lima menit kedepan semua tanyaku telah tumpah ke telinganya.
“Hmm, mappanretsai, ‘memberi makan laut’iya itu memag sempat dilarang oleh pemerintah orde baru kalau tidak salah Munawir Sadzli selaku menteri agama, Ros. Karena dituding pesta nelayan itu ada keterkaitannya dengan syirik..”  mentapku.
“Syirik? Tapi kenapa sampai sekarang masih terlaksana pak?”
“Dulu namanya sempat diganti yang artinya menjadi makan-makan di laut oleh mantan bupati kita dulu pak Zairullah, bukan lagi memberi makan laut. Tapi, entah bagaimana bapak kurang tahu nama acara itu menjadi kembali dengan arti memberi makan laut. Nah, untuk acara intiya sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki yang diberi Tuhan kepada mereka digelar pada hari terakhir.” Beliau menjelaskan sambil tersenyum.
“Jadi apakah sebelum acara inti itu hanya foya-foya saja?” aku teringat Ayah yang dulu juga menjelaskan hal ini, apakah tenggorokan beliau juga sama keringnya dengan tenggorokan Ayah?
“Hmm, bisa dibilang begitu, tapi ada kalanya itu untuk mereka-mereka saja yang memaknainya dengan cara yang tidak benar. Karena pada hakikatnya para warga yang mengadakan acara tersebut untuk bersyukur kepada Tuhan, namun menimbulkan banyak penilaian pandangan dari ritual yang dijalankan. Dan sisi positifnya tentu ada Ros, selama empat belas hari sebelum puncak acara itu diadakannya pergelaran budaya, seni, bahkan tausiyah agama.. pameran seni anak-anak sekolah dan masih banyak lagi. Jika asal pertanyaanmu adalah diperbolehkan atau tidaknya acara itu, tergantung kita memaknainya dari dasar hati sanubari kita sendiri tentunya, untuk apa dan apa manfaat kita mengunjungi keramaian di sana. Bapak rasa kamu bisa menyimpulkannya, kan Ros.” Tutup beliau memberi tugas baru untukku menyimpulkan. Tak lama dari senyum ramah beliau bel masuk berbunyi. Kami pun kembali ke lakon masing-masing.

***

Mentari bersinar bahagia di ufuk sana aku yakin sebahagia itu pula Elza. Aku melihatnya sangat cantik mengenakan selendang berwarna emas, memakai tancapa-tancapan kembang di sanggulnya macam pengantin. Nafhizah berbisik padaku..
“Ros, aku semakin merasa bersalah pada diriku sendiri tak bisa menyadarkannya jika ini menimbulkan rasa ria’ dalam hatinya, merasa lebih dari yang lain, berlenggak-lenggok memamerkan kecantikannya dengan mengumbar aurat yang semestinya ditutup.” Keluhnya menggandeng tanganku.
Tak lama setelah keluh Nafh yang berbisik, Elza mengampiri kami.
“Hey! Nafh, Ros, terima kasih telah datang. Aku seneeeng baget bisa jadi salah satu dayang. Eh... sudah cantik kan? Yang kurang, apa, ya? Nafh bisa benarkan kancing belakangku tidak?” sapanya dengan segala kesibukkan yang membuat kami tak mempunyai kesempatan menimpali rasa bahagianya ini. Nafhidzah sempat mendengus mengerutkan kenng tanda tak suka. Jika tak kupaksa, mungkin Nafh tidak akan pergi ke sini.
Semua sudah siap, para dayang laki-laki dan wanita berbaris dan menempati tempat yang sudah ditata dan diatur untuk mereka. Elza kulihat sangat gemulai tak terlihat demam panggung. Satu, dua, satu, dua lagkah kaki dengan ritme yang itu-itu saja namun indah. Dayang yang anggun dan gagah.
Mereka berpencar melayani tugas masing-masing. Ada yang merapikan perahu, membawa sajian untuk makanan laut, ada juga yang menjadi pengiring dewan-dewan rakyat, tokoh-tokoh masyarakat, serta Bupati dan sang Istri.
Aku dan Nafh menonton dari kejauhan namun cukup jelas. Saat Istri Bapak Bupati hendak menempati kursinya... oh astaga..
Bruuukkk
“Aaaw! Aduhh!” Elza terhempas tepat diujung sepatu mengkilat Istri Bupati itu. Ternyata gaun panjang berwarna ungu didominasi kuning itu terinjak salah satu dayang dibelakangnya. Elza sangat menahan malu. Mukanya merah, pucat, dan baru kali ini aku melihat ekspresi itu.
“Hahahaa.” Nafhidzah tertawa lirih di sampingku. Aku menyikutnya bermaksud menegur.
Acaranya lima belas menit lagi selesai. Mau tak mau Elza masih terus melanjutkan rangkain acara seperti pelatihan. Aku inigin menunggu Elza sampai usai, tapi aku ingin sekali makan bakso yang tak jauh dari aku dan Nafh berdiri. Nafh tidak mau ikut, ya sudah, aku beli sendiri saja. Dengan janji jangan kemana-mana nanti aku panik macam anak terlepas dari ibunya. Nafh tertawa melihat aku khawatir hilang.
Sepuluh menit di warung bakso, aku kembali ke tempat Nafh berdiri tadi. Ternyata Nafh sudah tidak tidak ada di tempat ini, mataku panik menatap ke sekitar. Dan aku melongok jauh ke batu besar di dekat pantai. Elza? Nafh? Sedang apa mereaka di sana? Aku mendekati mereka dengan cepat. Tapi, aku ingin mendengar dari belakang saja apa yang sedang mereka bicarakan.
Ternyata Elza sedang menangis pasti soal jatuh tadi. Dan Nafh berada didekatnya ingin menanangkan. Kulihat dia membenarkan tancapan kembang yang bengkok itu di kepala Elza. Menyeka kedua mata Elza denga sapu tangan miliknya sendiri. Dan yang termanis adalah.. cokelat.
“Ini.” Singkat Nafh sambil mengulurkan cokelat dengan tangan kanannya.
Elza masih menunduk malu dengan mata sembab. Aku tersenyum di belakang menyaksikan kedua temanku ini.
“Tidak apa-apa Za, kamu sudah berusaha keras. Mungkin jatuh yang tadi itu memang pelajaran untuk kamu perbaiki lain waktu.” Nafh kembali menenangkan.
“Terima kasih. Lain kali aku akan menjadi dayang yang jauh lebih baik.” Sesal Elza.
“Iya.” Kata Nafh. Tangannya masih masih menggantung dengan cokelat sepanjang sepluh sentimeter.
Elza menyabut cokelat itu, cokelat termanis di mappanretasi-nya. Aku berpura-pura baru datang dan menemukan mereka. Berlari-lari kecil dari belakng.
“Heey! Kalian! aku panik tahu mencari ke sana- ke mari. Untung saja kalian ketemu di sini. Bagaimana kalau seharian aku mencari kalian? Huh!” keluhku, pura-pura.
Nafh dan Elza tertawa melihat panikku yang pura-pura. Aku, nafh, dan Elza memakan cokelat itu bersama, di depan matahari yang semakin tenggelam menyinar emas di ujung sana.[]


Sumber:
Andi Jamaluddin, AR. AK.(Editor). 2016. Cokelat Mappanretasi: Kumpulan Cerpen Komunitas Bagang Sastra Tanah Bumbu Tahun 2016. Pusat Kajian Kebudayaan Banjar
https://pulpenwankertas.blogspot.com/2015/12/cerpen-cokelat-mappanretasi.html

0 komentar: