Cerpen Muhammad Daffa: Hantu Marina
Seorang ibu mengadu pagi Senin lalu di ruang kepala sekolah SDN KOTA 1. Ibu itu bercerita tentang anak perempuannya yang jari manisnya putus karena digigit oleh seorang siswa baru, Marina. Maka kepala sekolah pun memanggil Marina, dihadapkan dengan ibu itu.“Marina, ibu ini bercerita bahwa anaknya di beberapa hari lalu kau gigit jari manisnya sampai putus, apa benar?”
Marina terdiam disudutkan dengan cara demikian. Setelah beberapa saat tercenung, barulah Marina mau menjawab, “Bukan saya yang melakukannya. Ada hantu-hantu yang berkeliaran dan hidup dalam telapak tanganku. Jika saya meniupnya sebanyak tiga kali, maka keluarlah mereka dan akan menyerang siapa pun yang menurut makhluk-makhluk itu teramat mengancam.”
Kepala sekolah dan si ibu yang mengadu itu sama-sama mengernyit kening tanda tak mengerti.
***
Sejak orang-orang satu sekolah tahu selenting kabar Marina yang memiliki peliharaan hantu-hantu, tak ada satu orang pun yang ingin bicara dengannya. Mereka takut tertimpa celaka bila berurusan dengan Marina, anak itu terlalu berbahaya untuk dijadikan karib. Suatu malam, sepulang dari bimbingan belajar di rumah seorang guru, Marina bertanya pada ibunya tentang hantu-hantu yang bermukim di telapak tangannya sejak ia masih berusia satu bulan. Mulanya Marina memang tidak percaya jika hantu-hantu itu benar adanya, tetapi setelah ia melihat sendiri dua sosok renta dengan wajah dan tubuh hancur barulah ia percaya, dan Marina senang dengan hantu-hantu yang dimilikinya.
***
“Kenapa hantu-hantu itu ada, Bu?” tanya Marina di sebuah senja.
“Hantu diciptakan untuk menggoda manusia, Nak. Tugas mereka adalah menghancurkan kadar keimanan setiap umat,” ujar ibu menjawabnya, tanpa sedikit pun menggurui Marina.
“Lalu, kenapa mereka senang berada di tanganku, padahal aku adalah seorang perempuan?”
Pertanyaan ini tidak dijawab lagi oleh ibu, air matanya menetes. Mungkin ia tengah membayangkan masa depan Marina yang akan dikucilkan semua orang, dianggap gila, dan akan terkurung dalam pasungan. Meski ibu tidak berharap demikian. Ia tak ingin membuat Marina kecewa jika ia bercerita yang sebenarnya terjadi.
***
Hari itu seisi sekolah dibuat geger. Kepala sekolah ditemukan tewas dengan kepala terputus dan lambung koyak menganga. Seorang ibu yang beberapa waktu lalu datang mengadu spontan saja berteriak, “Marina! Dia pembunuh kepala sekolah! Anak itu harus dihukum berat!”
“Saya tidak percaya atas semua tuduhan yang anda berikan, ini terlalu mengada-ngada!” jawab ibu ketika dua orang guru agama dari sekolah datang berkunjung ke rumah.
“Memang ini bukan murni tuduhan, tuduhan berawal dari kepanikan Sojah, ibu dari anak yang punya masalah dengan Marina.”
“Anak saya tak bersalah. Dia masih terlalu kecil untuk dijadikan tahanan penjara. Ini bukan salah Marina. Ini ulah roh-roh jahat yang berada di tangannya.”
***
Orang-orang menggiring Marina ke tengah-tengah kota. Sojah, yang menuding Marina seorang pembunuh hadir di sana. Dengan suara lantang berapi-api, ia berkata di hadapan semua orang.
“Hari ini seorang pembunuh telah tertangkap. Pembunuh yang bersembunyi dalam keluguannya sendiri!”
Ibu yang berada di antara orang-orang kota, mendelik geram ke arah Sojah. Wanita penuduh itu mestinya mati sebelum ia melapor kepada kepala sekolah berapa hari lalu. Dan sekarang Sojah justru berjaya di hadapan segenap penduduk kota, melaknat Marina dengan tuduhan palsu.
“Sojah akan menerima pembalasan atas semua yang dilakukannya pada Marina!”
Ibu berusaha menguatkan diri. Matanya berurai kesedihan tatkala melihat Marina dilempar ke dalam liang lahat yang sudah berkobar api.
***
Tubuh Marina memang terpanggang, tetapi rohnya mengudara ke Rimba Kematian. Memanggil hantu-hantu yang dipeliharanya.
“Bunuh Sojah dan bawa jasadnya kemari. Aku ingin melihat wajah bengisnya sewaktu menertawakan kematianku!”
Dua makhluk ringkih serupa kuda yang tak memiliki tangan dan kaki itu pun pergi menunaikan tugasnya. Mencari Sojah. Roh Marina melebur jadi asap, menghilang ke rerimbun belantara Kematian.
***
Sojah sedang menikmati kue kesukaannya ketika dua makhluk ringkih datang menjemputnya. Sojah tak menyangka jika hantu-hantu yang dipelihara Marina masih bertahan dari kobar api yang bercampur terik matahari pagi, suatu pantangan bagi setan-setan pendurhaka. Sebilah belati perak dililit tiga helai uban Sojah membuat kedua makhluk ringkih pontang-panting ketakutan. Rupanya senjata ini cukup hebat mengusir roh jahat yang datang mengganggu. Ketika itulah roh Marina datang, membawa setangkai mawar busuk dari neraka, dengan pedang bergagang emas di tangan kiri.
“Ini untukmu, Sojah!” dengan gerak yang tak sempat tertangkap mata, pedang sudah berkelebat menembus jantung Sojah.
Marina tertawa puas. “Kita harus merayakannya, Kawan-kawan!”
Marina berkata pada dua makhluk ringkih peliharaannya. Keduanya ikut tertawa tanda gembira.
***
Kota Raya Jemprana sudah tak lagi aman, begitulah yang ada di pikiran orang-orang. Tapi Rojinah justru berpikir sebaliknya. Ia semakin yakin Marina telah kembali dengan dua roh jahat yang sejak dulu bermukim di tangannya. Roh-roh yang bisa berbuat apa saja. Ketika penduduk kota tengah kelimpungan mencari dukun-dukun ternama untuk mengusir bala di kota, Rojinah justru pergi ke tengah kota, taman di mana Marina terpanggang tanpa sisa. Air matanya menetes di tirus pipi.
“Marina, kau telah kembali. Tuntaskan apa yang masih belum sempat dituntaskan. Sojah memang sudah terbunuh, tapi orang-orang yang bersorak sewaktu kobaran api memanggang tubuhmu belum menerima balasan yang setimpal.”
***
Alam Kematian bergetar hebat. Angin berlesat sesaat, beriring badai yang panjang. Roh Marina menunggu Suca dan Soca datang, membawa mayat Sojah yang jantungnya terkoyak.
“Sekarang tuntas sudah apa yang belum kutuntaskan. Hanya tersisa beberapa orang yang menertawakan aku ketika meregang nyawa dalam kobaran api…” mendadak, Marina teringat dengan dua guru agama yang mendukung kepala sekolah untuk membencinya. Dan Marina sangat ingin melihat mereka terkapar atas dosa-dosa yang telah lampau.
Mayat Sojah datang ketika Marina sedang sibuk dengan lamunannya, membayangkan proses kematian dua guru agama di sekolahnya. Suca menyentuh pundaknya, “Tak perlu kau risaukan, Marina. Mereka jadi sasaran kami berikutnya…” Soca menyeringai dengan taring-taringnya berlumur darah Sojah. Dua makhluk ringkih itu melesat keluar rimba, menunaikan tugas.
***
Julisman terkejut melihat kertas usang bertulis rajah kakeknya itu hangus terbakar. Padahal tidak ada api yang tengah berkobar di ruang kerja. Melihat itu, Julisman bergidik. Ia teringat dengan Marina, anak perempuan di kelas empat yang dikucilkan seisi sekolah dan dibuang penduduk kota Raya Jemprana ke dalam kobaran api. Dari arah jendela yang menganga terbuka, Julisman melihat dua bola api melesat masuk ke dalam. Membakar seluruh sudut ruang kerja. Jeritannya tak mungkin lagi terdengar sebab sebilah pedang bergagang emas sudah mendarat di batang lehernya. Darah memercik ke dalam kobaran api.
***
Komar Syakib sudah dikenal orang sebagai dukun kesohor, sehingga pamornya tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang mengadu perihal Marina. Komar menyuruh warga untuk mencari daun berjari seribu di seluruh rimba Raya Jemprana, dipetik empat puluh satu daun, dan dibawa ke hadapannya sebelum gerhana turun di kota tiga hari lagi. sungguh tak mudah mencari daun berjari seribu, apalagi ke seluruh hutan. Kita bisa mati konyol, keluh seorang laki-laki. Yang lainnya menyatakan ketidaksanggupan, sementara sisanya mengatakan terlalu mengada-ngada dan terkesan unjuk kehebatan pamor. Tinggal satu orang yang masih berdiam diri, dia adalah Ajengan Barkah, guru agama yang sedang jadi incaran Suca dan Soca.
Melihat hal ini, Komar bertanya kepada Ajengan, “Bagaimana bapak, Ajengan? Apakah berkenan membantu saya untuk mencari daun berjari seribu?” Ajengan Barkah menganggukkan kepala dengan mantap.
***
Berminggu-minggu setelah kematian Marina membuat penduduk kota semakin dihantui rasa takutnya sendiri. Ajengan Barkah yang mendapat perintah dari Komar Syakib mencari daun berjari seribu tak juga kembali dari rimba. Ia baru pulang berpuluh-puluh hari kemudian, menyisakan nama semata. Dua orang warga Raya Jemprana yang mengawalnya berkata, ada dua makhluk ringkih serupa kuda yang menghabisi Ajengan Barkah ketika mereka telah berhasil menemukan daun yang dimaksud Komar. Tubuh Ajengan meleleh hancur, lalu dihisap oleh kedua makhluk ringkih itu. Sementara daun berjari seribu terbakar oleh serangan bola api yang datang dari arah selatan hutan, memanggangnya tanpa ampun.
***
Rojinah datang kepada Komar Syakib ketika sang dukun tengah berleha-leha di teras rumah. Datangnya Rojinah hanya memberi tahu jika Marina dan hantu-hantunya tak pernah bisa kalah selama ular sanca hitam dalam perut Rojinah belum terbunuh. Ular sanca itulah pusat dari segala kekuatan Marina. Komar Syakib mencabut keris di pinggangnya, menusuk lambung Rojinah, “Ini yang kau mau, Rojinah? Sekarang mampuslah, susul anakmu Marina ke kawah neraka.”
***
Jasad Rojinah terkubur menyedihkan di sebuah parit besar pinggiran kota Raya Jemprana. Tubuhnya membusuk dengan lambung menganga, ada bangkai ular sanca hitam setia melingkar di sana, di nganga lambungnya itu, menguarkan aroma tak sedap. Tubuh ular itu terbelah dua. Dengan bisa kehijauan. Yang sudah hampir mengering. Roh Marina yang melihat mayat Rojinah diperlakukan tidak adil pun murka. Ia menuntut balas ke seluruh kota, mencari pembunuh ibunya.
***
Suca dan Soca tengah berbicara dengan Marina ketika Komar Syakib datang tiba-tiba di antara ketiga makhluk jahat itu.
“Mau apa kau, Komar? Jangan bilang hanya ingin mengantarku pulang ke neraka.”
“Memang itu yang kuinginkan, Marina. Kau sudah terlalu banyak membunuh orang-orang tak berdosa, orang-orang yang tidak ada sangkut-pautnya denganmu!”
Marina menyuruh Suca dan Soca untuk menyerang Komar secara membabi-buta, sementara ia akan meninggalkan alam kematian, memanggil hantu-hantu lain yang masih terkekang simpul dunia.
***
Pertarungan tak seimbang antara Komar Syakib dan Suca-Soca dilerai oleh lelaki renta dengan tasbih putih melingkar di lehernya. Lelaki renta bertasbih itu membuka kedua telapak tangannya yang memancar cahaya kebiruan. Suca-Soca terpental ke belakang dengan tubuh yang kian hancur, meleleh di atas tanah.
“Siapa bapak ini sebenarnya dan kenapa menolong saya?”
“Aku Panji Seto, ayah Marina. Aku yang menaruh dua setan itu di tangannya sejak anakku masih sangat kecil. Sekarang kita harus mengejar Marina ke Raya Jemprana, sebelum semuanya terlambat!”
***
Roh Marina dikejutkan dengan datangnya Komar dan Panji Seto. Ia tak pernah mengira jika ayah yang dulu meninggalkan ibunya itu masih hidup.
“Kau pasti terkejut, Marina. Aku memang belum mati seperti dugaanmu. Tentara-tentara utusan negara hanya menembak tubuh fisikku, sedangkan roh masih bebas berkelana di alam kematian dan alam manusia.”
Komar Syakib menyambung perkataan Panji Seto dengan suara menggelegar,
“Sekarang kau harus terusir dari dunia ini, Marina. Kau tidak mungkin lagi diberi ampun!”
Dua sosok sakti itu mencabut golok masing-masing yang sudah dipercik darah Suca-Soca. Menusuk lambung kanan dan kiri Marina. Tubuh Marina limbung dan musnah tak berbekas, begitu juga Komar Syakib dan Panji Seto.
***
Pagi rekah menyala ketika orang-orang berdatangan ke alun-alun kota. Dua mayat ditemukan subuh tadi dan tak ada seorang pun yang berkenan mengurusnya. Seorang anak perempuan tampak di antara lalu-lalang orang, memasang wajah dingin kepada salah seorang mayat. Merasa dikenali, anak itu segera ingin berlalu. Tapi seorang lelaki paruh baya bergamis putih dengan gerak yang tangkas berhasil menahannya, “Aku yang akan menguburmu, Marina.”[]
Banjarbaru, Juli 2018
Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis puisi dan cerpen. karya-karyanya tersebar di sejumlah media massa dan antologi bersama. Cerpennya yang berjudul Lidah Dirut terpilih sebagai salah satu cerpen yang dimuat dalam antologi Pohon yang Tumbuh Menjadi Tubuh (Komunitas Mimbar Makassar). Buku kumpulan puisi tunggalnya TALKIN (2017) dan Suara Tanah Asal (2018). Mahasiswa di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya.
Sumber:
Radar Banjarmasin, 02 September 2018
https://lakonhidup.com/2018/09/02/hantu-marina/
0 komentar: