Cerpen Hatmiati Masy’ud: Kuyang
Malam bergidik. Angin mengigil. Binatang malam serentak terdiam. Dan, dalam kegelapan, seberkas cahaya merah kebiruan tampak berkelebat melintasi cakrawala. Kilat sambung-sinambung, suasana memburuk dalam hitungan detik, tetapi sesaat kemudian alam kembali bernapas dalam kecepatan konstan.
Di sebuah rumah berdinding kayu yang sudah mulai merapuh, seorang perempuan muda sedang berjuang melahirkan bayinya. Peluh sudah membasahi sekujur tubuhnya. Cengkraman tangan kepada suaminya sudah mulai berkurang. Mukanya pucat. Bidan beranak yang membantunya pun mulai kehabisan akal.
“Aku sudah tak tahan. Sakit sekali…!” Suara perempuan muda itu seperti terjepit di tenggorokan.
“Sakit sekali, Ka.” Tangannya mencengkram lelaki yang berdiri di dekatnya. Perempuan itu mengigit bibirnya sampai membiru.
“Sabar ya, sebentar lagi anak kita akan lahir,” pinta sang suami seraya membelai rambut istrinya. Dia juga gelisah. Ini adalah anak pertama setelah tiga tahun menanti.
“Ketubannya sudah pecah, tapi aneh anak ini tidak bisa keluar dan darahnya? Hee, ke mana darahnya?” Bidan itu berbicara sendiri dengan panik. “Bagaimana kalau kita bawa ke puskesmas terdekat saja?”
“Baik, Bu. Saya akan segera cari angkutan. Semoga ada yang bisa. Ini sudah lewat tengah malam.”
Lelaki itu dengan langkah terburu-buru keluar rumah. Dia berlari menuju rumah kepala desa yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumahnya. Tanpa mengenal takut, dia menggedor rumah kepala desa dan membuat orang di sekitar rumah itu terkejut.
Di kolong rumah, suara kecipak lidah yang menjilat sesuatu lamat-lamat terdengar sampai ke telinga bidan. Sesaat suara itu berhenti, ketika bidan berteriak ketakutan.
“Tolong…, tolong…, tolong…!!!”
Lelaki yang mendengar teriakan dari rumahnya berlari secepat yang dia bisa.
“Tolong…!” suara itu terdengar kian melemah. Bidan pingsan. Suara itu lenyap.
Lelaki itu terpaku menatap wajah istrinya yang pucat dengan bayi yang lahir tanpa tangisan. Bersih sekali tubuh istrinya. Tak ada darah setetes pun yang tercecer di lantai, tilam, sarung, bahkan di sela selangkangan istrinya. Semua bersih. Tapi, istri dan anaknya telah jadi mayat. Pucat pasi tanpa darah.
***
Pagi masih ranum. Sepasang suami-istri sedang asyik bercengkrama di teras rumah. Sesekali orang yang lewat memandang mereka dengan tatapan terkagum-kagum. Betapa beruntungnya perempuan setengah baya itu, pikir mereka.
“Sayang, semakin hari kamu semakin cantik. Rasanya sedetik pun aku tak sanggup jauh darimu.” Lelaki itu menatap wajah istrinya dengan pandangan terpesona.
Perempuan itu tersenyum simpul. Gombalan seperti itu makin sering dia dengar dari lelaki berwajah tampan yang menjadi suaminya sejak lima tahun lalu.
“Bang, kita makan dulu yuk.”
Lelaki itu menggelendot memegang tangan istrinya dan sesekali mencium rambut perempuan yang sudah memutih di sana-sini. Mereka berjalan masuk ke rumah dengan pekat cinta seperti permen karet. Lengket tak terpisahkan.
Sesekali perempuan itu tersenyum dengan wajah puas. Dia melayani suaminya yang seinci pun tak bisa lepas darinya. Bahkan, kini tak ada pekerjaan yang mampu dilakoninya kalau jauh dari istrinya. Sepanjang waktu selalu ingin berdua.
***
Adakah yang mampu mendatangkan cinta? Mendatangkan kasih? Mendatangkan bahagia? Atau mendatangkan gelombang rasa yang bergulung-gulung laksana ombak menghempas pantai? Perempuan berwajah penuh bekas cacar itu menangis di depan seorang perempuan tua yang sudah keriput di sana-sini dan sibuk mengunyah sirih. Bibirnya memerah dan sesekali meludah yang menimbulkan cipratan merah ke mana-mana.
“Apa maumu, anakku?” Suara itu seperti datang bersama hembusan angin. Mendayu entah datang dari belahan bumi yang mana.
“Suamiku, Nek. Suamiku. Dia yang menyebabkan penderitaan ini. Aku tak pernah melakukan kesalahan padanya. Tetapi dia? Dia mempelakukanku layaknya budak. Sepanjang hari kalau tidak menyiksaku mungkin dia akan sakit, Nek.”
“Budak? Ah, laki-laki, Nak. Mereka seperti buaya darat.” Tawa terkekeh perempuan tua itu membuat bulu kuduk merinding.
“Tetapi, Nek, betapa biadabnya mereka. Buaya darat masih terlalu bagus sebutannya untuk mereka.”
“Lelaki suka dimanja, Nak. Ingin dipuji, ingin disanjung, ingin pula segala keinginan mereka dituruti. Cobalah kaupahami itu.”
“Apa yang tidak kulakukan, Nek? Semua sudah kulakukan. Bahkan, demi dia, telah kugadaikan segalanya. Diriku juga kugadaikan untuk menyenangkannya. Tapi, lelaki itu memang tak tahu berterima kasih.”
“Bukankah dia pilihanmu?”
Perempuan itu tercenung lama. Lelaki buaya itu memang pilihannya. Dia jatuh cinta dengan ketampanan dan tutur kata yang membius menggoda. Tanpa dia ketahui, lelaki itu merayunya demi warisan yang dia miliki. Dia salah duga, dipikirnya lelaki itu tulus mencintainya.
“Iya, Nek. Dia pilihanku.”
“Sekarang apa maumu?” Kali ini perempuan tua itu langsung bertanya ke sasaran. Pandang matanya tajam dan suaranya terdengar bertenanga. Perempuan itu tersentak sejenak.
“Aku ingin dia kembali padaku. Seperti saat dia merayuku dulu.” Keinginan itu akhirnya tersampaikan.
“Mengapa kau datang dan meminta padaku?’
“Entahlah. Hanya kabar angin yang sampai padaku kalau Neneklah yang bisa membantuku, mampu membuat suamiku bertekuk lutut kepadaku.”
“Kamu siap dengan segala akibatnya? Apa yang kamu lakukan ini resikonya besar, Nak. Kalau kamu tak siap, sebaiknya tidak usah. Nanti akan menyesal sepanjang hidupmu.”
“Siap, Nek. Apa pun yang terjadi nanti aku siap menghadapinya.” Suara perempuan itu terdengar getir.
“Baiklah. Syaratnya mudah saja. Tapi begitu kamu tidak melakukannya, maka kamu sendiri yang akan celaka. Tubuhmu akan memucat, tenagamu akan menghilang, aura wajahmu akan lenyap dengan sendirinya, dan kamu akan mati dalam kesengsaraan yang tak terbatas. Apakah kamu siap?” Suara nenek tua itu menimbulkan nyeri di hati. Pelan ketakutan membelenggu.
Sesaat suasana menjadi mencekam. Perempuan muda itu terperangah begitu menyadari betapa berat risiko yang harus ditanggungkannya demi memperjuangkan cinta.
“Apa syaratnya, Nek?” Perempuan muda itu bertanya setelah bernapas panjang berkali-kali. Dia mulai tak peduli dengan resikonya.
“Kamu harus menghisap darah perempuan yang sedang melahirkan.”
Perempuan itu menjadi pias. Menghisap darah? Jadi vampir? Sungguh tak mengira itu yang harus dia lakukan.
“Bagaimana aku melakukan, Nek? Tak mungkin rasanya. Sedang menolong orang melahirkan saja aku tidak pernah. Aku juga sangat takut melihat darah, Nek.”
Mendadak perempuan tua itu tertawa melengking. Mulutnya menyemburkan ludah berwarna kemerahan. Kali ini perempuan itu mengusap mukanya yang kecipratan ludah berwarna merah.
“Perempuan bodoh. Tentu saja bukan menjilat seperti kucing sedang mandi. Bukan pula kamu datang ke sana dan menghisap darah orang yang sedang melahirkan.”
“Terus bagaimana, Nek?” Perempuan itu bertanya dengan tampang bloon .
Perempuan tua itu beranjak masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian dia datang, di tangannya tergenggam sebuah cupu kecil.
“Nak, kamu perhatikan! Di dalam cupu ini terdapat minyak.”
“Minyak, Nek?”
“Iya, minyak. Dan ini bukan sembarang minyak. Ini adalah minyak kuyang yang mampu membuat suamimu tak berkutik lagi. Dia akan lengket padamu seperti getah karet. Kamu akan kewalahan nantinya dengan cinta suamimu kepadamu. Kamulah perempuan tercantik di matanya. Sepanjang waktu dia akan memujamu dan kamu akan menjadi perempuan yang paling berbahagia.”
“Benarkah?” Perempuan itu bertanya dengan wajah berbinar.
“Kamu buktikan saja nanti. Kalau pituaku ini tidak terbukti, kamu boleh datang kembali padaku dan bakar rumahku ini beserta diriku di dalamnya.” Suara itu terdengar jelas dan terkesan menakutkan di telinga.
“Bagaimana aku melakukannya, Nek?”
“Kau oleskan di sekeliling lehermu. Setelah itu biarkan minyak ini bekerja. Kau akan terbang berkelana mencari mangsa di kegelapan malam untuk menghisap darah perempuan yang sedang melahirkan.”
“Terbang?”
“Iya, tubuhmu akan tanggal. Yang terbang hanya kepalamu beserta seluruh isi perutmu.”
“Di mana aku meletakkan tubuhku nanti, Nek?”
“Cerewet sekali ternyata kamu ini. Tubuhmu kau letakkan di balik pintu, jadi begitu kamu pulang, kamu langsung bisa masuk kembali ke tubuhmu. Kalau kau tidak bisa menemukan tubuhmu maka kamu akan mati sengsara.”
Perempuan muda itu manggut-manggut. Dia mencerna setiap kalimat dari perempuan tua yang ada di hadapannya.
“Berarti aku harus tahu di mana saja perempuan hamil dan akan melahirkan?”
“Iya, memang harus begitu. Bahkan kamu juga bisa berpura-pura sebagai bidan beranak. Biar mudah menghisap darah mereka.”
“Baiklah, Nek, semua akan kulakukan demi meraih cinta suamiku.”
“Tapi ingat, ada beberapa pantangan yang harus kamu lakukan.”
“Pantangan? Apa saja?”
“Pertama, jangan pernah terbang kesiangan. Kamu tidak bisa terkena cahaya matahari. Begitu terkena cahaya matahari, seketika itu juga kamu akan jatuh. Kedua, hindari terbang di bawah rumpun-rumpun nenas. Rumpun nenas ini sangat tajam, kau akan terluka. Ketiga, kamu juga tidak tahan dengan ijuk karena ini juga akan menyakitimu. Terakhir bawang putih, kamu tidak akan tahan dengan baunya. Hindari semua pantangan itu.”
“Iya, aku akan ingat pesan, Nenek.”
Perempuan muda itu kemudian pulang dengan membawa cupu berisi minyak kuyang yang dia simpan di sela-sela kutang.
***
Rumah berdinding beton dengan cat warna abu-abu itu terlihat mencolok di sekelilingnya. Di sanalah seorang perempuan berwajah penuh cacar hidup dengan suaminya. Wajah dan usia mereka seperti bumi dan langit. Rupa lelaki itu sangat tampan, sedangkan perempuannya berwajah sangat buruk.
Semua orang bisa menduga kalau lelaki itu hanya mengincar harta warisan dari mantan suami perempuan itu yang sudah meninggal sejak tujuh tahun lalu. Namun, janda yang sudah terlanjur memakan bujuk rayu pemuda flamboyan itu bertekuk lutut tanpa sedetik pun bisa menghindar. Jadilah pernikahan mereka pernikahan termegah di kampung itu. Dan, seperti dugaan banyak orang, pelan-pelan tabiat asli lelaki itu akan kembali. Bermain judi, bermain perempuan, dan hanya bersenang-senang. Sudah berulang kali mereka bertengkar dan menjadi tontonan umum, tetapi setiap kali sang suami meminta maaf maka luluhlah hati perempuan berwajah penuh bekas cacar itu.
“Sayang, kulihat beberapa hari ini wajahmu semakin memucat. Mengapa tidak berobat?” Lelaki itu memandang istrinya dengan khawatir.
“Tak, usah. Aku tidak apa-apa.” Sahutan ketus itu dibarengi dengan langkah cepat menuju kamar. Lelaki itu terdiam. Dia tak berani lagi bertanya kepada istrinya.
Di kamar, perempuan itu berpikir keras, ke mana dia harus mencari darah malam ini. Rasanya sudah tak sanggup menahan. Di kampung ini, dia sudah tak leluasa bergerak. Orang sudah mulai curiga, sekarang kalau ada yang melahirkan, mereka akan melilit rumah dengan ijuk, meletakan rumpun nenas di kolong rumah, dan menggantung bawang putih di berbagai sudut rumah. Bahkan, kini di kampungnya sudah dilakukan ronda keliling secara bergiliran.
Senja baru saja menutup diri dengan sempurna. Di rumah yang penuh dengan aura gelisah, perempuan itu masih menyimpan bara kemarahan dan keresahan.
“Sayang, aku mau pergi ke warung. Kalau kamu sakit tidurlah duluan.” suara suaminya dari balik pintu kamar yang terkunci.
Perempuan itu tak menyahut, kepergian suaminya memang sudah ditunggunya sedari tadi. Saat menjelang tengah, perempuan itu melakukan ritual melepaskan leher dari tubuhnya. Terbang di kegelapan dengan gemerlap cahaya kemerahan, indah namun menakutkan. Sesaat kemudian, cahaya itu menghilang tepat di samping sebuah rumah.
Di rumah yang terang oleh cahaya pelita seorang perempuan berbaring kesakitan di selembar tikar purun. Dia terus mengaduh dan mengejan berkali-kali.
“Pak, sebaiknya kita berhati-hati. Ibu sudah mau melahirkan.” Perempuan berjilbab putih itu berbicara kepada lelaki yang sedang menunggui istrinya yang terus mencengkram tangannya.
“Maksudnya bagaimana, Bu Bidan?”
“Iya, saya beberapa kali membantu orang melahirkan dan menemui hal-hal aneh. Sepertinya kuyang yang sering diceritakan orang tua zaman dahulu masih ada sampai sekarang. Di kampung sebelah sudah ada kejadian perempuan yang mati karena darahnya habis dihisap.”
“Terus bagaimana ini?” Lelaki itu menjadi khawatir.
“Bapak cabut rumpun nenas yang ada di belakang rumah. Letakkan di kolong rumah.”
“Sekarang, Bu Bidan?” Lelaki itu bertanya bingung.
“Iya. Kalau ada ijuk juga bagus. Kuyang tidak suka benda-benda itu.”
Lelaki itu bergegas ke belakang rumah. Rumpun nenas dia cabut sampai ke akarnya. Dan, dengan bantuan lampu senter dia meletakkan rumpun nenas di bawah kolong rumah, tepat di mana istrinya sedang berbaring dan siap melahirkan.
Sepasang mata menatap tajam pada lelaki yang baru saja masuk rumah. Dia marah, benar-benar marah. “Dasar lelaki bodoh!” Desisnya.
Menjelang subuh, suara tangisan bayi melengking dari rumah itu. Seorang bayi laki-laki tampan membuka pagi dengan tubuh masih berlumur darah. Terdengar ucapan selamat dari bidan kepada keluarga kecil yang baru saja menerima anugerah kebahagiaan. Ayam berkokok bersahutan, pertanda pagi akan segera tiba.
Cahaya itu terbang membelah subuh dengan kecepatan pelan. Dia sudah tak berdaya. Saat melewati perbatasan kampung, cahaya itu memudar dan menghilang.
***
“Tolong, tolong, tolong…!” suara itu terdengar lirih. Seorang lelaki yang kebetulan lewat mendengarnya. Dia celingak-celinguk mencari arah sumber suara. Dan, betapa terkejutnya dia melihat sebuah kepala tersangkut di rumpun nenas. Lelaki itu berlari ketakutan, namun dia terkejut saat mendengar suara, “Tolong aku, tolong! Jangan lari….” Suara itu seperti tercekik.
Lelaki itu kembali dengan wajah pias dan tubuh gemetar saat mengetahui bahwa suara itu berasal dari mulut kepala tanpa tubuh.
“Antarkan aku pulang. Tolooong….”
Lelaki itu menatap kepala tanpa tubuh dengan rambut semerawut dan perut lilit yang terkait di rumpun nenas.
“Kau? Kau?” tanya lelaki itu dengan suara bergetar dengan wajah semakin pucat.
Mata itu menatapnya, “Tolong, tolong! Ini aku. Aku istrimu.”
Lelaki itu tak percaya kalau kepala tanpa tubuh itu istrinya. Tapi, dia mengenal suara itu, mengenal wajah penuh cacar di hadapannya. Berarti selama ini kuyang yang berkeliaran di kampung mereka adalah istrinya.
“Bawa aku pulang.” Suara itu semakin melemah.
Permintaan yang menerbitkan pilu dan rasa kasihan. Akhirnya, dengan perasaan jijik bercampur rasa takut, lelaki itu memutuskan untuk membawa pulang kepala istrinya.
“Tunggulah di sini, aku akan mencari wadah untuk membawamu.” Lelaki itu berlari secepat mungkin. Dia harus menemukan wadah sebelum matahari sempurna menyinari kepala istrinya.
Jalanan sudah semakin ramai saat lelaki itu pulang sambil membawa jintingan purun. Sesekali dia melirik kepala istrinya dengan wajah ketakutan. Dia tak menyadari kalau sepasang mata dari wajah penuh cacar itu telah mengalirkan air mata yang menetes menembus sela-sela jintingan purun. Air mata itu berceceran sepanjang jalan menuju rumah membentuk genangan yang melarutkan segalanya.[]
Amuntai, 17 Maret 2017
Sumber:
ASEAN Women Writers Association (AWWA). Selendang Mayang: Short Stories from Around the World. Bandung: AWWA Publshing, 2017
https://web.facebook.com/hatmiati/posts/3726205080754907
0 komentar: