Cerpen Mariyana: Memanggil Jejak Masa Lalu
Aku berdiri di siring kotaku, memandang lurus ke arah ulak yang masih setia berputar di tengah sungai kami. Sungguh begitu berbeda sungai ini, pikirku. Ini merupakan kali kesekian aku pulang ke kotaku, setelah hampir lima tahun aku menjelajah di ibukota dan entah berapa perubahan yang terlewat olehku di kota ini. Ketika memulai kuliah, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kota orang. Tidak banyak waktu yang aku luangkan untuk pulang, bahkan hanya sehari untuk menjenguk kota kelahiranku itu. Maklum, aku kuliah di salah satu perguruan yang dulu menerima hibah untuk sebuah proyek mahasiswa berasrama. Sehingga aku harus mengikuti segala aturan yang berlaku di asrama tersebut. Jadilah aku yang hampir tidak punya waktu untuk pulang meski aku sangat rindu sekalipun.Berdiri di tempat ini membuatku teringat masa lalu. Ya, aku pernah punya cerita di sungai ini. Bahkan, aku tidak yakin saudaraku yang lain punya cerita yang sama. Cerita tentang aku dan abah 10 tahun yang lalu. Cerita tentang bagaimana aku mengenal sungai ini, nadi kehidupan bagi kotaku. Hanya aku dan abah yang punya cerita itu. Beliau yang mengajarkan aku bagaimana hidup dari sungai kami. Dengan mata terpejam dan ditemani semilir angin. Aku mulai membayangkan masa lalu itu, saat abah pertama kali mengajakku berkawan dengan arus Barito.
Saat itu, aku masih berumur 13 tahun. Ketika musim libur, abah mengajakku bermalam di kelotok beliau yang ditambatkan di pinggir siring. Aku tahu, abah memang punya kelotok. Beliau memang menjadi penambang pasir, bahkan dulu sempat menjadi penambang emas dan menjadi urang pembatangan. Beliau membawa kelotoknya sampai ke ujung Barito bersama kakekku. Dulu, berhari – hari beliau tidak pulang ke rumah. Bila aku rindu, aku hanya menangis sambil memeluk baju abah. Ketika abah mengajak aku bermalam di sungai, saudaraku yang lain tidak tertarik. Tapi bagiku itu kesempatanku untuk berdua dengan abah, aku selalu senang bila bersama beliau. Bahkan aku disebut sebagai anak kesayangan abah oleh saudaraku dan aku tak pernah marah akan itu.
Malam itu kami berangkat ke siring, abah memboncengku dengan sepeda kesayangan kami. Sepeda berwarna hijau, dengan keranjang depannya yang terisi selimut dan perlengkapan kami untuk di sana. Abah memegangi tanganku ketika kami memasuki kelotok, sedang sepeda dibiarkan di aspal sampai aku benar – benar aman di atas kelotok, baru abah menenteng sepeda itu masuk. Aku duduk di dek kelotok dengan terpal penutupnya yang dibiarkan terbuka, jelas terlihat keindahan malam yang bertemu sungai saat itu. Sambil membiasakan diri dengan deburan gelombang yang kadang menggoyang kelotok kami, aku menikmati masakan yang disajikan abah malam itu. Semua terasa sempurna bagiku. Seharusnya saudaraku yang lain harus menikmati ini. Selesai menyantap masakan abah, aku berbincang dengan beliau di bawah langit malam yang sungguh menakjubkan. Bagaimana tidak, dari kelotok langit terlihat menyatu dengan warna air sungai yan terlihat hitam. Sementara bintang-bintang seakan menjadi lampu bagi kami. Aku mencoba berdamai dengan suasana yang berbeda. Abah menggelar selimut di atas dek dan di situlah nanti aku tidur. Lalu beliau kulihat duduk dipinggir kelotok sambil memancing, mungkin beliau berharap mendapatkan baung atau sanggang malam itu untuk santapan kami pagi nanti.
“Bagaimana, senang berada di sini? Di sini tenang, tidak ada yang menganggu kecuali bunyi kelotok yang lain” ucap abah sambil matanya tetap di ujung kailnya. Mendengar kata-kata itu, aku hanya mengangguk dan tersenyum. Bagiku cukuplah itu menjadi jawaban malam ini, aku ingin menikmati keindahan sungai Barito tanpa mau diganggu dengan apapun.
Abah malam itu bercerita bagaimana beliau bisa mengenal sungai dan berkawan dengannya. Kata Abah, dulu datu juga seperti beliau. Menjadi urang pembatangan dari Muara Teweh, sampai akhirnya datu tiba di Marabahan dan menetap di kota ini. Abah bilang, dulu sungai ini yang mengawali langkah abah beranjak ke daerah lain dengan mengikuti aliran Barito. Membawa kayu dari hulu untuk dijual di bansau – bansau di pinggir sungai, lalu menambang pasir di pinggiran sungai dan dijual pada pengepul. Abah berangkat subuh, mencari rezeki di sungai yang sampai saat ini masih setia menemani kota kami. Ketika malam tiba, abah menambatkan kelotoknya dimana saja, lalu mulai memancing untuk mengisi perut yang kosong. Di tengah sungai, apa saja bisa terjadi. Bahkan hal yang tak mungkin pun kadang muncul, itu yang kuingat di kalimat terakhir cerita abah.
Pagi itu aku terbangun oleh silaunya cahaya matahari. Rupanya terpal sudah disibak abah dari subuh tadi. Aku keluar dek dan mencoba mencari abah yang tidak kutemui di dalam kelotok kami. Aku mencoba berjalan dengan seimbang, karena pagi ini banyak kelotok bahkan tongkang yang hilir mudik di depan kelotokku sehingga menciptakan gelombang kecil namun continue. Gelombang-gelombang kecil itu ikut menggoyangkan badan kelotok kami, yang bisa saja menyebabkan aku jatuh bila tidak berpegangan di pinggirnya. Aku memandang ke luar, terlihat ada penghuni lain di samping kelotok kami. Sebuah lanting yang cukup panjang, di susun dengan bamboo-bambu yang masih berwarna hijau. Di sana ternyata sudah ada abah bersama pemilik lanting, mereka sedang bercengkerama di salah satu pojok lanting. Abah melihat ke arahku, kemudian beliau beranjak dari tempatnya sembari permisi dengan pemilik lanting.
“Sudah lama bangun?” ucap beliau ketika sampai di depanku.
“Itu lanting siapa abah? Tadi malam lanting itu tidak ada di sini,” sahutku tanpa mempedulikan pertanyaan abah.
Abah mengusap kepalaku sambil menaiki kelotok kami, lalu beliau tersenyum manis. “Lanting itu tiba subuh tadi, makanya baru kamu lihat sekarang. Kamu sudah mandi?” ucap abah lagi.
Aku hanya menggeleng dan memandang abah, berharap diajak menceburkan diri ke hangatnya sungai Barito.
Benar saja, abah mengajakku berenang di sungai. Meskipun aku tak bisa berenang, abah tetap mengajakku terjun merasakan keruhnya sungai itu. Aku diajari abah berenang. Setiap kali aku mencoba mengayunkan kaki dan tanganku, abah melepaskan pegangannya padaku. Tapi setiap abah melepaskan pegangan, aku selalu saja tenggelam bersama arus Barito dan abah selalu sigap menangkapku kembali. Sampai akhirnya aku yang menyerah untuk belajar berenang. Bagiku cukup menikmati sungai ini dari kelotok atau dari tepi siring, itu sudah cukup membuatku bangga.
Aku mencoba memanjat dinding kelotok dan beralih ke lanting di sebelahku, dari situ aku bisa merasakan langsung tanganku menyentuh air sungai. Kadang aku menarik ilung yang hanyut di pinggir lanting atau aku memungut bintang sungai yang ikut tersangkut di akar ilung. Bintang sungai itu selalu datang dari hilir, berwarna hijau dan menyerupai bentuk bintang laut namun agak kecil. Aku menyebutnya bintang sungai karena aku menemukannya di sungai ini. Sampai saat ini aku belum menemukan tumbuhan yang menghasilkan bintang itu. Aku lalu mengumpulkannya dan menaruhnya di gelas bekas minuman mineral untuk aku bawa pulang.
Tanganku menggapai – gapai setiap ilung yang lewat, tapi tiba- tiba datang speed boat di depanku dan mencipratkan air sungai di wajahku. Cipratan itu akhirnya membuatku tersentak dari dunia yang kuciptakan sendiri. Ah, sepuluh tahun yang ingin kuulangi, ucapku dalam hati.
Aku masih berdiri di ujung siring kotaku, mengingat ritual sungai ini. Setiap senin sore, kapal dagang banyak berdatangan dan menambat di siring kotaku karena pada hari itu merupakan pasar senin. Aku sering memandangi kapal – kapal yang datang, kadang aku naik dan melihat – lihat isinya. Begitu beragam yang dijual tiap kapal, ada peralatan rumah tangga bahkan bibit tanaman. Kapal – kapal itulah yang menghidupkan sungai ini.
Selain itu, sungai ini memiliki ritual lain. Setiap tahun ada saja anak yang tenggelam di sungai ini. Kata para tetuha, sungai ini meminta korban. Para tetuha biasanya berkeliling di sepanjang bantaran sungai sambil membunyikan tetabuhan, lalu singgah di sebuah pohon johar. Di pohon itu mereka berdo’a dan meletakkan sesajen. Katanya lagi, besok buaya putih akan mengembalikan anak yang tenggelam di atas pohon johar itu. Mesipun anak yang tenggelam hanya berupa jasadnya saja, tapi meraka cukup bahagia menemukan jasadnya di sana.
Para tetuha percaya, pohon johar dan ulak Barito saling berhubungan. Sebuah pintu masuk dunia lain bagi naga yang menjaga kota ini. Kata orang, di sungai kami ada penjaga berupa naga. Kepala naga itu berada tepat di tengah ulak dan ekornya di jembatan Rumpiang. Setiap tahun juga, kami menggelar festival perahu naga di sepanjang sungai Barito. Konon, malam sebelum festival berlangsung, perahu naga akan berubah menjadi naga dan mencari tumbalnya. Entahlah, siapa yang memulai cerita itu. Sampai saat ini aku masih mengingatnya, bahkan ketika aku mulai menghirup aroma sungai sore ini, aku merasa masa lalu itu menghampiriku di sini.
“Sejauh apapun langkah kaki ini menapak, aku tetap merindukan tanah lahirku karena di sana ceritaku bermula”
Catatan:
Ulak : Pusaran air sungai
Baung : sejenis ikan sungai yang mirip patin
Sanggang : sejenis ikan sungai seperti ikan mas tapi lebih manis dagingnya
Ilung: eceng gondok
Urang pembatangan: Orang yang bekerja mencari batang pohon di hutan- hutan
Lanting : perahu yang terbuat dari bambu, biasanya juga membawa bambu untuk dijual
Tetuha : orang yang disegani di kampung, biasanya ulama atau kepala desa
Johar : pohon beringin
Datu : Ayah dari kakek
Muara Teweh : salah satu kota di Kalimantan Tengah
Bansau : tempat orang memproduksi kayu hutan, biasanya di pinggiran sungai
Tongkang : kapal pengangkut batubara
Sumber:
http://www.readzonekami.com/2016/09/cerpen-mariyana-memangil-jejak-masa-lalu.html
0 komentar: