Cerpen Miranda Seftiana: Surat Terakhir Sang Pilot

03.12 Zian 0 Comments

"Ayaaaahhhh...." teriak si kecil Rangga ketika melihat seorang lelaki berperawakan tegap nan gagah berbalut seragam putih memasuki halaman rumah mungil kami.
"Selamat siang pilot kecil. Apa kabarmu?" sapa Mas Aninditio sembari menggendong tubuh montok Rangga.
Rangga nampak tersenyum sembari memperlihatkan beberapa gigi kecilnya yang baru tumbuh itu, manis sekali. Sedangkan aku hanya tersenyum memandang keakraban ayah dan anak ini. Aku tak ingin mengganggu kebahagiaan dua lelaki yang amat kucintai itu. Sejenak kubiarkan mereka berdua untuk saling melepas rindunya.
"Rangga, kamu semakin berat ya sekarang? Pasti bunda banyak masak ya?" tanya mas Aninditio sembari tertawa terbahak dan menjawil hidung mancung Rangga.
"Banyak dan enak!" seru Rangga dengan mata berbinar. Mata yang sama persis dengan yang dimiliki mas Aninditio, mata yang menjadi alasan mengapa aku jatuh cinta dengannya.
"Ayah gak percaya," canda mas Aninditio pada Rangga.
"Kalau gak percaya, ayo kita makan sekarang." ajak Rangga antusias.
"Bunda! Ayo makan!" Ucap Rangga dan mas Aninditio bersamaan yang akhirnya cukup mengagetkanku itu.

Aku hanya mengangguk, kemudian segera mengajak mereka menuju ruang makan. Sejurus kemudian, kulihat Rangga dan mas Aninditio tampak lahap menikmati makan siang mereka. Ayam goreng bumbu kuning yang telah kusediakan beberapa potong di piring itu habis mereka perebutkan. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya, jujur saja hal inilah yang sering aku rindukan di keluarga kecil kami. Sebagai seorang pilot di salah satu maskapai penerbangan yang cukup ternama di negeri ini, mas Aninditio memang jarang bisa pulang ke rumah. Aku memaklumi itu, karena dulu aku juga pernah bekerja di bagian penerbangan, namun memilih berhenti setelah memutuskan untuk menikah dengan mas Aninditio, sang pilot bermata teduh nan hitam tajam itu.
"Bunda kok memandang ayah seperti itu? Nasinya juga kenapa hanya dianggurin begitu?" tegur mas Aninditio sembari tersenyum penuh kehangatan padaku.
"Eee... Eee... Ini yah... Aduh... Ini," jawabku salah tingkah.
"Bunda kangen ayah!" Ucap Rangga polos sembari tetap asyik menyantap makan siangnya.
Dijawab Rangga seperti itu, jelas aku hanya bisa tersenyum pada mas Aninditio. Beruntunglah, suamiku ini adalah orang yang pengertian, jadi ia tak membahas lanjut peristiwa tadi ataupun menjadikan itu sebagai bahan candaan.
"Hmmm... Kalau Rangga bagaimana? Kangen ayah juga tidak?" tanya mas Aninditio sembari mengacak-acak rambut hitam lagi tebal putra kesayangannya itu.
"Yeee ayah, kalau gak kangen kenapa coba Rangga bela-belain bangun subuh untuk bisa telepon ayah? Kan kalau di pesawat gak boleh telepon ayah?" kali ini Rangga tampak serius menjawab pertanyaan ayahnya.
Kulihat mas Aninditio hanya bisa tersenyum bahagia melihat tingkah pilot kecil kami ini. Walaupun usia Rangga baru menginjak tujuh tahun, namun sejak kecil mas Aninditio sudah memperkenalkan banyak hal tentang pesawat pada Rangga. Lihat saja koleksi mainan dan buku bacaan Rangga di salah satu sudut ruang tamu kami, kebanyakan berkaitan dengan pesawat. Aku tahu benar apa yang diharapkan mas Aninditio. Ia ingin sekali suatu hari nanti Rangga bisa menjadi seorang pilot seperti dirinya, dan beruntunglah, ternyata Rangga juga menyukai segala hal yang berkaitan dengan pesawat. Entah ini karna pengaruh mas Aninditio atau memang karena darah seorang pilot mengalir dalam diri Rangga? Entahlah...

***

"Aku berangkat ya? Besok pagi ada jadwal penerbangan dari Jakarta menuju Banjarmasin." ucap mas Aninditio di suatu malam sembari membelai rambut hitam legam Rangga yang tertidur pulas di tengah tempat tidur kami.
"Kenapa harus besok pagi mas? Apa waktu liburmu tidak bisa ditambah? Kan masih ada pilot lain yang bisa menggantikanmu untuk sementara, mas?" ucapku setengah tak rela bila harus membiarkannya pergi lagi, sekalipun itu untuk melaksanakan tugas. Aku sadar, tugasnya sebagai seorang pilot memang dituntut dengan tanggung jawab yang tinggi, namun rasa rindu yang belum tertuntaskan membuatku seakan tak lagi memahami hal itu.
"Bunda, bunda kan tahu sendiri apa pekerjaan ayah. Sebagian jiwa ayah ada pada burung besi, begitupun dengan cinta ayah." terangnya berusaha meyakinkanku.
Mendengar jawaban mas Aninditio seperti itu, aku jelas tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku tak ingin berdebat dengannya, aku tahu benar sifat mas Aninditio, sekalipun kutentang sekuat rasa, ia tetap takkan menyerah hingga apa yang ia inginkan bisa terwujud, termasuk untuk ini.
"Tapi besok kan ulang tahun Rangga, mas?" kucoba untuk meluluhkan hatinya kali ini, berharap ia mau menunda keberangkatannya walaupun hanya sehari saja.
"Bunda tenang saja, ayah sudah siapkan hadiahnya." jawabnya sembari tersenyum dan mengerlingkan mata tajam nan teduhnya itu.

***

"Bunda, aku titip Rangga ya? Wujudkan mimpi sang pilot kecil kita." ucap mas Aninditio seraya mengecup keningku.
"Dan Rangga, jaga bunda ya? Ingat! Terbangkan mimpimu setinggi sang burung besi, kemudian gapai kembali mimpi itu untuk diwujudkan." pesan mas Aninditio pada Rangga, sang pilot kecil kebanggaannya itu.
"Jaga dirimu baik-baik mas." hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibirku, ada perasaan berat yang bergelayut manja dalam hatiku. Entah karena aku masih merindukan mas Aninditio, atau ada hal lain?
Setengah jam berlalu sejak keberangkatan mas Aninditio menuju lapangan bandar udara, namun risau yang ada di hatiku tak jua kunjung berkurang.
"Sebentar lagi aku akan lepas landas menuju Banjarmasin. Kota yang pernah mempertemukan kita dulu." itulah isi sms yang sempat mas Aninditio kirim 12 menit yang lalu sebelum waktu keberangkatannya. Setelah itu aku tidak ada kontak lagi dengannya.
Hatiku sedikit lega setelah mendapatkan sms dari mas Aninditio. Sejenak kualihkan pikiranku dan rasa kekhawatiranku yang seperti tak beralasan itu dengan membaca sebuah novel romantis yang baru saja dibeli mas Aninditio sehari sebelum pulang ke rumah. Mas Aninditio adalah tipe lelaki yang menyukai dunia sastra, tak heran, ia lugas dalam berbicara ataupun menulis. Kalimatnya tersusun rapi, santun, dan indah.
"Bunda... Bunda... Ayo cepat kita lihat tv, pilih channelnya siaran TV5 ada berita," ucap Rangga dengan suara yang tergesa-gesa, baju seragam putihnya basah oleh keringat sehabis berlari.
"Ada apa memang?" tanyaku penasaran. Karena tak biasanya Rangga bersemangat sekali menonton berita.
Namun Rangga tak sedikitpun menggubris pertanyaannku tadi. Ia justru segera berlari menuju ruang keluarga tempat biasanya kami menonton televisi bersama.
Mataku serentak terbelalak ketika melihat berita apa yang sedang ditayangkan di channel itu. Tubuhku langsung lunglai serasa tak memiliki rangka lagi. Bagaimana tidak? Berita yang dimaksud oleh Rangga tadi ternyata mengenai jatuhnya pesawat dari maskapai tempat mas Aninditio bekerja, dan yang lebih membuatku tersentak adalah ketika mengetahui kenyataan, bahwa pesawat yang jatuh itu ternyata pesawat yang diterbangkan oleh mas Aninditio dari Jakarta menuju Banjarmasin.
"Dikabarkan pesawat boeing 737 dengan tujuan Banjarmasin telah jatuh di salah satu hutan wilayah Kalimantan Selatan sebelum sempat mendarat di bandar udara Syamsudin Noor. Diduga rusaknya salah satu sayap pesawat menjadi penyebab utama jatuhnya pesawat ini. Berikut daftar korban kecelakaan yang telah masuk ke meja redaksi kami," tutur pembawa acara berita itu.
Aku limbung, tubuhku terasa tak disangga tulang-belulang lagi ketika melihat nama mas Aninditio menjadi salah satu korbannya. Setelah itu aku tak tahu entah ada kejadian apa selanjutnya?

***

Mentari rebah di peraduan, senja menguning melukis langit dengan tinta jingga manisnya. Suara-suara burung yang tengah terbang menuju sarang menjadi instrument luka yang indah di senja ini. Daun-daun layu yang telah menguning gugur perlahan, melayang sejenak di udara, kemudian rebah pada tanah jua akhirnya. Sama halnya dengan fase hidup manusia.
Kusingkirkan dedaunan kering yang menutupi gundukan tanah merah di kaki bukit ini. Beberapa rumpun rumput sudah mulai tumbuh kembali di pucuk pusara lelaki yang amat kucintai ini hingga sepuluh tahun kepergiannya. Tepat di ujung pusara, terletak manis sebuah batu datar berbingkai kaca, yang menuliskan nama seseorang yang kucinta itu. Nama lelaki yang hingga hari ini masih bersemayam di lubuk hatiku yang terdalam. "Aninditio Hardi Utomo Bin Bambang Hendarto Utomo" meninggal 9 Mei 2012. Itulah sepenggal tulisan yang tertera di pucuk pusara, tulisan yang akan terus mengingatkan kami akan kepergiannya sepuluh tahun yang lalu, tepat di saat ulang tahun ke tujuh Rangga, sang pilot kecil kami.
"Bun, ayo kita pulang. Hari sudah menjelang malam." ajak suara seorang lelaki itu tegas namun tetap lembut.
Kupandangi lekat-lekat wajah lelaki yang memiliki perawakan gagah dan wajah tampan serta mata teduh itu. Wajah dan sikapnya persis seperti mas Aninditio dahulu, mereka berdua bagaikan pinang yang dibelah dua, terlebih ketika mengenakan seragam putih khas pilot ini. Ya! Dialah Rangga, sang pilot kecil kami dulu. Kini, seperti mimpi dan harapan mas Aninditio, Rangga telah menjadi pilot di sebuah maskapai penerbangan di negeri ini. Besok adalah hari pertama Rangga menerbangkan pesawatnya menuju Surabaya. Oleh karena itulah aku mengajaknya ke makam mas Aninditio agar ia bisa turut meminta restu dari ayahnya. Jujur, trauma kehilangan mas Aninditio sepuluh tahun silam terkadang masih sering membayang di pelupuk mataku. Aku takut hal yang sama akan terjadi pada Rangga.
"Mas, tolong jaga Rangga. Besok adalah penerbangan pertamanya. Jujur, aku takut kehilangan pilotku untuk kedua kali." ucapku lirih sembari membelai pucuk pusara mas Aninditio.
"Happy landing ya ayah. Besok, sosok ayah akan kembali hadir dalam dunia penerbangan. Rangga akan berusaha sebaik mungkin menjalankan tugas, agar bisa menjadi pilot yang profesional seperti ayah. Seperti amanat ayah dalam secarik surat kado ulang tahun Rangga."

Teruntuk pilot kecilku dan istriku yang amat kucintai. 
Rangga, 
Maafkan ayah bila harus meninggalkan lebih dulu sebelum mimpimu sempat terwujud. Namun ayah yakin, kelak kau mampu mewujudkannya sendiri, menjadi pilot yang menerbangkan sang burung besi mengitari benua dan samudra. Ayah tahu, mungkin kau kini belum sepenuhnya mengerti apa artinya kepergian dan kehilangan, tapi ayah yakin suatu hari kau akan memahaminya sendiri. 

Istriku, 
Maafkan aku yang terpaksa menitipkan beban lebih berat di pundakmu, tentang masa depan pilot kecil kita. Maafkan aku yang tak mampu mendampingimu lebih lama lagi. Maafkan aku yang sering meninggalkanmu dan terkesan lebih mencintai burung besi itu daripada kamu dan Rangga. Tetapi ketahuilah, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, nama kalianlah yang terukir indah di sana. 
Ayah tahu, bunda dan Rangga amat mencintai ayah, dan tidak pernah meragukan itu. Namun, cinta Sang Maha Pemilik Hidup ternyata jauh lebih dalam, kerinduannya jauh tak bisa lagi direjam, hingga Dia mengutus malaikat-malaikatnya untuk menjemput ayah pulang kepangkuan-Nya. Bunda, jangan terlalu lama menangis ya? Masih ada Rangga, sang pilot kecil kita yang membutuhkanmu. 

Salam cinta, 

Ayah 


Kalimantan Selatan, 17 Mei 2012

Teriring Duka Untuk Korban Jatuhnya Pesawat di Gunung Salak

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/surat-terakhir-sang-pilot-teriring-duka-untuk-korban-jatuhnya-pesawat-di-gunung-/10151730560275548

0 komentar: