Cerpen Miranda Seftiana: Ketika Lelaki Berbagi Hati
Tubuh lelaki yang tegap nan gagah itu kini terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Mata elangnya kini terpejam rapat, seakan ingin menepikan sejenak kepenatan dunia yang ada di pundaknya. Di depan kamar, tepatnya di bagian atas pintu tertera sebuah tulisan besar "ICU". Ya. Seminggu sudah lelaki yang amat kucintai itu terbaring koma setelah kecelakaan yang menimpanya saat perjalanan pulang menuju rumah. Hanya satu hal yang hingga saat ini terasa mengganjal di hatiku perihal kecelakaan yang menimpanya. Karena menurut keterangan pihak kepolisian dan saksi mata, tempat terjadinya kecelakaan suamiku bukanlah dari arah kantornya menuju rumah kami, melainkan dari tempat berbeda.Tapi aku tak mungkin menanyakan hal itu kepada suamiku, setidaknya untuk saat ini. Sebab sejak kecelakaan itu terjadi ia belum sadarkan diri. Sehari-hari aku hanya menemaninya di sini, sembari membacakan ayat suci Al-Qur'an di sampingnya. Aku hanya berharap ia segera sadarkan diri. Tak tega rasanya hatiku setiap kali si kecil Daffi putra kami menanyakan kapan ayahnya bangun dari tidur, padahal sang ayah sudah tidur berhari-hari lamanya.
Hari ini aku memilih melantunkan surah Ar- Rahman di samping tempat tidur mas Rianto. Aku tahu ia amat menyukai surah ini, terbukti dari seringnya ia melantunkan surah ini setiap usai shalat dan menjelang tidur putra kecil kami. Bagi mas Rianto, surah Ar- Rahman adalah penggambaran surga secara langsung dari kalam Ilahi sendiri. Ia berharap, kelak Daffi bisa menjadi penentram di keluarga kami, laksana ketentraman surga.
Tepat ketika ayat terakhir surah Ar- Rahman kulantunkan, terdengar suara orang mengucap salam sembari membuka pintu kamar rawat inap mas Rianto. Kulihat lelaki kecilku tengah berjalan menghampiriku sembari menggenggam tangan adik mas Rianto.
"Waalaikum salam." ucapku saat mereka belum tiba di samping tempat tidur mas Rianto.
"Daffi, temani ayahnya dulu di sini ya? Om ingin bicara dengan bunda sebentar." pinta adik mas Rianto pada anakku sembari mengajakku keluar kamar.
Aku yang merasa sedikit bingung hanya bisa mengikuti permintaan adik mas Rianto ini. Sepertinya memang ada hal penting yang ingin ia sampaikan padaku, tetapi entah tentang apa? Mungkinkah ini tentang kondisi mas Rianto? Ataukah ada hal lain? Entahlah.
"Mbak, maafkan aku sebelumnya kalau sampai harus menyampaikan hal ini padamu. Karena aku takut mas Rianto takkan pernah menyampaikan hal ini padamu." ucap Haris mengawali pembicaraan kami sembari menghela nafas panjang.
"Ada apa memang sebenarnya, Ris?" cecarku pada Haris. Tak sabar rasanya hatiku menunggu kelanjutan kalimat yang seakan sengaja digantung oleh Haris itu. Hatiku penasaran sekaligus takut. Entah mengapa?
"Aku harap mbak tidak akan membenci mas Rianto setelah ini. Mbak, maafkan masku, maafkan bila ia telah menyakiti hatimu. Namun sungguh, jauh di lubuk hatinya ia teramat sangat mencintaimu."
"Sekali lagi maafkan masku, mbak. Dua tahun yang lalu, mas Rianto memintaku untuk menjadi saksi pernikahannya dengan seorang gadis yatim asal tanah mandau. Gadis itu keturunan alim ulama dari tanah seribu sungai itu mbak. Dan mas Rianto menikahinya atas permintaan sang ayah yang merupakan guru mas Rianto semasa di pesantren dulu."
Aku tercengang dengan pengakuan terlarang dari adik iparku itu. Bagaimana mungkin, lelaki yang selama ini kujunjung kehormatannya, kujaga nama baiknya, dan kuteladani sebagai imam rumah tangga itu tega mengkhianati cintaku? Seribu tanya hadir di benakku. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya, menumpahkan segala amarah, kecewa, luka, dan air mata ini. Namun aku sadar, ini rumah sakit, aku tak mungkin bisa egois. Setelah mampu mengendalikan emosiku sendiri, aku coba mencari titik terang akan gadis itu melalui Haris.
"Ris, telah seberapa jauh hubungan mereka berdua? Maksudku, adakah anak dari hubungan mereka?" tanyaku sembari menahan gejolak yang menggebu di dada.
"Ada mbak. Tapi sayang, anak mereka pergi sebelum sempat melihat dunia. Nikmah keguguran saat usia kehamilannya dua bulan. Malam saat kecelakaan itu sebenarnya mas Rianto sedang menemani Nikmah di rumah sakit usai menjalani kuret, tetapi karena bergegas ingin memberi kejutan di ulang tahun ketiga Daffi, maka mas Rianto bergegas pulang dengan menggendarai motornya dalam kecepatan tinggi. Karena kelelahan dan tak mampu menguasai kecepatan motornya sendiri, akhirnya terjadilah kecelakaan naas itu mbak." terang Haris hati-hati.
Jujur, hatiku remuk-redam usai mendengar penjelasan dari Haris tadi. Bergegas aku masuk ke ruang inap mas Rianto, tanpa banyak bicara kugendong Daffi sembari setengah berlari keluar rumah sakit untuk mencari taksi. Tak sanggup rasanya hatiku bila harus berlama-lama dengan lelaki yang telah tega mengkhianati cintaku itu. Aku berlari sekuat tenaga, kudekap erat tubuh montok Daffi, tanpa sedikitpun menghiraukan teriakan Haris yang terus mengejarku. Aku ingin segera pulang ke rumah, menumpahkan tangisku yang seakan tak terbendung lagi.
***
Sesampainya di rumah aku masih terpaku dalam diam seribu bahasa. Lidahku kelu, tubuhku seakan tak memiliki rangka lagi, dan hatiku remuk-redam hancur dalam hantaman kecewa yang tak berperi. Setelah menitipkan Daffi dengan ibuku, aku bergegas menuju kamar. Menyendiri. Itulah yang aku lakukan kini. Pengkhianatan mas Rianto sudah cukup menjadi alasan untukku menangis sejadi-jadinya hari ini. Aku masih tak habis pikir dengan sikap mas Rianto ini.
Aku sadar, sebagai manusia aku tidaklah sempurna. Sebagai istri aku mungkin masih harus banyak belajar lagi dan sebagai ibu dari Daffi aku mungkin masih harus lebih sabar lagi. Namun walau begitu, aku tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi suami, anak, dan keluargaku.
Di tengah keheningan yang menyakitkan, tiba-tiba ponselku berdering. Sudah tiga kali ponsel itu berdering, dan nama yang sama yang tertera di sana, Haris. Tetapi tak sekalipun aku mengangkatnya. Namun, entah mendapat bisikan dari mana, tanganku refleks mengambil telepon genggam itu dan terdengarlah suara hari yang serak seakan usai menangis.
"Mas Rianto, mbak. Mas Rianto, mas Rianto sudah pergi untuk selama-lamanya." ucap Haris di seberang sana.
Aku tak bergeming sedikitpun. Rasa kecewa dan lukaku masih lebih mendominasi hati ini ketimbang rasa cintaku sendiri pada mas Rianto. Pikiranku hanya terfokus pada pengkhianatan mas Rianto yang menikahi Nikmah tanpa sekalipun memberitahuku, bahkan sampai Izrail menjemputnya. Aku masih diam dalam lamuman panjang yang menyakitkan, hingga akhirnya suara ibu yang mengetuk pintu mengembalikan jiwaku ke dunia nyata.
"Lebih baik kita segera ke rumah sakit, nak. Kasihan jenazah suamimu." Ibu berusaha membujukku sembari menggendong Daffi.
"Daffi masih mau lihat ayah, bunda." ucap anakku dengan tatapan mengiba. Hanya lelaki kecilku inilah yang sanggup meluluhkan hatiku untuk menemui mas Rianto terakhir kalinya.
Diam-diam Haris menghubungi ibu rupanya dan mengabarkan tentang meninggalnya mas Rianto. Ia meminta Ibu memberitahuku lantaran tiga kali telepon darinya tak kuangkat.
Di perjalanan menuju rumah sakit batinku hanya diisi oleh rasa kecewa pada sikap mas Rianto. Aku masih tak habis pikir, lelaki yang kukenal setia itu sanggup mendua hati selama hampir dua tahun lebih lamanya.
***
Gundukan tanah itu masih basah, berselimut taburan potongan bunga mawar becampur dengan melati dan kenanga serta harum aroma kamboja yang menyayat hati. Dalam gundukan tanah merah itu kini terbaring lelaki yang namanya pernah membuatku tersenyum dan mewariskan kecewa serta luka sebelum kepergiannya untuk selama-lamanya. Aku masih termangu di depan makan mas Rianto sembari memeluk erat Daffi, meskipun rombongan pengantar jenazah sudah pulang.
Tiba-tiba kurasakan ada seseorang menyentuh bagian kanan punggungku. Saat berpaling, kulihat Haris datang dengan di dampingi seorang perempuan berjilbab hitam di sampingnya. Gadis itu terlihat masih muda, kuperkirakan usianya satu atau dua tahun di bawah usia Haris.
"Mbak, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu." ucap Haris seraya mempersilahkan wanita muda itu turut duduk di sampingku.
"Mbak, saya mohon maaf pada mbak sekeluarga. Sungguh, tak sedikitpun terbersit niat di hati saya untuk merenggut kebahagiaan keluarga kecil, mbak. Saya tak mampu berbuat apa-apa ketika Abah meminta mas Rianto untuk menikahi saya sebulan sebelum Abah wafat." tutur wanita muda itu.
Jelas sudah, tanpa perkenalan lebih lanjut aku yakin dia pasti adalah Nikmah istri kedua mas Rianto. Sebisa mungkin aku menahan gejolak rasa yang mencoba menerobos garang dari ruang hatiku. Aku tak ingin terlihat sebagai wanita "tak bernilai" sehingga orang akan mengatakan pantas mas Rianto menikah lagi karena istrinya tak tahu adat.
"Mintalah bantuan Haris untuk mengurus hakmu atas peninggalan mas Rianto. Aku tidak akan mempermasalahkan soal itu. Tanggung jawabku kini hanyalah mendidik dan membesarkan Daffi agar bisa kupertanggung jawabkan nantinya di pengadilan-Nya kelak." ucapku tegas.
Sekilas kulirik wajah Haris yang tampak tak percaya dengan ucapanku itu. Aku tak ingin terlihat seakan seperti orang tak berakal yang masih mencemburui orang yang telah tiada. Usai pengucapkan kalimat itu, aku segera beranjak dari makam mas Rianto. Aku ingin meninggalkan luka yang diwariskan mas Rianto di sini, bersama jasadnya yang telah bersemayam damai di dalam tanah. Aku tak ingin membawa luka itu lebih lama bersamaku. Aku hanya ingin memulai kehidupan baruku dengan Daffi dan Ibu dalam suasana damai.
Sebelum benar-benar pergi meninggalkan makam mas Rianto, kulirik sekilas nisan putih yang tertancap di bagian atas gundukan tanah merah tempat mas Rianto kini bersemayam dengan membawa rahasia luka yang ia jaga hingga kepergiannya untuk selama-lamanya itu.
"Mas, seperti aku mengikhlaskan pengkhianatan dan kepergianmu, maka ikhlaskanlah juga aku untuk memulai kehidupan baru dengan Daffi. Aku berjanji akan membesarkan Daffi dengan sebaik-baiknya. Dan aku juga berjanji hanya akan menceritakan kebaikanmu pada putra kita, sekalipun engkau sempat mewariskan luka pengkhianatan padaku." ucapku lirih sembari menghapus derai air mata yang luruh di pelupuk mataku.
Kalimantan Selatan, Jum'at, 22 Juni 2012
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/ketika-lelaki-berbagi-hati/10151855081145548

0 komentar: