Cerpen Miranda Seftiana: Sanja Kuning
Lelaki paruh baya itu tampak menerawang dengan kilat mata yang tak lagi bercahaya. Tungkai kaki berbalut kulit keriput saksi perjalanan hidupnya selama ini menjuntai di tangga rumah banjar bubungan tinggi miliknya. Sebuah rumah yang terbuat dari kayu ulin berada tepat di depan sungai kuin, dekat pasar terapung."Uiii, Bah, sadang naik ka rumah. Sanja kuning, kada baik baungut di palatar[1] ...." Seorang perempuan berusia setengah abad lebih berusaha memperingatkan suaminya dengan dialek banjar yang amat kental. Tak digubris. Lelaki itu tetap diam memandangi elang yang mengepak-ngepakkan sayap hendak pulang ke sarangnya.
Tak terhitung sudah berapa senja yang dilewati lelaki itu. Ia hanya tahu, 17 tahun yang lalu, ia menghabiskan senja tidaklah sendiri. Ia rindu mengantar para elang itu pulang bersama tawa anak perempuannya, Galuh. Ya. Galuh, anak perempuan yang 17 tahun belakangan tak lagi tinggal bersama dengannya lantaran ikut sang suami merantau ke pulau seberang. Tanpa pernah Abah tahu kapan anak kesayangannya itu akan pulang, menghabiskan waktu di pelataran rumah banjar ini sambil sesekali bertanya mengapa para kelotok yang lalu-lalang itu tak pernah mendengar teriakannya ingin ikut?
***
Galuh tertawa riang saat kaki kecil dengan warna laksana kulit langsat miliknya menyentuh air sungai kuin. Sesekali cipratan air dermaga yang berada di depan makam Sultan Suriansyah itu mengenai mata sipitnya. Gelaknya kian kencang ketika itu hingga cukup memekakkan telinga sang abah yang sedang memegangi tubuh montoknya agar tak tercebur ke sungai.
"Abah basah ... Abah basah ...." teriak Galuh seraya mencipratkan dengan sengaja air sungai itu ke wajah Abahnya. Tak ayal Abah pun ikut tersenyum dibuatnya.
Lelaki itu seakan tak pernah lelah memuaskan rasa penasaran putri kesayangannya tersebut. Galuh selalu senang jika diajak Abah ke salah satu dermaga yang menjadi tempat persinggahan para kelotok sewaan sebelum menuju ke pasar terapung dan pulau kembang. Sebab bagi Galuh, bisa menceburkan setengah kaki saja ke dalam air sungai kuin merupakan hal yang paling ia tunggu. Lantaran Abah tak pernah mengizinkan Galuh bermain di sungai meski rumah mereka tepat berada di depan sungai. Selalu begitu. Abah teramat mencintai anak yang ia dapatkan dengan penantian panjang itu. Hampir dua puluh tahun pernikahan.
"Amang ... Amang kelotok ... Singgah ... Galuh handak umpat ....[2]" Berkali-kali mulut anak perempuan kecil itu berusaha mengeluarkan suara terkencang yang ia bisa. Berharap salah satu dari sekian banyak kelotok yang berlalu-lalang itu mau singgah sebentar untuk menjemputnya.
Galuh merengut. Mengadu pada Abah jika para pengemudi kelotok yang biasa ia sebut dengan panggilan amang itu tak ada satu pun yang bersedia menjemputnya. Abah tersenyum seraya membelai rambut hitam panjang tergerai gadis kecil itu. Ia paham benar dengan keinginan Galuh itu. Keinginan yang sama di setiap senja yang mulai menguning laksana kunyit.
"Besok kita ke sini lagi ya? Mungkin Amangnya kada mendengar suara Galuh, kita bulik sekarang ya sudah parak Maghrib ....[3]" Abah menggendong tubuh montok anak semata wayangnya itu.
Abah tak ingin mematahkan harapan Galuh, ia tahu suara kecil itu takkan pernah terdengar jika beradu dengan deru mesin kelotok yang memecah keheningan senja. Tetapi bukan perkara itu sebenarnya yang membuat Galuh tak pernah bisa menaiki kelotok seperti cita-citanya selama ini. Abah terlampau takut melepas intan hatinya itu lantaran penyakit polio yang menyerang kaki Galuh hingga melumpuhkannya.
Terlebih ini juga dipengeruhi rasa traumatik Abah setelah kehilangan Nanang, putra pertamanya yang dulu tenggelam di sungai kuin saat melompat dari kelotok untuk beradu renang dengan teman-temannya. Aahh ... mengingat itu membangkitkan luka di dada Abah. Luka yang entah di senja ke berapa akan sembuh.
***
Sanja hampir luruh dengan sempurna saat Galuh berhasil memetiki kembang waluh tanaman Mamanya di sebuah kebun yang berada di samping rumahnya. Rok gadis kecil itu tampak kotor karena dipaksanya sebagai alas untuk menuju kebun waluh yang berjarak sekitar empat meter dari tangga rumah banjar milik Abah. Galuh tertawa riang memainkan tumpukan kembang waluh yang ia kumpulkan di atas rok merah khas milik anak-anak sekolah dasar.
Sesekali Galuh menaburkan kelopak-kelopak kembang waluh yang telah terlepas dari tangkainya itu ke sebuah gundukan tanah bernisan. Gundukan tanah yang menyemayamkan jiwa Nanang, kakak lelaki yang tak sempat Galuh temui. Bagi Galuh, nisan itu adalah teman baiknya. Sebab selama ini tak ada yang bersedia menemaninya, selain nissan ulin tua berusia belasan tahunan itu.
"Galuuh ... Gaaluuuh ... Uiii Gaallluuuh ...." Mama berteriak memanggil anak perempuannya itu. Mengitari rumah dari dapur hingga ke anjungan.
Mama tersenyum saat melihat gadis kecilnya itu telah digendong Abah menuju rumah. Abah baru saja datang berjualan sepertinya, lelaki itu seakan tak pernah lelah berjualan sejak subuh di pasar terapung hingga adzan Maghrib hampir menjelang seperti ini. Jika ditanya apakah Abah tak cukup bila hanya mengandalkan kebun waluh mereka saja? Jawaban lelaki itu akan selalu sama. Ia ingin membelikan Galuh, putri kesayangannya sebuah kelotok agar tak perlu meratap setiap kali sampan bermesin itu melewati rumah mereka tanpa mau menoleh sekali saja pada Galuh. Galuh, si gadis dengan tungkai kaki yang tak sempurna. Mama kemudian menutup jendela dengan mata nanar memandangi jukung Abah yang dikaikat di sebuah tiang ulin kecil di tepi sungai.
"Kambang waluh Galuh langkar ... Kambang waluh Galuh langkar ya kalu, Bah?[4]" Gadis kecil itu meracau riang dalam gendongan Abahnya.
"Selangkar Galuh ...." lirih Abah berujar seraya mendekap lebih erat tubuh Galuh, menciuminya. Hanya satu harapan Abah, membelikan Galuh kelotok, membawanya mengitari sungai kuin bersama putri kecilnya itu. Membiarkan Galuh menghabiskan waktu walau itu senja bertemu senja sekalipun. Abah tak ingin menyesal dua kali seperti saat ia kehilangan Nanang belasan tahun lalu. Kehilangan karena ketidakbersediaannya membawa Nanang mengitari sungai kuin dengan kelotok hingga membuat anak lelaki itu naik kelotok bersama teman-temannya lalu beradu renang meski ia sendiri belumlah mahir. Dada Abah kian sesak jika teringat kepergian Nanang di senja kuning waktu itu.
***
"Guring ... guring ... guring diakan dalam pangkuan ... Anakku nang bungas lagi bauntung ... hidup baiman, mati baiman ...." suara Mama terdengar merdu saat menyenandungkan dundam sebagai pengantar tidur Galuh.
Ada kumpulan embun di sisi mata Mama, tangannya bergetar membelai rambut panjang Galuh. Galuh, putrinya yang kini bukan lagi sebagai gadis kecil yang gemar bermain air di tepi sungai kuin. Hanya satu yang sama, ia selalu memetik kembang waluh di kebun samping rumah lalu menaburkannya di makam Nanang, kakaknya. Sebuah rutinitas yang tak berubah di setiap senja tiba. Tetapi mungkin pemandangan itu takkan lagi bisa disaksikan Mama dan Abah. Sebab sebentar lagi Galuh akan dipersunting oleh seorang lelaki perantau dari pulau Jawa. Lelaki yang amat baik, hingga berhasil meluluhkan hati Abah untuk melepas putri semata wayangnya itu.
"Aku kada handak Galuh hidup dengan sebutan bujang tuha marga kadada lakian nang handak lawan inya. Aku gair amun kita mati badahulu, siapa yang akan menjaganya? Ikam tahu saurang, anak kita kayapa apa ....[5]" Itu jawaban Abah di malam kemarin saat Mama menanyakan alasan Abah bersedia menerima lamaran lelaki penjual batik dari tanah Jawa tersebut.
Mama diam. Ia tahu benar bahwa seluruh hidup Abah hanya diperuntukan bagi kebahagiaan Galuh. Lelaki paruh baya itu tak pernah rela putrinya hidup menderita. Apalagi selama ini Galuh sudah cukup menderita dengan ejekan orang kampung akibat penyakit polio yang dideritanya hingga melumpuhkan sepasang kaki kecil Galuh.
Bibir Abah mungkin melucutkan kata ikhlas melepas putri kesayangannya itu. Tetapi hatinya sepertinya belum sepenuhnya rela. Sejak Ashar tadi Abah hanya duduk termenung di depan jendela, memandangi kembang-kembang waluh yang mekar. Kepalanya bertumpu tangan, melamunkan nasibnya kelak saat gelak tawa Galuh tak lagi mampu ia dengar. Aahh ... haruskah Abah kehilangan lagi setelah ini?
***
Adzan Maghrib berkumandang dari Mesjid Sultan Suriansyah. Abah beranjak berdiri dari tangga di pelataran rumah banjar miliknya. Matanya melirik sebentar ke atas langit senja yang luruh dengan kuning kunyit pekat itu. Memandangi elang-elang yang hendak pulang ke sarang menemui anak-anak yang sejak pagi ditinggal mencari rezeki.
Rindu di dada Abah terasa kian membuncah. Ia rindu menemani Galuh melihat elang pulang ke sarang setiap senja tiba. Abah rindu mendengar teriakan Galuh memanggil para pengemudi kelotok agar ia bisa ikut mengitari sungai kuin. Abah rindu. Abah rindu segala hal tentang Galuh. Galuh putri kesayangannya. Pemetik kembang waluh, lalu menaburkannya di makam Nanang, sang kakak yang meski tak sempat ia temui namun begitu dicintainya itu.
Andai Galuh pulang, mungkin senja Abah takkan sesepi ini. Tapi apa Galuh masih bersedia pulang ketika suaminya justru lebih dulu memenuhi harapan Galuh untuk mengitari sungai dengan kelotok? Tidak. Bukan kelotok. Kapal laut lebih tepatnya. Dada Abah terasa sesak bila memikirkan hal ini. Sebab hingga kini, hanya sebuah jukung kayu yang telah bocor di sana-sini itulah yang tertambat di tiang ulin. Tak ada kelotok, seperti cita-cita Galuh.
"Gaalluuh ... putikakan kambang waluh tampulu malarak. Sanja ... Bakayuh jukung tiung hancap bulik, sudah dikiau Abahnya ...[6]" Abah berujar lirih menutup senjanya hari itu, di tahun ke-17 kepergian Galuh bersama suaminya.
Keterangan:
[1] Uii, Bah, sudah waktunya masuk ke dalam rumah. Senja kuning, tak baik melamun di beranda
[2] Paman … Paman kelotok (sampan bermesin khas banjar) … Mampir … Galuh ingin ikut …
[3] Besok kita ke sini lagi ya? Mungkin Pamannya tidak mendengar suara Galuh, kita pulang sekarang ya sudah hamper Maghrib ….
[4] Kembang labu Galuh cantik … Kembang labu Galuh cantik ya kan, Bah?
[5] Aku tak mau Galuh hidup dengan sebutan perawan tua karena tak ada laki-laki yang mau dengannya. Aku takut kalau kita meninggal lebih dulu, siapa yang akan menjaganya? Kamu tahu sendiri, anak kita seperti apa …
[6] Ini merupakan petikan lirik lagu banjar yang berjudul Sanja Kuning
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/sanja-kuning/10153806213440548
0 komentar: