Cerpen Miranda Seftiana: Jariangau
Kabut pagi masih menyelimuti sisi daratan aliran sungai Amandit. Embun saja belum jatuh ke tanah. Sayup-sayup sisa subuh masih terasa di relung dada. Namun keramaian akan tragedi tadi malam justru tengah hangat-hangatnya di perbincangkan. Warung Julak Rahmat menjadi saksi ceritanya.Tadi malam, jum'at kedua di bulan pertengahan, saat purnama nampak bersinar dengan sempurna. Seorang wanita dikabarkan menemui ajalnya saat melahirkan anak pertama. Masih muda, sangat muda sebenarnya. Bukan perkara kematian itu yang menjadi perbincangan, namun ikhwal penyebabnyalah yang tak henti mengantar bahkan hingga pemakaman. Ia meninggal lantaran kehabisan darah usai dihisap kuyang. Si makhluk jelmaan yang biasa berkeliaran mencari mangsa dengan menghisap darah wanita melahirkan.
"Salah sendiri tak percaya dengan kuyang. Sudah berkali-kali kukatakan pada suaminya agar menanam jariangau di depan rumah, juga mengikatkan tali haduk di sekeliling rumah, tapi ia malah tak melakukannya." ucap Hamidi dengan nada sedikit kesal.
Hamidi memang tinggal berdekatan dengan wanita yang tadi malam menjadi tumbal kuyang saat melahirkan. Suami istri tersebut adalah perantau dari pulau seberang, wajar kiranya jika mereka tak percaya dengan perkara yang kasat mata macam ini. Tetapi ada yang mereka lupa. Lain padang, lain pula belalang. Hingga tragedi naas itu terjadi.
"Musim istri muda begini, makin banyaklah kuyang menampakkan diri." timpal Julak Rahmat seraya menyuguhkan kopi panas pesanan Hamidi. Terlihat beberapa orang lain menyimak pembicaraan dengan khidmat seraya sesekali memasukkan potongan pisang goreng ke dalam mulut.
"Musim istri muda?" Kali ini Uwak Rustam ikut memasuki pembicaraan.
"Wak Rustam ini seakan tak tahu saja kabar yang tengah meraja di kampung kita. Sebulan yang lalu kan Angah menikahi janda kembang di ujung gang yang kudengar kalau melihat wajahnya saja bisa karindangan seminggu penuh bahkan lebih," Hamdan menjelaskan dengan begitu fasih. Entah karna ia memang tahu, atau sebenarnya juga menaruh hati pada janda kembang itu hingga tahu benar segala tentangnya.
"Tunggu, Dan, bukankah setahuku istrinya tengah hamil tua? Tega sekali Angah melakukannya." Istri Julak Rahmat berujar lirih. Hatinya sebagai perempuan mungkin turut teriris. Jika beristri dua dikenal dengan istilah madu, mungkin sesungguhnya lebih pantas disebut sebagai empedu.
Hamdan mengangguk pilu. Turut menyesalkan tindakan Angah itu. Sejenak, warung Julak Rahmat menjadi hening. Semua terpaku pada pikiran masing-masing. Menerka-nerka, kejadian naas apa lagi setelah ini?
***
Rumah kayu sederhana itu tampak dipenuhi oleh asap dupa. Wangi gaib terasa memenuhi lubang hidung orang yang melewatinya. Di dalam kamar, seorang wanita yang tak lagi perawan, namun masih terlihat begitu menyegarkan tampak merapal sesuatu dari bibirnya yang dihiasi pemerah nan menyala.
"Pur sinupur, kaladi lampuyangan. Di sini aku bapupur, bahara yang maliat karindangan..." berulang kali wanita itu mengulang rapalan tak lazim tersebut setiap kali mengoleskan bedak di pipinya yang masih tampak begitu mulus. Pantas kiranya, jika banyak lelaki berwatak biawak mengincar dirinya. Bahkan hingga rela mempertaruhkan rumah tangganya, asalkan wanita ini mau semalam saja memuaskan hasrat mereka.
Usai mematut diri di cermin, perempuan itu segera beranjak dari meja rias. Mendadak telinganya berderit. Ia tahu benar firasat apa ini. Menyeringai penuh misteri wanita itu.
"Malam inilah yang telah lama kunanti. Malam ini, semua akan terlaksana," ucapnya dengan begitu yakin. Keluar kamar dengan melilitkan selembar kain di leher, merah menyala.
***
Gelegar petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya di langit membelah malam yang nampak begitu kelam. Seorang perempuan tengah berjuang antara hidup dan mati, mempertaruhkan nyawanya dengan malaikat maut di sisi. Darah mengalir di sana sini. Bahkan kasur itu seolah menjelma menjadi laut merah.
Di sisi jendela, tanpa ada satupun yang memperhatikannya, seorang wanita jelmaan dengan diri hanya kepala dan isi perut terburai beberapa kali menelan ludahnya. Hasrat setannya seolah tak lagi mampu ditahan lagi, ingin menghisap habis lautan darah dengan wangi surga dari wanita yang tengah bertaruh nyawa itu.
Selesai. Ia sudah tak mampu lagi menahannya. Jendela kayu itu didobrak dengan garangnya. Tanpa teding aling-aling, dijilatinya lumuran darah itu. Tak puas hingga di sana, ia menghirup dari jalan lahir. Mengerang. Wanita yang tengah bertaruh nyawa itu berteriak tanpa henti. Dukun beranak yang menolongnya tampak terpaku sesaat, sebelum akhirnya histeris memanggil ke segala sisi.
"Kuuuuyyyyaaaannnnggggg... Kuuuuyyyyaaaannnngggg... Toooolllooongggg... Kuuuyyyaaaanggg...." ia berteriak tanpa henti.
Angah terperanjat dari luar kamar. Matanya yang tadi terpejam, hampir sepenuhnya melepaskan ruh ke alam mimpi, seolah dipaksa untuk terbelalak. Bergegas dibukanya pintu kamar. Sial! Dihujatnya diri beberapa kali. Kecolongan dirinya malam ini. Terlihat kuyang dengan wajah tertutupi rambut panjang tampak menjilati darah dengan nikmatnya.
Menyadari kehadiran orang lain, kuyang itu segera hendak melarikan diri. Namun, belum sempat ia terbang keluar dari jendela, tali haduk Angah lebih dahulu mengingatnya. Kuyang itu mengerang, menatap Angah dengan pandangan pilu, berharap lelaki ini mau melepaskannya. Angah terperanjat luar biasa. Sebab kuyang yang ia tangkap tak lain adalah istri mudanya sendiri. Angah terjerembab dalam penyesalan dan kekecewaan. Istri pertamanya benar-benar telah mempertaruhkan nyawa, hingga makhluk jelmaan ini yang mengambilnya. Bertukar tugas dengan malaikat maut.
Angah tersungkur di lantai. Membiarkan kuyang yang tak lain adalah istri mudanya itu mengerang dalam ikatan tali haduk. Sesekali kuyang itu menatap Angah pilu, mencoba merayu hati lelaki ini seperti yang biasa ia lakukan selama ini. Namun, penyesalan dan rasa kehilangan istri dan anaknya membuat Angah tak lagi berhasrat pada wanita jelmaan ini. Ia justru melemparkan seikat daun jariangau pada kuyang itu. Seikat jariangau yang akhirnya membuat kuyang itu terdiam untuk selama-lamanya.
Malam merambat kian kelam. Hujan semakin deras mengguyur bumi. Gelegar petir seolah tak memberi jeda pada langit untuk menikmati kedamaiannya. Angah mengutuki dirinya tanpa henti. Dua wanita tergeletak di kamar dengan lumuran darah menyayat hati. Wanita dengan darah wangi surga dan amis darah kematian.
Angah menyeringai, kemudia menangis tersedu-sedu. Menimang bayi putih bersih tak lagi bernyawa itu, menciumi dan membiarkan tubuhnya dilumuri darah. Hingga malam berganti jelangan pagi, Angah terus begitu. Menyesali segala yang terjadi, juga perkara hatinya sendiri. Tertawa dan menangis silih berganti dalam laut merah di kamarnya.
Catatan:
Juara II Lomba Menulis Cerpen Se-Kalimantan Selatan 2015 oleh Dewan Kesenian Kota Banjarbaru.
Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 1 Oktober 2015
https://www.facebook.com/notes/miranda-seftiana/jariangau-tragedi-kisah-dua-hati/10152818830730548
0 komentar: