Cerpen Kayla Untara: Wajah di Bingkai Kaca
Sekian hari, bahkan bisa dikatakan sekian minggu sudah aku menetap di Banjarmasin. Kota dimana aku sekarang menuntut ilmu. Begitu banyak perubahan yang aku rasakan sejak menginjakkan kaki untuk yang pertama kali. Wajah-wajah yang dulunya tak kukenal, kini menghiasi hari-hariku. Dalam ketermenunganku aku teringat perasaan-perasaan yang dulu pernah kuungkapkan pada Ali, sahabat kental yang sekampung denganku dan sudah kuanggap sebagai saudara kandungku, dia bekerja sebagai Wartawan free lance pada surat kabar daerah.“Li,”kataku saat itu. “Menurutmu bagaimana?”
“Jalu, kurasa kau harus melanjutkan studymu di sana. Pada awalnya memang segala sesuatu butuh sebuah pengorbanan, bahkan mungkin lebih dari yang bisa kita bayangkan. Kita sebagai muslim kan harus lebih maju dalam segala hal, kurasa kau pun tahu, Jalu”
“Tapi…”
“Buang jauh-jauh kata itu, Jalu”. Potongnya.
“Kau masih ingat kan apa yang aku takutkan setelah di sana?”. Lanjutku, “Dunia yang tak ingin aku masuki, aku takut semua hal-hal yang buruk yang dapat menenggelamkanku, lagi pula aku tak bisa berenang dalam kali kotor yang kadang-kadang berarus deras, teramat deras”.
“Jalu, ada satu yang perlu kau ketahui. Jika kau bisa menjaga imanmu di antara kali kotor yang kau bilang tadi, maka akan lebih tinggi nilainya di hadapan Allah dibanding kau bisa menjaga imanmu di kali yang bersih. Lagi pula di sana kau tidak hanya akan menemukan segala yang kau takutkan. Dan perlu kau ingat satu hal, Abah, Mama serta aku sebagai saudaramu ingin kau memperoleh pendidikan lebih tinggi, jangan sampai seperti yang berbicara saat ini”. Kata Ali sambil berkelakar.
Dorongan keluarga dan sahabatku itulah yang membulatkan tekadku untuk melanjutkan study di sini, di Banjarmasin. Dan semua yang mereka bilang padaku memang ada benarnya. Walaupun ada beberapa hal yang cukup menjadi beban buatku. Semuanya berusaha kuatasi, agar keinginan kedua orangtua dan sahabatku – Ali – dapat aku laksanakan. Studyku ini bukan hanya sebagai tugasku menjadi anak yang ingin menyenangkan hati mereka tapi juga tugasku sebagai hambaNya. Itulah yang saat ini dapat kujadikan pegangan.
Tak terasa tiga semester sudah aku mengais ilmu. Permasalahan yang aku hadapi bukan lagi ketakutan akan suasana pergaulan kota yang kejam dan bahkan sadis, kini masalah mengenai biaya hidup dan kuliahku yang selalu pas-pasan – lebih tepatnya hampir selalu kurang. Aku tak mungkin selalu mengharapkan kiriman orangtua, mereka sudah banting tulang mencari rezeki. Mau tak mau hal itu memaksaku untuk mencari pekerjaan guna sedikit menutupi pengeluaran, dan aku mendapatkannya.
Sembari mengisi hari-hariku dengan materi-materi perkuliahan, aku nyambi bekerja di sebuah perusahaan kontraktor lokal di Banjarmasin. Kebetulan aku kenal dengan pimpinan perusahaan tersebut. Beliau berumur setengah baya dan kawan sepengajian yang setiap minggu diadakan di mesjid Al-Barqah, dekat kostku. Suatu saat beliau pernah menawariku untuk ikut bekerja membantu di perusahaan beliau, mungkin ini karena beliau tau aku mengambil kuliah jurusan teknil sipil.
Begitulah kemudian hari-hari terbagi dengan rutinitas kulaih dan pekerjaan baru. Sebuah dunia yang sebenarnya belum saatnya kumasuki, namun hal itu jelas tak bisa kutolak karena kondisi memaksa pula.
***
Hingga saat ini aku selalu berusaha untuk bekerja dengan baik. Hubunganku dengan karyawan lain –yang lebih senior – bisa dibilang baik. Tapi aku merasa tak enak karena sejak aku mulai beraktifitas di perusahaan ini, semakin hari pak Yoyo – demikian kami memanggil beliau – memperlakukan aku lebih dari yang lain dan aku tak berani bertanya macam-macam. Hingga hari itu, hari dimana aku dipanggil menghadap ke rungan beliau.
“Jalu, kamu sudah berapa lama bekerja di sini?”.
Begitu kalimat itu keluar dari bibir beliau aku sedikit agak terkejut. Beribu pertanyaan tiba-tiba muncul di benakku. Apakah aku akan dipecat, apakah aku akan di berhentikan dari pekerjaanku karena aku tidak bekerja dengan baik, apakah..., apakah…, semua pertanyaan itu menghantui aku sesaat. Kekhawatiran yang beralasan karena selama ini, selama aku bekerja di perusahaan ini, aku sudah mampu mencukupi kebutuhan kuliahku dan bahkan bisa menyisihkan sedikit uang buat tabungan dari gaji yang kuterima saban bulan. Jika kemudian pemecatan itu kuterima, aku bakal kembali mengalami hari-hari dimana aku mesti meyusahkan kedua orangtuaku di kampung.
“Jalu, Bapak bertanya, sudah berapa lama kamu bekerja di sini, di perusahaan ini?”. Ulang Pak Yoyo memecahkan lamunanku.
“Kira-kira tujuh bulan lebih, Pak?”. Jawabku lemah.
“Aku ingin kamu besok ikut ke rumah. Ada sesuatu yang ingin aku beritahukan, dan ini penting. Nah, ambil baju ini dan besok kau harus memakainya. Bisa, kan?”. Kata beliau sambil menyodorkan baju kaos putih bercorak dan celana panjang biru malam lusuh padaku.
Lalu lanjutnya.“Sekarang kau keluar dan kembali bekerja”
Tanpa sempat bertanya aku langsung permisi keluar dari ruangan beliau. Walaupun kekhawatiran aku akan dipecat sudah berlalu, tapi pertanyaan yang kini timbul; kenapa dan ada apa sebenarnya sampai aku disuruh ke rumah dan mengenakan pakaian yang tidak bisa dibilang baru?. Ah, semuanya hanya bisa kuserahkan pada sang waktu.
***
Esoknya aku sudah siap seperti apa yang disuruh Pak Yoyo. Memakai pakaian yang agak sedikit kekecilan. Tak lama Pak Yoyo muncul dengan Honda CRV putihnya. Aku langsung menghampiri, dan beliau memberi isyarat untuk segera masuk. Mobil meluncur menuju rumah beliau, yang selama ini aku sendiri tak tahu persis dimana, dan ini adalah kali pertama.
Dalam perjalanan aku hanya bisa diam dan beliau mulai berbicara.
“Jalu, sampai saat ini kamu belum pernah melihat istriku kan?” tanpa memberikan kesempatan untuk kujawab beliau langsung melanjutkan.
“Istriku sejak lima tahun yang lalu selalu berdiam di rumah atau lebih tepatnya di kamarnya, sendiri, tak mau bicara sesuatu selain memanggil nama anak kami satu-satunya. Dia sudah kehilangan kontrol diri, membiarkan dirinya tenggelam dalam kegelapan. Kamu tau, aku sangat menyayanginya, Jalu. Amat sangat”. Hening sesaat.
Memang terkadang beberapa karyawan senior di kantor beberapa kali membicarakan rumahtangga pak Yoyo, tapi aku tak begitu memperhatikan. Tapi aku masih ingat sedikit selentingan pembicaraan itu kalau istri pak Yoyo lagi sakit dan sakitnya sudah lama. Satu pun tak ada yang berani bertanya mengenai rumahtangga pa Yoyo.
“Jalu...” Ucap beliau lagi. “Aku punya anak, tepatnya pernah punya. Namanya Hendy. Kuingat, dia terlalu cepat dewasa. Anak yang periang, pintar, dan cerdas. Dia anak yang baik, mungkin teramat baik sehingga Tuhan lebih menyayanginya daripada kami. Lima tahun yang lalu, kecelakaan tragis itu merenggutnya dari kami…”
Angin dingin mulai menyusup di sela-sela jendela mobil yang sedikit dibiarkan terbuka. Kami beberapa saat kami bicara dalam bahasa diam. Buliran bening airmata menetes di pipi orang tua itu. Aku bisa melihat dia berusaha menahannya. Dengan tarikan nafas yang dalam beliau kembali bercerita.
“Isteriku tidak bisa menerima kepergian Hendy, anakku satu-satunya. Dia sangat menyayanginya, dan kepergiannya jadi pukulan yang teramat keras buat istriku, Jalu. Aku sudah berusaha membawanya ke dokter maupun ke psikolog yang terbaik, tapi hasilnya tetap nihil. Hingga sekarang kondisinya bukannya membaik tapi semakin parah, aku takut terjadi sesuatu pada dirinya. Cuma kamu, Jalu. Harapan terakhirku bisa megobati luka yang telah lama diderita isteriku, komohon kau mau menolongku…nak Jalu”.
Kami sudah sampai di rumah Pak Yoyo. Rumah yang cukup mewah di antara rumah yang ada disamping-sampingnya. Tapi ada awan mendung merajuk yang menyelimuti, dan mungkin tak ada yang tahu itu. Orang cuma tau Pak Sutyoso yang punya beberapa perusahaan kontraktor dan sukses dalam karirnya.
Sejak melangkahkan kaki ke dalam rumah, aku tak bisa mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Pak Yoyo dengan kehadiranku. Mulai dari berangkat hingga sampai disini – di rumah ayahnya Hendy – aku tak bicara apa-apa, apalagi sampai berani bertanya. Aku hanya bisa berharap apa yang dinginkan Pak Yoyo bisa kupenuhi karena aku telah banyak berhutang budi pada beliau.
Rumah yang sunyi, hanya suara langkah kakiku dan Pak Yoyo yang terdengar. Seseorang, sepertinya pembantu, setengah berlari dari ruang belakang menyambut kedatangan kami. Lalu Pak Yoyo berkata sesuatu padanya. Aku tak bisa menangkap apa yang dikatakan beliau tapi yang jelas ketika dia menatapku timbul sebuah senyum yang teramat gembira, tentu saja ini membuatku heran. Dia lalu kembali ke belakang dengan sedikit berlari kembali sambil sesekali mencuri tatap padaku. Pak Yoyo mempersilakan aku untuk melihat-lihat, aku mengangguk. Setelah itu beliau masuk ke kamar, mungkin kamar utama.
Ruang tamu yang teramat besar buatku dan bersih dengan kaligrafi surat Yassin yang berukuran besar terpampang di dindingnya. Ada beberapa fhoto Pak Yoyo dan seorang perempuan yang agak ‘besar’ tapi cantik, mungkin isteri beliau. Tiba-tiba pandanganku terpusat pada wajah di balik bingkai kaca, wajah seorang remaja.
Itu fhotoku, ya itu aku. Tapi aku tak pernah berfhoto seperti itu. Itu bukan aku, tapi sangat mirip denganku, sangat. Persis sekali denganku, wajahnya, baju yang dia pakai dalam fhoto itu sama seperti yang aku pakai saat ini. Apakah itu Hendy yang diceritakan Pak Yoyo. Apakah itu Hendy yang diceritakan pak Yoyo tadi?. Kuambil fhoto itu dari tempatnya dan kutatap dengan pikiran tak percaya, mungkin hanya aku yang salah melihat, tapi tidak, semuanya benar. Dia memang mirip denganku.
“Ya, nak Jalu. Itu memang Hendy anakku yang tadi kuceritakan…”suara Pak Yoyo membelah keherananku.
“Wajahnya sangat persis dengan wajahmu. Pertama kali aku melihatmu di masjid aku juga sepertimu, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku melihatmu sebagai anakku yang dikirim kembali padaku, tapi aku tahu, anakku Hendy telah pergi selama-lamanya dan tak mungkin kembali. Nak Jalu, aku ingin kau menemui isteriku sebagai Hendy. Aku tau ini salah karena membohongi diri sendiri terlebih isteriku, tapi maukah kamu melakukannya demi kesembuhan isteriku…, anakku…”.
Aku tau sekarang. Semua pertanyaan yang tadi menghinggapiku telah terjawab dan sangat jelas. Tuhan telah menampakkan kebesarannya dengan membuatkan wajahku mirip dengan seseorang yang telah ‘pergi’ lima tahun yang lalu. Dan kini aku harus berusaha menyembuhkan kesedihan seorang ibu yang amat terpukul dengan kepergian anak satu-satunya dan yang amat disayangi.
“Pak Yoyo, ulun…” kataku dengan terbata.”Ulun, tentu saja bersedia tanpa pian suruh pun.Ulun akan berusaha semampunya. Sekarang juga ulun akan menemui isteri pian…”.
Dengan meneteskan air mata Pak Yoyo memelukku penuh haru dan langsung mengajakku menemui isterinya, diiringi keceriaan dari wajah yang lima tahun ini selalu di hiasi kegelapan dan airmata tak berkesudahan.***
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-wajah-di-bingkai-kaca/444383737740
0 komentar: