Cerpen Kayla Untara: Topeng Monyet

18.06 Zian 0 Comments

Segelas air teh hangat tinggal seperempat dan tiga macam kue sudah kuhabiskan setelah lebih kurang lima belas menit aku duduk di warung acil Asih ini. Selama lima belas menit itu pula, obrolan warung yang membicarakan mengenai kemenangan Timnas dan prediksi pertarungan selanjutnya serta komentar analisis ala warung bersahutan dengan argumentasi masing-masing. Sebagai orang yang senang menonton bola, tak urung membuat saya juga ikut dalam atmosfir euphoria itu. Paling tidak, beberapa kasus besar korupsi yang masih dalam proses sidang maupun penyelidikan pihak berwajib serta isu lokal yang berkaitan dengan penghidupan keraton beserta penobatan raja dan pemangku adat atau “datunya” ataukah wacana membuat patung bekantan itu, terlupakan untuk sesaat. Kali ini, aku hanya memposisikan sebagai pendengar saja yang terkadang bertepuk tangan dan sambil ketawa jika ada komentar lucu yang keluar dari mulut langganan warung acil Asih ini.
Setelah menghirup untuk yang terkhir kalinya teh di gelasku dan membayar tagihan, aku perlahan permisi dan meninggalkan susasana obrolan ringan di warung yang memang kusenangi itu. Senang  dengan alasan si pemilik warung punya anak gadis cantik yang sering membantu-bantu mamanya toh tak terlalu salah, meski hari ini aku rupanya kurang beruntung untuk bisa menikmati kecantikannya.

Masih dengan bayangan pamandiran warung yang baru saja kutinggalkan, jejakku mulai menjauh dari suara gaduh dan darau tawa kawan-kawan tadi. Tiba-tiba, perhatianku beralih kepada suara gaduh yang lain. Suara cekikikan kecil bercampur musik yang tak beraturan. Rupanya di depanku ada segerombol anak-anak sedang menikmati sesuatu. Aku tertarik dan kudekati. Rupanya, kali ini ada pertunjukan topeng monyet. Pertunjukan yang jarang terjadi, sebab ngamen ala begini biasanya pelakunya dari luar daerah.
Sesaat, atmosfir eufhoria tadi lenyap begitu saja. Di antara anak-anak usia Sekolah Dasar yang saat ini sedang mengerumuni si Dalang, kusadari aku memang sudah tua tapi tidak terlalu tua untuk menikmati pertunjukan jalanan ini. Jujur, selain di televisi, paling satu atau dua kali aku pernah melihat langsung pertunjukan topeng monyet ini.
“Sarimin naik sepeda…!” Ucap si Dalang dengan logat khasnya sambil memainkan drum kecil sebagai musik penggiring pertunjukan sederhananya. Aku yakin alat musik itu dulunya dicat berwarna merah hati dan sedikit coretan kuning emas.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
Seketika dengan lincahnya si monyet patuh bernama abadi Sarimin ini menunggang sepeda kecil yang sudah disiapkan oleh si Dalang dan berkeliling-keliling. Melihat tingkah polah monyet itu, kembali anak-anak tertawa geli sembari sesekali bertepuk tangan. Bibirku pun tak kuasa tersenyum dan ikut bertepuk tangan.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
“Sarimin mau ke pasar….!” Ucap si Dalang kembali. Serta merta si monyet melakoni perannya lengkap dengan atribut tas dan payung seakan ingin pergi ke pasar dengan memakai topeng wajah mirip manusia. Tawa dan tepuk tangan juga kembali mengiringi dan meramaikan pertunjukan.
“Sarimin jadi tentara….!”
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
“Sarimin naik becak…!’
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
Ah, memang lucu tingkah si monyet. Meski pertunjukan itu monoton, dan terkesan basi serta nama yang dipakai selalu Sarimin. Sebagai hiburan bagi anak-anak dan orang seperti saya, kiranya tak jadi soal. Memang terkadang ada tambahan-tambahan peran dan improvisasi dari si Dalang, tetapi bukan itu, bukan peran profesi atau lakonnya yang membuat pertunjukan itu spesial bagi anak-anak, namun lebih kepada tingkah polah si monyet yang lucu.
Sesekali si Dalang memberikan pisang atau potongan makanan pada monyetnya. Setelah itu melanjutkan kembali pertunjukan dengan peran yang lain. Atributnya juga beragam, mulai sepeda, motor, payung, topeng-topengan, tas, kopiah, sarung, dan laung serta beragam perkakas lainnya.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
“Ayo, ayo! Kasih duit buat si monyet biar lebih lincah…!” Ajak si Dalang sembari tetap memukul alat musik dan membiarkan monyetnya berlari-lari kecil. Ada beberapa anak yang sedikit takut, namun uang perak lima ratusan dan lembaran ribuan keluar ikhlas dari kantong para anak-anak itu. Saya sebagai penonton paling tua pun juga tak mau kalah, saya kasih dua lembar uang ribuan. Kembali lagi si Dalang memainkan pertunjukan selanjutnya.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
“Sarimin pergi ke istana, menuju singgasana…!” ucap si Dalang semakin nada semangat dan mantap.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
Dengan atribut sebuah kursi kecil dan semacam ikat kepala berbentuk laung serta sebilah pedang-pedangan, si monyet bertingkah bak seorang raja atau ksatria sambil menuju kursi dan duduk layaknya sang raja.
Kembali saya dan anak-anak bertepuk tangan dengan semangat dan irama yang sama. Selanjutnya, dua atau tiga peran ditampilkan kembali oleh si Dalang sebagai penutup pertunjukan. Sedang si monyet pada akhir pertunjukan menundukkan kepala ke semua sudut penonton seakan melakukan penghormatan terakhir.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
“Akhirnya kami permisi, dan terimakasih. Sampai berjumpa kembali…” Dalang menutup dengan kalimat pendek.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
Si tukang topeng monyet mulai beranjak pergi mencari lokasi lain dengan iringan sebagian anak-anak yang masih penasaran ataukah ingin menikmati pertunjukan kembali. Mungkin juga mereka belum puas kiranya.
Aku masih berdiri mematung sambil menatap Dalang topeng monyet itu berjalan menjauh dariku. Pikiranku liar dan nakal sesaat. Dalam dunia topeng monyet memang tak ada batasan peran yang bisa dimainkan. Panggungnya tak terikat tempat dan waktu. Bahkan jika si monyet jadi mentri, presiden, pangeran, raja tua atau raja muda sekalipun, itulah dunia topeng monyet. Tak ada batasan peran. Bebas bisa jadi apa saja. Berlakon sekehendaknya.
Panggungnya bisa dimana saja, perannya mencakup semua status sosial dan strata, pertunjukannya tak lekang oleh masa selama anak-anak masih ada. Terserah Dalang menginginkan, si monyet akan patuh dan tak perlu bertanya. Meskipun begitu, saya yakin, meski si monyet jadi mentri, presiden, pangeran, raja tua atau raja muda sekalipun, tak ada kepentingan apapun buat si monyet sekadar demi mendapatkan sejumput makanan atau sebigi pisang dari si empunya.
Dunia topeng monyet memang mengasikkan. Dunia yang menghibur sekaligus memberi pelajaran.
“Ah, kini aku akan berlakon sebagai apa?” gumamku.
“Euphoria yang saat ini di alami hampir seluruh rakyat di negriku, di banuaku, apakah ini babak baru sebelum berganti ke babak selanjutnya? Hari ini jadi raja, esok jadi rakyat jelata! Hari ini jadi pengeran, esok jadi kuli pelabuhan!? Hari ini di sanjung, dipuja dan diagungkan, besok jadi bahan tertawaan…!?” Pertanyaan yang kutujukan pada diriku sendiri tak menemukan jawaban karena memang tak perlu jawaban. Pun jika hidup di dunia topeng monyet maka tak perlu ada jawaban sebab monyet tak ada kepentingan.
Dung tang tang dung tang tang dung tang tang dung…
Tirai panggung terbuka…, lampu menyala, peran dimainkan, Dalang bicara narasi tanpa kata, ditutup dengan musik gamelan, panting, sarun, kanong, dan sinden penuh tuba airmata. Lampu padam, pertunjukan telah usai. Besok kita bertemu kembali dalam lakon dan judul cerita yang tak jauh berbeda.
Lamunan sesaatku pecah, aku baru ingat. Kawan-kawanku menunggu di tempat latihan. Sore ini kami mesti gladi bersih buat pertunjukan nanti malam. Kali ini aku berperan sebagai Pangeran!***

Sela gerimis pagi hari
Barabai, 221210

Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 26 Desember 2010
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-topeng-monyet/474997552740

0 komentar: