Cerpen Kayla Untara: Mestinya…!!!
Terik matahari menyapu jalan siang itu. Aku baru saja pulang dari mesjid karena ada rapat para remaja mesjid. Karena menyambut ulang tahun organisasi, rencananya kami mau mengadakan pemilihan murid Islam teladan. Peluh mulai mengguyur basah tubuhku.“Eh, nak Zul. Mau kemana siang bolong gini?” Tegur julak Idang yang saat itu kebetulan lagi nyantei di pelataran. Mungkin lagi nyejukkin diri juga karena keramahan suhu panas hari ini.
“Anu, lak-ai. Mau ke warung Abah Hadran. Mau nyegerin tenggorokan dulu”
“Kok ‘ndiri aja, kagak ama yang lain?”
“Para ‘bocah’ maksud Julak? Tadi mereka pada langsung pulang. Mari, Lak... Ulun pamit aja. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”
Akupun melangkah menuju warung abah Hadran. Dan langsung duduk sambil memesan minuman kesukaanku seperti biasa. Kebetulan warung abah belum rame seperti biasanya. Jadi bisa lebih lama duduk. Maklumlah, kata orang, urang kandangan tu katuju mawarung, tapi mawarung nang bamanfaat. Iya kalu pambaca?
"Pak, ada nggak ya sekolah gratisan di sini?"
Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya memecah keheningan di antara suhu panas siang pada Abah Hadran yang sejak tadi mainin kipas angin mulu nyambi nyeka peluhnya.
“Wah, gak tau, Bu. Coba Tanya ama nak Zul nih. Ada kada, Tuh?” Jawab abah Hadran sambil nunjuk ke arahku pakai bibirnya. Karena tangan lagi otak-atik kipas angin yang dari tadi agak kacau putaran kipasnya. Mungkin pikir abah, orang lagi kepanasan nanya yang aneh-aneh aja.
Kulihat wanita, eh, tepatnya seorang ibu-ibu di sebelahku itu amat serius bertanya. Pada wajahnya, terlukis kekalutan dan harapan. Sambil mencari jawaban, kuhirup dalam teh es ku lalu kuletakkan di meja. Hampir saja aku keselek es batu. Meski tak sama, tapi pertanyaan itu sering kudengar dari para orangtua yang sekarang ini, di jaman krisis seperti ini, dipaksa mengeluarkan dana ratusan ribu bahkan jutaan rupiah agar anaknya bisa melanjutkan sekolah.
“Ada tidak ya, Dik?”
Kembali kutatap wajah ibu itu. Ada kegamangan untuk menjawab. Aku khawatir, jawabanku akan menajadi mata sembilu yang menusuk perasaan dan hatinya dengan pedih. Sebab, sepanjang hayat, aku memang belum pernah menjumpai sekolah gratis di negeri Pancasila yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja ini. Negeri yang juga punya Undang Undang Dasar yang pada salah satu pasalnya mencantumkan kata-kata mulia hendak melindungi anak-anak miskin dan terlantar.
Belum lagi selesai dengan berbagai keraguan yang mengelambui otakku, ibu itu sudah berkata-kata kembali
"Anak saya, dik. Dia pengen masuk SMU"
Huh! Aku benar-benar telah terperangkap pada pertanyaan ibu yang baru kukenal itu. Sebetulnya, bisa saja aku menghindar, tak peduli dengan pertanyaannya. Seperti juga yang dilakukan banyak orang ketika mendengar keluh kesah orang lain. Tapi nyatanya nuraniku sebagai manusia menyuruhku tetap berada di warung dan duduk di sana.
“Maaf, Bu. Nama ibu siapa?” tanyaku mencoba mengulur waktu mencari jawaban.
“Saya Sri, Bu Sri… Anak sulung saya pengen melanjutkan sekolah, Dik. Tapi, biayanya itu lho, Dik…………” jawabnya dengan lesu. Diapun kemudian bergerucau agak panjang padaku menumpahkan rasa jengkel, kesal, sedih, marah, dan perasaan lainnya yang berbaur jadi satu dengan pandangan mata yang kadang memancarkan sesuatu yang tak akan diketahui oleh orang lain selain dirinya sendiri dan yang menciptakannya. Kembali dia memandangku, “Adik sendiri namanya siapa?”
Suara Bu Sri benar-benar telah membiusku. Pada suaranya, kutemukan suara para istri tukang becak dari pulau jawa yang merantau hanya demi angan dan mimpi bisa mendapatkan hidup lebih baik di perantauan, suara para penjual kue keliling yang biasa menjajakan di dekat rumahku yang semakin hari suaranya semakin parau oleh kegetiran hidup; suara para tukang cuci upahan yang kebingungan membagi gajinya untuk beaya sekolah dan makan sehari-hari anak-anaknya, suara para perempuan pekerja konveksi yang ketakutan untuk menuntut kenaikan gaji kepada juragannya; suara para mahluk malam yang harus membanting tulang dan harga diri sampai pagi demi mengangkat derajat anaknya lewat bangku sekolah paling tidak di mata para mahluk lain yang menganggap mereka lebih berharga darinya.
Ah, suara-suara perempuan itu, suara-suara yang senantiasa membangkitkan naluri purba kita sebagai manusia yang menyadari betapa dari rahim seorang perempuan pula kita pernah dilahirkan. Suara-suara itu, sama persis dengan suara ibu kita. Suara yang menyimpan kelembutan sekaligus kekuatan. Dialah yang pada tiap menjelang merajut mimpi bersenandung untuk kita. Dia pula yang memiliki kekuatan dan kenekatan untuk melindungi anak-anaknya ketika terancam bahaya.
Dan hari ini, Bu Sri melihat masa depan anak sulungnya sedang terancam bahaya. Sebuah sekolah swasta telah memberinya aba-aba agar dirinya menyediakan uang sejumlah Rp999.000 untuk beaya pendaftaran, uang nebus seragam olah raga, praktek, uang masa orientasi siswa dan SPP perbulan. Sementara sekolah negeri, jauh-jauh hari Bu Sri sudah tahu diri. Ditambah, seperti kata Iwan, “…BBM naik tinggi, susu tak terbeli orang pintar cari komisi anak kami kurang gizi…”. Selain IQ yang pas-pasan pada si sulung lantaran gizi yang tak memadai, ia juga tak bakal menang bertanding dengan para orang tua lainnya dalam jumlah uang sogokan. Huh!
Bu Sri merasa, perjuangannya selama ini membeayai anaknya telah sampai pada ambang batas kemampuannya sebagai seorang penyapu jalan dengan lima anak dan tanpa suami.Padahal tenaganya telah ia kuras seharian penuh bahkan kadang sampai lembur untuk bikin kue buat ditaruh di warung-warung. Tak mungkin lagi baginya untuk memeras tenaganya dengan menambah pekerjaan.
Goresan yang timbul diwajahnya menandakan kegetiran dan perjuangan yang pernah dia rasakan.. Encok di pinggang, rematik di dengkul, pusing separo di kepalanya, mungkin sudah makanan buat Bu Sri. Dan dia tahu resiko itu. Belum lagi pikiran yang semrawut karena harus membagi uang pendapatan tak seberapa itu untuk beaya hidup sehari-hari dan beaya sekolah anak-anaknya. Maka jadilah, raga dan jiwa Bu Sri cepat rapuh dan uzur.
Aku yakin, pada situasi seperti itu, semua orangtua manapun khawatir jika sewaktu-waktu pertahanan akal warasnya jebol. Aku tak bisa membayangkan kenekatan macam apa yang bisa dilakukan oleh Bu Sri jika anaknya tak bisa melanjutkan sekolah. Bisa saja ia mendadak nekat jadi pencopet di pasar, jadi penjual ganja, atau bahkan nekat menjual kehormatannya. Naudzubillah…
Bu Sri seperti tahu kekhawatiranku kepadanya. Tapi ia juga tahu, pertanyaan itu lebih sulit dari soal matematika di sekolah tinggi manapun.
“Saya Zul, bu” jawabku dengan sedikit mengecilkan volume suaraku.
"Duh, andai saja ada sekolah gratis, tentu saya tidak sepusing ini tiap tahun ajaran baru. Tapi ada nggak ya?" guracaunya lagi sambil memainkan sendok teh dihadapannya.
“Mestinya ada…” Jawabku ragu.
"Mestinya?" Mata Bu Sri kini menatapku penuh harap.
“Iya. Menurut Undang-Undang negara Pancasila ini…”
“Saya nggak ngerti dengan Undang-Undang, nak Zul. Pusing saya. Gini aja deh, jelasnya ada atau tidak?!”
“Sekolah gratis?”
“Iya”
”Mestinya ada….” Jawabku sedikit bingung dengan kata-kataku sendiri. Undang-Undang di negeri ini tak pernah dijalankan dengan baik kok. Buat apa bilang itu segala, toh yang dia butuhkan cuma sebuah kepastian, ada atau tidak sekolah gratis di negeri ini.
Bu Sri masih menatapku lekat-lekat. Sedang Abah Hadran juga masih seperti tadi, mainin kipas angin sambil sesekali menyeka peluhnya. Tapi juga tetap ikut sebagai pendengar setia dan terkadang mendehemkan lagu. Ah, abah Hadran sepertinya tak ada soal dengan pendidikan dua anaknya. Selain jualannya cukup laris, salah satu anaknya juga nyambi kerja di bengkel tetangganya.
Bu Sri kemudian mengalihkan pandangannya menerawang entah ke mana. Mulutnya kembali berguramang. Bisa jadi ia sedang berdoa memohon pertolongan Tuhan agar diberi jalan keluar. Atau, bisa pula ia sedang mengaduh kepada bumi tempatnya berasal dan kembali, ’mengapakah hidup sesulit ini di tanah tumpah darah sendiri?’ Ah..., entahlah!
Pelan-pelan ia palingkan wajahnya. Lalu, dengan mata putus asa ia memandangku lagi seraya bertanya.
“Mestinya ada ya, Dik?”
“Apa, Bu?” Aku tergagap.
“Sekolah gratis”
“Ya, mestinya…”
Matahari seakan tak bosan menampar apa yang bisa ditembusnya. Lomba murid teladan! Jadi murid biasa aja susahnya minta ampun! Ironis! Ironis! Huh![]
“Buat ibundaku yang rela menitikkan peluh dan air matanya buatku”
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-mestinya/244512647740
0 komentar: