Cerpen Kayla Untara: Seribu Satu Wajah

17.57 Zian 0 Comments

Krisis ekonomi seakan masih menyisakan remah-remahnya, walau roda pemerintahan dikendalikan presiden yang baru. Masa seratus hari yang digembor-gemborkan para pemimpin dan pejabat untuk membasmi korupsi hanyalah isapan jempol belaka, terbukti lebih banyak persoalan yang masih belum selesai. Para koruptor – sebagian besar – masih bisa berleha-leha menikmati kebebasan, pengangguran semakin merajalela, permasalahan pahlawan devisa yang belum beres dan lain sebagainya masih tetap menghiasi bangsa yang disebut sebagai bangsa yang memiliki semboyan gemah ripah loh jenawi ini. Sekarang mobil dinas mewah ikut membuat semakin memperkeruh suasana. Dan yang terkena dampak paling besar adalah rakyat kecil yang terus saja menitikkan peluh mencari sesuap nasi. Ironis!
Hal itu menimbulkan sketsa tersendiri pada bangsa ini. Dan tak terkecuali bagi Hambran, orang yang bisa dibilang kurang berhasil dalam menghadapi krisis multidimensi. Hambran masih bersila di bawah teriknya matahari siang. Wajahnya yang hitam terlihat mengkilat karena peluh yang sejak matahari menyeringai ganas mencengkram seluruh tubuhnya. Ditambah dengan hiruk pikuk pasar dan lalu lalang kendaraan angkot yang memuntahkan asap knalpot di depannya.

“Mud, sudah jam berapa nih?” guntur Hambran pada rekan seprofesinya yang kebetulan menjual jam tangan di seberangnya.
“Udah jam dua lebih!” balasnya tak kalah nyaringnya mencoba membelah kebisingan pasar.
“Ham, kau tanya-tanya jam emangnya kenapa? Udah dapet banyak nih?”
Hambran mendesah sebelum menjawab pertanyaan Mahmud, “Mahmud, Mahmud… dari tadi kau duduk disampingku emang kau lihat ada yang membeli daganganku?! Aku cuman mau tau aja, kok rasanya semakin hari semakin lama saja waktu berjalan?!” Hambran kembali mendesah.
“Udahlah, Ham. Toh kau mengeluh kayak gitu waktu nggak akan menjadi lebih cepat..”
“Bukan begitu, Mud. Aku tak pernah mengeluh dengan pekerjaanku ini. Rasa lelah ini, Mud! Lelah badan, lelah pikiran….”
“Yang namanya kerja, ya, harus gitu kan?”
“Tapi sepertinya Tuhan tak adil pada manusia seperti kita Mud…”
“Hus!” tegur Mahmud.
“Buktinya, dari pagi sampai siang begini kita cuman dapat uang buat beli tiga batang rokok…,” belum selesai Hambran bicara, lewat dihadapan mereka mobil sedan dengan plat merah. “Nah kau lihat kan mobil tadi? Itu mobil dari uang kita, uang rakyat! Tapi mereka memakai seenaknya. Huh!” geram Hambran.
“Tapi, Ham. Kau mestinya tahu kalau Tuhan memberikan rezeki pada tiap orang itu berbeda. Tapi aku setuju denganmu satu hal, Ham!”
“Apa itu?”
“Seharusnya kita juga bisa menikmati apa yang seharusnya kita dapatkan, Kesejahteraan sosial…”
“He..he…he… kau benar, Mud. Pejabat kita hanya bisa berjanji dan berjanji, terus realisasinya kapan?”
“Tapi bener lho, ham. Sekarang BBM naik lagi. Bahkan jauh lebih mahal dari sebelumnya. Kata berita-berita di Koran, subsidi BBM yang selama ini diberikan pemerintah lebih banyak dinikmati oleh orang-orang yang berduit saja. Nah, sekarang ada lagi istilah baru buat kita yang katanya ingin mensejahterakan rakyat, lagi…”
Hambran melongo mendengar kata-kata Mahmud. Dan terkadang mengangguk entah mengerti atau tidak.
“Maksudmu apa, Mud?”
“Yah, teknik baru dalam penyejahteraan rakyat!”
“Teknik baru bagaimana?” Tanya hambran ingin lebih jelas.
“Konvensasi dana BBM!”
“Konsentrasi apa?”
“Konvensasi, Ham. Konvensasi dana BBM untuk pendidikan dan kesehatan penduduk miskin…!”
“Akh! Aku tak percaya itu semua, Mud! Paling-paling juga sama saja seperti yang sudah-sudah. Kagak bakalan kesampaian ama yang betul-betul ngebutuhin!”
Mahmud tersenyum mendengar kalimat si Hambran. Memang kekecewaan seperti itu bukan hanya Hambran yang merasakan, mungkin semua mahluk yang ada di bumi Indonesia ini, pikir Mahmud. Kejenuhan dengan berbagai janji sudah sejak dulu di rasakan. Sebelum para cukong-cukong yang berada di balik layar tertangkap, yang namanya korupsi akan terus merajalela. Hambran mungkin satu dari sekian juta penduduk yang merasa dikecawakan. Krisis kepercayaan mungkin tak bisa dipulihkan begitu saja. Perlu waktu dan cara yang benar-benar efektif.
Sejenak pikiran Mahmud merayap ke waktu di mana dia mengawali semua ini.
“Bang. Apa tidak ada usaha yang lain yang kiranya lebih baik dari pada jualan beginian?”
Mahmud mendesah, kemudian dia bangkit dari duduknya dan mendekati isterinya yang saat itu sedang berbaring di dipan lusuh. Di sunggingkannya senyum lembut pada isterinya. “Dek Sri,” ucapnya sembari membelai lembut kepala isterinya, “abang minta maaf, duit tabungan abang cuman cukup buat modal berdagang yang demikian saja…”
“Bang. Sri bukannya pengen yang muluk-muluk dan Sri tidak menyalahkan abang dengan keputusan abang begini. Sri Cuma terfikir anak yang segera akan keluar dari perut ini, bang.” Kata isterinya sambil memeluk lengan Mahmud erat.
“Abang tahu itu, dek. Insya Allah semua bisa kita hadapi asal selalu tawakkal padaNya.”
Mahmud pun memeluk isterinya erat. Dalam hatinya ada perasaan menyesal kenapa tak bisa memberikan kebahagiaan sebagaimana yang dirasakan isteri-isteri orang lain. Namun dia pun merasa bersyukur isterinya adalah wanita yang bisa menerima semua keadaannya dengan ikhlas.
“Oui! Kau dengar tidak tadi aku bicara?” kata Hambran sembari menepuk pundak Mahmud. Lamunan Mahmud pun terburai.
“Iya. Tapi tak ada salahnya toh kita berharap?”
“Berharap sih sah-sah saja, tapi lihat dulu siapa yang bisa kita harapkan!”
Bener juga. Andai kesejahteraan itu merata mungkin dia tidak berjualan seperti ini, yang mesti berlarian kalau ada petugas Polisi Pamong melakukan razia. “Ya sudahlah, Ham. Aku juga tak mau muluk-muluk ngarepin yang kaya gituan. Toh jualan begini aku juga masih bisa beli susu buat anakku dan mengepulkan asap dapur rumah, walau pas-pasan juga sih…”
“Nah! Begitu dong. Janji-janji para pejabat itu tinggal janji doang!. Kebohongan yang bertopengkan kebijaksanaan!”
“Seperti yang kau jual?”
“Iya! Seperti yang aku jual ini…” Mereka berdua tertawa.
Hiruk-pikuk pasar semakin riuh. Berbagai wajah menghiasi pemandangan. Potret kehidupan yang biasa bagi negeri ini. Sebuah komunitas manusia yang kecewa, berusaha untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik dan tentram. Mungkin, segala-galanya bisa diperoleh dengan uang namun uang bukanlah segala-galanya.
Matahari menampar majah Mahmud , Hambran, dan yang lainnya. Entah bakal jadi apakah negeri ini, banua ini, kelak dan entah kapan semua kekecewaan itu berakhir.
“Ibu-ibu, bapak-bapak, sayang anak, sayang anak, topeng murah. Seribu satu wajah…!” Seperti pemimpin kita! guntur hambran di antara gemuruh berbagai macam kesibukan pasar.[]


Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 10 Januari 2010
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-seribu-satu-wajah/247247197740

0 komentar: