Cerpen Kayla Untara: Melati Kehilangan Kelopak
"Bagaimana, dok?” Bisik seorang perawat muda dengan guratan di wajah yang menunjukkan suatu kecemasan.Laki-laki tinggi yang dihadapannya pun menghela nafas dan menjawabnya dengan kening seperti goresan ombak yang menerpa bibir pantai. Sejenak kemudian dia membetulkan letak kacamatanya yang bertengger di mancung hidungnya. Bola hitam matanya kemudian menatap syahdu ke wajah yang saat ini terbaring di dipan usang namun bersih.
“Mau tidak mau, kita harus melakukannya!”. Tegas suara yang diucapkan si Dokter.
“Anda yakin dengan keputusan ini, dok?” Kata perawat itu lagi berusaha melunturkan ketegasan sang dokter karena beribu kecemasan yang ada dikepalanya.
“Tak pernah saya seyakin ini sebelumnya!” Jawab sang Dokter lebih meyakinkan. Kemudian sang dokter mengusap kepala yang lemah terkulai dihadapannya sebelum berkata lagi, “Siapkan semua peralatan dan meja operasi. Satu jam lagi kita akan segera melakukan operasi. Dan tolong siapkan beberapa orang untuk membantu saya. Cepat!”
Perawat itu langsung bergegas melaksanakan perintah sang dokter. Guratan kecemasan masih tergambar jelas di wajahnya. Namun dia berusaha memahami bahwa itu adalah keputusan yang terbaik yang harus diambil, walau hal ini akan beresiko untuk perkembangan psikologis anak itu kedepannya. Ingin dia mengutuk kejadian ini, tapi siapa yang mesti dia salahkan?! Keinginannya untuk menjadi seorang perawat bukan untuk menghadapi situasi seperti ini pikirnya. Walau wajah-wajah menjelang kematian hampir saban hari dia lihat, tapi…, ach! Semua ini tetaplah terlalu menyedihkan. Kenapa harus di sini?
Lorong-lorong rumah sakit yang penuh dengan onggokan daging bernyawa yang sedang bertarung melawan dirinya sendiri menjadi sebuah pemandangan tersendiri. Bau amis, derai tangis, dan menusuknya bau busuk dari ratusan mayat yang tergeletak begitu saja seakan menambah kengerian yang telah terjadi. Kamar mayat tak mampu lagi menampung sehingga sebagian besar terpaksa diletakkan di halaman rumah sakit. Dengan peralatan penutup seadanya membuat kebusukan itu lebih terasa. Entah berapa banyak wanita yang menjadi janda, entah berapa banyak yang telah kehilangan sanak saudara, entah berapa banyak anak yang menjadi yatim piatu karena kehilangan ayah dan bunda, entah berapa banyak yang telah kehilangan angan dan cita. Dan entah berapa banyak manusia yang telah kehilangan nyawa dan harta. Edan! Sampai kapan negeri ini sepi dari prahara dan bencana?
***
Di atas pintu kayu itu terpampang sebuah plakat nama dengan anggun bertengger. Deretan huruf yang terpampang di sana membentuk nama Dr. Marjohan. Di dalam ruangan sang dokter sedang bersiap-siap untuk melaksanakan pekerjaannya sebelum terdengar bunyi ketukan dari balik pintu itu.
“Maaf, dok. Semua sudah siap.” Kata perawat muda tadi sembari menyembulkan kepala di antara pintu yang sedikit dibukanya.
Sang dokter mengalihkan pandangan sesaat padanya. “Baik. Mari, saya juga sudah siap. Bagaimana kondisinya?” Katanya sambil menuju keluar.
“Pemeriksaan menunjukan cukup stabil” jawab perawat itu sambil mengiringi langkah dokter menuju ruang operasi. Sang dokter hanya membisu mendengar laporan si perawat.
Ruang operasi mungkin sebuah ruangan yang menakutkan bagi orang awam. Dengan berbagai peralatan dan perangkat medisnya yang menyeramkan. Elektrokardiograf dan Elektrosofagelograf berdiri dengan angkuh dekat ranjang operasi, dan berbagai jenis gunting serta bermacam pisau bedah tersusun rapi di meja dorong yang terletak di samping dua orang perempuan yang sudah menunggu ketika mereka sampai di kamar operasi. Salah seorang dari mereka memakaikan baju operasi dan masker yang sedari tadi disiapkan untuk sang dokter. Setelah dilakukan penyuntikan maka operasi pun segera dilakukan.
***
“Assalamualaikum”
Sesosok tubuh mungil yang terbaring di dipan lusuh itu mulai berusaha mengembalikan kekuatan tubuhnya dan mencoba membuka matanya. Masih dalam pengaruh bius, antara sadar dan tidak dia mendengar samar-samar salam itu. Kepalanya masih terasa pusing. Dilihatnya dua wajah yang menyunggingkan senyum kepadanya walau agak kabur.
“Saya pergi dulu, kau jagalah dia sebentar. Kalau ada apa-apa, temui saya di ruangan.” kata doter Johan setelah memeriksa sebentar pasien dihadapannya. Kemudian dia keluar dari kamar.
“Assalamu’alaikum” kata suara itu lagi.
“Alaikum salam” jawabnya sedikit serak dengan suara yang hampir berbisik.
Sedikit demi sedikit pandangan si gadis mulai menjadi lebih baik.
“Bagaimana? Sudah merasa agak baikkan?”
“Di mana ini?” Tanyanya balik tanpa mengindahkan pertanyaan dari laki-laki muda yang saat ini berdiri menatapnya.
“Adik di rumah sakit…”
“Bapak! Dimana bapak? Bapak lon mana?” Cecernya sembari berusaha bangkit dari pembaringan.
“Adik, tenang dulu. Istirahatlah dulu,” kata perawat itu sambil merebahkan kembali tubuh mungil yang tadi sempat meronta untuk bangun. “Nanti kita cari bapaknya, ya. Tapi untuk saat ini adik lebih baik istirahat saja dulu. Kondisi adik belum pulih benar. Nama adik siapa?”
Kebisuan tercipta. Agak lama gadis itu terdiam tanpa menjawab dan memperhatikan orang yang ada di sampingnya. Rasa pusing yang tadi sempat menyergapnya kembali hadir. Sejenak pandangannya menerawang ke atas.
“Mei. Cut Meimei…” jawab si gadis lemah. Tak terasa air matanya meleleh di pipi. Di kantupkannya mata seakan menahan sesuatu, namun sesuatu itu dia sendiri tak tahu apa. Serpihan kenangan memilukan tiba-tiba menyesak di otaknya.
Hari itu, pagi yang sejuk berubah menjadi sebuah kengerian yang teramat memilukan. Sesuatu yang daang tiba-tiba itu telah merampas hari-hari bahagianya. Bapak, mak, Eed, ka Meutia, di mana kalian semua? Awan mendung berarak di antara dedaunan pepohonan seakan menuju ke arah jedela kamar dimana dia saat ini terbaring. Kemudian mendung itu masuk ke kamarnya, lalu menuju keparu-parunya, dan berhenti di jantung hatinya. Isak tangis Mei semakin perih. Terakhir yang dia bisa ingat ketika itu ada sebuah balok beton yang runtuh tepat di atas bapak yang sedang berenang ke arah pak Nardi. Sebelum tiba-tiba semuanya menjadi teramat gelap dia rasakan. Dia tak tahu apa yang terjadi setelahnya. “Mei! Eed dimana?”. Teriakan bapak kala itu masih terngiang dikepalanya. Eed? Iya. Di mana eed sekarang. Mak? Mak juga dimana? Ka Meutia? Tiba-tiba wajah orang-orang terkasihnya yang sempat terlupakan muncul dihadapannya. Di mana kalian semua? Dan aku sendiri, apa yang terjadi padaku?
“Dik Mei!?” Suara perawat itu memecah lamunan Meimei.
Tatapan mata kosong yang tadi mengarah ke jendela kini beralih kepada yang si-empunya suara.
“Dik Mei? Adik tidak apa-apa kan?”
Rupanya pengaruh obat penenang masih dirasakannya. Ada rasa enggan untuk menjawab pertanyaan itu. Entah karena pertanyaan itu didengarnya terlalu bodoh buatnya atau… entahlah. Namun dia menepiskan perasaan itu.
“Lon merasa agak pusing sedikit dan lengan kiri lon agak nyeri. Tapi tidak apa-apa…” jawab Mei lemah.
“Geut … pusing itu biasa. Akibat pengaruh obat, sebentar juga hilang ”.
“Tapi lon tak bisa merasakan apa-apa di lengan kiri lon. Cuma nyeri sedikit… ini juga akibat reaksi obat itu?”
“Jeut …” jawab perawat itu ragu. Air mata haram bagi laki-laki. Kalimat itu yang sering dia dengar dari ayahnya dulu tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya. Kecamuk dalam dirinya yang teramat pedih mulai mengurumuti pelupuk matanya. Tapi air mata itu tetap bisa dia tahan dan sembunyikan. Dia belum menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya, kata suara yang ada dalam hatinya.
Meimei mulai tenang dan bisa menguasai diri.
“Kalau lon boleh tau, nama kaka siapa? Lon juga punya kaka perawat, sama seperti kak…”. Sesaat sebuah kristal bening kembali menapaki pipinya yang mulus dan bersih.
Lamunan si perawat pecah. Kemudian dia mengambil kursi dan duduk di samping Mei.
“Inong. Panggil saja ka Inong”.
“Ya, ka Inong. Meutia namanya…” butiran-butiran air meleleh di pipi Mei. “lon Juga nanti ingin jadi perawat seperti ka Meutia…” katanya lagi sambil menerawang langit-langit kamar sambil berusaha membendung emosi yang dicurahkan lewat matanya.
Inong menyunggingkan senyum mendengar kata-kata gadis di hadapannya. Tapi senyum itu bukan senyum bahagia, tapi senyum yang lebih tepat topeng kepiluan hatinya. Dia tatap gadis mungil itu dengan lembut. Perasaan yang sama ketika dia menatap adiknya yang juga menjadi salah satu korban dalam bencana yang melanda beberapa hari yang lalu. Ada gejolak ingin menumpahkan air mata dan memeluknya erat-erat, namun dia tahu itu bukan adiknya. Wajah yang bulat dengan mata besar berbinar baginya merupakan duplikat adiknya. Bangsat! Kenapa saat itu aku tak ada di sana? Bentaknya pada diri sendiri.
“Enak ya, ka, tiap hari menolong orang yang sakit…”
Suara Meimei menepis lamunan yang mengelambui Inong sesaat.
“E..e..e… iya” jawabnya sedikit terbata. Aku bisa menolong orang lain, tapi kenapa adikku sendiri aku tak bisa. Bodoh!
Tatapan Mei kembali terarah ke plafon kamar itu. “Nanti Mei juga bisa menolong orang yang sakit…” Inong memperhatikan dengan perasaan dan tatapan yang sama.
“Ka Inong…!”
“Peu ?”
“Mana orang yang tadi bersama ka Inong?”
“Dr. Johan ka lheuh ijak …”
“Jih yang merawat lon?”
“Jeut…”
Meimei kembali menatap Inong dalam. “Lon mau istirahat dulu. Ka inong, nanti tolong carikan bapak, Mak. Dan adik lon ya. Namanya Eed. Orangnya lucu deh, ka. Trus peungahama ka Meutia kalau lon ada di rumah sakit…”
Mei pun mengantupkan mata sembari berusaha menahan nyeri di lengan kirinya.
Inong bangkit dari duduknya dan merapikan selimut yang membalut tubuh Meimei. Ada perasaan yang gamang dalam dadanya. Bagaimana aku mengatakan kalau anggota tubuhnya sekarang tidak sempurna lagi. Derita yang dia rasakan saat ini sudah sangat memukul jiwanya. Apakah aku harus menambah kepedihan itu dengan pernyataan bahwa lengannya sudah diamputasi? Aku tak sanggup, ya Allah. Aku benar-benar tak sanggup! Dia masih terlalu muda untuk menerima kenyataaan seperti ini. Atau biarkan dia mengetahuinya sendiri? Akh! Aku tak tahu harus bagaimana? Geramnya pada diri sendiri.
Inong pun melangkahkan kaki keluar dari kamar di mana Mei terbaring. Sebelum dia menutup pintu itu, dia pandangi sekali lagi wajah Mei. “Maafkan ka Inong, dik Mei…, kaka yakin Mei adalah gadis yang tegar…”
Tanpa diketahui Inong, air mata Mei tumpah seketika begitu bunyi pintu ditutup didengarnya. Dirabanya lengan kirinya. Innalillah…! Ternyata apa yang dirasakannya memang benar. Tangisnya pun membuncah dan memecah kesenyapan di ruangan yang berukuran 3 x 4 meter itu.
Entah kenapa ketika Inong yang merawatnya tadi ada di sampingnya, dia tak berani untuk bertanya atau mengetahui apa yang terjadi dengan lengan kirinya. Hingga dia memutuskan sendiri akan memastikan setelah Inong tidak bersamanya lagi. Pura-pura terlelap mungkin jalan yang terbaik untuk saat ini pikirnya tadi. Mei seolah melihat kegamangan yang tersirat di wajah Inong ketika tatapan mata Inong mengarah kepadanya.
Isak tangisnya merebak di kamar itu. Di antara tangisnya, wajah bapak, mak, ka Meutia, dan Eed terlukis di hadapannya. Seakan menyuruh Mei untuk tegar menghadapi kenyataan yang terjadi.
“Bapak…!” Butiran air mata Meimei mengalir kembali… ***
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-melati-kehilangan-kelopak/399384632740
0 komentar: