Cerpen Kayla Untara: Mahluk Manis di Hunjuran Meratus
Bulan September telah berlalu. Setelah kemarau yang cukup panjang, kini awan mendung mulai mencurahkan airnya dengan deras, amat deras. Katak mulai bermain orkestra menyambut hujan yang sudah lama dinanti sekian lama. Air sungai sudah mulai pasang menandakan hujan lebat telah mengguyur di hulu. Aku duduk di teras menatap gerimis yang sejak pagi tadi membuat beberapa orang kecewa dan sebagian yang lain bernyanyi riang gembira. Aku teringat kejadian kemarin yang menciptakan beribu tanda tanya yang sampai saat ini belum bisa kumengerti.Dua hari sebelum keberangkatan kami waktu itu, terjadi hujan lebat. Aku dan beberapa orang temanku merencanakan akan ke Loksado sekadar membunuh waktu, karena sekolahku waktu itu sedang libur dan kebetulan hari sabtu. Keputusan yang aneh memang, pada musim begini mendaki gunung. Tapi justru itulah yang menantang jiwa petualang kami – yang sebenarnya tidak mempunyai jiwa petualang.
Akhirnya tiba hari yang ditunggu-tunggu. Kami semua sudah menyiapkan peralatan seperlunya. Pagi sekali kami berangkat dari Kandangan menuju Loksado dengan taksi yang sudah kami pesan sehari sebelumnya. Mobil langsung meluncur begitu semua penumpang sudah siap. Perjalanan yang akan cukup membuat pusing kepala segera menanti.
Sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di Loksado. Pusing yang tadi sempat hinggap dikepalaku sirna ditelan hawa khas loksado yang cukup lama tidak kuhirup. Kebetulan hari itu alam sedang bersahabat dengan kami, tidak seperti kemarin. Kami sempat khawatir ‘tour’ yang kami lakukan hari ini akan terhalang awan mendung. Begitu turun dari mobil aku dan Fany langsung mencari tempat untuk mendirikan tenda, sedang Adi, Alamsyah, dan Hendra menurunkan barang bawaan. Tenda segera kami dirikan ditempat yang cukup dekat dengan sungai.
Malamnya, kami hanya beristirahat guna mempersiapkan untuk besok karena kami berencana pergi ke air terjun di Haratai. Perjalanan kesana akan memakan banyak tenaga dan waktu sebab hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sekitar jam sepuluh malam, kantuk mulai menyelimuti. Walau udara malam itu agak dingin, tapi hawa dingin itu menimbulkan rasa tersendiri buatku. Hawa yang telah lama tidak kurasakan.Tunggu kami Haratai, besok kami akan bertamu.
Setelah sarapan, kami berlima langsung melangkahkan kaki menuju Haratai. Untunglah hari itu alam kembali bersahabat. Aroma daun kayu manis mulai menebar pesona, burung bernyanyi merdu menyenandungkan lagu alam, ranting pepohonan menari diterpa sinar mentari, suara hutan, jangkrik, dan suara-suara alam lainnya menyatu menjadi orkestra nan syahdu. Kami pun terbuai oleh gedesau derasnya air sungai yang menantang siapa saja yang berusaha menaklukannya. Pikiran kami terbang entah kemana, sampai-sampai tak terasa sudah hampir separo perjalanan kami tempuh. Tiba–tiba suara Fany memecah keheningan.
“kaya apa, basinggah-ah dahulu. Sambil balilihat gunung?”
“tasarah haja. Aku ti umpat urang banyak haja…” ujar Alam sambil memijit-mijit kakinya.
Kami sepakat untuk istirahat sebentar sekadar melepas lelah. Aku memilih duduk didekat tumpukan potongan bambu bersebelahan dengan Adi. Fany dan Hendra asyik berbicara yang aku sendiri tak tau apa yang mereka bicarakan, lagi pula aku tak ingin tau. Alamsyah tetap dengan kegiatannya yang tadi, memijat kakinya sambil sekali-kali mengeluh kesakitan. Sedang aku asyik dengan lamunanku sampai Adi berkata.
“Dan! ngelamunin si…ehm ya?”tanyanya sambil mengedipkan mata.
“dari pada aku ketawa sendiri, kan lebih baik aku ngelamun. Lagi pula siapa juga yang kau sebut ‘ehm’ itu”jawabku asal-asalan.
“alahh…pura-pura tak tau. Direbut orang baru tau rasa”katanya lagi sambil pasang muka jelek yang emang sudah jelek dari sononya.
“ia nih, si ‘Pujangga’ kita jatuh bangun, eh, maksudnya jatuh cinta tuh…” kali ini Alam ikut unjuk gigi sambil tetap meng-urut kakinya.
“aku sih masih mending, kan aku manusia normal. Lihat tuh, Fani ama pacarnya lagi asyik nonton gunung” kali ini Fany ama Hendra jadi sasaran “Oi, dilarang pacaran sesama jenis di gunung” teriakku pada Fany dan Hendra yang dari tadi cuman mandangin gunung. Suara tawa kami pun menyatu dengan alam.
Setelah dirasa cukup istirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan tidak seperti tadi, kami sepanjang jalan selalu bercanda. Maksudnya supaya ndak terasa lelah, rupanya ‘tehnik’ itu cukup berhasil – untuk sementara. Ketika sampai di jembatan gantung kedua rupanya perutku ‘protes’ karena tadi pagi ndak sempat ‘dilayani’.
“buhannya! Aku mau ke sungai sebentar, perutku protes nih”kataku. “kalian duluan aja, mungkin aku agak lamaan dikit…”
“bener nih nggak apa-apa? Kalau kamu diculik monyet trus di jadiin raja disini gimana…hiii, seremm…”kata alam sambil meniru gerakan monyet lagi kesengsem, diiringi tawa yang lain.
“aku justru khawatir ama kamu, Lam. Kalau-kalau kamu pas ketemu monyet and tiba-tiba dia meluk kamu dikiranya sodaranya, kan ntar ribet…”balasku sambil menahan perut yang tidak bisa lagi diajak kompromi.
Akhirnya mereka jalan duluan. Aku pun ‘melayani’ perutku di sungai, di bawah jembatan. Ah, selesai sudah. Aku langsung segera menyusul yang lain, tapi baru sepuluh meteran aku berjalan didepanku ada mahluk manis yang bernama cewek. Dia mengumbar senyum ketika menatapku, aku juga masang senyum semanis-manisnya bahkan lebih manis dari gula merah.
“hai!” sapaku berusaha ramah, seramah-ramahnya. Dia cuman senyum. “mau ke Haratai ya, mba?”astaga! pertanyaan bodoh! Masa mau ke pasar, pakai ransel dan pakaian mendaki. “saya Syahdan, mba siapa ya?” tanyaku lagi sambil berusaha pasang wajah serius, dua rius kali ye.
“mau ke Haratai juga kan? Nama saya Arlia, kita bareng yuk” jawab tuh cewek “Tadi aku berangkat ama temen-temenku tapi mereka berenti tadi. Jadi aku lanjutin aja sendirian. Kamu sendirian juga ya?”.
Hebat! Tadi cuman aku yang ngomong sendiri kaya orang gila, kini dia yang nyerocos. Arlia. Gadis manis berambut sebahu pakai topi Eiger, tas ransel yang agak besar, pakai celana se-lutut, and pakai sandal gunung yang juga keluaran dari Eiger ngajak bareng naik ke Haratai. Mimpi apa semalam, ya.
“nggak tadi aku bareng ama temenku juga, tapi mereka udah pada nggak sabar ingin mandi di Air terjun, emang mereka senengnya main ama itik tuh…” Candaku sambil berharap cewek itu mau menynggingkan senyum, harapanku terkabul. Akupun kembali melanjutkan perjalanan, tidak sendiri, tapi kini ada teman seperjalanan, cantik lagi.
Agak jauh juga kami jalan bareng. Kadang-kadang sambil bercanda. Ternyata Arlia saat ini sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi Banjarmasin dan baru semester dua artinya hanya setahun diatasku. Alasan dia kesini juga seperti kami, sekadar membunuh waktu. Ketika kami sampai di jembatan kecil yang pagar samping kirinya sudah hilang entah kemana, mungkin dicuri monyet iseng, Arlia tiba-tiba berhenti.
“Dan. Aku mau menunggu temenku disini. Kamu duluan aja gih, kasian kan temen-temen kamu pada nunggu”katanya sambil melepas ranselnya.
Aku sebenarnya lagi kagak pengen ketemu ama orang-orang yang pada ‘gila’ semua. Tapi aku sadar, dia pengen sendirian lagi pula ucapannya ada benarnya juga. “nggak papa nih, Ar?” Tanyaku sok perhatian. Dia hanya mengangguk mengiyakan sambil melempar senyum yang bisa membuat Krakatau kembali meletus. “kalau gitu aku duluan, ya. Sampai ketemu di sana. Hati-hati lo, banyak monyet yang lagi cari bini cantik, gosipnya sih pengen ngerubah keturunan”kataku lagi sambil berkelakar. Eh, dia menampakan giginya yang rapat, ketawa eui. Lalu aku melanjutkan perjuangan, tanpa Arlia.
Kawan-kawanku ternyata sudah pada berendam dan bercanda di sekitar air terjun. Rasa lelah pun hilang tatkala sampai di Haratai, di air terjun. Gemuruh air, kecipak air di sela batu, percikan air yang menampar lembut wajahku terasa begitu nikmat. Alam yang pertama melihat kehadiranku menyuruh untuk segera bergabung dengan mereka, dan aku langsung menyetujui. Haratai, aku datang!
Lama kami bermain, berteriak, melamun, tertawa, dan merenung. Hari yang sangat indah, pikirku. Walau awan mulai agak mendung, tapi semua itu tidak mengurangi luapan kegembiraan kami setelah dua jam perjalanan yang membuat kaki lecet. Tak terasa hari sudah menjelang sore, kami bersiap untuk kembali. Tapi kemana Arlia tadi? Ah, mungkin dia memutuskan tidak meneruskan perjalanan. Sayang, kalau dia tak bisa menikmati semua ini, batal deh niatku memamerkan bahwa aku kenal sama mahasiswi cantik. Sampai ketemu, Haratai. Lain kali kami akan kembali bertamu.
Sesampainya di desa Loksado, kami dikejutkan oleh banyaknya petugas Polisi dan beberapa warga yang sedang bekumpul serta orang-orang yang berpakaian seragam, sepertinya dari tim SAR, dilihat dari tulisan di punggung mereka. Kami mendekat ingin tau apa yang sebenarnya telah atau sedang terjadi.
“ada kejadian apa, Pak?” tanya Hendra pada seorang warga yang kebetulan dekat dengan kami.
“buhan ikam hanyar turun-nah?” orang itu balik nanya dengan logat khas Loksado. Lalu lanjutnya, “ samalam ada kacalakaan. Ada nang tagugur ka sungai, ujar bapa kapala tangkap. Kami sabarataan disuruh umpat mancari-i”.
Setelah kami mengucapkan terima kasih, kami menanyakan lebih jelas kepada salah seorang petugas. Kali ini Fany yang melempar tanya, setelah menyapa terlebih dahulu.
“ada kejadian apa sebenarnya, Pak?”
“oh, adik-adik belum tau, ya. Tadi malam kami mendapatkan laporan bahwa telah terjadi kecelakaan. Ada seseorang yang jatuh ke sungai dan sampai saat ini kami masih melakukan pencarian dibantu tim SAR dan beberapa warga. Adik ini dari mana?”
“kami baru saja dari Haratai, Pak” jawab Fany. Aku dan yang lainnya mengiyakan. “siapa yang telah mengalami kecelakaan dan kejadiannya dimana, Pak?”tanya Fany lagi ingin tau lebih banyak.
“korbannya seorang mahasiswi. Dia kemarin mendaki bersama beberapa temannya menuju Haratai, di tengah jalan terjadi kecelakaan, ketika melewati tebing, dia menginjak tanah yang lembek dan licin. Dia tergelincir, jatuh ke sungai dan hanyut. Ngomong-ngomong, apakah kalian tidak melihat sesuatu yang mungkin dapat dijadikan petunjuk sewaktu kalian mendaki tadi?” Tanya petugas itu sebelum menerima laporan dari walkie talkie yang dipegangnya.
Kami hanya bisa menggeleng kepala menjawab pertanyaan petugas tersebut. Rasa keingintahuan kami semakin meningkat. Setelah petugas yang tadi selesai bicara dengan rekannya melalui walkie talkie dia kembali bicara kepada kami.
“sepertinya mayatnya sudah ditemukan. Dan sekarang sedang dievakuasi. Sayang, masih muda. Tak sempat menikmati hidup lebih lama” kata petugas itu sambil menggeleng dengan rasa iba.
“dimana ditemukannya, Pak?”tanya Alam ingin tau.
“didekat apa ya tadi, sepertinya di bawah jembatan yang…”
“yang tanpa pagar di samping kirinya ya, Pak?” potongku cepat.
“iya. Kalian melewatinya kan waktu naik tadi”.
Ar! Ya, Arlia. Mahluk manis yang aku temui tadi. Apakah benar dia. Rasanya tak mungkin, mustahil. Ini pasti perasaanku saja. Aku bicara, bercanda, ber…
“ini fhotonya. Anak yang terlalu cantik untuk meninggal sedini ini”kata petugas itu lagi sambil menyodorkan fhoto ukuran 3R kepada kami.
Kulihat fhoto itu dan berharap itu bukan Ar, gadis yang baru saja kukenal. Tapi…itu…itu…tidak mungkin! “Arlia…”kata itu keluar, bukan teriakan tapi desahan, desahan yang panjang, yang telah menciptakan beribu tanda tanya sampai kini.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-mahluk-manis-di-hunjuran-meratus/407467572740
0 komentar: