Cerpen Fahrurraji Asmuni: Istri

20.16 Zian 0 Comments

Sudah menjadi kebiasaan lelaki itu bangun setiap malam. Setelah salat tahajud duduk di kursi kayu yang sudah lapuk menghadapi meja kayu yang rumpang. Mengalirlah kata-kata di atas lembaran kertas bergaris. Terbentuklah barisan kalimat yang rapi dan indah. Terciptalah sebuah cerpen.
Kali ini tidak seperti biasanya. Sudah berjam-jam ia duduk , namun tak satu kalimat pun jatuh di lembar kertas. Ia gelisah. Napas terasa sesak. Padahal tadi siang berseleweran inspirasi di benaknya. Mengapa malam ini inspirasi itu tidak muncul ? Ia tidak tahu jawabannya.
Dicobanya menerawang terbang ke angkasa raya ke mudian menyelam ke laut masa lalu.Yang ditemukannya hanya sederet kenangan buruk. Ia jadi ngeri dan takut. Ngeri , peristiwa masa lalu itu adalah kisah pembantaian kehidupannya. Takut kalau terulang lagi pada masa mendatang. Ini tidak perlu diungkap , pikirnya. Yang lalu biarlah berlalu.
Jam dinding berdenting empat kali. Kantuk tiba-tiba datang menyapa. Ia berusaha untuk menahannya. Tetapi sia-sia. Kantuk itu semakin nekad menyerang matanya. Tertidurlah lelaki itu di atas kursinya.

“ Kakak! Kakak! Bangun! Waktu shalat subuh sudah tiba. Cepat bangun nanti telat shalat subuhnya, “ sapa sang istri ketika melihat suaminya tertidur pulas memeluk meja.
Lelaki itu tetap lelap dalam dengkurnya. Ia sedang asyik dibuai mimpi. Entap mimpi indah atau mimpi buruk. Tidak ada yang tahu.
“Kakak, kakak ! Bangun ,“ kata si istri sambil menggoyang-goyang tubuh suaminya. “Cepat kak shalat nanti kesiangan.”
“ Plak-plak ! “ Tangan si lelaki itu mendarat di pipi istrinya. Saking kerasnya pukulan itu si istri kehilangan keseimbangan sehingga terjerambab. Dengan sabar si istri bangkit. Ia berusaha membangunkan suaminya yang terlelap. Rasa sakit di pipi dan di punggung dibiarkannya. Ia tahu suaminya tidak sengaja.
“ Sarah mengapa wajahmu biru, “ kata lelaki itu setelah terjaga dari tidurnya.
“ Ah , tidak apa Kak , penglihatan kakak saja.”
“ Justru Kakak melihatlah jadi tahu bahwa pipi adik biru-biru. Jawab dik, mengapa wajahmu sampai begitu.”
“ Sudahlah nanti adik ceritakan. Sekarang kakak kerjakan dulu perintah Allah. Air wudu sudah adik sediakan.”
Lelaki itu tak habis pikir mengapa malam-malam begini istrinya membiru wajahnya. Ada penjahat atau maling-kah yang menyelinap masuk ketika ia tidur tadi. Tetapi kalau ada penjahat pasti ribut.Pasti ada teriakan-teriakan. Pasti anak-anak terbangun semua karena ketakutan. Pasti ada jandela atau pintu yang bobol. Ini tenang saja. Mengapa ya ?
“ Kakak kok berwudunya lama amat. Cepat kan sudah setengah enam.”
“ Ya, ya kalau mau dulu shalatnya silakan.”
“ Adik tidak mau shalat sendirian. Kebiasaan kita kan shalat berjamaah.”
Setelah selesai shalat berjamaah si istri menceritakan mengapa wajahnya itu membiru. Betapa terkejutnya si suami bahwa semua itu karena perbuatannya.
“ Mengapa kakak tega memukul adik padahal adik bermaksud baik , membangunkan kakak agar tidak telat mengerjakan shalat subuh, “ istrinya balik bertanya.
“ Begini dik, kakak bermimpi.Dalam mimpi itu kakak dan adik sedang berjalan-jalan di sebuah taman untuk menikmati keindahan taman yang penuh beraneka bunga.Sedang asyik demikian , tiba-tiba dating seorang laki-laki menggoda adik dengan kata-kata porno. Kakak marah lalu kakak tinju orang itu dua kali.”
“Eh,ternyata saya yang kena tinju .” sela istrinya.
“ Maaf ya dik ,kakak tidak sengaja.”
“ Sudah adik maafkan sedari tadi ,” sahut istrinya.” Lain kali kalau mengantuk cepat-cepat pergi ke tempat tidur. Tidur di ranjang lebih enak daripada tidur di kursi .”
“ Insya Allah.”
Biasanya ia memang selalu tidur di ranjang bersama istrinya. Tetapi kali ini tidur ditemani kertas-kertas . Malam ini rupanya lagi apes. Mau membuat cerpen tetapi pikiran buntu. Tidak ada ide yang dapat dikembangkan. Saking lelahnya mencari inspirasi ia pun terbuai mimpi.
“ Kakak beras dan rempah-rempah dapur habis, “ kata si istri setelah memeriksa padaringan tempat menyimpan beras dan mengontrol kelengkapan dapur.
“ Kalau habis ya beli.”
“ Uangnya mana ? Kan sudah dua hari kakak tidak memberi uang belanja.”
“ Ini ada uang lima puluh ribu rupiah.”
“ Eh, dari mana kakak dapat uang. Kemarin kakak bilang tidak punya uang ,” selidik istrinya.
“Uang ini honor dua buah cerpen kakak yang dimuat di koran daerah.”
“ Alhamdulillah , kita beli beras dan rempah-rempah dapur hari ini dengan kontan.”
“ Dik, kalau berbelanja ke warung jangan dihabiskan uangnya sisakan untuk besok.”
“Ya , Kak.”
Sebenarnya ia tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Ia dan istrinya sarjana lulusan FKIP Unlam. Keduanya sudah sering kali mengikuti tes CPNS namun belum berhasil. Rupanya Allah belum mengizinkan keduanya menjadi pegawai negeri.
Sebagai guru honor pada sebuah SMA penghasilan suami istri itu jauh dari cukup. Bayangkan honor yang mereka terima hanya enam ratus ribu rupiah untuk menghidupi dua anak kembar yang baru berumur dua tahun. Bayar sewa rumah Rp.300.000,oo perbulan . Bayar leding dan listrik Rp. 150.000,oo/ bulan. Belum lagi beli beras dan biaya lainnya.
Untuk meringankan keluarga yang Senin-Kemis si suami mencoba menulis cerpen. Mualnya gagal. Alhamdulillah , berkat kegigihan dan ketidakputusasaannya cerpen yang dikirimnya kini selalu dimuat.

***

“ Kak tidak menulis cerpen ya malam ini,” kata istrinya selesai shalat tahajud.
“ Malas,” sahut suami.
“ Jangan malas. Cerpenis sejati tidak mengenal lelah dan malas. Menulis terus menulis. Tiada hari tanpa menulis.”
“ Maunya begitu. Tapi terkadang ide untuk menulis tak kunjung datang sehingga penyakit malasku kambuh.”
“ Adik ada ide bagus.”
“ Mana coba kemukakan.”
“ Begini seorang gadis usia delapan beals tahun, kelas XII SMA mau bunuh diri dengan meminum baygon karena tidak mampu membayar uang iuran bulanan sekolah yang terus naik. Tetapi ia diselamatkan oleh pacarnya yang kebetulan dating berkunjung ke rumahnya. Sang pacar mengingatkan bahwa bunuh diri itu dosa besar. Neraka imbalannya. Bagaimanapun beratnya masalah hidup mesti dihadapi dengan sabar dan tawakal.
“ Itu dik bukan ide yang baru.”
“ Tapi bagus, “ sela istrinya , “ belum ada cerpenis yang mengangkatnya kepermukaan.”
“ Kakak ogah menggarap cerpen yang berbau remaja. Kakak lebih senang menggarap masalah kehidupan rumah tangga.”
“ Sekali-sekali kan tidak apa. Cerpen ini nanti kita kirim ke majalah Annida atau Serambi Ummah.”

***

Hamdi sungguh beruntung mendapat istri yang sabar , penuh pengertian dan mau menerima kenyataan, yaitu Sarah. Padahal ia anak orang kaya di kotanya. Ayahnya seorang pemilik tambang batubara. Namun istrinya tidak mau mengemis kepada orang tuanya. Ia tidak pernah mengadukan keadaan keluarganya kepada orang tuanya. Dalam rumah tangga susah – senang harus dihadapi dengan lapang dada. Tidak perlu mengeluh dan mengadu kepada orang lain.Menurut Sarah berani menghadapi segala hempasan gelombang hidup adalah pejuang sejati.Tahan terhadap segala kesusahan itu hidup yang sebenarnya.
“ Dik ,mengapa kamu rela bersuami saya yang miskin. Mengais rezeki lewat menulis cerpen,” kata Hamdi pada malam pertama dulu.
“ Pertama saya mencintai kakak.Kedua saya belajar mengahdapi hidup.”
“ Adik kan biasa hidup bergelimang harta. Apa saja yang dikehendaki terkabul.”
“ Betul Kak, hidup bergelimang harta sudah adik rasakan sejak kecil.Tetapi adik tidak pernah merasakan kebahagiaan. Adik tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua. Orang tua adik selalu sibuk siang-malam dengan urusan batu baranya. Untung di bangku kuliah adik bertemu kakak. Kakak telah membimbing adik sehingga adik tidak terjerumus ke lembah narkoba. Hal inilah yang membuat adik rela berdampingan hidup dengan kakak.”

***

Suatu hari ketika Hamdi pulang dari mengikuti temu sastra 1 La Vindri Kandangan dilihatnya mata istrinya sembab sehabis menangis.
“Apa yang telah terjadi, dik?” Tanya hamdi.
“ Tidak terjadi apa-apa. Adik hanya rindu dengan kakak, “ sahut istrinya.
Ditatapnya istrinya dalam-dalam. Nalurinya mengatakan lain. Biasanya istrinya bagaimanapun rindunya tidak pernah matanya sesembab itu.
“Katakan sejujurnya dik? Kakak tidak senang kalau adik berbohong”.
“Tadi pagi ayah dating ke rumah kita”.
“Apa kata beliau?”
“Beliau mengajak adik ikut ke Banjarmasin. Beliau tidak tega melihat anaknya hidup melarat. Tinggal di rumah sewa yang lapuk,” cerita istrinya.
“Lalu?”
“Adik tolak kak. Adik lebih senang tinggal di gubuk bersama-sama dari pada ikut papa”.
“Mendengar jawaban adik itu papa lalu memukuli adik hingga babak belur. Lihat kak punggung adik”.
“Terus”.
“Papa pulang tanpa pamit”.
Sebenarnya Hamdi geram mendengar cerita istrinya itu. Seandainya bukan mertua yang memukuli istrinya sudah tentu akan diremuk-redam tubuhnya. Dia menyadari bahwa mertuanya masih marah kepadanya. Karena dia tidak ada, maka pelampiasannya ditumpahkan kepada istrinya. Hamdi menyadari bahwa mertuanya marah disebabkan dia membawa lari Sarah ke Amuntai lalu dinikahinya tanpa restu dari orangtua kedua belah pihak.
“Sabar ya dik. Bagaimanapun beliau orangtua kita. Lagi pula kita sudah sama-sama tahu bahwa kelakuan ayah memang suka main kasar tak peduli pada anaknya sendiri,” kata Hamdi menghibur.
“Sabar ya sabar. Tetapi mengapa ayah begitu dendam kepada kita?”
“Ayah tidak dendam hanya kesal karena kemauannya tidak terkabul. Dan tindakan ayah itu tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap beliau khilaf habis perkara”.
“Oke lah kalau begitu,” sahut Sarah.
Sejak dipukuli ayahnya, Sarah sering sakit. Berkali-kali suaminya mengajak ke dokter untuk berobat tetapi dengan halus ditolaknya. Setelah tiga bulan menderita sakit, Sarah pun menghadap Yang Maha dari segala yang maha. Hamdi merasa kehilangan sesuatu yang berharga dan yang paling dicintai.
Kini tinggallah Hamdi beserta kedua anak kembarnya menghadapi gelombang hidup berperahu kertas berdayung pena. Ada luka menyayat hati setiap kali Hamdi menatap foto Sarah yang terpampang di dinding.


Sumber:
Jumbawuya, Aliansyah, dkk. 2011. Ketika Api Bicara: Kumpulan Cerpen Pendidikan Berkarakter. Banjarmasin: Tahura Media
http://wwwkaryaraji.blogspot.co.id/2008/10/cerpen-cerpen_26.html

0 komentar: