Cerpen Fahrurraji Asmuni: Pertemuan
Kabut pagi memeluk terminal Pal 6. Lampu-lampu yang bergelantungan di warung-warung tertunduk malu. Toko-toko sekeliling terminal itu diam membisu. Sunyi. Tak ada terdengar celoteh para pemabuk. Tak bisik-bisik penjaja cinta. Suara azan subuh pun telah lenyap ditelan waktu. Jam di HP-ku menunjukkan pukul 05.30.Saat itulah bus jurusan Samarinda – Banjarmasin merayap di dada terminal yang lagi mendengkur. Para tukang ojek yang sejak tengah malam bertengger di kenderaan masing-masing bergerak lincah menyambangi bus yang kutumpangi. Mereka mencicit-cicit menawarkan jasa.
Aku yang disandra bus Samarinda selama dalam perjalanan segera keluar. Meski kantuk masih menggerayangi mata.Sementara lelah terus bertahta. Kuhirup udara pagi.Segaaar.Aku telah merdeka, pikirku. Karena taksi kota belum menampakkan diri , aku melangkah menuju sarang ojek.
“Kayu Tangi , belakang STIE,” kataku terus naik lalu duduk di atas Supra X warna kebiruan.
“Baik,Mas !” kata tukang ojek yang kutumpangi.Kemudian meluncurlah kenderaan tersebut dengan kencang menembus kabut pagi. Jalanan masih lengang.
Selama membonceng ojek itu aku tidak bicara sepatah kata pun. Aku kedinginan. Apalagi aku tidak memakai jaket. Yang kupakai kemeja putih lengan pendek. Berbeda dengan si tukang ojek. Dia berjaket hitam tebal.Helm standar menutup seluruh kepala dan wajahnya. Kemungkinan dia tidak kedinginan seperti aku yang duduk di belakangnya.Dia juga diam. Kami larut dalam pikiran masing-masing.
***
Di atas ojek pikiranku mengembara ke masa dua puluh tahunan yang lalu. Tepatnya Juli 2004.Ketika itu aku dan Dani bersama-sama pergi ke Banjarmasin, mengadu peruntungan di keramaian kota provinsi. Aku kuliah di FKIP Unlam. Dia mengais rezeki menjadi tukang ojek.
Anehnya, meskipun sama-sama tinggal ibukota provinsi. Kami tidak pernah lagi bertemu. Bahkan tidak tahu alamat masing-masing .Kalau pulang kampung selalu pakai ilmu selisih.Artinya, jika dia berada di amuntai ,aku sudah balik ke Banjarmasin. Kesempatan lain, aku pulang kampung ternyata dia tak kunjung mudik.
Tentang alamatnya pernah kutanyakan kepada orang tuanya. Tetapi beliau tidak tahu persis. Kabarnya dia tinggal di Kalayan. Tidak jelas Kalayan A atau B.
Aku penasaran. Kutelusuri Kalayan A dan B . Kumasuki gang demi gang. Kutanyakan kepada setiap penduduk yang kutemui.Kenalkah dengan orang yang bernama Dani ,lengkapnya Hamdani ? Asal Amuntai. Ciri-ciri berbadan gemuk , tinggi , rambut keriting , mata sipit , hidung mancung dan ada bekas luka sebesar ibu jari di pipi kanan. Jawaban yang kuterima adalah tidak kenal.
Berhari-hari aku mencari Dani tetapi tidak pernah kutemukan.Pernah ada informasi bahwa orang yang kucari itu tinggal di Kalayan A gang Setuju dekat Sanawiyah Siti Maryam. Setelah kudatangi ke sana ternyata sudah lama pindah. Menurut informasi pindahnya ke Pakapuran dekat SMP Muhammadiyah 4. Kutelusuri ke sana ternyata baru pindah dua ahri yang lalu.Pindahnya entah ke mana. Aku jadi semakin rindu kepadanya. Aku ingin bertemu dengannya walau sejenak.
Dulu , ketika di kampung Dani teman akrabku. Setiap hari berangkat ke sekolah berbarengan. Duduk selalu sebangku , baik waktu di SD maupun di SMP. Bermain pun senantiasa bersama-sama , seperti berenang di sungai , bermain kelereng , petak umpat , dan memanjat pohon.
Dia pernah terjatuh dari pohon belimbing di depan rumahku karena tempat dia bertengger patah. Salah satu ranting dari dahan itu menusuk pipi kanannya. Karena itulah, sampai sekarang di pipi kanannya melintang codet sebesar ibu jari.
***
“Masuk gang, ya Mas,” celetuk tukang ojek membuyarkan lamunanku.
“Tidak usah, di muka saja.”
Setelah sampai aku turun dari kendaraan. Kuserahkan selembar uang puluhan ribu. Biasanya, uang kembaliannya dua ribu rupiah.
“ Dua puluh ribu, Mas!” cecarnya
“Hah. Jangan bercanda.”
“Tidak. Ini serius.”
“Masak jarak sedekat ini ongkosnya dua puluh ribu. Aku biasanya naik ojek dari terminal Pal 6 ke Kayu Tangi ini hanya delapan ribu rupiah. Jadi, sepuluh ribu itu sudah banyak.”
Suasana sekitar STIE masih sepi. Hanya sesekali terdengar derum motor lewat. Wiridan para jamaah di mushala baru berhenti. Penghuni gang masih nyenyak di bawah selimut tebal. Hanya aku dan tukang ojek yang ada di mulut gang itu.
“Dua puluh itu sudah biasa.”
“Jangan bohong. Aku setiap Kamis ke Kayu Tangi ini. Terkadang naik taksi. Tidak jarang pulang nampang ojek. Aku tahu persis berapa ongkos taksi atau ojek.”
“Aku biasanya,” ujar tukang ojek tersebut tetap ngotot, “mengantar penumpang Samarinda ke sini ongkosnya segitu!”
“Aku kan dari Amuntai, bukan Samarinda. Kebetulan saja menumpang bus jurusan Samarinda – Banjarmasin. Dan ongkosnya hanya Rp 15 ribu,” tukasku menjelaskan.
“Pokoknya kamu bayar dua puluh!” hardiknya.
Uang yang kuletakkan di kendaraan itu diambil dan dilemparkannya kepadaku. Aku terkejut. Aku tidak menyangka dia berbuat demikian. Dan baru sekali ini aku menjumpai tukang ojek yang kasar begini.
“Eh, jangan begitu,” kataku sambil memungut uang tersebut lalu menyerahkan lagi kepadanya. “Ini rezekimu, masak ditolak. Syukurilah…”
“Ya, ini rezekiku. Dan ini rezekimu,” tukasnya sembari malayangkan tinju ke mukaku. Aku tidak sempat mengelak. Darah pun muncrat dari pelipisku.
“Sabar. Sabar kawan. Aku kabulkan kehendakmu.”
“Sudah terlambat,” cecarnya terus menjotosko. Tetapi kali ini meleset karena aku menghindar. Dia semakin geram. Dan terus menyerangku bertubi-tubi dengan pukulan. Aku terpaksa ambil langkah seribu. Lari menghindar menuju rumahku.
Dia mengejarku lebih kencang. Dari belakang rambutku berhasil dia jambak. Karena sakit, dengan reflek aku berbalik. Buuk. Tinjuku kena perutnya. Dia rebah tertelantang. Dengan cepat kutindih badannya. Dan kulihat dia tak berdaya.
Aku ingin melihat wajah si tukang ojek yang keterlaluan itu. Kubuka helm yang sejak tadi menutup kepala dan wajahnya. Terlihat olehku bekas luka sebesar ibu jari di pipi kanannya. Ya Allah, dia temanku yang kucari selama ini. Dia adalah Dani. Seketika itu aku jadi lemas.
Merasa tindihanku di badannya melemah, dia meronta sekuatnya. Aku pun terguling ke samping. Dengan leluasa tubuhku diinjiknya. Keperihan demi keperihan kurasakan menjalari bagian tubuhku yang terluka.
“Dani, bunuhlah aku. Aku rela mati di tanganmu, sahabatku sendiri yang selama ini kucari-cari,” rintihku.
“Siapa kau?!” Dia berhenti menghantamku. Rupanya dia tidak mengenaliku lagi. Aku memang sudah jauh berubah dalam kurun waktu duapuluh tahun ini.
“Oh, maafkan aku. Tadi aku begitu kesetanan.”
Kami pun berpelukan. Ada gemuruh rasa mengguncang dada. Perih luka jadi tak terasa. Riuh-rendah suara orang-orang berdatangan menyaksikan perkelahian kami, tidaklah terdengar. Kami tenggelam dalam keharuan.
Sumber:
Jumbawuya, Aliansyah, dkk. 2011. Ketika Api Bicara: Kumpulan Cerpen Pendidikan Berkarakter. Banjarmasin: Tahura Media
http://wwwkaryaraji.blogspot.co.id/2008/10/cerpen-cerpen_26.html
0 komentar: