Cerpen Clearesta Saprudi: Alzheimer
Banjarbaru, 15 Juli 2011Sudah beberapa tahun rumah kecil ini ku tinggalkan kosong karena suatu kewajiban yang harus ku jalani. Aku, Zahra El Farishi, adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam. Kewajiban yang mulia itu mengharuskanku untuk pergi meninggalkan rumah yang selama 24 tahun setia menampungku ini. Rumah ini nampak tidak begitu berbeda. Tetap kokoh seperti dulu, namun terasa begitu sepi tanpa kehadiran seorang wanita yang begitu ku kagumi. Tidak hanya sebagai seorang pendidik, tapi juga seorang tulang pungung keluarga setelah Ayah pergi untuk selamanya. Dia adalah Ibuku. Aku dan Ibu hanya tinggal berdua di rumah ini.
Sekilas kupandangi meja yang penuh debu dan sudah lapuk di pojok ruangan yang dulu dipergunakan sebagai ruang tamu, keadaannya sangat jauh berbeda ketika rumah ini masih kami tempati dulu. Di dinding, almanak tahun 2007 yang dulu ku beli dari pedagang majalah di pinggir jalan masih menempel kuat, tapi bila ku pandang lebih luas keadaan rumah yang dulu menjadi tempat aku dibesarkan dulu ini, hanyalah sebuah rumah tua yang dipenuhi oleh debu. Usang, rapuh, dan tak terawat. Sebelum rumah ini kosong, Acil, atau Bibi ku yang tinggal di kota Balikpapan sudah berencana akan mendiaminya, tapi karena tugas baru Beliau sebagai PNS di salah satu instansi pemerintahan di sana, maka Beliau tidak bisa pindah kemari sebelum menempuh jenjang pekerjaannya selama 5 tahun.
Sejenak Aku teringat kembali semua gurauan serta canda tawa yang telah menghiasi hari-hari kami di rumah ini. Bayangan itu seolah melintas dibenakku bersama desiran angin yang masuk di sela-sela jendela kamar yang Aku buka. Tidak terasa sudah 4 tahun rumah ini kosong tanpa ada yang mendiami. Bila ku ingat kembali alasan utama kenapa Aku meninggalkan rumah ini, rasanya berat hatiku ketika harus menerima semua keadaan itu, keadaan yang tidak semua orang mampu menghadapinya. Namun inilah rencana lain Allah untukku.
***
Tangis bahagia dan teriakan syukur pada Sang Kuasa membahana di seantero penjuru kampus. Setelah kurang lebih 6 tahun mengambil jurusan kedokteran, akhirnya Aku mampu mendapatkan gelar itu. Aku sekarang adalah seorang sarjana kedokteran. Prestasi yang berhasil ku dapatkan ini tentu tidak lepas dari pengorbanan Ayah dan Ibuku tersayang. Namun saat hari bahagiaku itu menjelang, sangat kusesalkan karena mereka tidak dapat hadir bersamaku. Ayah meninggalkan kami selama-lamanya ketika aku menjalani tahun pertama kuliah. Kondisiku dan Ibu ketika itu tidaklah mudah. Selain menjadi seorang guru ngaji yang hanya berstatus honorer di salah satu TPA di kota Banjarbaru, Ibu juga harus berjualan kue untuk menambah penghasilan sehari-hari.
Gaji sebagai guru honorer di TPA yang Beliau terima tentu tidaklah cukup untuk membiayai kuliahku. Ketika itu, setiap pagi Ibu membuat kue untuk diantar ke kantin-kantin sekolah bahkan seringkali juga diantar ke pasar. Uang pensiunan almarhum Ayah juga tidak begitu banyak membantu, karena kondisi kehidupan kami yang semakin hari semakin banyak tuntutan.
Dalam kondisi seperti ini tentu hal yang sangat sulit bagiku untuk bertahan di kampus kedokteran. Sempat terbesit di pikiranku untuk berhenti di tahun ketiga karena saat itu kondisi keuangan kami sudah benar-benar tidak bisa memungkinkan lagi, tapi Ibu tidak pernah lelah mendorongku dan menguatkan semangatku. Kini setelah Aku mendapatkan gelar spesialis penyakit dalam, ilmuku itu sudah terlambat digunakan untuk menolong Ibu, karena sekarang Beliau sudah berbahagia di alam sana.
***
Pernah suatu hari ketika Ibu mengajakku ke pasar kami bertemu dengan kawan seperjuangan Beliau dulu. Saat itu Ibu selalu membanggakanku karena Aku telah berhasil lulus kuliah di Fakultas Kedokteran terbesar di Kalimantan Selatan yang tidak semua orang mampu berkuliah di sana. Bagiku bukan pujian atau sanjungan Ibu yang membuat Aku bangga, namun karena ketulusan, kesabaran, dan rasa optimis yang Beliau miliki itulah yang mampu menjadi inspirasi bagiku. “Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya, maka perbanyaklah prasangka baik agar jalan kita selalu dimudahkan-Nya” Ucap Beliau ketika itu. Aku yang mendengarkannya hanya manggut-manggut saja. Sejak kecil Aku selalu di berikan nasehat itu, bahkan ini adalah yang ke sekian kalinya nasehat itu dilontarkan Ibu, namun Aku sama sekali tidak pernah bosan mendengarnya. Ibu sering membelikanku buku-buku kesehatan dan cerita-cerita para Nabi. Menurutku itu adalah hal yang begitu menarik saat Aku kelas 2 SMP dulu, saat-saat ketika Aku tumbuh menjadi remaja seperti para gadis kebanyakan.
Ada suatu cerita yang tidak pernah terlupakan seumur hidupku, “Saat muda dulu Ibu dan Ayah tidak saling kenal, dan orang tua Ibu mengatur semua perjodohan itu” Ibu mulai bercerita.
“Terus?” Sahutku mendengarkan dengan seksama.
“Ibu sempat lari dari rumah karena tidak mau dijodohkan dengan pria yang tidak Ibu kenal, namun pada akhirnya Ibu dijemput paksa di rumah tetangga. Entah kenapa ketika pertemuan dengan Ayahmu dulu Ibu langsung terpesona pada pandangan pertama dan Ayahmu pun merasakan hal yang sama. Ketika itu juga langsung disepakati hari dan tanggal pernikahan” Cerita Ibu lagi sambil tersenyum malu.
Sebagai seorang pendidik Beliau tidak pernah membentak anak didiknya, apalagi memukul. Saat Aku kecil dulu pun Ibu suka sekali membacakan Aku cerita dongeng untuk menidurkanku.
“Kelak, kau akan menjadi dokter dan orang yang berguna, Nak” Doa Ibu biasanya setelah membacakan ku dongeng. Kata Beliau, Dengan sering dibacakan dongeng, maka akan mampu membiasakan otakku untuk berfikir kritis dan cerdas.
***
Hari-hari berganti dan tahun pun berubah. Aku sudah menjadi perempuan yang mampu berfikir dewasa. Aku tidak segan-segan membantu menjual kue yang Ibu buat kepasar dan kantin-kantin kampus di sela-sela kuliahku. Sempat ada seorang teman yang mencibirku karena Aku berjualan padahal Aku adalah anak kedokteran.
“Memangnya anak kedokteran semuanya mampu, hah?” Kataku dengan penuh kemarahan.
“Mencari rejeki itu hak setiap orang, jadi selama itu halal maka Aku tidak akan pernah malu untuk melakukannya!” Lanjutku. Hari itu hanya ada satu mata kuliah sehingga Aku bisa pulang lebih cepat dari hari biasa. Siang itu ku lihat Ibu tampak kelelahan dan menintaku untuk membeli sejumlah jenis obat. Aku mulai khawatir akan kondisi kesehatan Ibu maka saat itu juga ku belikan obat yang Beliau inginkan. Ketika Aku bertanya tentang sakit yang diderita Beliau, Ibu hanya mengatakan kalau itu hanyalah sakit yang ringan dan menyuruhku untuk tidak terlalu khawatir. “Hanya sakit kepala, Insyaallah tidak apa-apa” Kata Beliau ketika Aku mulai ingin mengajak Beliau ke dokter. Dua hari pun telah berlalu.
“Alhamdulillah, sekarang keadaan Ibu sudah jauh lebih baik” Ucap Ibu sambil tersenyum kepadaku. Setelah meminum semua obat yang kuberikan memang kondisi Ibu sempat mulai membaik, namun setelah hari itu entah kenapa kondisi Ibu terus menerus menurun, bahkan pernah Aku melihat Ibu batuk-batuk sampai mengeluarkan darah. Hal ini semakin menambah kekhawatiranku. Untuk yang kedua kalinya kuajak Ibu untuk memeriksakan diri ke dokter, namun Beliau tetap mengelak dan bersikeras tidak mau dengan alasan uang kami yang sedikit. Aku hanya bisa diam. Aku tidak ingin berdebat dengan Ibu.
***
Rasa bangga dan tangis bahagia menyertaiku. Lomba karya tulis mahasiswa yang Aku ikuti dulu ternyata berhasil masuk dalam kategori terbaik. Tidak sia-sia pengorbananku dulu, sampai-sampai beberapa hari harus rela tidak tidur demi mengejar deadline. Karena prestasi itu Aku berhak mewakili Provinsi Kalimantan Selatan untuk bersaing di tingkat Nasional. Ketika itu kondisi Ibu terlihat lebih baik. Beliau pun mengizinkanku untuk bersaing memperebutkan gelar juara di Jakarta. Awalnya Aku agak merasa sedikit berat meninggalkan Ibu sendirian di rumah, namun Ibu tetap bersikeras dan menasehatiku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku pun berangkat dengan doa restu Ibu. Tiga hari Aku berada di Jakarta dan begitu seringnya pula Aku menghubungi Ibu melalui telepon maupun pesan singkat, berpesan untuk tetap rutin meminum obat agar kesehatan Beliau semakin baik.
Alhamdulillah acara pun berjalan dengan sukses dan hasil presentasiku membuat para dewan juri dan seluruh peserta terpukau. Kemudian Aku beserta 2 orang anggota dari kelompok kami berhasil mendapat predikat 10 besar tingkat Nasional, mengalahkan ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Kemenangan ini membuatku bangga karena Aku bisa mengharumkan nama provinsiku serta Aku berhasil memenangkan hadiah beasiswa kuliah yang memang kuinginkan. Kebahagiaan ini tentu langsung aku sampaikan pada Ibu di Banjarbaru
“Semoga hidupmu semakin berkah, Nak” Doa Beliau dari seberang sambungan telepon.
***
Keindahan hidup begitu terasa menyelimuti rumah kami. Tawa dan canda berpadu menjadi satu. Sesekali Aku menceritakan pengalaman menarik ku ketika di Jakart. Saat berkenalan dengan seorang peserta dari Bandung, Aku hampir tertawa karena ternyata namanya Cut Teteh, mojang blasteran Sunda Aceh. Mendengar nama itu Ibu langsung tertawa terbahak-bahak, entah apa yang ada dibenak Beliau. Berkat hadiah beasiswa itu Aku mampu menambah tabunganku selama ini. Sedikit dari hasil beasiswa itu Aku belikan motor roda dua. Dengan adanya alat transportasi tersebut sangat membantu dan mempermudahku dalam beraktifitas. Selama ini jika antara rumah ke kampus paling tidak Aku harus menempuh jarak kurang lebih dua kilometer jika berjalan kaki, tapi sekarang dengan adanya motor Aku jadi lebih mudah untuk mengantar Ibu mengajar dan tentunya memudahkan diriku sendiri untuk pergi kuliah.
Pernah suatu siang Ibu bertanya padaku, “Nak, apakah Ibu pernah tersesat ketika pulang kerumah?” Aku hanya tertawa mendengar pertanyaan Ibu itu.
“Ah, Ibu ada-ada saja” Jawabku ringan sembari tersenyum.
“Akhir-akhir ini Ibu sering lupa jalan pulang ke rumah, bahkan pernah juga Ibu salah masuk ruang kelas ketika mengajar” Jelas Ibu.
Aku pun tertawa dan hanya menganggap perkataan Ibu barusan sebagai suatu guyonan. Setahun kemudian, tepatnya saat Aku semester 6 di perguruan tinggi, sikap Ibu tiba-tiba berubah. Ibu seperti kehilangan semangat dan semakin acuh tak acuh. Aku semakin heran ketika Beliau mudah sekali tersinggung, sering murung, dan mudah cemas tanpa sebab-sebab yang jelas. Bahkan Beliau juga sering mengeluh sakit, entah itu linu, masuk angin, atau merasa cepat lelah. Hal ini membuatku cemas karena situasi Ibu yang seperti ini berbeda sekali dengan Ibu yang ku kenal dulu. Ibu yang selalu berprasangka baik, walaupun di tengah kondisi yang begitu buruk. Satu minggu kemudian Beliau mulai sering mudah lupa. Saat Beliau berangkat kepasar untuk membeli tepung, ketika pulang kerumah Beliau malah membawa garam. Ketika kuajak bicara, gaya bahasa Beliau juga mulai berubah, sangat monoton, lamban, bahkan sering tidak nyambung denganku. Aku jadi semakin bingung dengan kondisi kesehatan Ibu. Akhirnya Aku berinisiatif menemui dokter. Walaupun saat itu Aku sedang menempuh pendidikan di kedokteran, ku akui Aku masih belum begitu menguasai gejala-gejala penyakit. Sesampainya dirumah sakit Aku menceritakan semua keanehan yang terjadi pada ibuku kepada dokter.
“Apakah ini gejala penyakit pikun, Dok?” Tanyaku kepada dokter kemudian.
Namun dokter tidak menjawab melainkan hanya menyuruhku membawa Ibu menjalani medical check up setiap minggu. Aku semakin khawatir dengan keadaan Ibu saat itu, karena Ibu sama sekali tidak mau menceritakan penyakitnya dan dokter pun juga terkesan enggan memberi tahuku perihal penyakit Ibu walaupun pernah sekali Beliau datang sendiri kerumah sakit.
Aku pun hanya bisa menuruti pesan dokter dan terus rutin membawa Ibu setiap minggu ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan cek medis. Aku sangat tidak ingin jika terjadi sesuatu yang menakutkan pada Ibu. Setelah selesai kuliah, tanpa sepengetahuan Ibu, beberapa kali Aku mendatangi dan memohon kepada dokter untuk mengatakan padaku tentang penyakit yang diderita Ibu.
“Tolong, Dok. Ceritakan sekarang sebenarnya penyakit apa yang diderita Ibu Saya?” Aku memohon dengan penuh kesedihan.
“Maaf sekali, Saya tidak bisa mengatakannya” Jawab dokter pelan.
Aku semakin heran. “Ta...tapi ke...kenapa, Dok? Tolong, Dok. Saya mohon. Ibu hanya memiliki Saya, kami hanya tinggal berdua dan tidak ada lagi keluarga yang lain, Saya takut terjadi sesuatu pada Ibu Saya, Dok. Saya takut menghadapi Ibu karena Saya tidak tahu apa yang harus Saya lakukan sedangkan penyakitnya saja Saya tidak tahu! Dok, tolong mengerti keadaan Saya. Cuma Ibu yang saya miliki. Cuma Ibu...” Aku terus memelas sampai tak terasa air mataku telah menetes di pipi. Dokter pun sepertinya iba melihat keadaanku. Beliau nampak sedang berpikir keras.
“Baiklah, mari kemari“ Kata dokter kemudian sembari menuntunku kearah ruang scanning. Dokter menunjukkan beberapa lembar kertas scan kepadaku.
Ternyata itu adalah hasil scan milik Ibu. Seketika itu juga perasaanku seperti teriris pisau yang tajam ketika melihat begitu nampaknya kerusakan otak Ibu dari bulan kebulan, dan yang lebih menyakitkan lagi Aku sadar bahwa selama ini juga Ibu sudah merahasiakan semua ini dariku.
“Ya Allah…!” Jeritku dalam hati ketika itu. Deraian air mata pun semakin deras mengucur dari pelupuk mataku. Dokter pun berinisiatif mengajakku duduk untuk membantu menenangkanku. Setelah tangisanku reda dan melihatku sudah sedikit tenang, dokter pun perlahan mulai menjelaskan bahwa Ibuku terkena sebuah penyakit ganas yang akan melumpuhkan bahkan menghapus seluruh ingatannya secara perlahan.
“Ibumu terkena penyakit Alzheimer atau penyakit kelumpuhan otak permanen. Penyakit ini berbeda dengan penyakit pikun karena penyakit ini muncul akibat protein yang tidak normal sudah memenuhi keseluruhan pembuluh darah di otak sehingga sel-sel otak mengalami degenerasi atau lebih mudah dikatakan sebagai matinya sel-sel otak. Penderita penyakit ini biasanya akan mengalami kematian mental terlebih dahulu sebelum kematian fisiknya. Semua memori ingatan yang dimiliki penderita akan terhapus secara perlahan. Jadi sangat mungkin sekali penderita akan lupa dengan apa yang telah dialaminya di masa lalu serta semua orang yang pernah dia kenal, baik itu teman, keluarga, bahkan dengan dirinya sendiri” Penjelasan dokter semakin membuatku syok dan bendungan air mata kembali tidak dapat ku tahan lagi. Aku pun hanya bisa tertunduk lemas menyadari semua kenyataan yang bagiku sangat menakutkan ini. Begitu berat penderitaan yang Ibu alami dan bisa-bisanya selama ini Aku tidak tahu!
“Jadi sekarang apa yang harus Saya lakukan, Dok?” Tanyaku ditengah isakkan tangis yang semakin menjadi. Dokter terdiam dan sejenak kembali menghela nafas panjang.
“Pengobatan yang kita lakukan selama ini hanya dapat memperlambat penghapusan memori otaknya, tetapi tidak akan menyembuhkannya. Sekarang yang paling bisa kita lakukan hanyalah pasrah dan sabar dengan semua kehendak Tuhan” Jelasnya lagi.
Aku membisu dan hanya bisa menangis. Sepanjang perjalanan pulang Aku kembali terdiam menahan kesedihan dan rasanya semua hal yang kudengar dari dokter tadi serasa berputar-putar dikepalaku. Bayangan Ibu yang sakit, Ibu yang menyembunyikan penyakitnya dariku, Ibu yang tetap tegar dihadapanku, dan Ibu yang sebentar lagi mungkin akan meninggalkanku sendirian selamanya. Aku serasa terluka dan sangat sedih. Bagaimana Aku tidak sedih? hanya Ibu satu-satunya saat ini yang aku miliki. Ibu yang begitu luar biasa tapi menderita penyakit yang begitu mengerikan. Sekarang apa yang dapat ku lakukan untuk Ibu selain berpura-pura tegar dan menganggap ini semua tidak pernah terjadi? Ini adalah hal yang begitu pahit sepanjang hidupku. Allah, berat sekali ujian yang sedang Engkau berikan ini!
***
Hari-hari berikutnya hanya ku habiskan di rumah saja demi menemani Ibu. Aku sama sekali tidak bergairah untuk melakukan sesuatu selain bersama Ibu. Kondisi Ibu semakin hari semakin menurun. Sesekali ketika tiba waktu shalat Aku turut mengambilkan air wudhu untuk Ibu bahkan turut membasuhkannya keanggota badan Beliau karena Beliau sudah mulai lupa dengan bacaan-bacaan wajib juga doa-doa. Ketika kurasakan penyakit Ibu sudah mulai parah, Aku pun berinisiatif untuk cuti kuliah sementara. Hal ini tidak ku ceritakan kepada Ibu tentunya beliau akan marah jika sampai tahu kalau Aku mengambil keputusan itu.
“Kamu tidak kuliah, Nak?” Tanya Ibu suatu hari karena menyadari kalau Aku sudah terlalu lama berada di rumah.
“Ibu tenang saja. Zahra kuliah, koq. Sekarang ibu minum obat, ya!” Kataku seraya mengambilkan air putih dan beberapa tablet obat untuk diminumkan kepadanya.
Ibu hanya tersenyum senang kearahku. Senyuman manis yang seolah menjawab kalau sosok itu percaya akan perkataanku. Melihat itu aku merasa sedih. Aku pun berjalan kearah kamar dan mengunci pintu.
Aku kembali menangis, teringat senyuman Ibu. Senyuman penuh rasa cinta yang terukir dari bibir seorang wanita yang tegar serta senyuman yang entah sampai kapan dapat ku lihat. Dalam hati Aku merasa berdosa dan merasa bersalah karena sudah berbohong pada Ibu, tapi Aku tidak punya pilihan lain. Saat ini hanya Aku yang memahami bagaimana kondisi Ibu. Aku juga tidak mau kalau Ibu sampai susah jika kutinggalkan Beliau sendirian di rumah. Aku ingin seperti ini. Selamanya melayani Ibu sebagai wujud baktiku atas kasih sayang Beliau selama ini yang mungkin sebentar lagi akan berakhir. Jika diminta memilih Aku ingin selamanya memeluk tubuh renta Ibu. Ibu... Tidak akan pernah kutinggalkan Ibu walau sedetik pun!
Hari-hari pun telah berganti minggu. Aku semakin rutin memeriksakan kondisi Ibu dan semua kemungkinan yang bisa kulakukan demi memulihkan Ibu semuanya juga telah Aku coba. Tak terasa uang tabunganku semakin hari semakin mengempis karena tidak ada pemasukan kecuali dari hasil uang pensiunan almarhum Ayah yang tentunya masih belum cukup, sementara Ibu sudah setengah tahun ini cuti mengajar dan tidak ada gaji perbulan dari TPA tempat Ibu mengajar karena Ibu hanyalah seorang guru honorer. Hal ini semakin menekanku. Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali kembali meneruskan bisnis Ibu yaitu membuat kue.
Disela-sela kewajibanku menjaga Ibu, Aku juga perlahan-lahan mulai mencoba mencari uang demi tambahan biaya pengobatan Ibu. Walaupun hanya berjualan kue kecil-kecilan di depan rumah, tetapi ini jauh lebih ringan karena Aku masih bisa mengawasi dan menjaga Ibu serta pemasukan kami kembali bertambah sedikit demi sedikit. Tetangga-tetangga yang sering membeli kue ku pun juga sering memuji kalau kue buatanku seenak buatan Ibu.
Semakin hari penyakit Ibu semakin bertambah parah. Ingatan Ibu juga mulai menurun drastis. Aku begitu sakit serta kasihan melihat keadaan Beliau saat itu. Hal itu diperburuk karena hampir semua benda-benda yang ada di rumah sudah tidak ada lagi yang diingat Ibu. Oleh karena itu, untuk mempermudah Ibu, Aku menuliskan nama-nama sesuai dengan bendanya dan menempelnya satu persatu di seluruh perabotan rumah kami bahkan foto-foto yang menempel di dinding pun juga ku beri nama agar perlahan Beliau bisa mengingat lagi memori yang pernah ada dalam otaknya. Hatiku jadi semakin pilu saat Beliau mulai bertanya siapa Aku. Bayangkan, aku adalah anaknya, anak satu-satunya dan Ibu juga telah lupa!
“Ya Rabb yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, berikanlah Aku kesabaran dalam menjalani semua ini. Lindungilah Aku dan Ibu Ya Allah” Mohonku dalam sebuah doa.
Aku sudah pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Aku yakin inilah yang terbaik. Ibu selalu memintaku untu berprasangka baik dengan segala kehendak Allah, maka inilah yang ku lakukan. Merelakan semua cobaan yang terjadi padaku, termasuk merelakan kalau Ibu sudah melupakanku.
Setengah tahun sudah berlalu, seiring dengan berjalannya waktu kian hari ke hari kondisi Ibu semakin memprihatinkan. Tidak hanya lupa pada semua kenangan dan padaku, tapi Ibu juga mulai buang air kecil dan besar di sembarang tempat. Bukan hanya itu saja, Beliau juga sulit bicara dan sholat pun sudah tak mampu lagi.
Acil (bibi) Ijah, saudara kandung Ibu yang tinggal di Balikpapan sempat meminta agar Ibu di bawa ke Balikpapan untuk dirawat dan menjalani pengobatan, namun Ibu bersikeras tidak mau. Seluruh keluarga dan teman-teman Ibu pun terus bergantian datang dan menemani Ibu untuk menceritakan kejadian-kejadian yang pernah mereka alami bersamanya.
Terkadang terdengar suara canda dan tawa ketika mereka saling bercerita tentang masa lalu yang pernah mereka alami bersama. Setidaknya hal ini mampu membuat Ibu terhibur walaupun Aku tidak yakin apakah Ibu mengingat semua itu. Memahami apa yang dibicarakan lawan bicara Ibu tidak bisa, bahkan untuk mengingat siapa dirinya saja Ibu sudah tidak mampu.
***
Malam semakin pekat. Bulan memancarkan aura kecantikannya, sementara sang bintang nampak berkilau semampunya, nampaknya bintang kembali kalah dengan bulan yang sekarang sedang menebarkan cahaya kemenangan. Tapi ketika itu juga langit mendadak mendung dan menghalangi semua pandangan bulan. Bulan pun kalah dengan derasnya hujan yang mulai turun. Hatiku terasa ikut mendung di antara jatuhnya rinai hujan ke bumi. Basah oleh tangisan hatiku sendiri. Walaupun di belahan lain dunia ini begitu ramai, namun tidak bagiku. Bagiku dunia sudah sunyi dan sepi. Kosong.
Ibuku, perempuan yang begitu mulia itu, yang menahan penderitaan selama 9 bulan mengandungku, tidak makan dan tidak minum karena tuntutan cengengku di dalam rahimnya, selama bertahun-tahun menahan beban demi membantuku meraih cita-citaku, menahan semua sakit dan tidak menunjukkannya sedikitpun padaku, dan Ibu yang selama ini rela menahan penyakit ganas yang menyerangnya demi untuk tidak membuatku sedih itu sekarang sudah mengakhiri penderitaan dan rasa sakitnya dengan senyum bahagia. Ibu telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa setelah memenuhi semua tugas dan tanggung jawabnya di dunia ini. Ibu yang begitu menyayangi dan mencintaiku itu kini sudah pergi meninggalkanku sendirian.
Acil Ijah yang melihat kesedihanku terus menemaniku dan mengingatkanku agar selalu kuat dan ikhlas menghadapi semua ini. Ketika Ayah meninggalkanku dulu Aku merasa masih kuat karena ada Ibu disampingku, tapi sekarang setelah Ibu pergi tidak ada lagi yang lebih dapat memahamiku selain Acil Ijah.
“Ingat, Ra. Allah yang Maha mengatur hidup dan mati seseorang dan Allah juga tidak akan pernah memberikan cobaan melewati batas kemampuan hamba-Nya. Inilah yang terbaik yang sudah kita lakukan untuk Ibumu dan ini juga keputusan-Nya yang terbaik bagi Ibumu. Sekarang kita harus pasrah, sabar, ikhlas, dan tawakkal dengan segala keputusan yang Allah berikan. Kita doakan Ibumu agar Beliau diterima disisi Allah dan ditempatkan dalam golongan hamba-hamba Allah yang beriman. Ingatlah, Ra. Dimanapun seorang Ibu berada, entah itu jauh atau dekat, dia akan selalu menyayangi dan memeluk hati anaknya”. Nasihat Acil Ijah sambil mendekapku.
Aku kembali menangis. Acil benar, Ibu pasti sekarang sedang melihatku dengan bangga karena Aku adalah anak Beliau yang kuat. Sesaat Aku merasa pelukan Acil Ijah sehangat pelukan Ibuku. Oh Ibu... Selamat jalan...
***
Banjarbaru, 15 Juli 2011
Adzan dzuhur yang bersahutan ditengah gemuruh hujan menyadarkan lamunanku. Ditanganku tergenggam erat potret Ayah dan Ibuku. Terasa masa lalu itu kembali datang dibawa hujan yang begitu deras disertai kilat sekarang ini. Hujan seolah turut bersedih dengan apa yang telah aku hadapi dimasa lalu. Desiran angin yang deras nampak sekuat tenaga membantuku menyapu kembali semua masa kelam itu. Masa depanku masih panjang dan Aku harus bangkit dari keterpurukan. Semua adalah titipan Allah dan suatu saat pasti akan kembali pada-Nya. Dan Aku juga yakin Ibu akan marah kalau tahu anaknya hanya melakukan hal yang sia-sia setelah ditinggalkannya. Itulah yang tidak ingin Aku lakukan. Ibu pernah memintaku untuk terus bertahan walaupun keadaan menyakitkan. Ibuku yang cantik dan baik hati. Ibu yang mengajarkanku arti sabar yang sesungguhnya. Kini sudah 4 tahun Ibu meninggalkanku untuk memenuhi panggilan Allah.
“Selamat jalan Bu... Aku akan berusaha menjaga setiap amanah dan keinginanmu, menjadi seorang dokter yang berjuang bagi orang-orang yang membutuhkan. Sekarang Aku sudah ikhlas, Bu. Semoga engkau diberikan kelapangan disana dan kita bisa bertemu lagi untuk bersama-sama berkumpul di Syurga Allah nanti. Amiin allahumma amiin...” Kataku sambil memandang wajah bahagia Ibu dari balik sebuah bingkai kaca. Hujan sudah mulai reda.
“Ditempat ini sudah Aku putuskan akan membuka tempat praktek dokter, bersama keluarga kecilku, Bu. Aku, menantu dan seorang cucumu...” Ucapku dalam hati sambil tersenyum dan melangkah keluar bersama semangat untuk menyongsong masa depan.
Sumber:
http://www.kompasiana.com/clearesta_saprudi/sebuah-cerpen-alzheimer_552fa1636ea834b9038b459e
0 komentar: