Cerpen Rudiansyah: Mati Jadi Hantu

22.21 Zian 0 Comments

Malam itu terasa tegang daripada biasanya. Semua orang tampak riuh mengerumuni sosok tubuh yang berlumuran darah dengan lima sayatan di badannya. Bajunya pun tampak lusuh bercampur darah dan tanah. Sosok tersebut adalah Mugni, tapi orang lebih mengenalnya dengan sebutan Anang Gabau. Ia adalah seorang “jagoan” yang cukup ditakuti di Kampung Loktabat. Perawakan Anang Gabau lebih besar dari postur tubuh normal kebanyakan orang kampung di sana. Memiliki berewok dan bekas luka di pipi kanan, membuat wajahnya menjadi lebih garang meskipun matanya sedikit jereng.
Malam itu, tampaknya Anang Gabau terlibat perkelahian sehingga mengalami luka parah di tubuhnya. Beberapa sabetan celurit mengenai tubuh, dan membuat jagoan kampung tersebut tersungkur.
“Jangan dimasukkan ke dalam rumah! Bawa ia ke bawah berumahan!”, ucap Usman sang kakak Anang Gabau.

Kakaknya sengaja meminta hal tersebut, karena memasuki rumah dalam keadaan luka parah dipercaya merupakan pantangan bagi seseorang yang beuntalan agar bisa tetap hidup.
Warga yang melihat pun langsung membawa Anang ke bawah berumahan dan merebahkannya dengan beralaskan tikar purun. Hanya dengan penerangan lampu sempor berbahan bakar minyak tanah, menambah situasi menjadi lebih mencekam. Ada beberapa warga yang menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit, tapi Usman melarang hal tersebut. Ia menganggap hal ini sudah biasa terjadi dan seperti biasanya tidak terjadi hal-hal fatal, paling-paling menyisakan bekas luka seperti di pipi kanan wajah Anang.
Tiba-tiba Anang berteriak keras, entah karena kesakitan atau bisikan gaib yang berasal dari dalam dirinya. Matanya memerah dan lidahnya tiba-tiba menjulur keluar dari mulut di sela-sela berewoknya. Luka-luka yang ada di seluruh tubuhnya ia jilat dengan lahapnya. Dan anehnya luka-luka tersebut seakan terbendung tak mengalirkan darah lagi setelah dijilat oleh Anang.
“Akhhhh……..!!!!”, erangan Anang hingga memecah kesunyian malam.
Hal ini membuat warga ketakutan dan menjauhinya. Warga semakin takut, ketika mata Anang melotot dan menatap setiap warga yang ada di sana seakan penuh amarah tak sadarkan diri.
“Sabar….Nang, ini aku Hamsan!”, ucap pria yang sejak dari tadi menyaksikan dan membantu membopong Anang ke bawah berumahan.
“Akhhhh…….akhhhh……”erangan Anang semakin menjadi-jadi, seakan perkataan Hamsan tak manjur menenangkannya.
“Biarkan saja. Tidak akan terjadi apa-apa karena ini sudah biasa terjadi”,kata Usman.
Usman pun mengucapkan terima kasih kepada warga yang telah membantu serta meminta warga untuk bisa meninggalkan saudaranya tersebut

***

Beberapa hari pun berlalu, suatu pagi di warung Haji Ijuh beberapa laki-laki duduk di sana tak mengenal usia. Mereka duduk bersama bercakap ria sembari menikmati minuman dan mengganjal perut sebagai bekal tenaga di pagi hari.
“Memang hebat Anang Gabau itu, badannya penuh dengan sabetan celurit dapat sembuh seketika.”, ucap Utuh Kuranji.
“Kalau tidak salah dia itu meuntal minyak bintang”, sahut Kakek Johar sambil bibirnya menyeruput kopi hitam pekat di gelas.
“Wah, katanya kalau tidak dikeluarkan sebelum meninggal, bisa mati jadi hantu”, sahut Ihsan setelah mengunyah dan menelan kue bingka di mulutnya.
“Hus! Kamu jangan bicara sembarangan, mana kita tahu kebenarannya”, balas Hamsan yang agak panas mendengar mereka yang membicarakan sahabatnya.
Tiba-tiba pembicaraan mereka dihentikan oleh suara keras yang berasal dari pengeras suara di Langgar Darul Mukmin, satu-satunya langgar yang ada di kampung mereka.
“Innalillahiwainnalillahirojiun, Innalillahiwainnalillahirojiun, Innalillahiwainnalillahirojiun. Telah berpulang ke rahmatullah saudara Anang Gabau atau Mugni bin Haji Sarkani, yang beralamat di Jalan Kecubung RT 06, Kampung Loktabat”, ucap suara khas sang marbot langgar.
Suara itu sontak membungkam pembicaraan dan semuanya tampak saling menatap tak percaya. Kemudian, tiba-tiba datang seorang pemuda dengan berlari tergopoh-gopoh.
“Anu, San. Anang…….Anang Gabau meninggal!”, ujar Ipin datang terengah-engah sambil kedua tangannya berkacak pada pinggang seakan menahan rasa lelah setelah berlari.
“Iya, kami juga sudah mengetahuinya dari pengumuman di langgar”, ucap Kakek Johar.
“Kenapa ia meninggal?”, tanya Utuh Kuranji penasaran.
“Katanya, sih. Ia berkelahi dengan Iwan Buntat gara-gara masalah hutang. Lalu ia tewas ditikam belati Iwan Buntat. Sekarang Iwannya kabur dan menjadi buronan polisi”, jawab Ipin dengan sok tahunya.
“Kalau begitu mari kita ke rumah Anang!” ajak Hamsan kepada temanya.
“Aku ikut!”, sambar Utuh Kuranji tak ingin ditinggal.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam warung. “Hei, kalian mau kemana ? Bayar dulu!”, ucap Haji Ijuh sang pemilik warung.
“Hehehehe…pak haji kami utang dulu, nanti kami bayar!”, teriak Utuh Kuranji cengengesan dari kejauhan sambil berlalu.

***

Malam hari setelah pemakaman Anang Gabau, Kampung Loktabat sunyi senyap dibungkam malam. Fenomena ini sering terjadi jika seseorang yang dianggap “jagoan kampung” meninggal. Kesunyian ini biasanya berlangsung sampai malam ke-40 setelah kematiannya. Hal ini disebabkan warga takut keluar rumah karena mereka beranggapan biasanya “jagoan kampung” memiliki untalan yang dapat “membangkitkannya” dari alam kubur. Ketakutan itu pun menyasar, tak terkecuali ke rumah Hamsan sahabat Anang Gabau.
“Kak, aku takut. Temani aku di dapur, dong!”, ajak Zubaidah isteri Hamsan kepada suaminya sambil menggoreng ikan.
“Iya, sebentar, Dik!”, sahut Hamsan sambil berjalan ke arah dapur rumahnya.
Hamsan pun duduk bersila, sekitar dua meter di belakang isterinya yang sedang menggoreng ikan. Maklum dapur rumah Hamsan seperti dapur rumah kebanyakan di kampung sana. Hanya ada meja yang setinggi setengah meter dan di atasnya diletakkan tungku bakar tempat memasak.
“Kak, aku takut!”, kata Zubaidah membuka pembicaraan sambil meniriskan minyak goreng pada ikan yang sudah tampak matang di pinggir wajan, kemudian menaruhkannya ke piring.
“Takut kenapa, Dik?” sahut Hamsan pura-pura tidak tahu yang ditakutkan isterinya.
“Teman kamu itu, lho. Katanya dia beuntalan, apa sudah dikeluarkan atau belum ya?’, ucap Zubaidah sambil wajahnya menyengir karena minyak goreng panas terciprat ke arahnya setelah memasukkan ikan ke dalam wajan.
“Dik, kita tidak usah memikirkan hal tersebut. Sekarang ia sudah tiada dan kita doakan saja semoga ia diterima di sisi-Nya”, sahut Hamsan bijaksana.
Tiba-tiba angin seakan menerobos dinding rumah tua Hamsan. Entah dari mana angin tersebut berasal, tiba-tiba saja berhembus membelai kulit.
“Kak, kamu mencium bau sesuatu?”, tanya Zubaidah sambil mengenduskan hidungnya.
“Ngga, bau apa sih?”, tanya Hamsan sambil berdiri dan mendekati isterinya.
Ketika Hamsan mendekati isterinya, aroma yang dimaksud isterinya pun akhirnya ia rasakan. Sambil menyengirkan hidung, Hamsan mengendus asal aroma busuk dan anyir seperti bangkai yang sudah lama digerogoti belatung.
“Iya, aku menciumnya. Aroma bangkai tikus, ya?”, tanya Hamsan.
“Mana kutahu, makanya aku tadi bertanya!”, sahut Zubaidah kesal.
Aroma tersebut makin lama makin terasa, bahkan membuat mual perut Zubaidah. Situasi menjadi tegang dan bulu kuduk berdiri.
“Ham..san…”, terdengar suara berat dengan nada pelan yang tidak diketahui sumber suaranya.
“Suara apa itu, Kak? Aku takut!” ucap Zubaidah sambil tangannya merangkul tangan Hamsan dan tak menghiraukan lagi akan ikan yang ia goreng, karena ia juga mendengar suara tersebut.
“Kreeeeeek…..kreeeeek…kreeeeeeek……kreeeeeek…..kreeeeeeekkkk!”, tiba-tiba terdengar bunyi seperti cakaran yang mengelilingi dinding dapur rumahnya.
Mendengar hal tersebut, Hamsan mencoba memberanikan diri untuk mendekati pintu di dapurnya. Perlahan-lahan kaki Hamsan berjalan di atas lantai kayu yang sesekali berbunyi reot. Benak Hamsan semakin penasaran dengan apa yang terjadi di balik dinding rumahnya. Perlahan tongkat sasunduk penyangga pintu ia lepas, kemudian perlahan pula Hamsan membuka daun pintu sambil menatap waspada terhadap situasi di luar. Saraf matanya berusaha fokus melihat, diikuti tetesan keringat ketegangan yang membasahi dahinya. Zubaidah pun tampak merangkul kuat tangan suaminya dengan wajah pucat pasi.
Kemudian muara pintu terbuka lebar dan Hamsan beserta isterinya memberanikan diri keluar dari rumah. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, dan ia melihat sesuatu. Sesuatu yang tampak bergoyang-goyang di samping rumahnya. Sesuatu yang tampak aneh seakan menyapa dirinya sambil melambai-lambai. Jemari Zubaidah semakin keras mencengkeram tangan Hamsan isyarat ketakutannya yang berlebih melihat hal tersebut. Namun, dengan kebulatan hati mereka berusaha mendekati sosok yang tidak jelas berselimut malam itu. Pada jarak yang cukup dekat, akhirnya sosok tersebut semakin jelas menampakkan diri. Tanpa disadarinya sosok itu ternyata hanyalah pohon pisang yang daunnya bergerak-gerak ditiup angin. Melihat hal tersebut, Hamsan pun menghela nafas panjang kemudian mengubah haluan untuk masuk ke dalam rumah. Tapi anehnya, aroma busuk yang tadi tercium akhirnya menghilang tak ada lagi.

***

Keesokan harinya, seperti biasa kaum adam di Kampung Loktabat duduk berkumpul di warung Haji Ijuh. Mereka mengobrol mengenai segala kejadian yang terjadi di kampung. Namun topik yang paling hangat adalah dugaan Anang Gabau yang mati jadi hantu.
“Malam tadi si Anang menemuiku. Tapi ia hanya menatap tak berbicara, tentu saja aku lari ketakutan”, ucap Utuh Kuranji yang bercerita dengan antusiasnya.
“Kamu yakin itu Anang?”, tanya Hamsan.
“Ngga tau juga, sih. Karena di gang depan itu kan gelap, dan aku lewat sehabis jaga malam. Mataku juga mengantuk karena pulang sekitar pukul 05.30 pagi tadi. “,ucap Utuh Kuranji sambil matanya menatap ke atas mengingat kejadian tadi malam.
“Aku juga melihat Anang tadi malam!”, sahut Iman.
“Dimana kamu melihatnya?”, tanya Hamsan penasaran.
“Di teras depan rumahku. Ia lagi duduk mengenakan baju putih dengan sarung kotak-kotak yang biasa ia gunakan. Aku melihatnya dari balik kaca jendela rumahku”, kata Iman dengan nada yakin.
“Lalu kamu dekati dan kamu bicara dengannya?” tanya Hamsan.
“Mana aku berani, San. Aku tak sengaja melihatnya dan kemudian bulu kudukku merinding. Jadi aku langsung kabur masuk ke kamar, ih…ngeri!”, jelas Iman sambil mengangkat kedua bahunya isyarat ketakutan.
“Berarti itu masih belum pasti, kenapa sih cerita yang ngga jelas begitu diceritakan. Bisa saja kamu salah lihat!”, balas Hamsan membela sahabatnya yang dijelek-jelekkan.
“Salah lihat? Memangnya aku buta!”, sahut Iman kesal dan berdiri.
“Sudah, sudah, sudah!”, ucap Kakek Johar menengahi.
“Bila memang benar Anang Gabau mati jadi hantu, temui aku malam ini!” ucap Kakek Johar dengan nada tenang menantang dan percaya diri.
Setelah mendengar ucapan tersebut, semua mata laki-laki di warung tersebut serentak menatap wajah Kakek Johar dan diam terpukau.

***

Malam pun berlalu, seperti malam sebelumnya hanya rembulan yang tampak kokoh berani menatap sunyinya Kampung Loktabat. Keadaan di sekitar rumah Hamsan pun tak jauh berbeda, sesekali terdengar suara jangkrik seakan menidurkan keceriaan pada malam itu. Hamsan dan isterinya tampak syahdu dalam buaian sunyi sambil berbaring di kamar peraduan mereka. Mereka bercengkerama ringan di atas ranjang.
“Kak, aku masih takut akan kejadian kemarin malam”, kata Zubaidah sambil merebahkan diri di dada Hamsan.
“Tidak apa-apa, Dik. Kamu kan melihat sendiri tadi malam, tidak ada apa-apa kan?”sahut Hamsan menenangkan.
Tiba-tiba angin malam seakan berhembus ke kamarnya membawa aroma busuk yang tadi malam ia temui.
“Kak, kakak mencium aroma busuk?”, tanya Zubaidah bangkit dari dada Hamsan.
“Iya, aku juga menciumnya!”, ucap Hamsan yang juga bangkit, kemudian duduk di sisi ranjang.
Aroma itu juga membangkitkan penasarannya yang belum terbayar karena kejadian kemarin malam.
“Kreeeeeek………….kreeeeeeeeeek…………kreeeeeek!” kembali terdengar suara cakaran di dinding luar rumah mereka.
Adrenalinnya bangkit ditengah merinding yang ia rasakan. Kali ini, ia dengan sigap mengambil mandau yang menempel di dinding kamarnya. Kemudian ia dengan cepat melepaskan tongkat sasunduk jendela kamar dan membuka jendela kayu kamarnya. Liang jendela yang terbuka, melepaskan pandangannya menelusuri setiap detail yang ada di sekitar rumahnya. Ia tertegun karena ia melihat sosok laki-laki dengan sarung kotak-kotak di bahu kanan. Sosok tersebut masih terlihat samar-samar di bawah pohon kasturi. Melihat hal tersebut ia segera meloncat keluar dari kamar melewati jendela mendekati sosok tersebut. Bermodal keberanian ia berlari mendekati sosok yang masih berada di bawah pohon kasturi besar di samping rumahnya. Zubaidah pun berteriak histeris melihat sosok tersebut.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”teriak lepas Zubaidah.
Keadaan semakin tegang, tetapi sosok tersebut menghilang di balik bayang pepohonan. Dengan rasa penasaran yang menggebu, Hamsan menoleh ke segala arah. Ia akhirnya melihat sosok tersebut berlari ke arah pekarangan belakang rumahnya. Tak tinggal diam, ia pun mengejar sosok tersebut dengan berlari kencang. Dan akhirnya ia berhasil meraih sarung yang berselempang pada sosok tersebut. Akibatnya sosok tersebut jatuh dalam keadaan tengkurap. Dilihatnya tangan kiri sosok tersebut memegang seekor ayam yang sudah busuk. Hamsan yakin bahwa ayam tersebutlah sumber aroma busuk yang selama ini mengganggunya. Ia balikkan dengan cepat tubuh sosok tersebut yang telah terjatuh tengkurap. Ternyata, ia dapat melihat dengan jelas siapa sosok tersebut dibantu cahaya bulan. Sosok yang sangat ia kenal di kampungnya. Ya, sosok tersebut adalah Iwan Buntat yang membunuh sahabatnya. Iwan Buntat yang selama ini juga meresahkan warga dengan menjadi hantu untuk menakuti warga.
Ternyata Iwan tidak tinggal diam, ia mencabut golok yang ada di pinggangnya. Ia tebaskan dengan cepat ke arah Hamsan. Namun, dengan cekatan Hamsan menghindar dari tebasan tersebut. Iwan segera bangun dan ingin berlari, namun Hamsan berhasil menendang bagian belakang lutut Iwan sehingga Iwan pun terjatuh kembali. Dalam keadaan terjatuh, Iwan tampak pasrah karena goloknya pun terlepas dari tangannya. Dengan emosi yang menggebu, Hamsan menghunuskan mandau yang ada di tangannya. Nafas Hamsan seakan menderu dan matanya melotot tajam ke arah Iwan. Ia angkat mandau yang mengkilap dilabur sinar rembulan untuk ia ayunkan ke arah Iwan, kemudian….
“Doooooor!”, suara ledakan berbunyi dari sisi belakang rumah Hamsan.
Dari kejauhan keluar sosok pria dengan jaket kulit dan berkata ”berhenti, dan jangan bergerak!” ucap pria itu tegas sambil mengarahkan pistol ke arah Hamsan dan Iwan.
Ternyata sosok tersebut adalah polisi dan ia tidak sendiri. Hamsan dan Iwan pun akhirnya di bawa oleh para polisi beserta senjata tajam yang ada di sana. Mereka dibawa masuk ke dalam mobil patroli kemudian pergi. Zubaidah pun hanya terdiam pasrah menyaksikan kejadian yang terjadi di pekarangan belakang rumahnya tersebut.
Akhirnya semua sudah terkuak bahwa Iwanlah yang selama ini menjadi hantu untuk menakuti warga. Ia memanfaatkan momen kematian Anang Gabau untuk meraup keuntungan dengan cara mencuri di kala ketakutan warga. Semua sudah terkuak jelas dan Hamsan pun merasa lega. Di tengah perjalanan menuju Markas Polisi Sektoral Banjarbaru, Hamsan berusaha meyakinkan bahwa ia tidak bersalah kepada salah seorang polisi di dalam mobil.
“Maaf, pak. Saya hanya membela diri, karena Iwan mengganggu dan meresahkan saya dengan menjadi hantu, Pak.”, ucap Hamsan memelas meyakinkan salah seorang polisi.
“Ya, kami sudah mengetahuinya. Karena beberapa jam sebelumnya, kami mendapat laporan dari salah seorang warga.” ,sahut salah seorang polisi lainnya yang ada di mobil tersebut dengan tegas.
“Siapa Pak?”,tanya Hamsan penasaran.
“Saya lupa namanya. Tapi seingat saya, orangnya tinggi besar, wajahnya berewok, matanya sedikit jereng dan ada bekas luka di pipinya”, sahut polisi itu.
Mendengar jawaban polisi itu, Hamsan seketika tertegun diam dan bulu kuduknya merinding.****


Keterangan:
Berumahan: sela antara lantai rumah dan tanah pada rumah panggung khas banjar.
Beuntalan: menelan benda mistis tertentu agar tubuhnya memiliki kekebalan/kesaktian.
Meuntal: menelan benda.
Sasunduk: tongkat untuk menyangga pintu atau jendela rumah.

Catatan:
Cerpen ini meraih Harapan II Sayembara Penulisan Cerita Pendek se-Kalimantan Selatan Tahun 2015 Katagori Umum Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Banjarbaru

Sumber:
https://sdnbbu8.wordpress.com/2015/06/29/mati-jadi-hantu/

0 komentar: