Cerpen Ni’matul Abadiah: Gusarnya Hati Kaisar

20.37 Zian 0 Comments

Namaku biasanya dipanggil dengan sebutan Kaisar oleh orang-orang yang mengenalku. Entah mengapa dulu kedua orang tuaku memberi nama demikian bagusnya bak sebutan lain untuk sang raja. Namun, aku bukanlah seorang Kaisar yang tinggal disebuah istana megah, bermandikan harta yang melimpah, dan juga merasakan hidup yang wah. Jauh dari semua itu, bahkan mungkin sangat jauh sekali, aku hanyalah seorang Kaisar yang mencoba menantang hidup dengan mencari makan di jalan, tinggal di rumah kardus yang tidur hanya beralaskan koran. Benar-benar hidupku malang tapi aku masih mempunyai sejuta harapan. Demi Mida tersayang, amanat abah dan emak seorang aku harus tetap berjuang.
Sebenarnya aku takut kalah. Seringkali putus asa itu datang dan membuatku lemah. Rasa tak berdaya menyuruhku untuk menyerah dan pasrahkan nasib pada Yang Pemurah. Ah, tapi tidak. Meski Kau beri aku hidup yang terhimpit ini, aku akan terus berusaha. Aku tak ingin mengakhiri hidup dengan mati sia-sia. Hidup adalah hadiah persembahan Allah untuk hambaNya yang pantang menyerah. Kalau aku berhenti di sini, aku akan menciptakan kegagalan sejati.
Oh abah, oh emak, terkadang bendungan sungai di mataku ini juga bisa roboh oleh derasnya tekanan batin. Kalian tinggalkan aku dan Mida sekecil ini. Kalian titipkan kami pada dunia yang sepi. Bukannya aku tak rela Dia lebih menyayangi kalian, hanya saja aku belum siap dengan kepergian abah dan emak yang membiarkan kami berkelana sendiri.

Berat sekali, abah. Berjuang mencari uang untuk sekedar makan. Sepanjang hari bekerja ke sana ke mari sebagai pedagang asongan. Kadang, hanya sedikit rupiah yang bias kubawa pulang. Capek juga, emak. Tatkala aku pulang, tak ada lagi sambutan lembut ramahmu menyapaku. Terasa hampa jiwaku tanpa ada belaian sayangmu di dunia ini. Hanya Mida yang menunggu setia mengharapkan oleh-oleh yang kan kubawa pulang seusai menjajakan barang dagangan.
Sungguh kasihan aku melihat Mida, adikku itu. Ingin sekali dia merasakan nikmatnya bersekolah seperti anak-anak lain yang seusianya. Sedang aku belum bisa memberinya rasa bahagia itu. Aku hanya baru bisa memberinya sedikit kenyang. Aku pun juga inginmelanjutkan sekolahku, meraih cita-cita yang dulu pernah ku ukir dalam hati. Tapi, aku tidak tau apakah kelak aku bisa menjadi seorang polisi. Sedang sekolahku terpaksa berhenti sampai di kelas satu SMP saja.
Tuhan,tak pantas aku mencerca padaMu. Hidup telah Kau beri dengan adil dan harus aku mensyukurinya. Aku hanya perlu Kau pandang aku yang kecil ini. Beri aku jalan untuk mencapai masa depanku bahagia. Demi abah dan emak di sisiMu, jadikan aku Kaisar yang berguna. Demi Mida seorang yang kupunya, mampukan aku untuk menjaganya.
“Abang menangis?” Mida mengagetkan aku yang sedang berdoa dalam hati.
“Ah, tidak”
“Tuh, mata Abang basah”
“Oya? Abang baru tau.” Aku pun tak sadar lagi kalau aku baru saja habis menangis.
“Masa Abang sendiri tidak tau. Kan Abang sendiri yang nangis. Ada apa Bang? Abang capek? Sini Mida pijitin.”
“Terima kasih Dek. Iya, mungkin Abang cuma capek. Tapi, Mida tidur aja. Abang tidak apa-apa.”
“Baik Bang. Tapi Abang jangan nangis lagi ya… kalau Abang sedih Mida juga sedih. Mida tau hidup kita itu lagi susah. Kita sudah tidak punya orang tua lagi dan cuma Abang yang bekerja untuk kita hidup. Mida sudah cukup bahagia. Mida. Mida sudah bisa menerimanya dan Mida bangga punya abang seperti Bang kaisar.”
Ya Tuhan, Mida sepolos itu bisa mengerti dengan kehidupan kami. Mida cukup tabah dan kuat, apakah aku tidak bisa seperti itu?
Setiap hari yang kutemui slalu kuanggap awal yang baru. Ingin aku menyaksikan suatu keajaiban akan datang menghampiri hidup kami.
Entah itu berupa apa. Apakah lewat orang baik yang nanti suatu saat ada yang mau mengangkat kami sebagai anak, ataukah aku menemukan dompet orang yang tercecer kemudian aku mengantarkan ke rumah orang tersebut dan atas kejujuranku, aku diberi imbalan yang lumayan banyak dari lembaran rupiah di dompet itu ataupun aku diperkerjakan di rumah orang tersebut dan tinggal di sana. Ah, tentunya harapanku itu karena pamrih. Artinya aku tidak sungguh-sungguh dalam mnenolong orang jika hal itu terjadi. Aduh Kaisar, mengapa kau berpikiran seperti itu?
Wahai Sang Pemberi Hidup, surprise apa yang nanti Kau hadiahkan untukku jika aku benar-benar sabar menghadapi ujianMu. Masih pantaskan aku meminta padaMu?
Malam terasa begitu singkat jika aku rebahkan tubuh penat dan memejamkan mata sayu ini. Namun, ia akan panjang terasa bilamana aku berdialog mesra denganMu penuh kekhusyu’an. Apalah aku ya Rabb, jika telah berhadapan denganMu. Segala kerendahan hati kuhadirkan.

Wahai pemilik nyawaku
Betapa lemah diriku ini
Berat ujian dariMu
Kupasrahkan semua padaMu

Tuhan, Baru kusadar
Indah nikmat sehat itu
Tak pandai aku bersyukur
Kini kuharapkan cintaMu

Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berdzikir di kidung do’aku
Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku

Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang Kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah selama ini
Ya Ilahi, muhasabah cintaku

Tuhan, kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Jika ku harus mati
Pertemukan aku denganMu (*)

***

Kembali kutemui pagi hari ini. Kulambaikan tangan pada Mida meninggalkan rumah kardus di bawah jembatan itu. Sebenarnya tak tega kutinggalkan dia sendirian, meski ada beberapa keluarga yang nasibnya seperti kami yang tinggal di sana juga. Tapi, Mida kecil akan kesepian karena tidak ada teman sebayanya di lingkungan itu. Ingin aku dia kuajak menjajakan asongan tapi aku pun tak tega melihat dia nanti kelelahan mengikutiku.
Hanya beberapa buah buku yang kutinggalkan bersamanya. Buku-buku pelajaran tentang membaca dan menulis juga berhitung, yang hampir setiap malam kuajarkan pada dia, kuharap dia akan mengulang mempelajarinya disaat aku sedang pergi bekerja. Buku-buku itu adalah oleh-oleh untuknya yang kubelikan dengan uangku sendiri sebagai penawar kesepiannya.
Alhamdulillah,aku masih bisa menyisakan sedikit untuk memberikan sesuatu yang berarti untuknya. Meski buku itu terbilang murah yang kubeli di pasar loak, yang penting bisa di ambil ilmu dan manfaatnya.

***

Hari ini, aku mendapat lumayan banyak uang untuk kubawa pulang. Daganganku hampir laku semua, cuma tertinggal sedikit. Mungkin karena banyaknya pemudik yang ingin berlibur menyambut tahun baru yang sebentar lagi. Di terminal bus dan mobil angkut penumpang yang ada di Km.6 inilah biasanya aku berjualan. Dari satu bus ke bus lain aku tawarkan kepada penumpang barang daganganku. Alhamdulillah, Ya Razaq, Kau limpahkan kepadaku rezeki yang lumayan banyak ini. Jadinya, aku akan bisa membelikan Mida oleh-oleh lagi. Kali ini, aku berniat ingin membelikannya sebuah boneka. Biar dia punya teman di rumah.
Priit…priit…
Sebuah peluit ditiupkan cukup nyaring oleh salah seorang petugas yang memakai seragam. Jumlah mereka cukup banyak. Petugas-petugas itu mengejar serta menangkapi anak-anak dan orang tua peminta-minta. Dua orang dari mereka ke arahku dan memegang lenganku.
“Lepaskan Pa. Ada apa ini. Saya jangan ditangkap. Saya tidak melakukan kesalahan. Saya orang baik.” Aku berontak.
“Sudah diam, ayo jalan. Masuk ke truk.” Perintah salah seorang yang wajahnya tampak sangar di mataku.
Aku tidak bisa apa-apa. Tubuhku terlalu kecil untuk melawan tangan-tangan kuat itu. Aku terpaksa naik ke truk bersama anak-anak jalanan dan para orang tua lainnya. Ada yang terlihat menangis ketakutan, ada yang teriak-teriak mengumbar sumpah serapah kepada petugas-petugas itu dan ada juga yang memukul-mukul ke dinding truk. Terlihat mereka semua tidak ingin diperlakukan seperti itu.
Sekarang aku baru sadar kalau petugas-petugas itu adalah mereka yang menertibkan para gepeng dan anak-anak jalanan. Tapi, aku bukanlah peminta-minta seperti mereka. Aku baru mau pulang dari bekerja. Kalian salah tangkap, aku hanya lewat di jalan itu saja. Mungkin mereka melihat pakaianku yang lusuh sehingga mereka mengira aku juga anak jalanan seperti mereka.
Ya Rabb, apakah ini takdir yang kau rencanakan untukku? Padahal di rumah kardus itu telah menungguku seseorang. Hari semakin senja, dia pasti bertanya-tanya mengapa abangnya belum pulang-pulang.
Aku terdampar bersama yang lain di sebuah panti sosial. Oh tidak. Kata dari salah seorang petugas, kami akan dididik dan dibina selama seminggu di sini bahkan mungkin lebih dari itu.
“Pa, saya mau pulang. Saya bukan gepeng Pa. Kalian salah tangkap. Saya baru saja habis berjualan sewaktu kalian tangkap saya. Kasihan adik saya di rumah sendirian Pa.” aku memberanikan diri mengeluarkan suara.
“Ah, sudahlah. Kalian semua ini pintar-pintar cari alasan. Kalian ikuti saja dulu pembinaan di sini biar nanti tidak jadi gepeng lagi yang kerjanya cuma minta-minta. Mana sudah mengganggu orang lain, merusak pemandangan kota lagi.” Ucap bapak petugas itu dengan sedikit agak ketus.
“Tapi, Pa. saya tidak bohong. Saya berkata jujur.”
“Iya,iya. Sudah-sudah. Sekarang kalian semua masuk ke ruangan yang ada di sebelah sana.”
Ucapanku diacuhkan begitu saja. Mereka tidak percaya aku.
Ya Allah, bagaimana dengan Mida di rumah kardus sana. Dia sedang menungguku. Menunggu oleh-oleh dariku. Sebuah boneka belum sempat kubelikan untuknya. Siapa yang menjaganya jika aku tidak pulang? Oh Midaku malang, Midaku sayang. Apakah ini ujian untuk Kau latih kesabaranku lagi?
Wahai sang Pengasih dan Penyayang.
Aku sungguh sangat khawatir dengan adikku. Siapa yang bisa memberitaunya kalau aku terperangkap di sini. Tuhan, kutitipkan dia padaMu dengan penuh harapku.

Catatan:
(*) lirik 'Muhasabah Cinta' dari Edcoustic

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/114412658156/

0 komentar: