Cerpen Aliman Syahrani: Sehari Menjelang Idul Fitri

19.22 Zian 0 Comments

DAN ia sungguh bersyukur sekaligus bangga. Bagaimana tidak? Sebagai aktivis muda Islam yang kini menjadi salah seorang anggota DPRD di kotanya, bersama kawan-kawan dari partainya yang memang berazas dan berbasis massa Islam, ia telah berhasil melahirkan sebuah peraturan daerah berkenaan dengan bulan Ramadhan, atau yang lebih popoler disebut dengan Perda Ramadhan. Inilah awal langkahnya sebagai wakil rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan hak-hak mereka, lebih-lebih aspirasi dan hak umat Islam di daerahnya. Langkah ini ia dan kawan-kawan di partainya sebut sebagai misi dakwah dan bahkan jihad politik. Baginya, terjun ke kancah politik praktis bukan sekadar untuk menjadi wakil rakyat dengan tujuan mencari popolaritas apalagi sebatas menangguk berbagai keuntungan, baik politis maupun popolis, baik ekonomis maupun hedonistis. Bukan.
Siang hari di bulan Ramadhan itu, ia tengah berada di sebuah pasar di kotanya. Dengan niat ikhlas dan rasa tanggung jawab penuh, saat ini ia tengah menjalankan salah satu fungsinya sebagai wakil rakyat yaitu melakukan pengawasan. Ia tak segan-segan turun langsung ke lapangan untuk memastikan apakah Perda Ramadhan yang baru diberlakukan di daerahnya itu benar-benar efektif atau tidak. Masalah berhadapan secara langsung dengan masyarakat bukanlah hal yang tabu dan asing baginya. Sebab hal itu sudah sejak awal-awal ia lakukan, yaitu saat ia baru mencalonkan diri sebagai caleg beberapa waktu lalu. Sesudah terpilih pun ia masih sering bahkan terlalu sering menjaring asmara (aspirasi masyarakat) dengan massa pendukungnya. Dan ia sungguh akan merasa sangat malu kalau perda yang baru diberlakukan itu hanya menjelma jadi macan kertas. Sebenarnya istilah ‘macan kertas’ itu sendiri baru akrab di telinga dan bibirnya semenjak ia menjadi salah seorang anggota DPRD di kotanya.

Ketika berada di salah satu sudut pasar, saat itulah jantungnya berdenyar dan bibirnya meletupkan istighfar. Dilihatnya seorang lelaki paruh baya tengah enak-enaknya menikmati nasi bungkus di tangannya. Padahal, tidak jauh dari tempat duduknya makan terpampang sebuah spanduk cukup besar bertuliskan larangan makan dan minum di tempat umum di siang hari selama bulan Ramadhan. Tulisan di spanduk itu dimaksudkan untuk menghormati umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Di sudut kanan bawah spanduk itu dituliskan pula bahwa larangan makan dan minum itu adalah realisasi dari Perda Ramadhan yang baru diberlakukan di kota itu.
“Apakah anda tidak melihat tulisan di spanduk itu!?” Ia sengaja membuat intonasi suaranya bernada tuduhan. Ia juga sengaja tidak mengucapkan “asslamu’alaikum” terlebih dahulu kepada lelaki itu, sebagaimana selalu ia ucapkan kepada rekan-rekannya di pengajian partai setiap kali mereka bertemu atau hendak berpisah. Menurutnya, tidak pantas mengucapkan salam kepada orang yang tidak menghargai orang lain bahkan melanggar ketentuan agama dan hukum Tuhan. Ucapan salam terlalu suci bagi seorang pendosa!
Sebenarnya tadi ia ingin berkata kepada lelaki itu dengan kalimat berikut: “apakah anda tidak bisa membaca tulisan di spanduk itu!” Tapi ia merasa kata-kata itu agak kasar sehingga ia urungkan. Sebenarnya ia juga ingin menegur lelaki itu dengan sebutan “bapak” bukan “anda” agar terdengar lebih familiar dan bersahabat. Tapi ia juga merasa berhak memberikan peringatan tegas kepada lelaki itu kalau dirinya telah melanggar peraturan. Selebihnya ia masih bisa menahan diri dan mengendalikan amarahnya karena ia ingat kalau saat ini ia sedang berpuasa di bulan Ramadhan.
Setelah memindahkan makanan di mulutnya ke bagian yang lebih nyaman, lelaki paruh baya akhir lima puluhan itu menjawab, “Saya melihatnya sejak hari pertama dipasang beberapa waktu lalu.” Kini tangan berkeriput yang mulai dimakan urat-urat waktu itu mencekau botol air mineral di hadapannya dan mereguknya beberapa kali. Tapi air mineral di botol itu agaknya bukan asli dari kemasan, karena beberapa bagian merek di botol itu sudah terkelupas dan tutupnya pun berbeda warna.
“Apakah anda tidak bisa membaca!” Terpaksa juga ia cucurkan kalimat itu karena merasa dipancing oleh kepolosan bercampur kebodohan lelaki tua kerempeng itu.
“Tentu saja saya bisa membaca, bahkan saya memahami maksudnya,” jawab lelaki tua itu lagi sambil menyeka peluh di lehernya.
Tambah jengkel ia dibuat lelaki tua bermata cekung itu. “Kalau anda bisa membaca dan memahami maksudnya, kenapa anda tetap makan dan minum siang hari di tempat umum seperti ini?” semburnya ketus.
Lelaki tua bertubuh kurus dan agak ringkih itu tidak menjawab. Ia kembali menyuap makanannya yang tinggal beberapa jumput. Tangannya juga kembali menulur ke botol minuman dan menyesapnya.
“Anda Islam?” Pertanyaan ini dimaksudkannya bukan sekadar untuk mengetahui agama yang dianut oleh lelaki tua itu, karena ia tahu kalau hampir seratus persen masyarakat di kotanya beragama Islam. Tetapi pertanyaan itu lebih dimaksudkannya untuk memberi teguran sekaligus peringatan tersirat kepada lelaki tua itu, bahwa tidak sepantasnya bagi seorang yang beragama Islam makan dan minum siang hari di tempat umum di bulan Ramadhan.
“Ya. Saya seorang muslim.”
Sudah miskin, tua, tidak menjalankan perintah agama lagi, rutuk hatinya masgul meski bibirnya buru-buru melafalkan istighfar. “Anda melalaikan kewajiban agama untuk berpuasa! Anda bahkan tidak menghargai orang Islam lainnya yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan! Anda juga telah melanggar Perda! Anda akan dikenai sangsi dan denda!” tuduhnya bertubi-tubi.
Lelaki tua yang berpenampilan agak kotor itu kembali diam. Ia hanya membersihkan sisa-sisa remah makanan di jari tangannya dengan mencucupkan ke mulutnya.
“Kalau pun anda tidak berpuasa, tapi tolong jangan makan dan minum di tempat umum seperti ini!” Ia mengingatkan dengan suara tegas. Dan pedas. “Hargai dan hormatilah kami yang sedang berpuasa!” tuntutnya lagi namun tetap dengan nada agak tinggi. Dan tetap pula pedas.
Lelaki tua yang hampir seluruh rambut kepalanya berwarna putih itu meluruskan kakinya. Ia merubah posisi duduknya berkiblatkan lelaki muda itu sebelum berkata, “Saya dilemparkan oleh nasib ke kota ini,” geratapnya jengah. “Saya bekerja sebagai buruh pasar merangkap penarik becak di tempat ini. Saya memiliki keluarga, seorang istri yang sudah tiga tahun digerogoti paru-paru basah, dan tiga orang anak. Yang paling kecil usia sekolah dasar, yang tengah sudah putus sekolah, yang tertua tidak sempat sekolah sama sekali. Kemiskinan agaknya terlalu setia menyertai kehidupan kami. Tapi saya tetap bersyukur karena Tuhan tidak sampai menjadikan saya sebagai peminta-minta atau pengemis. Saya masih bisa mencari nafkah untuk keluarga sebatas kemampuan saya, meski dengan jujur saya akui kalau saya tidak sanggup berpuasa. Karena menurut kiai di kampung, seseorang dengan posisi seperti saya ini dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan dengan syarat menggantinya di hari lain dan membayar fidyah.”
Lelaki itu berhenti sebentar untuk sekadar menggaruk lengannya yang tampak merabuh karena dijangkiti penyakit kulit. “Tapi bagaimana mungkin saya bisa berpuasa di hari-hari lain itu apalagi untuk membayar fidyah, kalau setiap hari di sepanjang bulan dan tahun saya dan keluarga senantiasa kekurangan makan, lebih-lebih harta. Kami kehausan. Kami kelaparan. Kami sekarat. Tapi tak seorang pun yang mau peduli atau sekadar memberi simpati apalagi untuk berbagi. Kami tak punya tempat lagi buat melabuh selapik harapan atau sekadar menambatkan serumpun cita-cita dan sejumput masa depan. Kami kini hanya bisa bersembunyi di balik kepahitan derita dan linangan air mata berkarat. Kami punguti sembarang senyuman, hanya untuk hati yang nelangsa. Kami singgahi sembarang lambaian, hanya untuk rindu yang menyiksa. Kami layari sembarang rayuan, hanya karena jiwa yang dahaga.”
Lelaki tua itu kembali menghentikan kata-katanya. Urat-urat waktu tampak kian memahat di wajahnya. Ditariknya napas berat dan dalam. Lewat matanya yang nanar, selama beberapa jenak ia memindai sosok wakil rakyat di hadapanya dengan tatapan lamur. Ucapnya lagi, “Sedang kalian, hanya karena menahan lapar dan haus di siang hari saat berpuasa di bulan Ramadhan, kalian minta dihargai sedemikian rupa, kalian minta dihormati begitu rupa. Hanya untuk rasa lapar yang sebentar, rasa haus yang sekilas, dan dahaga yang tertunda, kalian pasang spanduk, kalian pancangkan baliho, kalian buat perda, kalian terbitkan undang-undang, kalian berikan sangsi, kalian kenakan denda. Seolah surga di tangan kalian. Seolah neraka di lidah kalian. Seolah Tuhan di kepala kalian!”
Sebelum ia sempat memberikan jawaban atau sekadar memberikan komentar, lelaki tua itu kembali berkhutbah: “Atmosfer sosial kalian betul-betul berubah wajah selama bulan Ramadhan. Seolah-olah kalian ingin menguras seluruh energi spritual kalian, dan memaksimalkan hingga habis seluruh daya dan kekutan kalian untuk memuliakan bulan yang kalian sucikan ini. Untuk itulah barangkali kalian merasa bahwa setiap bulan Ramadhan harus dilindungi dari pencemaran perbuatan yang tak patut, perbuatan maksiat. Kalian begitu bersemangat melakukan pembersihan bahkan purifikasi atas kehidupan publik. Untuk itu pulakah kalian buat perda dan undang-udang? Tahukan kalian bahwa cara-cara itu kadang malah mencederai citra agama itu sendiri?”
Ia tersemplak. Ia terlengak. Ia merasa telah terjerembab ke dalam jebakan yang digalinya sendiri. Ia ingin menjelaskan semuanya kepada lelaki tua itu. Bahwa berpuasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi umat Islam, dan perintahnya jelas termaktub di dalam al Qur’an. Bahwa makan dan minum siang hari di tempat terbuka selama bulan Ramadhan adalah tidak benar, melanggar perintah agama dan norma masyarakat. Bahwa menghormati orang yang berpuasa itu juga perintah agama sekaligus menghargai nilai-nilai sosial. Bahwa Perda Ramadhan yang diberlakukan di kotanya itu juga tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan makin mengukuhkan penerapan syariat Islam itu sendiri. Tetapi, ia segera sadar. Semua argumentasi itu lahir karena ia merasa lelaki tua itu menyerang caranya beragama. Lelaki tua itu menggugat pemahaman dan pemaknaan yang dimilikinya terhadap syariat Islam. Lelaki tua itu bahkan memukul hati nuraninya karena bentuk mengamalan dan menerapan syariat Islam yang dilakukannya.
Sebelum segalanya berubah menjadi gelap, sebelum ia sempat melontarkan semua argumentasinya untuk menjelaskan kepada lelaki tua itu, lamat-lamat didengarnya rendengan suara-suara yang tidak bisa ia pastikan datangnya dari mana dan oleh siapa. Bukan dari guru mengajinya di kampung dulu yang menasehatinya sebelum ia memutuskan untuk menjadi aktivis partai politik seperti sekarang. Bukan dari seniornya ketua organisasi Islam yang dulu ia tuduh sekuler karena cenderung memisahkan agama dengan kehidupan politik dan negara. Bukan pula dari lelaki tua di hadapannya yang tampak mulai berkemas untuk melanjutkan aktivitasnya. Suara-suara itu begitu jelas mendenyar dan meratai semua-mua inderanya:
“Karena terpenjara oleh hal-hal sensual, material dan visual, kita sering kehilangan kepekaan pada stimulus ruhaniah. Kita tak mampu lagi mendengar jeritan batin kita, apalagi jeritan orang lain. Kita tidak arif lagi menangkap isyarat-isyarat halus yang diungkapkan dalam eufemisme. Kita tidak lagi memposisikan diri sebagai anak kandung dari penderitaan dan kenelengsaan umat. Kita tak lagi mau datang membawa rasa cinta kasih dalam nilai-nilai agama, apalagi berempati kepada setiap penderitaan umat.” Suara itu memang mirip dengan suara guru mengajinya di kampung, tapi ia tak bisa bahkan tak berani memastikannya.
“Agama yang kalian ajarkan dan amalkan selama ini hanya sebagai komando dan khotbah moral yang berbusa-busa, kadang kalian selingi dengan retorika kebencian yang menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan. Umat kalian pandang sebagai kerbau yang tercocok hidungnya, dan tak diperbolehkan untuk bertanya, mendebat, mengkritik, mempersoalkan. Wa man lam yahkum bi ma anzalal Lahu fa ula-ika humul kafirun, itulah ayat yang suka kalian semburkan dan hamburkan; barangsiapa yang tak mau berhukum kepada hukum AlLah, maka ia adalah kafir. Umat tidak layak lagi untuk kalian ajak diskusi. Setiap pertanyaan kritis mengenai agama kalian anggap sebagai cabaran atas agama.” Sebuah suara lain turut mendenyar. Suara itu memang seperti ia kenal, tapi ia tidak ingat persis suara siapa.
“Agama juga kalian ajarkan dan pahami semata-mata sebagai aturan, tetapi tidak sebagai suatu keinsafan dan kesadaran batin yang mendalam. Aspek-aspek sufistik dalam agama sering kalian abaikan, sehingga akhirnya agama yang kalian yakini kerontang dari spirit dasarnya sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh ‘polisi moral’, terhadap Tuhan. Kalau agama adalah keinsafan dan kesadaran batin yang berdasarkan pada tindakan batin yang sukarela, apakah bisa agama kalian tegakkan melalui aparat dan institusi pemerintah seperti undang-undang dan perda atau bahkan negara?” Sekarang ia mulai ingat, suara itu adalah suara kiai yang mengajarkan tasawuf di surau kecil dekat rumah kostnya dulu, di pinggir kota, yang kini sudah lama ia tinggalkan karena menempati rumah dinasnya sekarang.
“Kulihat selama ini kau makin suka bermain silat lidah dan retorika bahasa dengan rajin mengutip teks-teks agama yang seolah-olah meyakinkan. Teks-teks agama itu senantiasa kau hambur-hamburkan dan sembur-semburkan. Ketika kau berorasi atau berbicara, setelah satu dua kalimat langsung penuh sesak dengan kutipan-kutipan dari Kitab Suci. Barangkali kau beranggapan sebuah pembicaraan atau orasi yang basah kuyup dengan teks-teks agama akan benar dengan sendirinya. Kulihat kau juga kini begitu keranjingan mengangkut atribut dan perkakas agama dalam kegiatan politikmu. Ulama, tuan guru, ustadz, habib, kau angkut dan pamerkan di muka publik. Seolah-olah mereka adalah ‘tentara Tuhan’ yang akan mengamankan tahta dan kerajaanNya dari serbuan partai politik dan politisi lain selain dari partaimu. Kehadiran para ‘operator ritualitas’ dan ‘teknisi seremoni’ keagamaan itu seolah menjadi justifikasi sekaligus legitimasi atas segala gerak dan corak politik dalam partaimu.” Kali ini ia belum dapat mengenali suara siapa itu.
“Dengan klaim sebagai partai politik yang berazas atau berbasis massa Islam, seolah kau merasa paling berhak memakai dan memelintir teks-teks Kitab Suci sesuai keinginan perutmu, kemudian mengendalikan dan menjajakan segala perangkat ritualitas dan perkakas keagamaan demi menyokong kepentingan-kepentingan kantongmu. Agama seolah kau fungsikan layaknya sebuah jampi-jampi untuk mengeruk berbagai keuntungan, baik politis, popolis maupun ekonomis dan hedonis. Dengan selalu memercikkan teks-teks agama, mengangkut dan menjajakan atribut dan perkakas keagamaan ke mana-mana, seolah kau berkeyakinan agama bisa mengalami inflasi jika diobral dengan cara demikian.” Itu masih suara yang sama, tapi ia masih lamat-lamat untuk mengenalinya.
“Kehadiran partai Islam yang kau ikuti saat ini pun patut kupertanyakan. Alih-alih sebuah tuntunan Islam, bukankah model yang dijalankan dalam partaimu itu merupakan model yang sedikitnya diadopsi dari pemikiran Barat? Bukankah dulu kau begitu alergi berhadapan dengan segala sesuatu yang berbau Barat? Dan karena itulah kau menuduhku sekuler dan liberal? Jadi sekarang, apa sih yang hendak kau perjuangkan lewat partai Islammu itu? Melaksanakan hukum fiqih untuk menegakkan syari’at Islam? Atau menegakkan syariat Islam demi menyelamatkan agama? Sepertinya terlalu arogan kalau kau berpikir demikian, karena bukankah kedatangan agama justru untuk menyelamatkan umat manusia?” Tak diragukan lagi, khutbah panjang lebar itu adalah suara kakak seniornya yang ia tuduh sekuler dan liberal dulu.
Ia megap-megap. Ia keselak. Suara-suara itu semakin dahsyat mendenyar dan merendengnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahkan ia tak bisa berkata-kata lagi. Mulutnya serasa terjahit. Tenggorokannya seolah dipalang tiang listrik. Lidahnya bagai disumpal seraup duri. Tiba-tiba pula ia dirajam rasa mual dan pening tak terperikan. Sedetik kemudian ia melihat semua-mua benda di sekitarnya berpusingan. Mengejek. Menuding. Menghina. Mengecam. Menendang. Menempeleng. Menusuk. Menikam. Merajam. Memberangus dan menerjangnya habis-habisan sampai ia terpuruk dalam pusaran arus yang begitu dahsyat. Ia terhumbalang. Terpelanting. Terjengkal. Terjerembab. Terpelecok. Ia tak ingat apa-apa lagi. Ia tak melihat apa-apa lagi. Semua-muanya menjadi pekat dan gelap. Gelap, gelap dan gelap.
Ketika akhirnya ia tersadar ternyata ia tengah terbaring di zal sebuah rumah sakit begitu senyap. Tiga hari kemudian ia menyerahkan surat pengunduran diri dan mengajukan PAW (Pengganti Antar Waktu) kepada partainya.
Sehari menjelang Idul Fitri ia diangkut ke sebuah kamar sanatorium rumah sakit “Sambang Lihum” karena tak henti-hentinya menjerit dan tertawa-tawa sambil terus mengisahkan peristiwa itu. Kepada kawan-kawan separtainya dan orang-orang yang menjenguknya ia selalu mengatakan: “Apakah dosa saya sudah tak terampuni lagi sehingga harus menjadi anggota dewan?”
Kepada orang-orang itu ia juga menyebutkan namanya – Aliman!

Kandangan, 7 September 2009 - 17 September 2009

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/cerpen/130937947751

0 komentar: