Cerpen Aliman Syahrani: Gubernur
SEJAK dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otomi Daerah yang diberlakukan mulai 1 Januari 2001, bangsa ini mulai melakukan desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pusat ke provinsi, kota dan kabupaten yang bertujuan untuk tercapainya keadilan sosial dan ekonomi yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun ada ekses negatif dari kebijakan tersebut, di antaranya adalah “berpindahnya” korupsi dari pusat ke daerah. Efek negatif lainnya adalah banyak para gubernur yang berubah menjadi “raja-raja kecil” di daerahnya masing-masing. Sikap tidak mendewasa yang cenderung menggunakan jurus aji mumpung atau tampuluisme itu jelas merugikan rakyat banyak dan mesti ditangani secara serius pula oleh pihak yang berwenang.”Demikian edetorial sebuah koran lokal yang terbit hari itu. Ipung membacanya dengan perasaan jijik dan muak. Ia membanting koran di tangannya ke atas meja warung milik Abah Hadran siang itu. Wajahnya tampak memberengut.
“Ada berita hangat, Nak Ipung?” tanya Abah Hadran sambil menulurkan secangkir kopi.
“Itu, Bah, sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, banyak para gubernur yang menjelma jadi ‘raja kecil’,” cibir Ipung meludahkan kemurkaan.
“Ah, itu biasa Nak Ipung,” kata Abah Hadran mengguramang. “Gubernur itu kan kepala daerah. Dan kepala daerah artinya pemimpin. Makanya banyak orang ingin jadi gubernur, karena jadi gubernur itu enak…”
Ipung agak terkejut dengan logika lelaki pemilik warung itu. “Enak bagaimana, Bah?”
Abah Hadran menatap Ipung beberapa jenak sebelum menjawab. Ia merasa heran kenapa Ipung yang cukup terpelajar itu tidak tahu bagaimana enaknya jadi gubernur. “Masak Nak Ipung tidak tahu?”
“Tidak. Kalau sudah tahu masak saya bertanya lagi?”
“Menjadi gubernur itu kan menguntungkan?”
“Menguntungkan bagaimana, Bah?”
Abah Hadran menatap Ipung lebih lekat lagi, ia tambah heran. “Masak Nak Ipung tidak tahu?”
“Benar! Kalau tahu masak saya bertanya?”
“Jadi gubernur itu kan ditakuti, bisa memerintah.”
“Oh, jadi menurut Abah gubernur itu ditakuti karena bisa memerintah? Kalau begitu Abah menyamakan gubernur dengan mandor dong?”
Abah Hadran ngakak. “Mandor memang bisa memerintah, tapi tidak bisa kaya. Gubernur itu mandor tapi kaya!”
Ipung tambah terkejut dengan argumentasi Abah Hadran dan ia menunjukkan sikap tidak senang. Masak Abah Hadran menyamakan antara gubernur dengan mandor tapi kaya. Itu persepsi yang jelas-jelas salah kaprah. Dua hal yang sama sekali tidak ada hubungannya, bahkan seringkali bertentangan keras. Pasti Abah Hadran mendapat informasi timpang dari sumber yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Atau hasil diskusi swasta dengan para pengunjung warungnya yang sok pintar itu. Bisa jadi pula Abah Hadran sudah membaca sejumlah biografi picisan. Ipung tidak rela membiarkan racun itu merasuki batok kepala pemilik warung yang tampak lugu tersebut. Mesti dibasmi.
“Kaya tidak ada hubungannya dengan gubernur, Bah,” kata Ipung tegas. “Dan gubernur bukan tiket untuk menjadi orang kaya. Kalau orang kaya jadi gubernur itu memang dapat menolong dia menjalankan tugasnya. Tapi kalau orang jadi kaya karena jadi gubernur itu namanya korupsi!”
Abah Hadran kembali ngakak mendengar pernyataan Ipung. Sebaliknya Ipung makin terkejut, mengapa Abah Hadran tertawa? Kalau ada orang tertawa pada kebenaran, berarti otaknya sudah kejangkitan virus, sudah miring, sudah rusak. Dan kalau yang tertawa itu rakyat kecil seperti Abah Hadran, itu namanya sudah kronis. Ipung makin penarasan. Ia tambah bringas.
“Mengapa Abah tertawa?”
“Habis pendapat Nak Ipung kuno sekali.”
“Konu? Kuno bagaimana, Bah?”
“Tidak realistis. Sok idealis.”
Ipung jadi sedikit marah bahkan tersinggung dibilang tidak realistis dan sok idealis. Tapi agaknya Abah Hadran tidak mau meladeni kemarahannya. Lelaki paruh baya itu cepat-cepat melumer senyumnya. Senyuman orang tua yang begitu percaya pada dirinya, mirip kesombongan. Senyum yang sudah sangat sering membuat Ipung merasa muak. Kesombongan orang-orang tua sekarang adalah korban dari sebuah proses pembodohan di masa lalu. Jadi reaksi mereka terhadap segala sesuatu mengambang, ambigu. Perhitungannya pendek, egois dan tindakannya serba keliru. Itu pasti akibat trauma psikologis dan intimidasi politis di masa lalu.
Ipung sungguh merasa prihatin dengan pola pikir yang dimiliki Abah Hadran. Mestinya Abah Hadran menyadari bahwa persepsinya itu salah kaprah. Abah Hadran mesti ia beritahu tentang apa sebenarnya arti pemimpin, arti gubernur, arti kaya, arti memerintah, arti menjadi orang yang ditakuti.
Tapi setelah tahu bahwa gagasannya tidak mendapat tanggapan serius dari Abah Hadran, Ipung tercenung. Ia tidak boleh marah apalagi putus asa. Pada hakekatnya, bukankah ia juga adalah seorang pempimpin, setidaknya bagi dirinya sendiri. Dan seorang pemimpin tidak boleh marah kalau tidak diacuhkan. Seorang pemimpin harus berani berkorban dan mampu bekerja sendiri, kalau yang dipimpinnya sedang teler.
Setelah membayar minumannya, Ipung mohon diri kepada Abah Hadran. Ia berniat akan mengadakan riset untuk mengumpulkan bahan dan bukti-bukti sendiri dalam rangka sebuah serangan mendadak yang telak kepada Abah Hadran. Abah Hadran mesti diberikan bukti yang konkrit dan otentik untuk mengubah persepsinya.
Di rumah kontrakannya, Ipung mulai melacak riwayat para gubernur. Semua orang yang pernah menjabat jadi gubernur di daerahnya ia telusuri. Ipung juga mensurvei para gubernur di beberapa daerah lain. Setelah itu ia juga mencari perjalanan hidup orang-orang kaya di daerahnya dan daerah-daerah lain itu. Dari kedua bahan tersebut Ipung mulai membuat perbandingan-perbandingan. Dan akhirnya menarik sebuah kesimpulan.
Tetapi, astaga, waktu itulah Ipung benar-benar terlengak. Setelah ia amat-amati hasil risetnya sendiri itu, ternyata orang-orang kaya itu semua adalah gubernur di daerahnya masing-masing! Bahkan, yang lebih mengejutkannya lagi, salah seorang gubernur di Kalimantan Selatan pernah menjadi orang terkaya nomor satu di seluruh provinsi di Kalimantan menurut data dari KPKPN. Yang ironisnya, Kalimantan Selatan sendiri saat itu adalah daerah termiskin nomor satu di seluruh provinsi di Kalimantan!
“Iya, ya. Benar banyak gubernur itu orang kaya!” kata Ipung akhirnya kepada Abah Hadran keesokan harinya di warung lelaki itu.
Abah Hadran nampak tenang-tenang saja. “Kan sudah saya bilang,” kata Abah Hadran membusungkan dada. “Kalau mau kaya harus jadi gubernur. Kalau tidak jadi gubernur tidak akan bisa memimpin. Kalau sudah memimpin dengan sendirinya kaya. Itu saling menunjang. Masak Nak Ipung tidak tahu itu?”
Ipung mengangguk-angguk takjub sekaligus terpukul. Apalagi ketika Abah Hadran menatapnya seperti melihat orang kampung yang bodoh, bukan sebagai pelanggan warungnya, walau pun sering ngutang. Sungguh heran ia kenapa Abah Hadran menatapnya setajam itu. Ia merasa dilecehkan, diremehkan. Ditatap seperti itu, ia bahkan merasa diperlakukan orang tua itu sedikit kurang ajar. Dada Ipung tiba-tiba berdegup.
“Kenapa Abah menatap saya seperti itu?”
“Masak Nak Ipung baru tahu? Apa benar?”
“Benar!”
“Jadi Nak Ipung tidak tahu bahwa untuk menjadi kaya orang harus jadi gubernur?”
Untuk yang kesekian kalinya Ipung terkejut. Ia tak bisa memberikan jawaban apa atau bagaimana.
“Nak Ipung tidak tahu atau tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu?” Abah Hadran terus mencucur.
Ipung jadi melongo, matanya melotot karena merasa dipojokkan. Tapi ia belum bisa memberikan jawaban. Lebih tepatnya tidak siap.
Abah Hadran mengeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu apa saja yang Nak Ipung ketahui tentang gubernur?”
Sekarang Ipung mulai tersinggung sekaligus tertantang. Orang tua kalau dibiarkan saja bisa menginjak kepala. Dikiranya dia yang paling tahu segalanya. Sekali-sekali orang tua juga mesti diberi pelajaran. Mesti diladeni, kalau perlu diserang!
Ipung balas menatap mata Abah Hadran. Sorot mata lelaki yang sedikit redup dimakan waktu itu menatapnya dengan jujur. Dia bukan kurang ajar. Dia memang benar-benar ingin tahu apa yang ia ketahui. Ipung sadar ia tidak boleh marah pada spontanitas, sebab kalau ia marah, ia akan kehilangan simpati, dan untuk selanjutnya orang akan enggan mengungkapkan kejujuran terhadapnya. Diam-diam dengan sejujurnya Ipung mengakui kalau ia mulai ragu-ragu sekarang. Jangan-jangan pengetahuannya tentang gubernur memang sudah kadaluwarsa, sudah second hand.
Untuk menyembunyikan harga dirinya sebagai seorang pemuda kritis yang memang idealis, yang mestinya lebih tahu dan waspada terhadap berbagai hal dan situasi daripada orang tua, Ipung mengambil jalan klasik; merendahkan diri. Plus tertawa kecil.
“Kalau begitu, saya tidak tahu apa-apa lagi,” cicit Ipung setelah beberapa jenak terdiam.
“Memang kenapa?” desak Abah Hadran.
“Ya, karena menurut persepsi saya selama ini, yang namanya gubernur itu kan kepala daerah yang memimpin orang banyak. Itu artinya seorang gubernur akan selalu sibuk untuk memimpin dan tidak ada waktu lagi untuk mengurus kepentingan pribadi. Bahkan waktu untuk keluarganya pun harus sering dikorbankan. Apalagi untuk menggunakan waktu berlama-lama berselancar di dunia maya sambil kampanye (lagi) lewat face book, itu bukan tipe seorang gubernur yang baik. Nah, kalau seorang gubernur sudah sibuk memikirkan bagaimana daerah dan rakyat yang dipimpinnya, dia tidak mungkin lagi sempat berpikir untuk kekayaan pribadi. Jadi kalau ada seorang gubernur yang selalu sibuk memikirkan kekayaan pribadi, kapan dia punya waktu untuk memimpin daerahnya?”
Abah Hadran memberengut. “Dari mana Nak Ipung mendapat persepsi semacam itu?”
“Itu kan kenyataan, Bah?”
“Masa?”
Lagi-lagi Ipung terkejut. Selanjutnya ia merasa ragu. Jangan-jangan itu memang bukan kenyataan. Tetapi hanya harapan dan keinginan pribadinya saja. Atau paling tidak, kebetulan yang ia ketahui dan ia setujui. Jangan-jangan banyak karakter gubernur yang tidak ia ketahui.
“Nak Ipung punya bukti-bukti?” desak Abah Hadran lagi.
“Ya… tidak. Itu secara akal sehat saja. Kan memang begitu, kalau seorang gubernur sudah sibuk memikirkan mencari kekayaan, kapan waktunya untuk memikirkan daerah dan orang-orang yang dipimpinnya? Di dalam cerita-cerita wayang kita sudah banyak melihat contohnya. Misalnya Nitawatakawaca yang serakah itu. Karena ia begitu serakah ya pasti saja rakyatnya sengsara. Rahwana juga begitu. Dia keenakan dan serba berlimpah, tapi rakyatnya menderita. Korawa juga sama. Keseratus Korawa itu maunya hanya berfoya-foya, kemudian rakyatnya menderita. Mereka bukannya memimpin, malah memeras rakyatnya. Tidak ada cerita rajanya serakah rakyatnya hidup sejahtera? Betul tidak, Bah? Jadi kalau seorang gubernur benar-benar pemimpin yang baik, ya mesti kebalikannya; rakyatnya yang makmur, dia sendiri tidak punya apa-apa. Contohnya ya Pandawa itulah. Tapi mungkin Abah sudah tidak tertarik lagi dengan cerita-cerita wayang. Abah sekarang kan lebih ngefans sinetron Manohara, film Ketika Cinta Bertasbih dan Akademi Fantasi?”
Abah Hadran kembali ngakak sampai matanya berair. “Itu kan cerita wayang?” gunturnya memprotes. “Kita sekarang kan bukan hidup di zaman Empu Kanwa, Empu Walmiki atau Empu Barada lagi. Era kita bukan lagi era Adam Malik atau Cut Nyak Dien, tapi adalah eranya Adam Jordan dan Cut Keke. Zaman kita bukan lagi zamannya Thomas Alfa Edison tapi zaman Thomas Djorge. Kita sekarang hidup di zaman globalisasi, gombalisasi, bomBalisasi dan Inulisasi. Dulu orang sudah cukup makan saja sudah senang. Sudah jatuh bangun, sudah celaka tapi masih bisa bilang syukur masih hidup. Sudah jadi korban tapi masih bilang syukur masih selamat. Itu kuno, Nak Ipung. Sekarang kita sudah merdeka. Makan saja tidak cukup. Kita mesti punya mobil dan rumah. Itu juga tidak cukup satu. Kalau sudah bosan Camry, ganti dengan BMW, itu baru keren. Rumah juga tidak cukup kalau tidak punya back up deposito atau tanah untuk tabungan masa depan. Bahkan istri pun mesti lebih dari satu, itu baru jantan, hebat. Di samping itu kita mesti punya status, posisi, peringkat, prestasi bahkan prestise, ya kasarnya saja, kita mesti punya power, kekuasaan. Punya back up seperti file-file di dalam komputer. Kita harus menjadi pemimpin kaya. Semua orang juga begitu sekarang! Nak Ipung keliru! Nak Ipung salah kaprah! Nak Ipung tidak boleh berpikir seperti zaman wayang itu lagi!”
Ipung seperti disambar petir di siang bolong. Dadanya bergemuruh bagai kobaran api yang disiram dengan minyak. Serasa ada air mendidih yang melewati tenggorokannya. Ia tidak bisa menerima pikiran Abah Hadran yang sungguh sangat sekuler dan materialistis itu. Itu adalah pikiran yang sudah terjangkit virus! Itu pikiran racun! Ia mesti meyakinkan lelaki pemilik warung itu bahwa gubernur tidak ada hubungannya dengan kekayaan. Kecuali memang kekayaan rohani.
“Seorang gubernur memang lebih kaya rohaninya. Karena itu dia menjadi pemimpin,” decap Ipung penuh semangat perlawanan. “Tetapi kekayaan rohani jelas bertolak belakang dengan kekayaan jasmani. Kekayaan jasmani tidak merupakan jaminan kepemimpinan. Tapi kekayaan rohani sudah pasti. Gubernur yang kaya materi itu tidak akan langgeng, sebaliknya gubernur yang kaya rohani itu akan abadi di mata rakyat dan anak buahnya.”
Abah Hadran hanya tersenyum mendengar argumentasi Ipung. Senyum yang di mata Ipung tampak begitu angkuh. Dan entah kenapa tiba-tiba Ipung merasa dadanya bagai ditusuk-tusuk melihat senyum lelaki itu.
Abah Hadran balik menyerang, “Apa yang Nak Ipung bilang itu, hanyalah sebuah lamunan masa lalu, ketika kita dikuasai oleh cerita-cerita wayang. Cerita-cerita yang kelihatannya saja mengajarkan moral, tetapi pada dasarnya memaksa kita menerima bahwa manusia-manusia itu dilahirkan berbeda. Ada yang lahir sebagai kesatria dan terus menerus menjadi pemimpin, menikmati kebahagiaan duniawi, jadi pahlawan dan selalu menang. Ada yang dilahirkan sebagai panakawan, sebagai kawula yang seumur hidup tetap jadi bawahan. Kalau ada yang berhasil jadi raja, seperti si Petruk, misalnya, itu dianggap kekurang-ajaran. Dan ada orang yang dilahirkan di dalam pewayangan sebagai raksasa-raksasa yang jahat melulu dan akhirnya hanya pelengkap kepahlawanan para kesatria. Di dalam agama juga begitu, penciptaan iblis pada hakekatnya hanyalah untuk menunjukkan bahwa para Nabi adalah orang-orang suci. Tampilnya para pelaku dosa untuk menunjukkan bahwa para ulama dan auliya adalah manusia-manusia purna. Penjajahan pikiran itu harus diakhiri. Kita kini telah memasuki tatanan baru. Jadi yang realistis saja, Nak Ipung! Seorang gubernur sah-sah saja kok kalau kaya. Itu kan upah dia sebagai orang yang memimpin! Ya nggak?”
Ipung menemui jalan buntu untuk berdebat lebih panjang lagi. Lelaki pemilik warung itu benar-benar telah kemasukan virus pola pikirnya. Ia telah didoktrin. Pikirannya sudah diracun, sudah terpatok. Ia sudah terlalu yakin. Kalau Ipung bersikeras maju, pasti akan terjadi perang saudara. Karena itu ia biarkan saja Abah Hadran menyanggah bahkan membantah segala argumentasinya. Biar saja lelaki itu berada dalam keyakikannya sendiri untuk beberapa saat, meskipun Ipung tahu bahwa itu salah. Biarlah ia menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan balik dengan telak. Karena barangkali saja Abah Hadran adalah salah seorang tim sukses seorang gubernur entah siapa dan di mana, sehingga dia mati-matian mempertahankan pendapatnya. Karena itu penting sekali, jangan sampai Abah Hadran menyetujui argumentasinya hanya karena ia bantah juga. Dia boleh menyetujui argumentasinya kalau dia sendiri insaf bahwa semua-mua pikiran-pikirannya itu memang salah, sudah kemasukan virus, sudah rusak!
Keduanya kini sama-sama tercengang. Sama-sama menyimak, sama-sama merenung dan membadingkan argumentasi masing-masing. Kemudian perdebatan pun mulai lagi. Kini keduanya tukar gawang. Lalu mulai hantam-hantaman. Satu persatu orang yang lewat di depan warung menoleh, lalu ikut mendengarkan. Setelah lebih dua jam, suasana warung itu makin ramai. Sebagian orang-orang itu ikut pasang ngomong. Argumentasi dan adu pendapat pun makin beragam, ada pro dan kontra. Makin alot.
Perlahan-lahan warung kopi itu berubah jadi kelir wayang. Arena tempat orang menonton perkelahian pendapat. Sebuah tempat percobaan untuk menerapkan demokrasi. Di mana orang bebas berargumentasi mengemukakan pendapat-pendapat pribadinya. Termasuk juga menukar pendapat, meyakini yang tadinya mati-matian dia tolak. Karena itu adalah sebagian hak azasi, kebebasan seorang individu.
Di saat perdebatan memuncak, saat Ipung hendak memukul pola pikir Abah Hadran dan orang-orang yang pro lelaki itu dengan satu jurus argumentasi pamungkasnya, istri Abah Hadran muncul. Wanita itu langsung ngamuk. Ia naik pitam lalu melabrak suaminya habis-habisan. Karena setelah selidik punya selidik, ternyata tidak seorang pun di antara pengunjung warungnya yang membludak hari itu yang berbelanja, termasuk Ipung!
“Keterlaluan!” salak Ijum, istri Abah Hadran itu murka, “Mau jualan atau mau membual! Kalau mau membual, berhenti saja jadi tukang warung, bongkar saja bangunan ini! Kalu mau jadi tukang warung, jual saja dagangan kamu! Tidak usah ikut-ikutan membual, seperti gubernur!!!” guntur perempuan itu lagi meludahkan serapah, membuat semua yang hadir tersemplak.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/cerpen/138180612751
0 komentar: