Cerpen Aliman Syahrani: Risalah Banyu Mata
(tapi, ini hanya sebuah cerita…)DALAM hati manusia, melepaskan kepergian sesorang memiliki arti tersendiri, ada sesuatu yang terasa runtuh, ada semacam rasa haru. Kehilangan, ditinggalkan, berpisah, atau bahkan penemuan diri, berbaur jadi satu. Dan, rasa nelangsa yang manusia itu mampu mencampakkan kejantanan dan kelugasan sikap manusia yang telah dibentuk oleh kemajuan peradaban seseorang. Anehnya lagi, perasaan itu tidak mengenal batas pemisah antara laki-laki dan perempuan, ras, suku, agama, bahkan antarbangsa. Setidak-tidaknya bagi diriku sendiri, dan inilah yang kurasakan waktu itu, saat aku melepaskan keberangkatan Ayang yang hendak pergi merenda masa depan ke Jakarta.
“Kenapa sejak tadi kau hanya membisu?” tegurnya. Jemarinya yang halus bergerak menepiskan anak rambutnya yang riap-riap menutupi keningnya. Kemudian jemari itu menyusup ke jari tantanganku. Diremas-remasnya tanganku sepenuh sayang yang terpancar dari kedua bola matanya tanpa mampu menyembunyikan butiran-butiran resah yang mulai bergayut.
Kutatap ia sesaat. Hati ini mendadak ngilu.
“Aku sedang berbisik dengan hatiku, Yang,” desahku. “Adakah waktu lagi buat kita bertemu? Akankah ini hari terakhir kebersamaan kita?”
Ayang tertawa. Hambar. “Ah, kau tidak sedang bermimpi, bukan?” katanya bercanda sambil menyodok pinggangku dengan jari telunjuk. Tapi gumpalan resah itu terlalu kental di pelupuknya. “Tulislah nanti dalam cerpen dan puisi-puisi romantismu.”
Kudengar kemudian hela napasnya. Panjang. Dan matanya itu mulai membendung telaga.
“Setengah jam lagi,” rintihnya. “Aku tidak akan melihat pohon-pohon akasia, batu karang yang kukuh memeluk bumi, dermaga Trisakti, dan matahari yang luruh bersama puisi. Akan kutinggalkan sebuah tempat penuh dendam kenangan, hanya untuk memasuki sebuah dunia yang diwarnai dengan ketergesaan, kekhawatiran dan tanda tanya.”
Matanya redup menatap ke arah laut. Ombak berdesau memukul pantai. Angin berdesir. Sebuah kapal jenis Serayu sudah merapat ke dermaga. Para awak kapal, penumpang dan pengantar, petugas keamanan dan pegawai bea cukai, penjaja makanan, serta buruh-buruh pelabuhan, kelihatan ramai dengan kesibukan masing-masing.
Ayang kembali meremas tanganku, matanya menyambarku.
“Rasanya aku belum bercerita kepadamu tentang ramalan seorang balian yang kita jumpai di pedalaman Loksado beberapa waktu lalu, bukan? Ia mampu membaca jauh ke depan, dan...”
“Sejak kapan kau menyerahkan masa depanmu dalam genggaman ramalan seorang balian? Kalau saja ibumu tahu, aku yakin kau akan dijodohkan dengan pemuda Dayak,” kataku bergurau. “Tapi baiklah, coba ceritakan apa yang diramalkan balian pedalaman Loksado itu?”
Ayang menarik napas, panjang dan dalam. “Ia mengatakan begini, kalau sekali aku telah meminum air dari kali Amandit, maka aku pasti akan kembali lagi ke sana. Atau...”
“Atau apa, Yang?” tiba-tiba saja rasa ingin tahuku memuncak.
Kembali matanya menyambarku sebelum melanjutkan dengan suara perlahan, “Atau aku akan kehilangan seseorang dan membiarkannya menunggu di bumi di mana aku telah meminum air itu.”
“Tapi yang pasti kau akan kembali lagi ke sini. Iya kan, Yang?” pintasku buru-buru.
Ayang tak menjawab. Angin kian berdesir kencang, berkelahi dengan dingin. Ombak juga terus memukul pantai. Ketika mata kami kemudian bertemu, sebuah desiran halus bergemuruh dalam dadaku. Sesaat kami terbius dalam kebersitatapan yang panjang itu. Seolah-olah kami hanya berbicara dalam bahasa yang paling rahasia. Kuusap banyu mata yang luruh membulir di kedua helai pipinya. Matanya yang murung menatapku resah seakan tak rela pada suka musim yang sebentar lagi berangkat. Ayang tak mampu mengungkapkan rintih sukma pedihnya jika kenyataan pahit sebuah perpisahan itu tiba juga pada akhirnya.
Kutepiskan anak rambutnya yang luruh tergerai di wajahnya, dan ketika ia lebih merapatkan tubuhnya, bumi tempat kami berpijak seakan bergemeletar. Tak kurasakan lagi terik matahari yang garang membakar dermaga Trisakti. Panas bulan Juli seakan memanggang pohon akasia, perahu-perahu, perumahan penduduk, bentangan pantai, debu jalanan, dan gedung-gedung tua yang merupakan ilustrasi alam kota Banjarmasin; pasrah tapi tidak menyerah, merunduk namun memeram beribu harapan.
Dan, bumipun serasa makin bergemeletar hebat ketika sirine tanda bekerangkatan berbunyi. Satu dua orang penumpang masih kelihatan menaiki tangga kapal.
“Selamat jalan, Yang!” Kalimat itu bagai seraup duri yang keluar dari kerongkonganku, dan memberangus mulutku. “Pergilah dalam bahagia. Biar kumati, dalam menanti.” Tenggorokanku serasa makin parau dan tercekak.
Lama ia menghunjamkan tatapannya kepadaku. Matanya menyambar gundah. Bibirnya yang basah bergerak-gerak seolah ingin mengecupkan lambaian perpisahan, tapi tak satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Gumpalan haru yang bergayut di kedua palung matanya itupun luruh menggerabak, berkaca-kaca. Ada gelembung keputusasaan menyembul dan melukai segenap harapan yang tersisa di ceruk ngarai hatiku.
Kedua mata sejuknya masih lekat menyambarku. Mesra. Semesra kecupan perpisahan yang kemudian ia titipkan dengan kedua bilah bibir basahnya di pipiku. Dalam hati aku berbisik lirih: “Tuhan, pertemukanlah kami kembali dalam kebahagiaan, genggam erat kedua hati kami dalam satu kesatuan prinsip dan pengertian, hingga kami dapat mewujudkan segala rencana dan cita-cita bersama dalam kehidupan yang teramat manis.”
“Aku telah mereguk air dari bumi ini,” katanya di tengah suara hiruk para penumpang. “Aku akan kembali...”
Ia bergegas menaiki tangga kapal. “Dalam cinta ada kesetiaan. Nantikan aku,” suara itu sesayup hinggap di telingaku, dan mengiris sisi hatiku yang terdalam. Ayang masih melambaikan tangan sebelum ditelan kerumunan penumpang.
Sauh diangkat. Deru mesin kapal kian meninggi. Perlahan KM Serayu itu bergerak. Di balik pagar sebagian penumpang masih saja melambaikan tangan. Kemudian kapal mesin itu merangkak semakin jauh meninggalkan dermaga. Menjauh. Terus menjauh. Menuju samudera. Mataku basah ketika “ikan besi” itu lenyap ditelan laut. Ada yang tiba-tiba runtuh dalam dadaku. Ada yang tiba-tiba lepas. Ada yang terasa hilang dari sudut-sudut hatiku.
Ombak terus berdesau memburu pantai, hingga senja pun luruh. Kawanan burung camar pulang menuju sarang. Tinggallah pilar-pilar dermaga Trisakti yang menggigil di kabut senja.
***
SURAT Ayang datang dengan teratur. Dari Jakarta ia menceritakan bahwa ia merasa canggung memasuki sebuah dunia yang seperti pernah dikatakannya: ‘penuh ketergesaan, orang-orang yang bergerak mekanis dengan segala birokratisasi, kekhawatiran dan tanda tanya’.
“Jakarta bagaikan dua sisi uang logam yang masing-masing sisi menawarkan harga, lebih-lebih bagi seorang pendatang sepertiku. Selama tiga tahun kuhabiskan hidupku di kampung orang. Maka bisa kau bayangkan, alangkah canggung rasa hatiku. Aku benar-benar seorang asing di ibukota negeriku sendiri.”
Dan pada surat yang lain ia menuliskan:
“Lihatlah pegunungan Meratus, hutan-hutan yang mulai dirambah, dan buminya yang semakin digaruk karena memendam harta. Apapun dalih yang akan dikatakan orang tentang pulau itu, Kalimantan adalah tanah tumpah kelahiran kita. Bumi Kalimantan telah cukup banyak memberikan miliknya yang paling berharga untuk kemakmuran negeri ini, tapi sekian lama ia dibiarkan tetap terlelap dalam tidur di alam keterbelakangan. Kau katakan dalam sutrat-suratmu bahwa kau akan membangun lewat tulisan-tulisanmu. Kuharap kau masih setia dengan pekerjaan sebagai penulis. Nampaknya, pekerjaan itu memang dibutuhkan. Paling tidak memadai dalam bentuk-luar imbalannya. Ya, selama manusia masih ingin memanusiakan dirinya, ia masih memerlukan itu. Yang diperlukan sekarang, aku rasa, adalah suatu keseimbangan. Ya, keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Sekarang, di negeri kita ini, tampaknya keseimbangan itu merupakan sesuatu yang sulit ditemui!”
Tahun demi tahun berjalan seperti menapaki jejak matahari. Masa kerjaku sebagai koresponden sebuah koran lokal yang ditempatkan di Kandangan telah kulalui dengan rasa rutin belaka. Kepindahanku ke Banjarmasin juga terasa berjalan dalam pergeseran waktu yang terus berpulas, entah sampai kapan. Dan, dalam pergeseran waktu itulah surat Ayang semakin jarang kuterima.
Surat terakhir kuterima menjelang kepindahanku ke Banjarmasin bertuliskan beberapa baris kalimat saja.
“Hatiku yang gemuruh dengan kerinduan mencapai keseimbangan dan cita-cita membawaku ke sebuah garis prestasi. Aku lulus sarjana! Dapatkah kau membaca apa yang terpancang dalam hatiku saat ini...?”
***
PELABUHAN Trisakti, lima belas tahun kemudian, kemarau di bulan Agustus membuat mata terasa berkunang-kunang begitu pandangan dilemparkan ke dermaga.
“Paling lama satu minggu aku akan pulang, Ma,” kataku kepada istriku yang mengantarkan keberangkatanku ke Yogya menyertai rombongan seniman Posko La Bastari dari Kandangan hari itu. “Aku takut selera makanku akan hilang.” Terbayang dalam benakku suasan meja makan bersama tiga orang anakku di rumah. Ramai, terkadang agak ribut, tapi selalu menimbulkan kenikmatan yang dalam.
“Carilah rumah makan yang menyediakan masakan khas Banjar di sana,” pesannya.
“Jangan lupa dodolnya ya, Pa?” pinta Kiky, anak paling bungsu.
“Kau kira, Papa mau pergi ke Kandangan, Ki?” protes Ayu, kakaknya.
“Pulang bawa bakpia, ya Pak?” sambung Kiky.
“Dan kaos dagadu,” pesan Razak, anak sulung kami.
“Istirahatlah yang cukup dan makan yang banyak, agar tidak mati muda,” ingat istriku kembali.
“Apa kita masih muda?”
“Masih terlalu muda untuk mati.”
“Kau sudah makan, Ma?”
“Belum.”
“Makanlah, supaya tidak mati muda.”
Waktu keberangkatan masih dua jam. Sementara istriku membawa anak-anak ke sebuah warung makan di ujung pelabuhan, aku pergi untuk mengurus tiket. Di ujung pelabuhan yang lain mataku tertumbuk pada sosok seorang perempuan berbusana muslimah ingin menaiki sebuah mobil jemputan. Dengan jantung berdegup kencang aku melangkah mendekati perempuan itu.
“Hajjah Ayang Firdausi Kandangani!” sapaku seakan bermimpi.
Perempuan hajjah itu memandangku dari ujung rambut hingga ke tumit sepatu, seolah hendak mengukur taraf kehidupanku dari situ. Ia mengangkat tangkai kacamatanya, senyumnya seakan menguak cakrawala. Segar dan tulus.
“Subhanallah!” dentumnya kemudian seraya menyebut namaku. ”Assalamu’alaikum. Kaifa khaluk, ya Akhi?”
“Wa’alaikumsalam! Kabarku baik-baik saja. Ahlan wa sahlan, Ukhti!” sahutku terbata-bata.
“Hampir dua puluh tahun. Dan mereka tadi pasti keluargamu, bukan?”
Aku mengangguk.
“Kau pulang, Yang?” Ah, panggilan itu terdengar asing saat ini.
Ia tersenyum. “Dari tengah, kulihat laut masih setia mengirimkan dirinya ke pantai, gelombang juga terus berdesau menyentuh dermaga Trisakti. Tapi matahari yang luruh tak lagi membawa embun dan puisi,” katanya. “Aku pernah meminum air dari kali Amandit. Kau tahu, aku akan kembali ke tanah di mana aku pernah mereguk airnya!”
Tatapanku sesaat menyusuri jalan panjang masa lalu saat ketika senyum kebahagiaan terhampar menjadi sebuah lukisan indah dengan beribu bunga yang semerbak menebar bau harum lalu kupetik dan kusunting sehingga hatiku tak ingin berdusta dengan kenyataan. Lantas, rentetan gambar itu pun kembali menggurat alur kisah lahgu rindu masa lalu, sebagaimana yang sudah terlukis dan terpampang dalam hamparan kanvas kehidupanku.
Dua puluh tahun silam, Ayang adalah teman sepermainan dan sependidikanku selama beberapa tahun di Kandangan, sebelum ia melanjutkan studi dan menyusul keluarganya yang hijrah ke Jakarta. Ayang yang dulunya kukenal sebagai gadis kecil dan mungil, ternyata dalam prilaku dan kepribadiannya lebih mendewasa dari usianya. Ia cantik. Kecantikan Ayang adalah kecantikan penuh daya magnit. Matanya biru dengan bulu mata yang hitam panjang dan lentik. Tubuhnya tinggi semampai. Wajahnya proporsional dengan prototif sempurna. Wajah Ayang menunjukkan bahwa dia wanita yang cerdas. Kecantikannya anggun dan penuh wibawa, yang menyebabkan seakan dia tidak bisa didekati. Tapi dalam kedua palung matanya meniruskan kehangatan. Kata-katanya seakan menyiratkan jeritan sepotong cinta yang sekarat. Suaranya rendah dan lemah-lembut, sedikit parau.
Ketika usia Ayang tak lebih dari tujuh belas tahun, tidak bisa diragukan lagi, dialah wanita paling cantik yang pernah kutemui dalam hidupku. Tapi bukan kecantikan lahiriahnya semata yang menarik hatiku. Ada suatu daya magnit yang sulit dijabarkan dengan segepok kata-kata maupun sekampil bait-bait syair umpama, yang dengan begitu dahsyat menarikku kepadanya. Entah mengapa, kecuali ibuku, rasanya seakan-akan aku hanya mengenal Ayang sebagai wanita di dunia ini. Ayanglah yang pertama kali memercikkan reaksi emosiku yang mendalam terhadap wanita dalam makna sebuah kecantikan dan cinta.
Ayang menatapku. Masih seperti yang dulu, lekat menyambar. Tapi dalam kedua manik matanya itu, ia seakan menawarkan kesejukan tersendiri yang teramat teduh bagiku. Sorot mata itu, terlalu manis untuk kulupakan.
“Dan meskipun aku harus kehilangan seseorang yang kubiarlan menunggu di bumi yang telah memberiku air itu,” katanya kembali, membuyarkan lamunanku.
Beberapa saat aku ingin mengatakan kepadanya bahwa Banjarmasin dua puluh tahun yang lalu tidak sama seperti Banjamarsin sekarang. Bahwa, embun dan puisi terkadang luruh sebagai bara api; bahwa pohon akasia sering berubah menjadi tembok laut; bahwa debu jalanan telah tersiram peluh anak-anak yang terpaksa harus memunguti sembarang senyuman, karena tak tahu lagi di mana mereka harus bernaung, yang mendatangi sembarang lambain karena kerinduan yang melelahkan.
Dan aku juga ingin mengatakan bahwa di sini ada yang tidak berubah sejak dua puluh tahun yang lalu sampai saat ini: hatiku!
Tapi tiba-tiba aku sadar, hak apakah yang melekat pada diri ini untuk berkata demikian?
Mendadak aku merasa diri dan keberadaanku menjadi sedemikian kecil. Gumpal demi gumpal rasa kecil itu memenuhi rongga dadaku. Dihadapkan dengan istri dan anak-anakkku, aku kehilangan diriku sebagai laki-laki. Dan perempuan yang diam-diam kucintai selama ini telah membangunkanku, bahwa aku harus mengimbangi kasih istri dan anak-anakku, dengan mencampakkan diri dari lamunan yang tanpa dasar seperti ini.
Selama ini, ya selama dua puluh tahun ini, aku memuja dan mencinta Ayang serta membayangkan dan membawanya ke dalam bawah sadarku. Ia bahkan telah kuwujudkan dalam diri Azhariana Rabihaningrum Rayuladaku, gadis rebutan asal Cangkok Asam yang kini jadi istriku!
***
SELAKSA kunang-kunang bagai menyerbu biji mataku, ketika siang itu aku menerima selembar surat dari Hajjah Ayang Firdausi.
“Betapa aku merasa bahagia dapat menginjakkan kaki di Kandangan kembali. Keadaan kini memang banyak berubah. Tetapi gunung Kantawan di mana kita pernah menghabiskan petang bersama, masih kokoh mencengkeram bumi. Kali Amandit yang mengalir dari pegunungan Meratus memang makin surut dan mengeruh. Tapi semua itu tak mengurangi kebulatan tekadku untuk turut mengabdi di Madrasah tempat kita belajar dulu. Mendidik anak-anak, memberikan dasar-dasar agama kepada mereka. Pak haji ustadz kita dulu memintaku untuk membantunya, dan aku menyanggupinya.
“Kecintaan kita kepada Tuhan akan terasa seimbang, jika kita juga mencintai makhluk-Nya, terutama orang-orang terdekat kita, lebih-lebih keluarga. Seperti kau kini merawat anak-anakmu dan mencintai istrimu, demikian juga aku. Salam keluargaku untuk istri dan ketiga anakmu...”
Kemudian, kubaca surat istriku yang dikirimkannya dari Bajarmasin. Tak kuperhatikan lagi apa yang ditulisnya. Sebuah perasaan yang ganjil, yang terasa menyesaki segenap jiwa dan ragaku, tiba-tiba menghimpitku: Aku ingin selalu berada di sisinya, berada di tengah anak-anak dan rumah tanggaku!
“Kenapa cepat sekali, Pak?” tanya Azh istriku ketika aku pulang tiga hari kemudian. Belum lagi hilang rasa herannya, aku lantas menubruknya, memeluknya, mendekapnya, menindihnya, melumatnya, dengan beribu rasa haru. Aku ingin mengatakan bahwa aku sangat merindukannya, aku mencintainya! Azh meronta-ronta ketika dahi, kening, pipi, hidung, dagu, leher, dan kedua bilah bibir mungilnya kuhujani dengan ciuman.
Yah... Dunia ini alangkah teramat komplit. Amat banyak yang kita tidak mengerti. Bila kita telah diperbudak oleh harapan, maka pada saat itu kita telah berada di bibir kekecewaan. Adalah amat berbahagia orang yang sederhana dan wajar, dalam arti: proporsional terhadap keterbatasan.
Dalam sebait puisi aku menulis:
pada gugus musim kucoba ‘tuk berkaca
membayangkan sejalur waktu entah di mana batasnya
telah kumengerti sebentuk harapan adalah sebuah tanda tanya
yang selalu menyerimpung kita
di gugus musim di situlah perjalanan kehidupan ditata
dan berakhir menjadi sebuah risalah banyu mata
(ini hanya sebuah cerita, tapi…)
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/risalah-banyu-mata/183293757751
0 komentar: