Cerpen Aliman Syahrani: Imai
BERSAMA dua puluh tiga orang wanita lainnya dari beberapa mucikari, Imai terkena razia rutin yang kami laksanakan. Imai dan kawan-kawannya kami tempatkan di sebuah gedung Sekolah Dasar yang tidak terpakai karena sedang direnovasi.Hanya semalam para pelacur remaja itu diinapkan di gedung SD tersebut. Selama dua jam sesudah shalat Isya kami panggilkan seorang ustad untuk memberikan pengarahan agama bagi mereka. Ustad itu masih muda, termasuk yang paling populer di lingkungan kami. Namanya Mahmud Jauhari Ali. Kami suka memanggilnya dengan Ustad Mahmud.
“Tuhan tetap membukakan pintu taubat bagi kalian. Kapan saja, di mana saja…”
Belum selesai Ustad Mahmud meneruskan ceramahnya, Bayah, begitulah konon namanya, nyeletuk, “…minum Coca Cola. Hihihi…”
“Hihihi…,” kawan-kawannya yang lain ikut tertawa terpingkal-pingkal hingga wajah Ustadz Mahmud merah padam. Untung ustad muda ia cukup sabar. Padahal, dari belakang aku sempat mendengar si Itai berbisik kepada Imai, “Ustadnya ganteng. Muda lagi. Aku mau berhenti jadi pelacur kalau ia bersedia mengambilku sebagai istri simpanannya.”
Bayah menimpali, “Aku juga mau. Pokoknya kalau dia jadi suamiku, akan kuberikan servis memuaskan. Mau minta model coca cola, atau cup pa cup, beres. Asal jangan yang three in one saja. Hihihi…”
Imai cuma melirik. Tidak ada ekspresi di wajahnya selain kepolosan tanpa berpikir apa-apa. Mungkin ia menganggap, berpikir pun bukan lagi hak seorang wanita macam dia.
Dalam perjalanan pulang Ustad Mahmud naik satu becak denganku. Karena memang mencari ustad adalah merupakan tugasku sebagai pejabat Seksi Bimbingan Rohani di kelurahan.
“Saya kira sudah sulit menginsafkan mereka, Aliman. Dosa dan neraka tidak lagi bisa menggetarkan hati mereka,” keluh Ustad Mahmud.
Aku mengangguk. Baru kemudian menyanggah, “Apakah belum waktunya para pemuka agama seperti ustad, kiai, tuan guru dan penceramah memikirkan cara berdakwah yang lebih akrab?”
“Maksudmu?”
“Misalnya mendatangi para pelacur itu di tempat prakteknya? Mungkin secara manusiawi dan pribadi akan lebih berhasil, Ustad,” sahutku tanpa berusaha mengingat-ingat masa laluku.
Ustad Mahmud menoleh ke arahku. Aku yakin dia baru bisa melihat jelas wajahku jika kebetulan sebuah mobil dari arah yang berlawanan menyorotkan lampu ke becak yang kami naiki. Karena bulan malam itu masih ditelah awan.
“Wah, berat, Aliman. Terhadap perzinahan, yang dilarang Tuhan juga adalah mendekatinya, bukan saja melakukannya,” jawab Ustad Mahmud seperti menepis seekor ular yang kulemparkan kepadanya.
“Tapi saya pernah mendengar penjelasan dari Kiai Ersis Warmansyah Abbas, bahwa larangan mendekati perzinahan itu bukan berarti mendekat saja sudah berdosa, Ustad. Itu hanya untuk menggambarkan alangkah besarnya dosa berzina,” kataku sedikit meninggi.
“Bisa juga,” jawab Ustad Mahmud membenarkan. “Tapi, ah, lebik baik para ustad tidak usah berpikir ke sana.”
Aku tidak terlalu memperhatikan mimiknya, namun aku merasa, Ustad Mahmud seakan memandang jauh sekali ke suatu tempat yang sulit terjangkau. Aku tidak tahu peperangan apa yang tengah berkecamuk dalam dadanya.
“Berarti para ustad masih cetek imannya. Masih lemah.”
Ustad Mahmud tersemplak. Atau mungkin juga tersinggung. “Kok begitu?”
“Tentu saja. Karena para ustad itu hanya terbang di awan-awan. Tidak di bumi, dengan segala kebaikan dan keburukannya. Mereka layaknya seperti orang-orang yang hidup dalam biara, berkhalwat di tempat-tempat sepi atau i’tikaf sepanjang waktu di masjid. Mereka menutup pintu dari kemungkinan godaan iman. Itu namanya iman dalam ruang steril. Iman yang demikian adalah iman lip-stik, iman plastik, iman palsu. Kami orang-orang awan bisa menuduh bahwa barangkali, jika para ustad itu berdekat-dekat dengan pelacur pun, pasti tak akan kuat untuk tidak bersebadan dengan mereka.”
“Astaghfirullah,” geretap Ustad Mahmud memuntahkan kemarahannya. Sejak saat itu kami tidak bisa lagi memperdekat jarak agar suasana di dalam becak kembali akrab seperti sebelumnya.
Aku meyesal. Namun aku lebih menyesali ceramah para pemuka agama di mimbar-mimbar, di majlis taklim, di langgar dan masjid, dengan jumlah pengunjung yang membludak, tanpa sempat memperhatikan bahwa ketika mereka berceramah menggebu-gebu tentang dosa dan maksiat, ketika para jamaah lebur dalam zikir dalam rangka merebut kapling di surga, ketika mereka hanyut dalam ritual formal individual bahkan seremonial, tanpa sepengetahuan mereka, disadari atau tidak, ketika mereka asik tenggelam dalam wirid dan doa untuk melebur dosa dan maksiat; sejumlah anak muda berkopiah dan berkerudung bermesraan di pojok-pojok majlis taklim, di bawah pohon-pohon pisang dalam kegelapan malam yang kian larut. Tahukah mereka? Tidak. Yang tahu adalah kami, para petugas kelurahan, terutama para hansip. Merekakah yang menggerebek pasangan kumpul kebo di sebelah langgar? Bukan. Kami. Mereka pulakah yang memaksa pasangan tanpa nikah itu dihadapkan ke muka penghulu untuk dikawinkan secara sah? Tidak. Kami yang melakukannya. Itulah yang selalu terjadi. Dan itu pula kenyataannya. Jadi, yang sebenarnya mencegah kemungkaran dan kemaksiatan itu, apakah para pemuka agama yang selalu berkhutbah berbusa-busa tentang dosa dan neraka, dengan sejumlah bayaran itu, ataukah kami para petugas kelurahan?
Aku juga menyesali, sudah sekian lama umat didoktrin untuk sepenuhnya menyerah kepada kehendak Tuhan. Dan “penyerahan kepada kehendak Tuhan” yang dimaksudkan adalah semata-mata “hanya” berkomat-kamit mengiyakan gagasan berserah diri kepada Tuhan: khusuk dalam ritualitas yang keliru dan berlebihan sehingga dapat menjadi zindiq dan melupakan apa-apa selain perasaan dekat kepadaNya dan menjadi kekasih; tenggelam dalam kontemplasi yang berorientasi pada “kesalehan” dalam sudut pandang pribadi semata; terlena dalam mihrab-mihrab demi “memuji” Sang Kekasih Agung. Yang mereka lihat selama ini boleh jadi hanya merupakan format kesalehan bukan hakikat kesalehan. Mereka hanya membacakan amalan bukan mengamalkkan bacaan!
Sementara di sisi lain, mereka lari dari concern sosial. Lari dari tanggung jawab sebagai khalifatullah, sebagai wakil Tuhan, yang ditugasi untuk membereskan persoalan bumi; menegakkan kedaulatan umat, keadilan umat, demokrasi umat, dan tata tertib umat. Mereka mati-rasa terhadap membengkaknya kerakusan, kekerasan dan keserakahan yang melindas umat. Akibatnya, umat hanya sempat menapaki laku Islam dalam seremoni religi belaka, dalam kaitannya dengan upacara-upacara untuk Tuhan dalam rangka merebut kapling di surga. Sedang dalam kaitannya dengan masyarakat dunia, mereka menapaki laku sebaliknya. Mereka menjadi seorang hipokrit dengan kepribadian pecah. Mereka memproklamirkan diri sebagai pemeluk Islam namun tak mampu mengejawantahkan konsep Islam itu sendiri yang menjadi landasan hidupnya. Mereka terperangkap di tengah kesenjangan antara nilai-nilai religi yang berkembang bagai siput dengan nilai-nilai profan yang bergerak cepat bagai kilat.
Sejak malam itu Ustad Mahmud tidak pernah kutemui lagi sampai kasus penggerebekan warung-warung mesum di pinggir jalan itu telah berlalu sebulan lamanya. Imai tetap Imai. Bayah masih tetap Bayah. Itai masih tetap Itai. Dan para mucikarinya masih tetap dengan mata rakus berbinar-binar menghitung uang sewa kamar yang jauh lebih besar daripada penghasilan gadis-gadis pajangannya.
Tambah lama Imai tambah kuyu, meski kecantikannya tidak berubah. Tetapi sinar hidupnya mulai meredup. Ia tidak putus asa. Ia tidak menyerah dalam kemaksiatannya.
Sudah empat kali mereka kami garuk setelah razia malam itu. Dan sudah empat kali pula mereka membuka praktek kembali. Sampai akhirnya datang perintah dari kelurahan untuk melancarkan operasi pembersihan pelacuran dalam pertengahan bulan Nopember tiga hari yang lalu.
Di warung Acil Masnah kami dapati delapan pelacur. Tiga di antaranya tertangkap basah dengan pasangan masing-masing saat melalukan adegan layak sensor. Mataku nanar mencari-cari, namun Imai tak kutemukan. Dengan agak marah aku menyalak, “Mana Imai? Jangan disembunyikan!”
Acil Masnah ketakutan setengah hidup. Sebab kali ini gertakanku dibeking dari belakang oleh Sersan Isur Loeweng.
“Tidak ada, Pak,” cicit Acil Masnah mengkerut.
“Jangan bohong!” cucurku tambah bringas.
Aku harus menemukan Imai lantaran seorang pensiunan kepala dinas yang istrinya meninggal dunia tiga tahun lalu bersedia mengambil Imai sebagai penggantinya. Akulah yang meyakinkan pensiunan kepala dinas itu tentang latar belakang keluarga Imai yang sebenarnya baik dan saleh. Dari razia berkali-kali yang kami lakukan, Imai sempat menceritakan kepadaku tentang latar belakang keluarganya dan sebab musabab kenapa ia sampai terdampar di tempat lokalisasi tidak resmi itu. Ia ditipu oleh seorang laki-laki yang datang ke kampungnya dan mengaku sebagai penyalur resmi TKW ke Arab Saudi. Pensiunan kepala dinas itu rupanya trenyuh mengetahui latar belakang kehidupan Imai yang kuceritakan kepadanya, di samping barangkali ingin menebus dosa-dosanya semasa ia suka main perempuan pada waktu ia masih menjabat kedudukannya. Dan kabarnya itulah yang menyebabkan istrinya mengidap penyakit jantung sampai mengakibatkan kematiannya.
“Benar, Pak. Imai tidak di sini lagi,” cicit Acil Masnah lagi kian gemetar. Di matanya memang kelihatan rasa ngerinya. Mungkin lantaran Sersan Isur di belakangku menyandang sepucuk pistol di pinggangnya.
“Aku tidak percaya,” lolongku lagi. Sebab sudah pernah kepergok dalam operasi bulan lalu, Imai sengaja disembunyikan. Aku bisa memaklumi, untuk dua deretan warung di jalan itu, Imailah primadonanya. Sopir-sopir sampai antri untuk mendapatkan giliran dengannya. Tidak usah lebih jauh. Asal bisa ngobrol pun jadi.
Acil Imah tiba-tiba lari setengah melompat ke dalam kamar. Aku dan Sersan Isur ikut melompat di belakangnya. Imai jelas disembunyikan dalam kamar itu. Karenanya aku berdiri tegak di sebelah kanan untuk mengawasi jendela, sementara Sersan Isur merangsek masuk ke dalam kamar.
Entah apa yang terjadi di dalam kamar. Aku mengharapkan bentakan Sersan Isur kepada Acil Masnah yang bakal mengawali jeritan Imai dan ratapan Acil Masnah. Ternyata tidak ada suara apa-apa.
Aku jadi curiga. Apakah Sersan Isur justru tergoda oleh kebahenolan Imai yang mungkin sedang terlentang di tempat tidur dalam keadaan… lalu Sersan Isur melepas… kemudian suara derit ranjang bergoyang… lenguh napas terengah… dan… dan… akayaaah…
Hampir sepuluh menit telah berlalu. Dari curiga aku berubah jadi gelisah. Sebelum kecurigaanku mengembara lebih jauh menggerumiti pikiranku, Sersan Isur keluar dibuntuti Acil Masnah. Meski Sesan Isur keluar masih dengan berpakaian lengkap, namun aku dapat menangkap pias wajahnya yang cerah dan bersemu. Ada apa gerangan? Apakah kecurigaanku benar-benar terbukti? Apakah…? Aku tak berani mengatakan pikiranku.
Badan Imai sekarang memang agak melar. Dadanya tidak terlalu kencang seperti ketika awal kedatangannya ke lokalisasi ini. Mukanya sedikit kuyu, matanya juga kurang bercahaya. Bibirnya tidak lagi mengatup rapat, tetapi sudah merenggang dan agak menggantung. Bahkan pantatnya pun tampak semakin tunggit, merupakan tanda-tanda bahwa ia sering “dipakai”.
Tapi Imai tetaplah Imai. Menurut pengakuan para lelaki yang pernah menidurinya, dalam hal bermesraan Imai demikian menggebu dan panas sampai mereka merasa kewalahan. Biasanya, masih menurut para lelaki itu, diawali dari ke sepuluh jari Imai yang beraksi, menjelajah dan menggerayang ke mana-mana. Para lelaki itu akan merintih lalu menyerahkan diri bulat-bulat kepadanya. Itulah kenikmatan yang tak terpermanai bagi mereka, yaitu ketika melalui mata dan bibir yang setengah terbuka Imai mendesah-desah, memohon-mohon untuk kelanjutan yang lebih buas. Para lelaki itu pun membuktikan kejantanannya untuk menaklukkan Imai dan wanita-wanita pelacur itu dan memberi mereka keindahan yang berkenangan panjang.
“Alangkah dahsyatnya godaan zina,” gumamku pelan sekali supaya hatiku tidak mendengar. Lantaran kata zina tidak hanya sering kudengar, melainkan juga pernah kulakukan. Dan aku amat menyesal. Serta takut.
Aku pernah menguji kelelakianku dengan lahung sebelum berani menikahi anak Pambakal Marhat. Sebab aku mempunyai waswas ketika itu mengenai kemampuan seksualku. Dapatkah aku menjadi suami yang baik dan memuaskan? Bagi seorang gadis yang amat kucintai dan rela mempertaruhkan nama bapaknya selaku pambakal? Sebab aku cuma berasal dari keluarga miskin dan tidak terpandang. Berbeda dengan Rukayah, istriku, yang dulu bekas kawan sekolah di SMA Negeri 1 Kandangan. Aku berhutang budi kepada Ijum, lahung di pal sebelas itu, ia memberi kepercayaan kepadaku bahwa aku memang lelaki.
“Luar biasa, Mas Aliman. Saya hampir tak percaya!”
Kata-kata Sersan Isur membuyarkan pikiranku. Sersan Isur menatapku dengan sorot mata penuh tanda tanya dan tidak percaya. Senyum puas mengambang di bibirnya. Oh, Imai rupanya berhasil menaklukkan Sersan Isur dalam hitungan menit!
Mata Sersan Isur berkedip-kedip ketika menyodorkan sesuatu kepadaku. Dan aku, begitu menerima sesuatu yang ternyata kartu undangan itu, tidak cuma berkedip-kedip, malah membelalakan mata seraya memekik, “Masya Allah!”
Sesudah kuulang membacanya tiga kali, aku pun mengucap, “Alhamdulillah.”
“Wah, mulia betul saudara kita itu ya,” gumam Sersan Isur.
Aku mengangguk walaupun aku bingung. Mengapa dia tidak mengirimkan kartu undangan kepadaku? Apakah masih marah? Lupa? Atau malu? Ataukah barangkali belum sampai?
“Tanggal berapa nikahnya, Mas Aliman?” tanya Sersan Isur.
Aku memperlihatkan kembali undangan itu. “Saya bacakan ya, Pak.” Tanpa menunggu Sersan Isur mengangguk aku membacanya keras-keras:
“Telah menikah di Pambatuan, Mahmud Jauhari Ali, S.Ag. dengan Maimunah alias Imai binti Gupran pada hari Jumat tanggal 26 Dzulqadah 1430 H.”
Kandangan, 19 Nopember 2009
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/imai/176785152751
0 komentar: