Cerpen Aliman Syahrani: Miyabi
GARA-GARA gagal datang ke Indonesia, gagal pulalah kesempatanku untuk bertemu kembali dengan Miyabi. Kukatakan bertemu kembali, karena sejak tiga tahun yang lalu kami sudah saling mengenal. Aku mengenal Miyabi di Kyoto, sebuah kota kecil tapi modern dan indah. Kyoto, sebagaimana kota-kota di Jepang pada umumnya, menurut simposium Lembaga Kriminologi Australia di Camberra, adalah salah satu kota paling aman di dunia. Aman juga hati penduduknya. Meskipun terkadang ada juga keributan yang terjadi antara pemuda-pemuda di kota itu, tetapi selalu bisa diseselasikan dengan cepat dan baik. Sehingga di Kyoto, setiap orang termasuk para wanita, bisa berjalan sendirian di malam hari tanpa rasa takut. Aku sendiri dapat merasakan semua itu saat mengikuti Pogram Pertukaran Pemuda Indonesia-Jepang selama enam bulan ke Tokyo, Osaka, Kyoto dan Yokohama, Jepang.“Aliman,” kata Miyabi pada suatu sore ketika aku diundang minum teh di apartemennya. Mukanya berkabut, padahal di Kyoto belum turun salju. “Apakah kau percaya dengan ramalan?”
Tidak seperti biasanya, sore itu Miyabi kelihatan murung. Wajahnya yang oriental, muram saja sejak pertama aku datang. Agaknya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Kutatap ia lekat-lekat, tidak mengerti. “Please, kita bicara tentang kotamu yang kecil tapi modern, indah dah aman,” kataku.
Ia menunduk. “Rasanya aku belum bercerita kepadamu tentang ramalan seorang ronin yang kita jumpai di pedesaan Kyoto beberapa waktu lalu, bukan? Ia mampu membaca jauh ke depan, dan...”
“Sejak kapan kau menyerahkan masa depanmu dalam genggaman ramalan seorang ronin?” potongku sambil kembali mereguk teh di gelas. “Kalau saja ibumu tahu, aku yakin kau akan dicarikan jodoh dengan pemuda di zaman Tokugawa,” kataku lagi bergurau. “Tapi baiklah, coba ceritakan apa yang diramalkan ronin di pedesaan Kyoto itu?”
Miyabi menarik napas, panjang dan dalam. “Ia mengatakan begini, siapa saja yang telah meminum air dari sumber pegunungan Fuji, maka dia pasti akan kembali lagi ke sini. Atau...”
“Atau apa, Miy?” tiba-tiba saja rasa ingin tahuku memuncak. Sementara di kejauhan, dari balik jendela yang terbuka, aku melihat puncak pegunungan Fuji diselimuti salju abadi.
Kembali matanya menyambarku sebelum melanjutkan dengan suara perlahan, “Atau dia akan kehilangan seseorang dan membiarkannya menunggu di bumi di mana dia telah meminum air itu.”
“Ah, itu hanya ramalan, bukan?” jawabku memintas sambil kuseka-seka tangannya.
Mata Miyabi kembali menyambarku. “Tidak. Aku merasa bahwa itu firasat buruk.”
Percakapan itu masih kuingat-ingat sampai sekarang. Dan ternyata benar yang ditakutkan Miyabi. Tadinya aku menganggap firasatnya itu sekadar tahayul, apalagi hal-hal irasional semacam firasat sudah tak lagi punya pengaruh di kalangan orang-orang di negeri para samurai itu.
Setelah Amerika Serikat membom Nagasaki dan Hirosima pada Agustus 1945, Jepang yang pada saat itu berada di bawah kekaisaran Showa I (1926 – 1945) luluh-lantak dan kalah dalam PD II. Selanjutnya kaisar Showa II naik tahta. Kaisar Showa II inilah yang kemudian memadukan sistem feodal dan sistem ekonomi Tokugawa di zaman peralihan (1603 – 1857) dengan sistem industrialisasi dan ideologi Restorasi Meiji (1867-1912). Perpaduan sistem dan ideologi inilah di kemudian hari memainkan peran sangat penting atas perubahan luar biasa yang terjadi pada Jepang. Pada masa-masa inilah dilakukan reformasi bersejarah pada sistem pemerintahan, strategi pembangunan dan manajemen ekonomi Jepang. Perubahan besar pun terjadi, pemerintahan menjadi stabil, ekonomi tumbuh pesat, sains dan teknologi berkembang sangat cepat, Jepang pun tampil sebagai negara maju, modern dan mandiri di dunia, tetapi nilai-nilai budaya dan kultur setempat tetap terjaga. Mengingat semua itu, aku merasa ganjil juga mengikuti pemikiran Miyabi. Kenapa ia masih mempercayai firasat di tengah kemajuan dan sekularisasi negaranya saat ini.
Namun, pasca kegagalan Miyabi datang ke Indonesia, setelah di berbagai kawasan negeri ini berlangsung aksi penolakan begitu spektakuler oleh sejumlah aktivis dan kalangan, bahkan ada yang sampai melancarkan ancaman yang bisa membahayakan keselamatan Miyabi, aku jadi bergidik juga memikirkan keadaan Miyabi. Aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik menimpa gadis itu. Apalagi beberapa waktu sebelumnya, sambil menunggu kepastian waktu kedatangannya ke Indonsia, ia berkirim email dan mengabarkan bahwa dirinya dalam keadaan tergoncang.
Segera aku terbang ke Tokyo, sekalian meminta fasilitas dari Kedutaan Indonesia di sana untuk mendapatkan izin khusus mengkover berita-berita on the spot tentang kemajuan teknologi dan keragaman budaya di negeri para shogun itu. Keberangkatanku berbetulan dengan tugasku sebagai seorang wartawan sebuah harian ibu kota.
Turun dari DC-11 BOAC di bandara Tokyo, aku langsung menelpon ke perusahaan angkutan transportasi di Kyoto. Kusewa sebuah flat sport untuk seminggu. Dari airport aku langsung dijemput dan dibawa menuju Kyoto.
Kota kecil itu sedang dicumbu musim semi, meski hujan salju terkadang turun secara tiba-tiba. Kyoto terletak di kepulauan Honshu bersama kota-kota penting lainnya di Jepang, Tokyo, Osaka, Yokohama dan Nagoya. Di sebelah paling utara terdapat pulau Hokkaido. Pulau ini selalu ditutupi salju tebal pada setiap musim dingin. Sedang di ujung paling selatan terdapat pulau Kyushu. Iklim di pulau ini sebagiannya adalah subtropik, sehingga beberapa tumbuhan seperti palma jenis tertentu bisa tumbuh subur di sana. Ketika memasuki wilayah perbatasan Kyoto, aku membaui semerbak bunga sakura yang bermekaran menguarkan aroma khas.
Penjagaan di perbatasan Kyoto berlangsung sangat ketat tapi efesien. Para polisi maupun petugas transmigrasi sangat hati-hati untuk mengizinkan orang asing memasuki kota itu.
“Your indentity, please,” kata seorang petugas perbatasan dengan sopan. Setelah kutulurkan paspor dan surat-surat kelengkapan lainnya, petugas itu berkata, “Indonesia Moslem?”
Aku mengangguk, lalu kujelaskan maksud kedatanganku. Bahwa di samping tugas-tugas kewartawanan, aku juga ingin menemui sahabatku, Maria Ozawa.
“Who? Maria Ozawa you said? She is a brave young women, a real princes in the cinema,” jawab petugas itu lagi bangga. Malahan ia menyuruh seorang anak buahnya untuk mengantarkanku ke tempat kenalanku tersebut.
Tempat tinggal Miyabi adalah sebuah apartemen megah di kawasan Kyoto Park. Ternyata jarak antara apartemennya dengan flat yang telah kupesan dari bandara Tokyo beberapa jam lalu tidak terlalu berjauhan. Hanya berjarak beberapa blok saja. Aku tinggal di flat Kosode Avenue, sedangkan apartemen Miyabi berada di Okichi Avenue.
Setelah menyelesaikan kelengkapan administrasi dan keperluan lainnya di falt yang akan kutempati, menjelang sore aku segera berangkat menemui Miyabi di apartemennya.
Gadis itu terlonjak kaget melihat kedatanganku. “Aliman,” teriaknya seraya bangkit. Ia kelihatan makin cantik dalam warna muka bersemu lantaran terkejut.
Segera dijabatnya tanganku dengan mata berbinar indah. Miyabi meremas jemariku sepenuh sayang dan kerinduan seorang sahabat. Ia hampir menangis sambil tetap menggenggam tanganku. Dengan gemetar kucium punggung tanggannya yang putih. Untuk beberapa jenak kami tak sanggup berkata-kata karena yang kami rasakan tak akan sanggup terucapkan. Seolah-olah kami hanya berbicara dalam bahasa yang paling rahasia.
Akhirnya kuangkat dagunya, “How do you do, honey,” kataku menggoda, memecah sepi. Waktu seperti berhenti pada diri Miyabi. Padahal angka-angka penanggalan telah lima tahun berganti. Gadis cantik itu makin rekah dan mekar dalam usianya yang ranum. Gadis muda itu makin menguarkan kecantikan nyaris sempurna, perpaduan keindahan ragawi dari berbagai negara yang dimilikinya.
Agaknya Miyabi menyadari apa yang sedang bermain dalam pikiranku. Setelah mempersilakan duduk, ia berkata, “I’am longing to you, darling!”
Selama kurang lebih dua jam aku berada di apartemen Miyabi. Kami berbicara tentang berbagai hal. Aku lebih banyak menanyakan keadaannya. Dan tentu saja, meluahkan kerinduanku!
Miyabi lebih banyak bungkam ketika kutanya perihal keadaannya. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Menjelang isya, aku mengajak Miyabi ke luar.
Dengan berdiam diri kami menyusuri Kyoto Park, berjalan kaki. Kami memilih jalan yang agak sepi. Angin malam yang mengirim embun salju memapas deras. Kutarik rapat leher mantelku. Ketika lantaran angin aku terbatuk, Muyabi menoleh memandangku.
“Miyabi, kita cari bir ke Smoky Dark?” ajakku setelah beberapa lama kami membisu.
Setelah itu kami pun terdiam kembali. Seolah-olah ada suasana berat yang mencekik. Namun, kami tetap berjalan terus. Pada sebuah persimpangan jalan kami berbelok. Jalan itu agak sempit dan gelap. Miyabi agak khawatir rupanya, dicekaunya lenganku dan dipeluknya punggungku erat-erat. Tanpa sadar darah tropisku menggelegak. Sebab sejak perkenalan kami tiga tahun lalu, baru kali ini aku bersinggungan kulit dengan Miyabi. Apalagi keadaan agak gelap, hawa pun dingin membacok tulang. Sedangkan Miyabi, dengan profesinya sebagai aktris film dewasa saat ini, lebih dari itu ia adalah wanita teramat cantik bahkan paling cantik yang pernah berdekatan denganku. Matanya tidak sipit sebagaimana wanita-wanita Jepang pada umumnya, bahkan lebih lebar dari mataku sendiri. Kulitnya juga tidak putih pucat seperti gadis-gadis Asia kebanyakan. Hidungnya mancung dan proporsional. Gigi-giginya halus dan rapi seperti barisan biji-biji ketimun. Dan bibirnya, oh, justru di situlah letak daya tariknya yang terutama, apalagi kalau sedang tersenyum, bak sekampil gula dalam segelas air!
Kurengkuh Miyabi merapat ke tubuhku, kupeluk dan kuangkat mukanya. Saat hendak kucium, ia mendorongku dengan halus sambil berkata, “Jangan. Aren’t you moslem?”.
Merah mukaku seketika. Aku merasa terpukul. Barangkali ia baru mengenal agamaku sebatas namanya saja, tetapi ternyata ketaatanku jauh tertinggal. Padahal aku lahir dan dibesarkan dalam agama tersebut.
Satu minggu menjelang kedatangannya ke Indonesia yang gagal itu, Miyabi memang ada mengajakku berdiskusi lewat email tentang psikologi agama-agama di dunia, khususnya perkembangan psikologi menurut agama yang kuanut. Saat itu Miyabi sempat bertanya tentang keakuan dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat ditinjau dari jiwa ajaran Islam. “Di manakah tempat ‘aku’ dalam tuntutan kewajiban syari’at dan nilai-nilai sosial Islam, sepanjang Islam menekankan pentingnya hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan alam? Di mana pula tempat ‘aku’ yang seolah terhimpit antara hak dan berikhtiar yang merdeka dengan kungkungan takdir yang mengikat nasib manusia?” Demikian pertanyaannya.
Semula aku mengira Miyabi hanya mau mengujiku atau sekadar berbasa-basi mengingat identitasku yang memang seorang muslim dan dari negeri dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim pula. Hal itu pulalah yang menjadi pertimbanganku ketika memberikan jawaban sambil lalu atas pertanyaan Miyabi tersebut, bukan didasari argumen ilmiah apalagi rasa tanggung jawab untuk mendakwahkan tuntunan Islam itu sendiri. Selanjutnya, aku hanya mengungkapkan bahwa aku seorang muslim, meski aku sendiri tidak pernah sepenuhnya menunjukkan diri dan sikap sebagai seorang muslim yang taat. Selebihnya, aku justru lebih mengutarakan kerinduanku karena sebentar lagi kami akan bertemu. Sebab selama ini, hanya dengan menikmati koleksi film-film dan photo-photo Miyabi, itulah caraku untuk menuntaskan hasrat kerinduan yang memuncak. Dan di dalam hati, jujur saja, aku begitu mengangankan agar suatu saat dapat melakukan satu atau beberapa adegan dari sekian peran yang ditunjukkan Miyabi dalam film-film dewasanya itu. Paling jauh, aku akan mengadakan wawancara eksklusif untuk media tempatku bekerja.
Agak aneh juga Miyabi mau berbicara soal nilai-nilai agama, apalagi dengan profesinya selama ini. Setahuku pula, di negaranya agama diartikan tidak sebagaimana kita memaknainya. Mereka mengakui bahwa Shinto adalah sebuah agama, tetapi orientasinya bukan pada arti tuntunan hidup sebagaimana yang diajarkan oleh agama-agama samawi. Shinto mereka akui sebagai pemujaan kepada nenek moyang, tidak mempunyai nabi, tak punya kitab suci dan tak memiliki syari’at.
Pada tahun 1963 pernah diadakan survey mengenai minat orang Jepang terhadap agama. Hasilnya, sebanyak 69% mengaku tidak menyukai agama. Jika survey itu dilakukan sekarang, berarti sebanyak 90% lebih angkatan muda Jepang yang akan menyatakan demikian. Tahun 1972, sebanyak 83.074.686 orang Jepang mengaku memeluk agama Shinto. Pada tahun yang sama, sebanyak 81.762.636 orang Jepang mengaku beragama Budha. Padahal, waktu itu jumlah seluruh penduduk Jepang baru sekitar 103 juta orang. Artinya, mereka sebenarnya tidak beragama. Sebab, kalau seseorang mengaku memeluk agama lebih dari satu, sama halnya ia tidak memeluk agama apa pun.
Setelah melalui upaya yang cukup berbelit, malam itu aku berhasil merayunya untuk kencan minum-minum di Smoky Dark. Aku menghabiskan hampir dua gelas bir hitam, tetapi Miyabi setetes pun tidak mau menyesapnya.
“Kamu tidak minum, Miy?” aku bertanya pelan. Kelihatannya ia begitu pucat dan murung. Gadis itu agaknya memang tengah dirundung masalah. Aku takut melukai perasannya jika terlalu ingin mengetahui kenapa ia tidak mau minum.
Miyabi pun cuma menggeleng.
Aku penasaran. Dengan suara lebih lembut aku kembali bertanya, “Mau pesan minuman lain?”
Miyabi juga menggeleng. Ketika aku pura-pura agak tersinggung, baru ia menjelaskan sambil memintan maaf, “Bukankah agamamu mengharamkan minuman beralkohol?”
Aku tersemplak. Dan mataku pun menjeling terbelalak. “Kamu bicara soal keharaman miniman beralkohol dari sudut pandang agamaku?” seruku kaget. Selama ini aku memang sangat menggemari minuman beralkohol, khususnya bir. Apalagi ketika berada di luar negeri, khususnya lagi di negara-negara Erofa dengan kondisi iklim yang lebih dingin. Di samping itu, di negara-negara Erofa minuman beralkohol dijual bebas di bar-bar dan kedai-kedai pinggir jalan.
Itulah alasanku kenapa aku sering menikmati minuman beralkohol. Tapi sebenarnya di Indonesia, di kotaku pun, aku tetap meminumnya bahkan dengan jenis yang lebih berpariasi, Smirnoff, Passpaort, Jenniver, Vodka, Johny Walker dan Malaga. Meski ada pengawasan cukup ketat dari aparat, tapi tetap saja aku dengan mudah mendapatkannya. Satu-satunya alasan mengapa aku tidak minum secara berlebihan hanya karena ada peraturan perundang-undangan dan sedikit menjaga sopan santun di lingkunganku, bukan didasari atas kesadaran akan keimanan kepada ketentuan syari’at Islam. Kupikir, buat apa sih menghindari minuman beralkohol kalau dengan itu pun aku bisa menjadi orang baik? Ah, benarkah? Aku tersentuh melihat “kesalehan” dan mendengar nasehat Miyabi. Di wajahnya yang selama ini kustempeli penuh lumpur dosa dan kubangan maksiat itu rasanya aku bercermin, siapakah aku ini? Lewat matanya terbayang perbuatanku kemaren malam sebelum keberangkatanku ke Kyoto ketika aku ditelepon Venny untuk bermalam di kostnya. Ia seorang mahasiswi dari Kalimantan. Kami minum-minum dan kencan intim. Semacam inikah yang kukatakan bisa menjadi orang baik? Terus-terang satu-satunya modal untuk dapat memproklamirkan bahwa aku sebagai orang baik hanya satu. Aku tidak pernah melakukan korupsi saja. Tapi siapa tahu bila kelak aku mempunyai kedudukan basah atau berada dalam posisi yang memungkinkan, masihkah aku sanggup mengalahkan desakan korupsi jika berada dalam posisi seperti itu? Selebihnya, terutama dalam masalah perempuan, tidak peduli tua atau muda, gadis atau punya suami bahkan janda, cuma anak kiai saja yang belum pernah kukencani.
Dan kini, hanya untuk sebuah dekapan hangat serta ciuman bibir, Miyabi, seorang gadis Jepang yang berprofesi sebagai artis film dewasa, yang dalam perhitunganku cuma meminta waktu sebentar untuk menelan pil antihamil sebelum acara making love yang dahsyat, menampikku tanpa basa-basi. Tidakkah pantas apabila aku merasa amat terpukul? Malu!
“Maaf, agaknya aku telah salah menganggap sama semua wanita sepertimu,” kataku menahan malu. “Aku keliru menilaimu, Miy.”
“Tidak, untuk ukuran duniaku kamu masih terlalu sopan dan canggung. Hanya saja aku sudah muak dengan kebebasan seperti itu. Aku benci. Aku yakin kamu tak akan pernah mau mengikuti perofesi yang telah kuperankan selama ini, bukan?”
Kulihat mata Miyabi membendung telaga.
“Kenapa, Miy? Apakah perbuatanku tadi sudah sangat menyinggung kehormatanmu? Aku menyesal, Miy.”
Miyabi terdiam sebentar. Mula-mula ia cuma menggeleng-gelengkan kepala. Ragu-ragu tampaknya. Kemudian ia berkata tergagap-gagap, “Aku adalah korban keganasan tata hidup dunia yang tak beradab. Dulu aku punya seorang kekasih. Kagumo Kaizumi namanya. Begitu cinta dan percaya aku kepadanya. Hubungan kami sudah sangat jauh, padahal usiaku baru awal belasan tahun. Ia berjanji akan segera menikahiku. Aku hamil, dan aku tidak menyesal. Aku mendesak agar ia segera membawaku ke kuil; aku berharap anakku lahir dengan seorang ayah yang sah. Tetapi Kaizumi tidak setuju. Ia memaksaku pergi ke dokter untuk menggugurkan kandaunganku. Waktu aku sedang sekarat di kamar operasi, ia hanya meninggalkan cek sebesar 100 yen untuk biaya pengguguran. Ia kabur tak tahu ke mana perginya. Itulah awal segalanya.”
Aku sungguh terharu mendengar cerita Miyabi itu. Kukutuk diriku sendiri. Aku menyesal telah mengandungi niat jahat untuk berbuat sesuatu dengannya. Sekarang keinginan itu berubah menjadi kasihan. Semuda itu Muyabi telah melalui perjalanan hidup yang teramat berat bagi seorang gadis. Ia hanya salah satu korban dari tata hidup modern ini. Yang lain masih lebih banyak lagi, dan lebih parah. Dan aku sendiri hampir saja berbuat biadab terhadap Miyabi.
Menjelang pukul sepuluh kami beranjak meninggalkan Smoky Dark.
“Hingga saat ini aku masih kehilangan kepercayaan diri,” kata Miyabi sambil memperlebar langkah. Sementara malam makin memagut pucuk-pucuk bangunan kota Kyoto.
Aku menunduk di sampingnya. Kupandangi ujung sepatuku yang menapak bergantian di trotoar. Gedung-gedung pencakar langit di kiri kanan bulevar itu seperti menggapai-gapai dari kungkungan malam, dan menanduk langit dengan angkuh. Lampu warna warni yang menyemarakkan sekujur kota Kyoto tak mampu mengusir kelam. Kelengangan seakan-akan menyerbu hingga ke tempat-tempat nightclub yang ingar-bingar. Dan di dalamnya, manusia-manusia yang menamakan dirinya kaum selebriti, selama hari-hari di sepanjang bulan dan tahun, mereka terus terbuai oleh gemerlapnya kehidupan duniawi, senantiasa larut oleh mimpi-mimpi yang menembus tembok-tembok tebal yang mengungkung semua aktivitas di dalam gedung-gedung raksasa di sekitar mereka. Mereka menyelusup memasuki etalase-etalase dan kaca-kaca buram yang diterangi lampu kristal remang-remang. Betapa tertawa manusia-manusia di dalamnya adalah sekadar polesan untuk menipu hakekat kehidupan yang ujungnya cuma kerentaan dan kematian. Manusia selebriti telah berusaha mengeleminasi kefanaan dengan keceriaan abstrak dan semu. Namun mampukah mereka melepaskan diri dari terkaman waktu yang menunggu ketika? Berapa banyak bintang-bintang gemerlapan dan cantik gemulai kini tinggal ampas hampir terbuang? Berapa banyak biduanita tenar dan selebriti ngetop dengan tarif melangit sekarang cuma tinggal rangkaian tulang dibungkus daging berlebihan atau kulit berkeriput? Dan ia sedang berusaha menggapai ke alam nisbi semacam itu dengan meninggalkan kadar dan lingkungan nasibnya?
“I’m very, very sorry, Miyabi,” cicitku lirih sambil menjejeri langkah panjang Miyabi. Aku tak berani mengangkat muka kepadanya. Apalagi! Mengangkat suaru pun aku tak sanggup.
Dan Miyabi agaknya tidak mendengar rintihanku. Atau barangkali tidak peduli terhadap penyesalanku yang ke sekian kali. Ia terus berkata dengan nada kian memelas. “Pikiranku buncah. Kukutuk Tuhan. Mengapa aku dilahirkan dengan jalur nasib seperti ini? Aku dipeluk, diisap, disantap, lalu dibuang. Aku meratap.”
Tidak Miyabi, tidak. Bukan hanya engkau yang meratap. Aku juga meratap bersamamu. Bahkan ratapanku lebih mengoyak-ngoyak jantungku. Karena aku penuh dosa dan belum pernah menyesali dosaku. Demikianlah tangisku tanpa bersuara menyertai isaknya satu-satu.
Miyabi menyusut telaga di matanya yang membingkas. Angin berdesau, merayap di celah-celah asap hitam mengepul dari knalpot mobil yang berseleweran. Miyabi menoleh sejenak ke arahku, lantas berkata lagi. Kini nadanya menanjak bagaikan udara Kyoto yang tiba-tiba berubah segar.
“Akhir-akhir ini aku banyak membaca literatur tentang ajaran-ajaran agama di dunia, khususnya dari ajaran agamamu. Aku sangat tertarik dengan pengakuan agamamu bahwa semua manusia sama harganya di hadapan Tuhan. Aku kagum membaca biografi dan tuntunan moral yang diajarkan oleh the Prophet Muhammad. Aku bahkan sampai menangis ketika membaca kisah tentang seorang wanita penzina yang memberi minum seekor anjing yang kehausan, sehingga dengan kasih Tuhan ia masih berhak menghuni surga. Kesimpulan sementara yang dapat kukatakan, Islam tidak hanya suatu teologi – kepercayaan kepada Tuhan dan ajaran Nabi, tetapi juga sebuah ideologi – keyakinan tentang seluruh jalan hidup, way of life, sebagai role of the game, sebagai God’s guidance system.”
Wajah cantik Miyabi tampak berbinar-binar selama mengungkapkan nilai-nilai ajaran Islam yang telah didapatnya. Aku malah baru mendengar keterangan seperti itu. Sepanjang menjadi muslim selama ini, aku hanya mengetahui bahwa Islam adalah ajaran tentang surga dan neraka. Betapa mengerikan Tuhan jika sudah murka. Betapa dahsyatnya ancaman Tuhan bila hambaNya tidak mau berbakti. Karena itulah sejak kecil aku selalu ikut bapakku untuk berpuasa dan bersembahyang tarawih selama bulan Ramadhan, meski lebih sering sembunyi-sembunyi makan mangga curian dan kalau tarawih lebih banyak bercanda dengan kawan sebayaku. Aku takut sekali kepada neraka di samping takut kepada pecut bapakku. Dan itu membuatku mempunyai persepsi berbeda terhadap Islam ketika dewasa. Bagiku Tuhan menurut ajaran Islam adalah Tuhan yang kejam, pendendam, bengis, ambisius dan jauh dari manusia. Ternyata melalui Miyabi kuketahui bahwa Islam pun agama yang akrab dengan kehidupan nyata, dengan tuntutan-tuntutan insaniah yang tak terbebas dari dosa. Aku baru sadar bahwa meskipun Islam datang dari langit, ia membumi lantaran berakar pada kondisi manusia yang serba lemah dan terbatas.
Miyabi mengakhiri bicaranya, untuk selanjutnya diam sama sekali. Kami meneruskan perjalanan tanpa berkata-kata lagi.
Malam hitam sepanjang jalan. Barangkali sebentar lagi juga turun hujan. Ketika akhirnya kami tiba di depan apartemen Miyabi, jam tanganku menunjukkan angka sepuluh lewat. Di pintu depan ia berhenti, berbalik menghadapku. Ia menyodorkan tangannya, kujabat erat-erat.
“Miyabi, aku adalah seorang muslim meskipun tidak saleh. Di negeriku tidak dikenal perbedaan warna kulit, latar belakang keyakinan, dan sangat menghormati toleransi agama. Maukah kamu menetap di sana?”
Gadis itu terperenyak. “Maksudmu?” Ia bertanya terbata.
“Ya, menjadi Mrs. Aliman Syahrani.”
Miyabi kelihatan sangat terkejut. Ia pasti tidak menyangka aku akan mengucapkan pernyataan semacam itu. Ditatapnya aku lama, tersenyum, dan telaga di matanya berlinang-linang kembali. “Kamu kasihan kepadaku, bukan?” rintihnya parau.
Dengan bersungguh-sungguh aku menjawab, “Proses ini memang terlalu cepat buat kita berdua. Mula-mula aku tertarik kepadamu karena desakan-desakan negatif kelaki-lakianku, didukung persepsi burukku atas profesimu selama ini. Sekarang aku kasihan kepadamu. Tetapi, aku yakin, kelak aku pasti mencintaimu.”
“Terimakasih atas keterusteranganmu. Aku percaya kamu jujur kepadaku, bagaimanapun keadaanmu sebelum ini. Namun, sekarang aku tidak bisa berpikir, sebab aku belum lagi masuk secara utuh dalam kehidupanmu. Dan di sini masih banyak soal lain yang menggangguku. Benar-benar satu kenangan yang manis dapat berkenalan denganmu, Mr. Aliman.”
Setelah mengucapkan selamat malam, ia hendak berlalu. Tetapi dengan cepat kucekau tangannya. “Miyabi, kapan kita bertemu lagi?”
Ia memandangku lurus. Mataku mendesak meminta jawaban.
“Kita bertemu di Smoky Dark besok lusa.”
Tangannya makin keras kupegang. Besok malam saja, Miy, kutunggu pukul tujuh di bar Smoky Dark. Aku ingin bicara yang panjang.”
Miyabi menganggukkan kepala.
“Lebih baik kamu cari wanita lain.”
“Miyabi, aku hanya mau berkencan denganmu. Besok malam!”
Ia tetap menggeleng.
“Aku akan menyesal seumur hidup kalau kau tetap menolak,” ratapku.
Ia tetap diam.
“Miyabi.”
Akhirnya ia mengangguk. Kukecup punggung tangannya dengan rakus, sebelum kulepaskan dengan berat. Lalu ia berlari masuk ke dalam apartemen. Isaknya sempat kudengar.
***
Dua jam lebih aku menunggu Muyabi di Smoky Dark, tetapi gadis itu belum juga datang. Beberapa kali pula kucuba menghubungi lewat hanphone dan telepon di apartemennya, tapi tidak tersambung. Aku sangat gelisah. Tidak tahan di dalam aku menunggunya di luar. Saat aku tengah kebingungan dan hampir putus asa, seorang pemuda karyawan bar memanggilku dari samping, “Mr. Aliman? Ada titipan surat dari Mrs. Miyabi.” Pemuda bermata sipit itu menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, pemuda itu segera berlalu.
Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa Miyabi harus berkirim surat kalau memang tidak mau menemuiku? Kalau ia memang tidak bisa datang, mengapa ia tidak meneleponku? Hal apakah yang menghalangi Miyabi?
Cepat-cepat aku mencari tempat di bawah lampu. Kosubek sampul surat itu, lalu dengan tak sabaran kubaca isinya dengan dada berdegup.
“Mr. Aliman yang terhormat. Saya tidak bisa menemui anda malam ini. Tetapi lewat surat ini saya ingin mengatakan, bahwa setelah mempertimbangkan masak-masak, dengan tidak tidur hampir semalam suntuk, dengan hati tulus saya bersedia menerima lamaran anda untuk membina kehidupan rumah tangga.”
Begitu gembiranya hatiku membaca surat dari Miyabi itu sampai di sini. Sudah terbayang masa-masa indah bersama Miyabi di tanah air kelak. Aku akan mewujudkan mimpiku yang sederhana ini bersamanya; tentang sebuah rumah tangga yang damai di sebuah rumah kecil, yang membutuhkan tangan seorang istri dan kehadiran anak-anak. Senyum dan kesetiaan, kejujuran dan cinta menghiasi di dalamnya. Oh, alangkah indahnya. Miyabi akan kuberi nama baru, Maimunah. Seperti nama kekasih pertamaku dulu yang meninggal karena TBC. Kemudian kulanjutkan membaca baris-baris berikutnya.
“Hanya sayang, saya belum bisa memberikan kesediaan itu untuk saat ini. Karena saya belum utuh masuk dalam kehidupan anda dan demikian pula sebaliknya. Selebihnya, ada banyak hal yang mesti kita permasalahkan. Latar belakang dan jalan hidup saya selama ini begitu buruk dalam pandangan tata nilai moral mana pun. Dan yang paling mendasar, bukankah kita berbeda pandangan hidup dalam hal keyakinan dan agama. Saya hidup dan dibentuk dalam nilai-nilai sekuler. Saya bukan penganut Shinto atau Budha atau yang lainnya. Saya tahu anda datang dari negeri yang begitu menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama. Jadi saya yakin anda bisa saya bawa kepada pikiran dan pandangan hidup saya. Saya percaya kepada Thian atau Tuhan. Saya juga yakin akan adanya Giam Lo Ong atau Raja Akhirat. Tapi ukuran saya saat ini berbeda dengan anda dalam memandang Kehidupan Abadi. Dan saya menginginkan nilai-nilai dan pandangan yang kita anut itu tidak berubah dari aslinya. Bahkan kalau bisa supaya lebih baik. Tentu kita tidak punya kuasa untuk mempengaruhi apalagi memaksa satu sama lain bukan?”
Aku terus membaca.
“Selama hampir dua tahun ini saya telah mengakhiri aktivitas saya sebagai aktris film dewasa. Mr. Aliman, perkenalan saya dan anda adalah kenangan indah yang tak akan ada cacatnya. Namun anda tak usah mengubungi atau berusaha mencari saya saat ini. Kembalilah ke negara anda dengan ringan dan damai. Suatu saat kelak saya pasti akan memberi kabar kepada anda tentang lamaran anda, itu janji saya. Sebab, siapa tahu, saat itu saya sudah hidup atau mati dalam agama anda.”
Tambah lama tambah kabur tulisan itu kubaca. Menggigil tubuhku. Bergemeretak gigi-gigiku. Bergemeremang bulu-bulu kudukku. Tanpa kumau aku berlari dan menangis di tempat sepi. Aku laki-laki, tapi aku tak benci tangis dan air mata, apalagi demi orang yang kucintai. Langit yang hitam sejak sore tadi, kini meluruhkan gerimis yang makin lama makin deras menikam. Aku telah kehilangan Miyabi. Atau, aku telah kehilangan seorang gadis yang secara ironis telah menyuruhku untuk berpaling dari jalan brengsek.
Sesudah itu cuaca malam berubah dingin. Bukan oleh angin sepoi yang berkelahi dengan malam dan berembus melewati sela-sela gedung kota Kyoto. Juga bukan dingin karena salju sedang turun di kota itu. Kedinginan itu lebih menggigit dan membacok hingga ke tulang sumsum lantaran bersumber dari dalam hatiku yang seolah sedang diserbu gumpalan-gumpalan salju.
Ketika kuangkat wajah, gerimis sudah menampiasi seluruh penjuru Kyoto. Dan aku tak lagi melihat gedung-gedung tinggi yang menanduk langit dengan angkuh. Yang ada dalam mataku adalak sosok langgarku di kampung. Suara sandal jepit, suara anak-anak mengaji. Bayangan Abah dan Mama dengan wajah yang damai dan saleh. Aku bergegas meninggalkan pelataran bar Smoky Dark dengan tekad tak akan kembali lagi ke tempat-tempat semacam itu. Aku juga tak ingin berkencan secara biadab. Mungkin demi Miyabi. Mungkin juga demi kebaikan diriku sendiri.
Angin terus berdesau memburu malam, hingga pekat pun bingkas membasuh sepi. Tinggallah gedung-gedung kota Kyoto yang menggigil di kabut malam.
Mataku tiba-tiba berlinang. []
Kandangan, 31 Oktober – 6 Nopember 2009
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/miyabi/167073732751
0 komentar: