Cerpen Aliman Syahrani: Mengapa Dipertahankan Kalau Tak Tertahankan

19.11 Zian 0 Comments

(adakah yang lebih menyiksa dari hati diraup cinta?)

KITA mungkin ditakdirkan untuk selalu berubah. Apa yang telah kita alami, selanjutnya akan menjadi kenangan yang terlipat rapi dalam hati kita masing-masing. Dan kenangan, ternyata tidak selamanya indah, tergantung dari kondisi kehidupan kita saat ini. Seringkali kenangan menjadi begitu perih dan menyakitkan, apabila saat ini kita tak lagi berbahagia. Sebaliknya, kenangan akan selalu menjadi sesuatu yang menggetarkan kebahagiaan kita, apabila kita mampu mempertahankan kondisi kehidupan kita sejak awal mula sampai saat ini.

***


Di dalam bola matanya yang memancarkan telaga, aku melihat ada secemil kesedihan meruyak. Keruh, seperti adonan tanah liat yang sering kulihat di tempat pembuatan batu bata di desa Amawang, Kandangan. Aku terperenyak dan ragu, setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu, benarkah bola mata yang gebalau itu memang milik Azh, gadis rebutan asal Asam Cangkok yang dahulu pernah sepenuh-utuh kucintai. Akayaaah....
Tapi waktu memang mempunyai tenaga untuk mengubah dan mengeliminasi segalanya. Dan Azh yang sekarang berada di hadapanku, adalah seorang janda. Tiga bulan lalu suaminya yang seorang pengusaha batu bara di PT Adaro cabang Tanjung meninggal dalam sebuah kecelakaan di proyek yang sedang ia tangani.
“Kebahagiaan itu seperti pasir dalam cangkir bolong. Begitu cepat luruhnya,” kesah Azh, mengulang kembali kata-kata yang dahulu pernah kubisikkan kepadanya, ketika kami berdua memutuskan untuk berpisah, hampir sepuluh tahun lalu.
Yah…, sebuah kebodohan mungkin. Karena sekadar terpuruk pada pertimbangan konyol dan juga kesalahkaprahan semata pada sebentuk nilai yang terlanjur diagungkan manusia lantas demikian mudah percaya dan masing-masing kami menjadikannya sebagai alasan perpisahan untuk kemudian mencampakkan segalanya.
Azh waktu itu tak mampu mengelak untuk menghindar dari jeratan anggapan basi orang-orang bahwa untuk membangun sebuah perkawinan mesti memerlukan modal yang tidak sedikit, bahwa untuk keberlangsungan kehidupan sebuah keluarga tidak cukup hanya dengan cinta. Jerat yang terbuat dari juraian harta itu tidak terlalu kokoh memang. Namun dihadapkan pada materi, tidak semua orang bisa melepaskannya. Dan salah satunya adalah Azh.
Kutatap ia lekat-lekat. Aku mencoba menelusuri pesona yang dahulu membuatku diamuk rindu dan nyaris bunuh diri lantaran cita-cita cinta untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga beralaskan kasih sayang pupus di tengah jalan tereliminasi nasib. Tetapi yang kudapati cuma sebuah palung bola mata yang murung, tanpa telaga biru di dalamnya, dan secemil kekeruhan saja yang kian meruyak. Ketika kami beradu pandang, aku merasa bagaikan sedang menyelam di sebuah telaga yang airnya sudah sekilan lama tidak mengalir. Napasku sesak.
“Kamu sudah punya istri?” Azh bertanya lirih.
Aku mengangguk. “Anakku sudah dua,” cicitku. Ah, sebenarnya aku ingin berdusta. Aku ingin mengatakan bahwa sampai saat ini aku memilih hidup sendiri. Seperti yang dulu pernah kujanjikan kepadanya, bahwa kalau gagal menyunting dirinya, lebih baik membujang seumur hidup. Cinta pertama memang ganjil dan lucu. Kupikir Azh tentu tahu bahwa janji-janji yang dahulu pernah kuikrarkan itu karena didorong perasaan sentimental belaka.
“Satu laki-laki dan satu perempuan?” tebak Azh.
“Laki-laki semua. Dan nakal,” sahutku. Untuk kedua kalinya aku merasa lega karena mampu berkata jujur. Tetapi, memang sejak dulu aku tak pernah mampu untuk berdusta di hadapan wanita yang satu ini.
“Saya belum punya anak. Sepi rasanya di rumah ini,” kata Azh datar.
“Belum?”
Azh mengangguk. Jemarinya yang dahulu sungguh kukagumi bergerak membuka resleting tas tangannya dan mengeluarkan sebungkus rokok kretek berfilter. Duh, begitu banyak yang berubah. Aku berpaling menghindar. Aku tak sanggup melihat kedua bilah bibir mungilnya mengepulkan asap. Tetapi toh asap rokok itu mengambang dan menyelinap ke lubang hidungku. Dan bau wangi mulutnya, yang dahulu menyedapkan cinta pertama, membuatku kembali terperenyak dan merasa gugup.
“Saya sekarang sendirian. Di rumah ini hanya ada Ibu,” kata Azh lagi.
Entah kenapa, aku tak dapat bersikap wajar. Mungkin aku gugup. Mungkin juga karena aku menghadapi wanita, di mana pada dirinya aku mengenal cinta untuk yang pertama kali. Tetapi, barangkali, karena aku lak-laki yang sedang berhadapan dengan seorang janda muda dan cantik.
Sekali lagi Azh menghembuskan asap rokoknya, persis menerpa wajahku. Dan kembali aku menyesap uar wangi mulutnya yang terbawa asap rokok. Gairahku tiba-tiba tergoda.
“Menjadi janda itu tidak enak,” keluhnya pasrah.
Aku malu mempunyai pikiran yang bukan-bukan.
“Kalau ada tamu laki-laki, tetangga pasti berbisik-bisik. Semalam saya bicara sama Kak Ucup. Masih ingat sama Kak Ucup, kan?”
Tentu saja aku ingat. Ucup adalah tetangga sekaligus teman akrab Azh yang juga berasal dari desa Asam Cangkok sewaktu Azh masih bersekolah di sebuah SLTA di Kandangan dahulu, dan lewat Ucup-lah aku pertama kali mengenal Azh.
“Kak Ucup bilang, saban malam para petugas ronda yang berjaga di gardu dekat rumahnya itu mengintip kamar saya. Menurut Kak Ucup, mereka mengharapkan dapat meringkus seorang laki-laki di tempat tidur saya,” cerita Azh sambil menghembuskan asap rokoknya jauh-jauh.
“Orang sekarang memang haus sensasi,” tanggapku mencoba menghibur.
“Kamu pikir aku mau berbuat serendah itu?” geretap Azh sedikit ketus.
“Tentu saja tidak. Tapi..., tidak semua orang tahu persis siapa kamu, bukan?” kataku bersungguh-sungguh.
Azh tersenyum. Tetapi keruh di matanya tetap meruyak.
Tiba-tiba sunyi menyergap. Angin yang berkelahi dengan dingin luruh menyentuh tirai jendela. Angin malam kota kelahiran yang ramah, sejuk dan bersahabat.
“Kau harus menatap jauh ke depan. Suamimu tak mungkin hidup kembali. Sedangkan kau masih terlalu muda untuk terus sendirian. Kau pasti membutuhkan sosok baru yang dapat menggantikan dan membimbingmu tidak hanya sebagai seorang suami, tapi juga sebagai seorang ayah bagi anak-anakmu kelak,” kata-kataku mencucur setelah sunyi yang mengeliminasi kian menjepit.
“Menikah lagi, begitu?” sahut Azh agak terlengak.
Selekasnya aku mengangguk.
“Ah, kau masih saja seperti dahulu. Maunya serba cepat,” sergah Azh dengan wajah sumringah.
Masih saja seperti dahulu? Akayaaah... kata-kata itu bagaikan arus listrik milyaran kilo watt yang menyengat degup jantung.
“Akhir-akhir ini memang ada beberapa laki-laki yang sering bertamu ke sini,” aku Azh kemudian.
“Berarti kau tinggal memilih salah satu di antara mereka.”
“Mereka semua sudah punya istri....”
“Semua?”
“Ya. Semua yang datang ke sini. Dan mereka lantas bercerita, tentang ketidakcocokan, ketidakbahagiaan, kekecewaan..., pokoknya mereka mengisahkan bahwa perkawinan mereka tidak seindah yang diimpikan. Bahkan sudah terancam perceraian,” tutur Azh panjang lebar.
Aku terperenyak.
“Apakah semua laki-laki itu, ketika berhadapan dengan seorang janda, selalu mengungkapkan masalah perkawinan yang tidak bahagia?” tanya Azh menusuk.
Lagi-lagi aku terperenyak. Kami beradu pandang, dan aku berpaling menghindar, aku takut Azh dapat membaca apa yang ada dalam mataku. Aku tak tahu harus memberikan jawaban apa atau bagaimana. Pertanyaan seperti itu tak pernah terpikir olehku. Sungguh aku terperenyak.
“Kau sendiri bagaimana? Pasti istrimu cantik. Apakah perkawinan kalian bahagia?” desak Azh, lalu kembali menyesap rokoknya dalam-dalam.
“Aku? Ya, aku bahagia,” cicitku segera.
“Benar begitu?” Azh tersenyum tak yakin.
“Memangnya menurut kamu perkawinan yang bahagia itu bagaimana, sih?” aku balik bertanya.
Azh tertawa. Renyah. “Ah, kau benar-benar masih tetap seperti dahulu. Maunya berdebat,” decapnya, lalu tertawa lagi.
“Aku serius. Sebab, bagiku, perkawinan itu mengikat seumur hidup. Perkawinan adalah suatu kesediaan untuk terus-menerus menerima kekurangan pasangan hidup kita. Kesediaan untuk bertahan dan mengatasi kekecewaan,” paparku bersungguh-sunggguh.
Azh menatapku tajam-tajam. Pandangan kami bertumbukan. Dan aku kembali menyelam di telaga keruh yang menyesakkan napas.
“Sejak dahulu, kau memang suka berfilsafat. Ah, sudahlah. Jadi nggak makan katupat-nya?” Azh mengalihkan arah pembicaraan, lalu bangkit.
Sebenarnya aku masih mau berbicara soal perkawinan yang bahagia itu. Tetapi untuk apa? Aku lantas ikut bangkit.
Setelah berpamitan pada Ibu (orangtua Azh), berdua kami berjalan menyusuri gang kecil yang temaram oleh simbahan cahaya purnama yang mengeliminasi di cakrawala. Kami tak menghiraukan lirikan curiga dari orang-orang yang kami lewati sepanjang gang. Lorong gang itu masih kuhapal liku-likunya. Aku juga hapal, tikungan mana yang paling gelap. Sebab, di situ dahulu aku mengendap, menunggu Azh menyelinap dari rumahnya. Ah, cinta pertama memang penuh rintangan dan tantangan. Dan alangkah menyenangkan mengenang kembali semua gebalau itu.
“Kenapa istrimu tidak kau ajak?” Azh bertanya lirih.
“Aku ke Kandangan ini bukan untuk tamasya, kok. Dalam rangka tugas,” jawabku juga lirih.
“Tugas? Tugas apa?”
“Tugas rutin dari kantor.”
“Tugas rutin yang bagaimana?”
“Ah, kau juga masih tetap seperti dahulu,” tuduhku, “selalu tak puas dengan sebuah jawaban. Yah, beginilah nasib seorang koresponden, terlunta dari satu kota ke kota yang lain. Tidak sepertimu, sudah menjadi PNS, dapat suami pengusaha sukses lagi.”
Sekilas Azh melirik. Aku tersenyum.
Di sebuah tikungan, dekat pohon rambai, aku berhenti sejenak. Azh kelihatan heran.
“Ada yang ketinggalan?” tanyanya.
“Ah, tidak,” sahutku agak gugup.
Kami melangkah lagi. Ah…, di tikungan itu, di bawah pohon rambai itu, dahulu, aku pernah mencoba menyergap Azh dan berusaha mendaratkan sebuah ciuman di bibirnya. Akayaaah...., cinta pertama yang menggebu! Aku jadi malu mengenangnya. Tetapi, ketika tadi melewati tikungan itu, entah kenapa aku tergoda untuk menyergap Azh. Mungkin karena terseret kenangan masa lalu. Ah, jangan..., aku harus mampu menjaga jarak. Azh memang janda. Tapi aku tak boleh sembarangan menyergapnya, apalagi menciumnya di tikungan yang gelap itu.
Di depan gang yang tembus ke jalan raya itu, kami langsung naik becak menuju Hamalau, tempat orang-orang membuka warung katupat.
Duduk dalam sebuah becak yang membuat tubuhku dan tubuh Azh berdempetan, aku kembali merasa seperti ada aliran listrik milyaran kilo watt yang menyengat hingga ke pori-pori di sekujur tubuhku. Mukaku panas, tenggorokanku garing bagai tersekat batang linggis, dan berlaksa ilusi masa lalu kami kembali berloncatan di hadapanku.
“Melamun, ya?”
Aku terperenyak. “Ya, aku melamun,” cicitku sejujurnya.
“Melamun tentang apa?”
“Kenangan lalu.”
“Kenangan lalu?”
“Cinta pertama itu...., kenangan kita,” cicitku lagi tergagap.
Azh tertawa kecil. Entah kenapa aku merasa tersinggung mendengar suara tawanya itu.
“Aku juga sering mengingatnya. Apalagi setelah menjanda begini. Rasanya ingin mengulang kembali kenangan-kenangan itu. Tetapi, sebuah kenangan bukan seperti pita kaset yang bisa diputar ulang kapan kita mau.”
Aku terperenyak. Padahal, dadaku berdegup keras. Arus listrik itu kian menyengat sekujur tubuhku, kali ini mungkin trilyunan kilo watt. Kenapa tidak bisa diulang seperti pita kaset? Mungkin saja bukan? Tetapi aku lekas-lekas mengeliminasi pikiran yang menggerumiti benak.

***

Di Hamalau, kami singgah di sebuah warung katupat. Udara malam kota Kandangan yang tiba-tiba gerimis menambah kesyahduan suasana, tapi membuatku bersama Azh merasa seperti sendirian. Sengaja kupilih meja paling pojok yang kebetulan kosong. Lantunan irama musik yang merdu dari VCD dengan pengeras suara di sudut ruangan terdengar syahdu. Sebuah lagu monomental dari Broery Marantika dan Dewi Yul berjudul “Rindu yang Terlarang”. Lagu itu bercerita tentang sepasang kekasih yang telah dipisahkan oleh nasib, kemudian bertemu kembali pada suatu waktu. Mereka sebernarnya masih sama-sama memendam rasa cinta berkarat yang menggebu, namun masing-masing telah hidup berdua. Sehingga untuk merenda rasa rindu sekalipun merupakan sesuatu yang terlarang. Aku terperenyak menikmati alunan lagu itu yang seperti mewakili perasaanku saat ini.
Kami makan katupat. Sambalnya pedas. Azh mendesah-desah kepedasan. Aku melihat lidahnya sesekali menjulur. Lidah yang indah, berwarna merah cerah lantaran terbakar cabai.
Akayaaah... Lidah itu kembali melemparkanku ke dalam kenangan cinta pertama. Sungguh, dahulu, ratusan malam aku merindukan satu kesempatan untuk suatu ketika dapat menyesapnya, melumatnya! Lidah itu. Akayaaah...
Selesai makan, kami hanya berpandangan diam. Pada kebersitatapan yang panjang itu, kami hanya bungkam dalam kebisuan yang terus merambat. Lewat kebersitatapan itu, aku merasa tubuh kami seolah menyatu dalam detik-detik penuh kehangan yang membara. Udara malam makin membius, kami pun serasa hanyut bersama gerimis dingin yang mengalir.
Sekali lagi tatapan kami bersambaran. Ada getaran yang dahsyat. Teramat dahsyat. Seakan-akan kami tengah berdialog dalam bahasa yang paling rahasia.
Jam sepuluh kami beranjak meninggalkan warung. Aku kecewa malam itu mesti berakhir.

***

AZH duduk di sampingku dalam becak yang kami tumpangi dalam perjalanan pulang. Kami tak bicara. Perhatianku tak lepas-lepas dari wajah Azh. Saat tatapan kami bertabrakan, bibirku sangat dekat dengan bibir Azh. Azh seperti sudah siap menerima. Tapi, aku tak sanggup melakukan apa-apa.
Ketika kami kembali menyusuri gang yang berliku, aku kembali merasakan sengatan-sengatan aneh yang merayapi darah. Di tiap tikungan, yang aku tahu betul tikungan yang paling gelap, aku kembali tergoda untuk mencoba mewujudkan keinginan masa remaja yang tidak sempat terpuaskan. Tetapi, entah kenapa, aku merasa menjadi kecil kembali, sehingga selalu gagal untuk menegakkan keberanian. Bahkan, ketika bahuku secara tak sengaja menyentuh bahu Azh, bumi tempat kami berpijak serasa bergemeletar, bagai ada gempa ribuan skala riter. Asa kuncang kirap dunia!
“Kau langsung pulang?” tanya Azh.
Aku tersemplak. Oh, rupanya sudah sampai di depan rumah.
“Pulang atau mau ngobrol lagi?” tanya Azh meyakinkan.
Sejurus aku hanya melongo. “Aku langsung pulang saja,” rintihku tergagap.
Untuk yang kesekian kali tatapan kami bersambaran. Azh berkata kepadaku, “Aku sangat senang menikmati malam ini bersamamu.”
“Aku juga,” cicitku parau. Mulutku serasa penuh duri.
Senyum Azh begitu menggoda. “Selamat malam, Mas…,” bisiknya mesra, sedikit parau. Janda muda dan cantik itupun menghilang ke balik pintu, meninggalkan uar harum tubuhnya yang lindap bersama kabut malam yang luruh mengeliminasi sepi.
Sebelum menutup pintu, sekali lagi Azh menatap ke arahku. Dalam jarak yang sangat dekat, aku lebih dapat pula menyaksikan keindahan tubuh semampai janda cantik yang dibungkus gaun malam transparan warna kelam itu. Tubuh Azh sekarang tampak lebih jangkung. Rambutnya sekarang juga lurus direbounding, panjang tergerai hampir sepinggang. Wajahnya sedikit lugu dengan bibir merah jambu yang seolah selalu siap untuk mencumbu. Kulitnya kuning dengan mata sayu syahdu merayu. Sebelum tubuhnya benar-benar lenyap di balik pintu, Azh kini justru berjalan mendekat ke arahku dengan semua lekuk tubuhnya yang teraksentuasi secara sensual. Uar semerbak kian menusuk hidungku “Sejak menjanda, saya telah kenal dengan banyak sekali pria,” kata Azh membuyarkan pikiranku. “Tapi saya belum pernah mengundang seorang pun pria ke rumah. Mas, saya anggap sebagai pria yang istemewa bagi saya. Mas tidak boleh menolak undangan ini! Malam ini saya benar-benar merasa kesepian. Temenin saya ya Mas, please…?”
Aku tersemplak. Aku terperenyak. Aku tercangkung. Aku seperti melihat angin malam yang berkelahi dengan dingin luruh dan meliuk-liuk di sepanjang gang, kemudian hinggap di dahan rambai dan lenyap di balik dedaunan dieliminasi pekat.
Tidak! Aku harus pulang! Aku harus kembali kepada istri dan anak-anakku. Mereka pasti sudah menantikan kepulanganku. Istriku pasti sangat merindukan pelukan dan cumbuanku!

***

Yah..., kita memang ditakdirkan untuk selalu berubah. Ketika kehidupan mengantarkan kejutan-kejutan yang tidak kita bayangkan, maka orang-orang yang menyimpan kenangan akan dihempaskan pada kekecewaan. Apa yang kemudian kulakukan, adalah mengambil sesuatu dari kalimat Azh dan menariknya ke dalam diri untuk diyakini: bahwa sebuah kenangan bukan seperti pita kaset yang bisa diputar ulang kapan kita mau.
Kenanganku bersama Azh rupanya hanya sebatas renjana, dan bukan untuk memiliki. Meskipun kenyataan telah berbicara bahwa perjalanan hatiku telah mengetemudapatkan sebentuk cahaya terang dalam dirinya. Namun bukankah menyambut pagi dengan senyum adalah bahagia dalam rasanya. Lantas, mengapa dipertahankan kalau tak tertahankan…?

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/aliman-syahrani/mengapa-dipertahankan-kalau-tak-tertahankan/175226632751

0 komentar: