Cerpen Amadea Kristina: Seratus Koin Farida

18.53 Zian 0 Comments

Akhir pekan yang hangat. Sisa cahaya menerobos celah-celah sambungan papan  dinding  rumah kecil di sebuah gang sempit . Di ruang tengah, Farida dan ibunya duduk beralas tikar daun pandan yang salah satu sudutnya telah terurai anyamannya. Ibu dan anak ini sedang menyelesaikan proses pembuatan kain sasiragan, batik khas Provinsi Kalimantan Selatan.
“Ibu, akhirya sepuluh lembar kain telah selesai  saya gambar polanya,” kata Farida sambil menyerahkan tumpukan kain kepada ibunya yang siap menjahit  jelujur sesuai dengan gambar di kain.
“Terima kasih, Nak. Minggu ini kita bisa mengumpulkan dua ratus ribu rupiah,” sahut  ibu memancarkan kegembiran. Dua ratus ribu itu upah membatik yang akan diterima dari Toko Sahabat jika pekerjaan itu selesai.
“Ya, Bu. Lima lembar dengan motif bintang bahambur dan lima lembar dengan motif ombak sinapur karang.”
“Ia, Nak. Batik sasirangan kita ini tidak hanya berfungsi sebagai busana saja. Namun setiap motif nya mempunyai makna. Bintang Bahambur bermakna, kita mengagungkan kebesaran Sang Pencipta. Ombak Sinapur karang mengandung makna, walaupun  diterpa badai kehidupan  kita teguh seperti batu karang,” kata ibu seolah-olah menasihati Farida.

Ah, makna itu selalu berulang-ulang diucapkan ibu, hampir setiap kali Farida  menyelesaikan menggambar pola. “Y,a Bu,” kata Farida mengerti.
Ibu membuka selembar kain putih dan mulai menjelujur motifnya. Dan ibu biasanya menyelesaikannya sampai larut malam sehingga besok dilanjutkan dengan proses pencelupan dengan menggunakan pewarna. Lalu  dilepas jahitan jelujurnya, dan dibilas sampai bersih. Proses terakhir adalah dikeringkan dengan cara dijemur.
“Mempertahankan cara pembuatan batik tradisional Sasirangan sama dengan melestarikan budaya bangsa,” kata Ibu.
Farida mendengar kata-kata Ibu itu sambil lalu, lagi-lagi kata itu diulang ibu seolah tak rela batik kebanggaannya itu suatu hari punah.
“Besok bantu Ibu menjemur kain-kain ini ya,”kata ibu.
Malam mulai datang. Pikiran Farida membayangkan bagaimana jika dia membuat desain motif batik sasirangan. Diambilnya kertas, pensil, dan penghapus. Dia mulai menggambar, diingatnya tanaman yang berpucuk merah, di halaman sekolah.Dia mulai membuat pola, dia tak berhenti hanya dengan satu kali kesalahan, dicobanya lagi dan lagi, goresan yang nantinya bisa  diwujudkan menjadi batik Sasirangan. Tidak asal indah dan bagus, namun jika diproses harus menghasikan guratan-guratan urat  khas batik Kalsel, sampai akhirnya Farida menggambar suatu motif yang menurutnya  sempurna.
Ia terlelap di atas meja yang penuh dengan kertas berserakan. Malam yang indah dengan desahan angin malam yang membuat  tidurnya tenang. Besok akan menjadi hari Minggu yang menyenangkan karena jadwal mencelup  kain pada pewarna. Proses yang paling disukai Farida. Kain yang semula putih bersih, menjelma menjadi lembaran bermotif warna-warni.

***

Pagi menjelang. Kicauan burung membangunkan seorang gadis yang mempunyai semangat juang yang terus mengalir dalam denyut nadinya. Ia pandangi sekali dagi desain yang dilukisnya tadi malam, Oh, tenyata dia bisa menjadi desainer  batik.
“Farida berangkat sekolah dulu ya, Bu,” kata Farida mengucapkan salam sambil mencium tangan ibunya.
“Ia, Nak. Jangan lupa singgah di Toko Sahabat untuk mengambil kain-kain untuk disirang,” kata ibu.
“Baik, Bu.”
Farida menyusuri jalan setapak  sepanjang gang yang biasa dilewatinya setiap dia berangkat sekolah. Terkadang ia harus membungkuk untuk melewati lembaran-lembaran kain berukuran dua meter yang dijemur. Sesekali ia melihat motif yang dibuat ibu-ibu di desa itu. Ya, motif klasik yang indah. Yang biru dipadu putih bermotif ombak sinapur karang,  kuning bermotif bintang bahambur, tentu buatan  ibunya. Yang berwarna  coklat kehitaman bermotif Pucuk Rabung, hijau berpadu jingga si Daun Jaruju yang menambah anggun bagi yang mengenakannya. Farida terus melangkah semangatnya bangkit mengingat pucuk merah yang melambangkan semangat muda gadis remaja yang pantang menyerah seperti dirinya, betapa tidak sepeninggal ayahnya setahun yang lalu, ia dan ibunya tekun mengerjakan membuat  batik Sasirangan milik Toko Sahabat. Setiap senin mereka mengambil kain putih untuk diproses menjadi kain batik  Sasirangan. Itulah nafkah kehidupan ibu dan anak itu. “Semangat!” kata Farida pada diri sendiri.
Sesampainya  di gerbang sekolah sekolah, Farida duduk di bangkunya bersama teman-teman karibnya, Sari dan Umi, “Pulang sekolah nanti, antar saya ke toko Sahabat ya?” pinta Farida.
“Ah, kenapa ke sana? Lebih baik kita ke mal,” kata Sari.
“Ayolah kawan, saya harus  mengambil kain di sana, itu pesan ibuku,” lanjut Fena.
“Untuk apa?”
“Bukankah kami hidup dari upah membuat sasirangan?  Tidak seperti kau, Sari, ayahmu masih hidup, kerja di bank lagi,” jawab Farida ketus.
“Jangan tersinggung Farida. Baiklah, nanti kami antar,” jawab Sari membujuk.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Tak lupa Farida dan teman-temannya mengambil kain yang biasa diberikan oleh toko Sahabat untuk disirang oleh ibu-ibu mereka. Ya, pekerjaan ibu-ibu di desa itu adalah menyirang. Dari situlah penghasilan mereka, jika mereka tidak menyirang untuk sehari saja, tentunya mereka kehilangan nafkah sampai ada pesanan datang.
“Ini kainnya, Dik. Hanya sedikit.”
“Terima kasih, Pak,” kata Farida sambil mengambil kain yang diberikan padanya. Hati Farida  bertanya-tanya, mengapa hanya separuh dari biasanya?. Ia tak sampai hati mengajukan pertanyaan karena dilihatnya muka sang penjual yang begitu murung. Farida dan teman-teman meninggalkan toko lalu membicarakan hal ini di dalam angkot.
“ Apa toko itu mau gulung tikar pelan-pelan?”
“Kenapa ya? Kali ini Pak Anang hanya memberi lima potong kain, biasanya  sepuluh kain,” kata Farida pada teman-temannya.
“Mungkin  peminat sasirangan sudah berkurang ,” sahut sari seperti seorang peneliti pasar.
“Ah.. tidak mungkin. Kalau cuma hal itu tidak  mungkin si penjual tadi mukanya murung sekali,”ucap Farida. “Bagaimana kalau setelah ini kita ke pasar.”
“Ke pasar? Apa di sana kita menemukan solusi, kita pulang saja!”jawab Sari.
“Di pasar kita akan mengamati penjualan Sasirangan, jangan-jangan penjual mengambil untung terlalu banyak sehingga peminat berkurang karena kemahalan,” sahut Farida mengira-ngira.
“O, kalau begitu,baiklah…,” kata sahabatnya.
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di pasar Banjarbaru, mereka  berjalan melewati lorong-demi lorong. Tanpa mereka sadari, sebelah kanan dan kiri  toko banyak sekali kain motif sasirangan  yang berbeda dengan kain yang dibuat ibu mereka. Hati Farida berdebar-debar , berdetak lebih cepat, membuat keringat di keningnya menetes karena menyaksikan  motif Bintang Bahambur bisa dicontek dan dicetak besar-besaran oleh pabrik. Akhirnya mereka mengetahui mengapa si pemilik toko Sahabat tadi mukanya sangat murung. Batik Sasirangan sudah dipalsukan!
“Permisi, Pak. Bolehkah kami tahu berapa harga satu potong kain ini?”
“Tentu, Dik. Harganya murah sekali, hanya 25 ribu rupiah semeter. Kami baru mencetak seribu meter,” kata penjual toko tersebut.
Astaga, pemilik toko mengatakan bahwa satu motif dicetak seribu meter! Dan yang membuat denyut  nadi Farida seakan berhenti adalah satu meter kain pabrik ini lebih murah sepuluh ribu. Sepuluh ribu kan angka yang fantastis untuk merusak harga pasar kain sasirangan  tradisional!
Tak disangka, hanya sedikit kain-kain sasirangan yang mampu  dipoduksi dari buatan tangan manusia. Pabrik mengambil alih semuanya. Harga yang semula tujuh puluh lima ribu rupiah per dua meter banting harga menjadi 25 ribu rupiah per meter. Hanya sedikit orang yang mampu bertahan dalam situasi seperti ini. “Aku jadi ingat pelajaran Ekonomi tentang pasar bebas yang tidak bisa dihentikan,” kata Farida  dalam hati.
“Kita bahas ini di rumah ku saja, yuk,” kata Sari bermurah hati.
“Ya sudah,” kata Ena putus semangat.
Sesampainya di rumah Sari, mereka membahas hal yang sama. Tiba-tiba Fena  mengajukan satu usul…
“Aku punya motif baru, mungkin disukai konsumen,” usul Sari.
“Usul yang bagus, dan saya puny ide bagaimana jika kita memberitahukan hal ini ke seluruh kota Banjarbaru. Agar semua orang tahu bahwa ada sasirangan palsu,” kata Sari.
“Aku setuju. Tapi kita harus bertemu wartawan. Dan tak mudah juga memanggil wartawan ke sini. Apalagi kita anak-anak, harus punya bukti yang kuat untuk meyakinkannya,” Jawab Umi pesimis.
“Nah,  kebetulan kakakku seorang wartawan, jadi kita bisa berkompromi dengannya.”
“Bisakah kau memanggilnya kemari, Sari?”
“Ya, tentu.”
Mereka bercerita tentang kain sasirangan palsu yang beredar di pasar. Tapi tak mudah untuk Kak Garda percaya. Keesokan harinya Kak Garda ke pasar untuk memastikan bahwa kain Sasirangan itu memang ada yang palsu. Dan ternyata benar, bukan hanya satu atau dua saja kain yang palsu, tapi hampir semua motif klasik ciptaan nenek moyang telah dipalsukan. Bahkan hampir seluruh toko itu dipenuhi oleh kain-kain palsu. Sekarang Kak Garda percaya bahwa adanya kain-kain palsu.
                                           
***

Keesokan harinya terbit di Koran lokal berita di halaman pertama dengan judul “Hati-Hati Sasirangan Palsu”. Berita itu menceritrakan bahwa memakai sasirangan palsu sama dengan merendahkan martabat bangsa. Pasalnya  kain batik palsu itu memakai motif yang dicontek dari karya kratif nenek moyang. Membeli sasirangan kani palsu sama dengan mematikan penghasilan para perajin. Pada akhir pemberitaan itu ada himbauan agar masyarakat  menghargai  Sasirangan tradisional karena kain itu memiliki nilai estetika tinggi yang akan membuat pribadi yang mengenakannya tampak  arif. Ya, pribadi arif karena dalam dirinya terpancar  hati yang tahu menghargai nilai-nilai budaya. Berita dengan tema yang sama itu diberitakan selama sepekan.
Hari demi hari tiga sahabat mengamati pasar  dengan harapan pemberitaan  itu ampuh menyadarkan masyarakan yang pada umumnya karena mereka tidak tahu, alasan berikutnya karena batik palsu murah meriah.

***

Tiga gadis SMP itu tak sabar sampai di Toko Sahabat. Setibanya di toko, Farida mulai berbicara…
“Pak, ternyata yang membuat peminat kain Sasirangan tradisional ini menurun karena motif kita sudah dicontek oleh pabrik dan dibuat lebih banyak dan lebih murah pula harganya,” kata Ena panjang lebar. Bapak itu hanya diam tanpa ekspresi, seakan tahu semuanya.
Lalu Farida memperlihatkan motif buatannya. “Saya mohon Pak, beri saya lima belas lembar untuk membuat motif yang baru saya buat ini.”
“Silakan coba, jika ini berhasil terjual, kamu akan mendapat seratus rupiah per meter,” kata Bapak itu tetap tanpa ekspresi.
“Baiklah, Pak. Terima kasih,Pak, dan ini koran minggu ini yang pasti akan mengubah toko Bapak menjadi laris seperti dulu,” kata Farida sambil menyerahkan koran.
Farida dan teman-temannya pulang dengan penuh semangat karena percaya bahwa motif ini akan diterima oleh masyarakat. Ia tak mempedulikan seberapa besar uang  yang akan diterimanya, ia hanya ingin ibunya mendapat pekerjaan.

***

Malam yang tetap member semangat karena pekerjaan membuat motif pucuk merah tinggal lembar terakhir. Ketika fajar tiba, Farida dan ibunya sudah mencelup kain-kain itu dengan warna hijau dan merah sampai pada proses terakhir dibilas. Lalu Farida dan ibunya dengan hati-hati membuka jahitan, dan ketika jahitan terurai, ibu dan anak itu terperanjat, kagum dengan hasil guratan-guratan Sasirangan yang khas, warna yang indah. Kelimabelas lembar kain itu lalu dijemur. Fajar pagi mengeringkan kain-kain itu. Setengah jam kemudian, Farida dan ibunya melipat kain itu dan bergegas ke toko Sahabat. Mereka menyerahkan kain itu dan Pak Anang pun terkejut karena ini motif baru  sangat bagus coraknya .
“Silakan datang besok ya. Kita lihat pasar hari ini.”
“Baik, Pak. Terima kasih.” Ibu dan anak itu lalu pulang ke rumah. Tak banyak berkata-kata. Hati mereka bersatu dalam doa.

***

Menunggu satu hari yang dijanjikan Pak Anang,  bagi Farida terasa begitu lama, hingga pagi tiba Farida bangkit dengan semangat  tinggi dan amat percaya Sasirangan buatannya diminati pembeli.
“Ibu, murung? Ayolah, percaya saja bahwa m otif Sasirangan yang saya desain itu bagus, pasarnya juga pasti bagus,” kata Farida meletup-letup.
“Terlalu percaya diri itu tidak bagus,” sahut ibu mengingatkan.
“Bukankah ibu menasihatkan agar seperti batu karang?” Farida balik mengingatkan.
“Sudahlah, ayo kita ke Toko Sahabat,”ajak ibu.
“Baik, Bu, kita jalan kaki saja ya?” sahut Farida.
Mereka berjalan di gang yang lengang, biasanya gang ini penuh dengan jemuran kain-kain . Hati ibu miris, tidak demikian hati Ena yang melonjak-lonjak mengharapkan keajaiban dari Tuhan.
Dari jauh, Farida  menyaksikan wajah Pak Anang cerah, secerah warna-warni kain di tokonya.
“Ada berita bagus Pak?” Farida tak sabar mendengar kabar.
“Berita di Koran itu mengantar seorang guru datang memesan Sasirangan ke toko ini,” kata Pak Anang berseri-seri.
“Benarkah?” kata Farida, sambil memandang ibunya yang turut gembira.
“Selamat!” kata Bapak itu,” Motif pucuk merah dipesan tiga ratus lima puluh potong untuk seragam rompi sebuah sekolah swasta di kota ini,” lanjut Pak Anang sambil tak henti-hentinya tersenyum.
“Ibu, doaku dikabulkan Tuhan,” pekik Farida.  Jantungnya seakan berdetak lebih cepat, lebih cepat dari minggu lalu  ketika menyaksikan sasirangan palsu. Bumi seakan mulai berputar normal kembali bagi ibu yang semula pesimis akan kehilangan pekerjaan.

***

Pemandangan yang paling indah bagi Farida kala pagi yang cerah dihiasi  lambaian kain jemuran di sepanjang gang. Kali ini bukan berbagai motif,namun hanya satu motif pucuk merah… Aha, jantungnya mulai berdetak normal kembali menyaksikan ibu-ibu dan remaja putri sibuk di teras rumah masing-masing menyelesaikan pembuatan sasirangan. Namun yang membuat hati Farida menari-nari kala membaca pemberitaan koran hari ini yang  berjudul “Kebangkitan Sasirangan Tradisional” sebuah awal yang baik bagi ibunya, ibu-ibu di kampungnya dan teman-teman remaja putri seperjuanganya.[]


Cerpen ini Juara I Lomba Menulis Cerpen Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tingkat SMP, dilaksanakan 1-7 Juni 2014 di Semarang, Jawa Tengan. Amadea Kristina adalah pelajar dari SMP Sanjaya Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Sumber:
SKH Media Kalimantan, Minggu,  2014

0 komentar: