Cerpen Aliman Syahrani: Re

18.49 Zian 0 Comments

(tapi, ini hanya sebuah cerita...)

Cara paling mudah untuk mengenali Re ialah sepasang bola matanya yang memancarkan bening telaga dan penuh pesona. Dan cara paling mudah untuk mencuri hatinya ialah dengan memberinya puisi. Re akan membacanya sepanjang hari.
Itulah yang sangat dikenal Ipung saat mereka berkenalan dulu.
“Dan itulah rahasia yang tak mungkin kuceritakan pada teman-teman waktu itu,” kata Ipung beberapa waktu lalu.
“Jika banyak yang tahu, berarti aku mesti berjuang lebih berat lagi untuk mendapatkan kamu,” kata Ipung lagi sambil menombakkan senyum ke wajah waktu.
Re tertawa kecil.

Mereka tengah berbincang-bincang di beranda sore yang orange dan amat ceria itu. Banyak masa-masa kecil yang mereka kenang kembali. Betapa indah semua kenangan itu. Dan tak ada kenangan yang paling indah memang, kecuali mengenang kembali masa pacaran di jalanan desa sewaktu masih di kampung dulu. Juga tak ada kenangan yang lebih menggelikan, kecuali mengenang kembali mimpi-mimpi besar yang pernah hadir dalam kehidupan mereka di sepanjang jalalan desa yang senyap.
“Bermimpi memang sangat menyenangkan,” kata Ipung. “Dan barangkali satu-satunya hiburan kita pada waktu itu. Tidak seperti sekarang, kita seperti tak punya mimpi lagi.”
Benarkah seseorang tak punya mimpi lagi, ketika usia perkawinan mereka telah berlangsung sepuluh tahun? Ataukah seseorang tak punya waktu lagi untuk bermimpi karena tekanan kehidupan yang makin intens? Ataukah seseorang tak punya mimpi lagi karena tak lagi ada yang tidak dimilikinya saat ini?
“Ipung dulu memang suka sekali menceritakan mimpi-mimpinya,” kata Re terkenang. “Ia memang seorang pemimpi yang hebat waktu itu.” Wajah Re tengadah meraup persada, seolah berharap kenangan itu runtuh kembali dari langit. “Ketika menyaksikan upacara 17 Agustusan di Kabupaten, malamnya ia pun bermimpi ingin jadi bupati kelak. Dan mimpi itu diceritakannya kepadaku. Aku tahu, ia berusaha meyakinkan diriku, bahwa ia memang mempunyai cita-cita yang tinggi. Di hari lain, tiba-tiba ia menceritakan mimpinya tentang seorang seniman yang hebat, atau ilmuan yang brilian. Dan yang paling banyak diulang-ulangnya ialah keinginannya untuk menjadi seorang politikus yang handal. Ia yakin suatu saat ia akan menjadi seorang menteri dan dengan sendirinya aku akan menjadi ibu menteri.” Kedua bilah bibir basah Re merekah, membentuk tawa tertahan.
“Adakah lelaki sepeti dia?” kesah Re hanyut, angannya berai di ulak waktu. “Terus terang, aku selalu terpesona dengan mimpi-mimpinya itu, sekali pun aku yakin, semua hanya mimpi dan bualannya saja. Tapi aku suka mendengarnya. Jika beberapa hari tak ketemu, tiba-tiba aku akan menjadi sangat rindu mendengar mimpinya yang lain selama itu. Aneh, bukan? Barangkali benar, wanita memang suka dibohongi,” kesah Re lagi. Tawanya lepas sekarang.
“Aku begitu larut mendengar mimpi-mimpinya itu. Dan ternyata aku menyenanginya. Lalu apakah itu berarti sesungguhnya aku suka dibohongi olehnya?” Re menarik napas panjang dan dalam, dan menganginkannya kembali ke jeram musim. Sesaat pula ia mengasihani pikirannya sendiri. “Jauh di dasar hatiku, aku tahu, mimpi-mimpi itu tak lebih dari manifestasi rasa humornya saja. Aku yakin, ia jujur dan baik.”
Itulah yang suka diceritakan oleh Re tentang Ipung kepada teman-temannya. Masih banyak lagi yang suka diceritakannya tentang lelaki yang dicintainya itu. Dan sebanyak itu pula yang suka diceritakan Ipung tentang Re, gadis yang sangat dipujanya setengah gila di sepanjang hidupnya.
Adakah waktu akan mengubah semua kenangan itu, ketika perkawinan seseorang sudah berjalan sepuluh tahun kemudian?
Kita mungkin ditakdirkan untuk selalu berubah. Apa yang telah kita alami, selanjutnya akan menjadi kenangan yang terlipat rapi dalam hati kita masing-masing. Dan kenangan ternyata tidak selamanya indah, bergantung dari kondisi perkawinan kita saat ini. Seringkali kenangan menjadi begitu perih dan menyakitkan menyuling di kehidupan kita, apabila saat ini kita tak lagi berbahagia. Sebaliknya, kenangan akan selalu menjadi sesuatu yang menggetarkan kebahagiaan kita, apabila kita masih mampu mempertahankan harmoni perkawinan kita sejak awal mula sampai saat ini.
Kenyataan nelangsa itulah yang kini mengintil di hadapan Re. Kebersamaannya yang indah dengan Ipung selama ini berubah menjadi secemil kenangan perih dan menyakitkan, yang hingga kini terus menimba dalam hari-hari sepinya yang memanjang.
Sepengetahuannya, Ipung kini ada affair dengan perempuan lain. Sakit hatinya mendengar kabar keparat itu, betapa dalu hatinya menanggungkan cabaran itu. Jauh hari sebelumnya, Re sebenarnya sudah mencium gelagat itu. Beberapa kali ia memergoki Ipung sedang chating di tengah malam melalui media online dengan seorang perempuan. Bahkan ia juga secara diam-diam sudah membaca semua pesan-pesan itu. Isinya sungguh membuat harga dirinya serasa disurapat. Ipung yang selama ini begitu ia percaya dan menjadi tumpuan, harapan keluarga, ternyata tega mendua hati, menghianatinya. Bila seorang suami sudah memiliki other women, adakah lagi godam gulana yang lebih menumbuk dari itu? Adakah lagi badai nestapa yang lebih dahsyat dari itu? Adakah prahara rumah tangga yang lebih tragis dari itu?
Sungguh pertanyaan yang memburu itu begitu menjebak perasaan Re. Sebagai seorang perempuan, lebih-lebih sebagai seorang isteri, Re merasa harga dirinya kecai berderai gara-gara seorang perempuan lain yang begitu culas dan rendah moral menjemba Ipung dari pelukannya. Ingin sekali ia marukat dan mengacak-acak perempuan sandah itu.
Please, tolonglah aku, Nai,” hiba Re pada Nai dengan sedikit mendesak. Re dan Nai adalah dua sahabat bahkan sudah seperti saudara sejak mereka beranjak remaja dulu. “Carikan aku informasi tentang perempuan kidas itu. Aku sudah tidak sabar lagi kepingin menabok wajahnya!” Re kini juga sudah menyakui sebuah nama, nama yang selama ini memang sudah ia curigai ada main hati dengan Ipung suaminya. Namun masalahnya, Re tidak bisa berbuat apa-apa hanya dengan bermodal sebuah nama itu. Sejak ia mengetahui isi chating Ipung dengannya, perempuan itu menghilang seperti ditelan Edi Tansil. Acoun media sosialnya pun juga tidak bisa diakses, log out.
Untuk beberepa jenak Nai hanya diam, ia menunggu emosi sabahatnya itu mereda. Selebihnya, ia tak tahu apa yang harus dikatakan. Nai bingung oleh kenyataan yang tiba-tiba merendengnya. Bibirnya serasa terkunci, lidahnya pun kelu, dan wajahnya cuma belepotan sunyi.
“Benar, Re. Aku nggak tahu,” kesah Nia akhirnya.
“Kau kan sahabatku, Nai? Bahkan sudah seperti saudaraku. Dan hanya kamulah yang mengerti tentang aku,” tuntut Re, suaranya kini sedikit bernada amarah.
“Sungguh, Re,” Nai kembali meyakinkan. “Aku benar-benar tidak kenal siapa dia. Hanya semalam secara tak sengaja aku ketemu Ipung di mall.”
Re tersedak, tapi ketika berkata suaranya terdengar lelah. “Memang ada apa dengan dia?”
“Ipung titip salam untuk kamu.”
“Lalu?”
“Dia ingin kembali.”
Re menghela napas panjang, ada bias nestapa yang bingkas di wajahnya yang oval. “Berat hati ini untuk menerimanya kembali setelah apa yang dilakukannya, Nai. Rasanya aku tak sanggup lagi menanggungkan beban kecewa dan penghianatan yang kualami.”
Re merendek. Sesaat ia teringat kembali pada saat-saat indahnya bersama Ipung, mimpi-mimpi itu, puisi-puisi itu, sebelum segalanya tak dapat dipertahankan lagi seperti saat ini.

Orkestra Kelambu

ingin aku jadi nyamuk
yang menggigit bibirmu 
sepanjang malam
dan terkurung
dalam kelambu cintamu

“Eksistensiku sebagi laki-laki, adalah berupadaya membuat seorang perempuan menemukan jati dirinya,” terngiang sabda Ipung di buhul waktu, bertahun lalu, saat mereka di Loksado memandangi gunung Kantawan di bawah langit senja yang mulai disuluh merah saga. “Setidaknya, demikianlah saat pertama aku mengenalmu, Re. Dan harga diri yang begitu kaupertaruhkan di mana pun kau berada justru memberikanku sebentuk penafsiran yang lebih transparan: cintalah yang mencampakkan kita di tempat ini.”
Sesaat Re membuang pandang, hatinya berbunga. Tapi di matanya bergayut setumpuk bimbang akan gerak dan kata. Sekali lagi ia menyelami kejujuran lewat mata Ipung, dan demikian selalu nuraninya memompakan keyakinan. Dan memang, di mata Ipung Re selalu mengetemudapatkan kejujuran itu. “Jadi, kau menemukan kebahagiaan di tempat ini?” Lepas juga pancingan cengeng itu akhirnya dari bibir Re yang ia sadari, tak semestinya ia lontarkan buru-buru.
Menunggu jawaban Ipung, Re menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dagunya tertekuk, membuat Ipung tak bisa menikmati kedua bola matanya yang memancarkan bening telaga dan membingkaskan pesona.
“Kebahagiaan itu ada di mana-mana, Re. Tentu saja ada di tempat ini. Dan kebahagiaan, di mana  dan kapan pun, akan selalu dicari laki-laki untuk menikmatinya.”
“Juga ada padaku?”
“Ya!”
Re mengangkat wajah, bibirnya menghunus sebilah senyum.
“Namun aku juga tak ingin lepas kendali,” kesah Ipung tiba-tiba sambil kembali menombakkan pandang ke wajah waktu. Tatapannya kini lurus dan jauh. “Segala yang kulakukan adalah atas dasar kesadaran. Demikian halnya ketika menempatkan posisimu dalam...”
Kata-kata Ipung terpenggal hingga di situ. Tatapannya juga semakin lurus dan jauh memindai siluet senja yang mulai merabuh.
“Dalam apa?” desak Re.
“Dalam dompetku!” sentak Ipung sambil menyodok pinggang ayangnya itu dengan jari telunjuk.
Untuk beberapa saat Re membiarkan kenangan itu berpulas dalam benaknya, membuat berbentuk ilusi masa lalunya kembali berhamburan.
“Padahal hubungan kami selama ini baik-baik saja. Ipung mau mengerti segalanya tentang aku. Dia jujur, terbuka dan penuh tanggung ajwab dalam keluarga. Hubungan ranjang kami pun selalu hangat, dan di mata anak-anak dia begitu lembut. Tak percaya rasanya ketika mendengar kabar keparat itu,” suara Re bernada pasrah. Raut pilu yang dalam kian jelas terpacak di wajahnya.
“Jadi, kalian bahagia?” Itu suara Nai. Penuh simpati.
“Sangat bahagia,” rantap Re antusias.
“Tapi, Re, justru dalam keadaan seperti itulah kita kadang malah tidak sadar, ada sikap dan tingkah laku kita yang sebenarnya tidak disukai suami kita. Kita lengah dari hal-hal yang mungkin kita anggap kecil yang sebenarnya begitu berarti bagi dia.”
“Aku sadar, Nai, kalau aku bukan segalanya buat Ipung, aku bukan sosok seorang isteri yang sempurna buat dia, sebagaimana aku yang menerimanya apa adanya. Namun, seharusnya dia tidak perlu sekejam ini terhadapku. Dan jika memang dia sudah tidak suka kepadaku, lalu apa arti semua ini? Mengapa dia mempermainkan dan menculasiku seperti ini? Coba kamu bayangkan, Nai, bagaimanha sakitnya hati dikhianati ditambah lagi didustai? Sungguh aku menyesal mengapa ada pernikahan kalau mesti begini.”
Re menombakkan pandangannya ke dedaunan pohon kalangkala di seberang jalan yang mulai dibasuh cahaya matahari senja, berusaha membendung bola-bola kaca yang sudah bermain di pelupuk matanya yang semakin sayu. Hatinya benar-benar kecai, galau dan ngilu. Amuk pun kian merajut sepi.
“Sikapmu inilah yang barangkali menjadikan Ipung skeptis dalam hubungan kalian,” Nai memberi nasehat dengan hati-hati. Nai berusaha memposisikan dirinya sebaik mungkin sebagai seorang sahabat yang berempati. “Agaknya kau terlalu berharap, kelewat perfec, kelewat mengikat dia. Kau mudah agresif dalam segala hal tentang dia dan aktivitasnya.”
“Ipung seorang seniman. Dia begitu tergila-gila dengan dunianya itu. Tapi, karena hal itu pula dia sering lupa perannya dalam keluarga, dia kerap kali kurang memedulikan aku, mengabaikanku.” Re menjejalkan luka ke garba purba.
“Kamu sendiri kan juga tahu, Re, kalau suamimu itu punya banyak kesibukan? Di samping sebagai seniman, dia kan juga punya usaha sendiri dan pasti sangat disibukkan oleh segala macam urusan dalam bisnisnya itu. Lagi pula, yang dilakukannya itu kan juga untuk keluarga?”
Re mengangguk. “Untuk urusan bisnisnya, aku masih memakluminya. Tapi untuk kegiatan seninya, selama ini aku tidak saja berusaha mengerti, tapi juga sudah cukup untuk mengalah, Nai. Tapi dia keras kepala, dia tetap saja tak mau meninggalkan aktivitasnya itu.”
“Jadi, kamu ingin suamimu meninggalkan aktivitasnya?”
Re kembali mengangguk. “Setidaknya dia bisa membagi waktu untuk keluarga, untukku dan anak-anak. Dia kan bisa saja sesekali mempercayakan kegiatan seninya itu untuk ditangani orang lain? Kepada rekan-rekannya sesama seniman misalnya.”
“Kamu menginginkan dia berbuat begitu demi kamu? Kalau begitu, kamu sama keras kepalanya dengan suamimu, Re.”
Re terkanjang. Kata-kata Nai mengenainya seperti seember air memadamkan api. “Mengapa kamu berkesimpulan seperti itu, Nai?” protes Re.
“Sederhana saja. Kamu ingin orang lain mengurangi kesenangannya demi kamu. Sementara kamu sendiri tak peduli pada kesenangan orang lain itu. Apa itu namanya bukan keras kepala, Re?”
“Tapi...”
“Jangan terlalu menuntut banyak dari suamimu, Re. Jika kau sendiri juga tak mau bila suamimu menuntut kelewat banyak darimu,” pintas Nai ke pokok persoalan.
“Jadi, kau menuduhku egois, mau menang sendiri?”
“Bukan begitu, Re.”
“Lalu mengapa kau berkata seperti itu kepadaku?”
“Aku kan hanya menyatakan satu kemungkinan, bukannya...”
Re tiba-tiba berdiri, wajahnya pias dan tegang. “Nai! Sampai kapanpun akan kucari perempuan kidas itu, perempuan kijil, perempuan tak tahu malu, perebut suami orang! Kurukat dia!” Dengan wajah seperti udang di atas tungku, Re menerabas pergi dari hadapan Nai, mengangkut amarah dan dendam cinta batagar yang melegenda. Nai merusaha menahan sahabatnya itu, tapi Re keburu maninjak daun pintu keras-keras.
“Re...” Nai tak mampu menganyam kata-katanya, tenggorokannya tiba-tiba terasa begitu garing, parau bagai tercekak sebatang linggis. Sikap Re benar-benar membuatnya terkanjang dan merasa berdosa. Jiwanya terpukul, hatinya hancur, seperti bingka barandam bikinan Umanya Hadran terinjak orang gila, linyak.
Senja mulai luruh menyetubuhi bumi. Senja juga mulai mengintip di daun jendela. Senja juga bergayut di dahan kalangkala, menandai peredaran hari yang sesaat lagi istirah di peraduan malam. Nai lantas beranjak bangkit menuju tubir jendela, menyaksikan urat-urat malam yang mulai berjuntai hendak melahirkan magrib. Air mata Nai kaya ditutuh, luruh menggerabak, mejadikan pandangannya lamur. Jiwanya benar-benar goncang. Seperti bilah sisir yang dipatah satu-satu, rasa berdosa kembali melandanya. Ia tidak mengira sahabat baiknya itu akan bersikap seperti ini terhadapnya. Amuk pun kian merajut sepi.
Tiba saatnya temaram senja itu pulang menitip sepi yang mencekam dan mencabik ke pembuluh raga. Re menoleh lesu lalu berlari, membiarkan buhul waktu merangkaki dinding gelap. Beberapa detik berlalu membuat dada Re semakin naik-turun memompakan napas berat. Di perbatsan kulit dan awal tumbuh rambut di kepala Re mulai bertumbuhan anak keringat yang jika disapu cukup membuat kuyup dan menimbulkan gemerlap seperti cerlang embun di daun bunga bakung terkena sinar matahari. Dan sepi tercipta semakin membentuk misteri, alam tambah mengekrut di ujung setiap benda yang tak luput dari jamahan malam.
Re merendek dan sekilas lagi mewajana senja yang sudah berubah pekat. Dan malam pun luruh bersama nyanyian serangga yang ritmis melankolis, sementara di langit rembulan yang tinggal sepotong termenung sendirian, cahayanya ingsut ditombak awan.
Di tubir jendela Nai meledakkan tangis sejadi-jadinya. Seluruh jiwa dan raganya turut terkanjang. Dalam hati Nai melolong: “Re..., sebenarnya sudah lama aku ingin mengembalikan Ipung kepadamu  dan anak-anakmu. Aku benar-benar telah berdosa karena membuat nama palsu di acoun itu, menyampaikan kabar dusta dan merampas Ipung suamimu. Maafkan aku, Re...”
Tapi, Nai hanya diam, tak tahu apa yang harus dikatakan, ia bingung oleh kenyataan yang tiba-tiba menjembanya. Bibirnya serasa terekunci, lidahnya pun kelu, dan wajahnya semakin belepotan sunyi.
Dalam kenyataan seperti ini, penjelasan bagaimanakah yang mesti Nai paparkan...???
Di sepanjang perjalanan hidup kita, kita tidak tahu, apa yang bakal terjadi di hadapan kita. Itulah sebabnya, ketika memutuskan untuk berbuat sesuatu, maka selayaknya harus selalu dimulai dengan bismilLah.. []

(ini hanya sebuah cerita, tapi...)

Kandangan, malam-malam bergaram
6 Agustus 2014

Sumber:
SKH Media Kalimantan, Minggu, 2014

0 komentar: