Cerpen Aliman Syahrani: Petualangan Zikir

19.17 Zian 0 Comments

Ada momen puitik dalam petualangan yang tidak bisa kueleminasi dan sekaligus tak dapat kuungkapkan lewat fiksi, ketika aku mengadakan perjalanan ke Loksado.
Perjalanan menuju Lokasado adalah perjalanan menuju kenangan. Menuju Loksado berarti mendatangi tanah tumpah kelahiran. Trenyuh juga perasaanku melihatnya sekian lama masih dibiarkan terlelap dalam tidur di alam keterbelakangan. Padahal hutan-hutannya sudah mulai dirambah, dan buminya semakin digaruk karena memendam harta. Apapun dalih yang akan dikatakan orang tentang desa itu, Loksado adalah tanah tumpah kelahiranku. Bumi Loksado telah cukup banyak memberikan miliknya yang paling berharga untuk kemakmuran daerah ini.
Terletak 185 kilometer dari Banjarmasin dan 40 kilometer dari Kandangan, desa Loksado berada dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, terpencil di lereng bukit. Sungguh, inilah perjalanan penyiksaan, terutama setelah jarak 165 kilometer dari Banjarmasin ditambah 25 kilometer dari Kandangan kutempuh dengan naik mobil. Lima belas kilometer selebihnya, jika hari tidak hujan, bisa dilalui dengan ojek gunung. Kata orang pedalaman Loksado, bukah baduduk. Artinya, duduk berlari dengan ojek di alam terbuka.

Selama tiga atau empat jam menunggang ojek, perjalanan berubah jadi petualangan, karena jalan setapak hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Naik turun bukit, menerobos hutan tropis basah di kaki gunung Kantawan. Kawanan burung berkicauan menyejukkan hati. Tapi, ketika jalan menyempit curam dan semakin terjal, dengan jurang menyeringai di kanan-kiri, hiiih… kuduk bergidik jadinya. Pebukitan, padang ilalang, hutan karet, berganti dengan sungai-sungai kecil, terkadang melintasi jalan. Lalu hutan berpohon tinggi lebat dan besar-besar menunggu, siap menelan. Aroma bumi basah rain forest[1] – karena sinar matahari tak kuat menembus dedaunan – menyergap hidung. Tubuh terasa segar dan telinga menangkap gemersik daun bambu, membuat semua ilusi masa kecilku kembali menguar.
Sungai Amandit menggemercik. Jalan meliuk-liuk, mengitari perbukitan. Sesekali aku berpapasan dengan penduduk setempat, yang lelaki menyelipkan parang[2] di pinggang, sedang yang wanita menggendong sambil menyusui bayinya. Mereka selalu membawa butah.[3] Terkadang mereka sekeluarga kupergoki di sungai kecil, tengah manangguk[4] atau memasang lukah,[5] mencari ikan dan udang.
Desa Hulu Banyu terlewati, kemudian Ni’ih. Berarti sudah setengah jalan. Semua desa di sini bersuasana sama. Sunyi. Hanya anak-anak yang bermain tungkau[6] atau gundu dari batu, dan wanita penjaga warung atau pencari kutu rambut serta orang-orang tua mahambit rumbia.[7] Tapi mereka ramah, tak mencurigai setiap pendatang. Polos, bersahabat.
Melewati desa Kukundu, di sana ada sebuah rumah adat berbentuk panggung besar yang dinamakan rumah balai[8] yang ditempati beberapa keluarga sekaligus. Di waktu senja hari penghuni balai tersebut berkumpul di ruang tengah di dalam balai, mendiskusikan apa saja yang akan dikerjakan esok hari. Malam harinya, sang damang[9] sibuk merapal dan mendaras mamang,[10] mantera-mantera serta do’a-do’a keselamatan bagi arwah para Datu[11] di alam surga. Mereka juga terbiasa memberi sesajen bagi para Datu, demi kesuburan ladang berpindah yang ditanami padi.
Dua kilometer lagi Loksado tergapai. Namun, jalan tanah merah menurun amat curam. Menanjak sedikit. Jembatan kayu gantung berada tinggi dari permukaan sungai Amandit yang jernih berarus keras. Hiih…, terasa gamang ketika melewatinya. Lepas dari sini, keindahan dan keramahan segera menyilak di depan mata.

***

Berkiblatkan keperawanan pegunungan Meratus, Loksado berada di buaian lembah dan bukit. Sewajana mata menatap, hutan lebat meriap hingga jauh. Sore hari, Loksado berselimut dingin. Malamnya, desa disungkup kelambu gelap. Listrik tak ada, petromak pun jarang. Hanya lampu culuk[12] atau senter berkelipan lemah. Untunglah, malam itu ada pagelaran wayang urang Banjar, yang ditanggap setahun sekali, menjelang hari pasar esoknya.
Penduduk mengalir berbondong dari segala penjuru desa untuk menyaksikan karasmin[13] wayang, keluar dari rumah-rumah yang merapat padat. Semua tumpah ke tanah lapang balai desa, bertahan hingga wayang berakhir menjelang pagi.
Begitu bubar, orang-orang kembali melesap dalam kegelapan. Tinggallah kesunyian mendenyut dalam gelap. Langit kelam. Kabut luruh. Angin berdetas. Bulan tiada. Rasa sepi amat mencengkram. Suara jengkrik mengkerik menyayat telinga. Di kejauhan, sungai Amandit tak henti berkecipak. Aroma daun kayu manis yang menyengat membuat suasana keterpencilan serasa semakin meracik. Segala berubah saat pagi merobek gelap. Penduduk kembali bergerak, menuju pasar. Keadaan hiruk pikuk menyemplak di sana.
Loksado sungguh indah bagi pendatang. Loksado memang bagaikan dua sisi uang logam yang masing-masing menawarkan harga bagi para wisman mau pun turis lokal. Perjalanan menuju Loksado berarti perjalanan menuju keindahan. Loksado dengan dua daya pikat keperawanan alamnya yang eskotis serta tradisi adat yang begitu dramatik sungguh potensial sebagai obyek wisata. Loksado dengan dua daya pikat tersebut tak urung membuat wisman dan turis lokal datang tidak hanya sekali. Dilihat dari usianya, kebanyakan dari mereka memang berjiwa petualang.

***

Uji keberanian sesungguhnya adalah, tentu dengan mengeleminasi semua rasa gentar, aku meninggalkan Loksado lewat sungai Amandit. Mendengar gemuruh suaranya saja, hatiku sudah menguncup. Apalagi perjalanan ditempuh dengan lanting,[14] yang telah kupesan sehari sebelumnya. Baru menjejakkan kaki di lanting saja aku sudah memindai keganasan arusnya. Dalam sebentar, lanting sudah melesat.
Aku bergidik. Tapi si tukang rakit malah tersenyum. Akhirnya kami bersitatap dalam diam. Ini bisnis macam apa? Itu negosiasi macam apa? Pertanyaan metropolitan itu membaur dengan deru arus sungai yang keras – pegunungan yang tegak menjulang – dan suasana batin yang khas petualang. Semuanya berbuar dan mengusik tidur fiksiku yang lelap sekian waktu tanpa bisa mengungkapkannya.
Lanting – dalam mitos Dayak Lokasado – adalah kesederhanaan, keselarasan – bahkan kebebasan. Di mana orang bisa melabuh ego nyali – mengeleminasi kepenatan ragawi – tempat untuk mengetemudapatjumpasuakan esensi diri – di mana orang bisa berpetualang dengan bebas dan bercengkerama lepas dengan alam. Tak ada ketergesaan – (mencapai tujuan) – bahkan “silaturrahim” dengan si tukang rakit bisa terjalin secara spontanitas. Dan aku malah bukan mengalami petualangan, tetapi menikmati suatu pariwisata.
Ketika rakit mulai terpental-pental dan terkadang tertelan air, si tukang rakit sibuk mengendalikan rakit dengan pinanjak[15] untuk menghindarkan rakit dari batu-batu besar yang bertonjolan dari dasar sungai. Ada semacam ketenangan dan rasa percaya-mempercayai yang harus tumbuh antara aku sebagai penumpang dengan tukang rakit, antara tukang rakit dengan rakitnya, antara tukang rakit dengan daya tahan dan kewaspadaannya, antara kemahiran dan pengalaman “menyopir” si tukang rakit dengan arus tak pasti dan serba tak terduga dan mendadaknya nasib lanting-nya, penumpang dan dirinya.
Dan karenanya, mau tak mau, harus selalu ada jalinan komunikasi dan rasa percaya-mempercayai (mungkin juga hanya “tempat mempercayakan diri”) antara aku (sebagai penumang) dan tukang rakit yang menjadikan tumbuhnya keakraban dan keintiman. Sekaligus jalinan komunikasi dan rasa percaya-mempercayai (lebih tepatnya memang “tempat untuk mempercayakan diri”) antara “sopir” khususnya dan para “penumpang” umumnya (karena sebuah rakit bisa saja dimuati enam sampai tujuh orang) dengan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Menentukan. Dengan Allah SWT, dan karenanya petualangan pun jadi zikir yang intens.
Sungai yang berkelokan menembus hutan lebat, tebing-tebing yang menjulang, bahaya yang serasa mengancam dari segala penjuru, dan pepohonan besar tinggi serta belukar bambu yang berdiri tak bergerak bagai barisan mambang yang menakutkan, adalah prolog bagi satu perjalanan ketika melintasi sungai Amandit dengan jeram-jeramnya yang curam sejak Lokado ke Kandangan. Sebuah pemandangan fisik, sebuah momen puitik yang khayali – meski kesannya terus melekat – sebelum memasuki momen puitik yang lebih batiniah – sebuah momen religik. Momen religik dalam petualangan, yang terkadang luput dan tak terhayati karena tuntutan zaman yang menagih serba siap, serba instan, serba tepat waktu dengan kepastian dan kecepatan tinggi. Taksi, bus cepat ber-AC, dan bahkan kereta api – selain mobil pribadi dengan sopir terpercaya – adalah kesempatan untuk melakukan perjalanan tanpa momen religik, tanpa kekentalan zikir  di satu sisi dan tanpa keakraban antara sesama manusia – “penumpang” dan “sopir” – seperti di lanting. Satu pengeleminasian emosi yang tak tertakar oleh mitos piknik, rekreasi, petualangan atau bahkan pariwisata.
Enam jam berada dalam kecemasan, ketegangan, kelelahan dan “ketakutan”, akhirnya lanting meluncur meninggalkan pegunungan Meratus. Di desa Lumpangi rakit bersandar, setelah memenangkan jeram-jeram sungai Amandit. Dari situ, ojek gunung telah menanti, siap mengobok-obok tubuhku lagi menuju Kandangan.
Semakin jauh dari Loksado, semakin kental keindahan desa itu membingkas dalam kenangan. Semakin jauh dari Loksado, semakin sampak momen puitik menumbuk dalam nostalgik.


[1] hutan hujan
[2] golok
[3] tas keranjang dari anyaman rotan atau bambu yang disangkutkan di pundak
[4] tangguk: anyaman bilah-bilah bambu berbentuk melengkung yang digunakan untuk menangkap ikan
[5] tumbu
[6] engrang
[7] menjalin daun rumbia untuk dijadikan atap rumah
[8] rumah adat berbentuk panggung besar
[9] kepala suku
[10] mantera adat
[11] arwah para leluhur. Datu diyakini tidak mati, tetapi “mendewata”
[12] obor
[13] hiburan
[14] rakit bambu
[15] tongkat bambu


Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html

0 komentar: